Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/140

e-Leadership edisi 140 (8-4-2013)

Memahami Kecakapan Diri Pemimpin (I)

==========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI APRIL 2013============

               MEMAHAMI KECAKAPAN DIRI PEMIMPIN (I)
               
                 e-Leadership 140, 8 April 2013

Shalom,

Banyak anggapan yang mengatakan bahwa menjadi pemimpin Kristen itu 
cukup dengan memiliki hati gembala saja dan bersikap penuh kasih 
kepada yang dipimpinnya. Apakah Anda setuju dengan anggapan tersebut? 
Secara prinsip, anggapan tersebut tidak salah, bahkan perlu ada dalam 
setiap diri pemimpin Kristen. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa 
karakter rohani harus diimbangi juga dengan "kecakapan" dalam 
memimpin.

Artikel e-Leadership edisi ini berisi pemaparan pentingnya menjadi 
pemimpin Kristen yang melayani dengan cakap. Meskipun secara khusus 
artikel ini ditujukan bagi pemimpin jemaat, tetapi sangat perlu 
diterapkan pula oleh pemimpin Kristen pada umumnya. Simak pula kolom 
Inspirasi yang akan lebih menajamkan lagi pengertian kita tentang 
pemimpin Kristen yang "cakap". Kiranya menjadi berkat dan selamat 
mengembangkan diri Anda untuk menjadi pemimpin Kristen yang "cakap" 
secara rohani maupun kompetensi.

Staf Redaksi e-Leadership,
Davida
< http://lead.sabda.org >


Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. 
                       (Mazmur 121:2) 
            < http://alkitab.mobi/tb/Mzm/121/2/ >


                  ARTIKEL: MELAYANI DENGAN CAKAP

Tantangan kepemimpinan gereja saat ini ialah, "Bagaimana menjadi 
imam/pewarta dan pemimpin umat di Indonesia dalam gereja di dunia dan 
bagi Injil Yesus Kristus?"

Kecakapan Pemimpin Jemaat Tertahbis dalam Dunia yang Berubah Cepat 
Sekarang Ini

"Dunia terus berlari, tanpa meninggalkan citra dan `jejak-jejak 
ketuhanan` di belakangnya," demikian tulis Yasraf Amir Piliang dalam 
bukunya "Dunia yang Berlari: Mencari `Tuhan-Tuhan` Digital". Ungkapan 
`dunia yang berlari` sebelumnya pernah dipakai oleh Anthony Giddens 
sebagai judul bukunya: "The Runaway World". Dengan ungkapan ini, 
Giddens hendak melukiskan bahwa kecepatan pertumbuhan dunia itu tidak 
sejalan dengan "pertumbuhan" manusianya. Piliang menggunakan ungkapan 
ini hampir sama pengertiannya dengan Giddens. Bagi Piliang, ungkapan 
`dunia yang berlari` merupakan metafora yang mengungkapkan 
perkembangan dunia yang sedemikian cepat karena arus perubahan yang 
hipercepat. Lebih lanjut, Piliang menuliskan:

"Arus perubahan `hipercepat` telah mengurung masyarakat global di 
dalam sebuah dunia yang tidak pernah berhenti berlari; tidak pernah 
menurunkan tempo produksinya; tidak pernah mengurangi kecepatan 
inovasinya; tidak pernah mengurangi tempo konsumsinya; tidak pernah 
mengurangi kecepatan informasinya; tidak pernah mengurangi kecepatan 
pergantian produk, gaya dan gaya hidupnya; tidak pernah beristirahat 
sejenak; tidak pernah merenung dan merefleksi diri, yang di dalamnya 
manusia harus menyesuaikan dirinya dengan arus kecepatan dunia 
tersebut; yang di dalamnya tidak ada lagi waktu untuk `mengingat` nama 
Tuhan."

Pemimpin jemaat tertahbis (selanjutnya ditulis PJT) sekarang ini hidup 
dan berkarya dalam konteks dunia sebagaimana digambarkan Piliang di 
atas. Ketika melayani umat, PJT menghadapi tantangan-tantangan baru 
yang tidak ringan. Agar pesan Injil Yesus Kristus sungguh sampai dan 
terwujud di dalam kehidupannya sendiri, jemaat, dan masyarakat, PJT 
mesti melayani umat dengan segala kecakapannya, terutama kecakapan 
spiritual, intelektual, dan kecakapan pastoral.

1. Kecakapan Spiritual

Kecakapan spiritual tentunya berkaitan erat dengan spiritualitas 
seorang PJT. Menurut Alister E. McGrath, spiritualitas merupakan 
bagian dari kehidupan iman dan menyangkut apa yang memberi semangat 
terhadap kehidupan umat beriman. Spiritualitas berbicara tentang suatu 
cara bagaimana kehidupan iman dipahami serta dihayati. Menurut Robert 
Hardawiryana, spiritualitas merupakan: "sikap dasar praktis atau 
eksistensial orang beriman; merupakan konsekuensi dan ekspresi 
kesadaran eksistensi religiusnya; mencakup cara-cara ia biasanya 
beraksi dan bereaksi selama hidupnya menurut pendirian hidup rohani 
beserta keputusan-keputusannya yang objektif terdalam."

Seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual menyadari bahwa menjabat 
posisi PJT merupakan tanggapan iman atas panggilan Kristus, dan 
merupakan suatu tanggapan eksistensial sebagai orang beriman. Ini 
tentu menuntut pemberian diri secara penuh, bahkan pengosongan diri 
(kenosis) secara total, sebagaimana Kristus telah melakukannya, 
sehingga pelayanan yang dilaksanakannya tidak melulu menjadi 
"pekerjaan dengan jam kerja pukul delapan sampai pukul lima, akan 
tetapi pertama-tama adalah jalan hidup" (Henri J.M. Nouwen). Untuk 
itu, seorang PJT akan terus-menerus memelihara relasi yang akrab 
dengan Allah di dalam Kristus.

Namun, PJT juga mesti menyadari bahwa jabatannya merupakan tanggapan 
atas panggilan yang bersifat insani. Ia hidup di dalam realitas rohani 
dan dalam realitas insani. Maka, kecakapan spiritual menunjuk pada 
kemampuan diri berelasi dengan Yang ilahi dan sekaligus dalam konteks 
kehidupan yang insani. Tanggapan iman atas panggilan Allah tertuju 
tidak hanya pada persoalan rohani, tetapi terutama pada pergumulan 
manusiawi. Roderick Strange menuliskan, "Ketika panggilan imamat 
dipahami sekaligus sebagai panggilan manusiawi dan ilahi, kita 
menyadari bahwa kenyataan itu membuka diri kita untuk membangun relasi 
dengan diri kita sendiri, dengan Tuhan, dan dengan sesama."

Dalam konteks dunia yang berubah cepat sekarang ini, kecakapan 
spiritual menjadi signifikan, terutama dalam menghadapi tendensi 
"penggersangan simbolis", yakni kehampaan "kebudayaan", termasuk di 
dalamnya aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari, dari 
makna-makna yang dalam. Seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual 
akan selalu menampilkan wajah "kebudayaan" dengan makna-makna yang 
dalam. Aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari tak lepas 
dari maknanya. Aktivitas-aktivitas itu tidak hanyut dalam bahaya 
rutinisme dan formalisme, tetapi sebaliknya mendapatkan muatan 
spiritual berupa makna-makna yang dalam. Henri J.M. Nouwen menyebut 
orang yang memiliki kecakapan seperti ini sebagai "seorang 
kontemplatif". "Seorang kontemplatif tidak haus atau serakah mencari 
kontak-kontak manusia. Ia dipimpin oleh suatu visi yang ia temukan, 
yang jauh lebih bermakna daripada yang dipikirkan oleh dunia yang 
posesif ini. Ia tidak terombang-ambing oleh mode yang sesaat saja 
karena ia mempunyai hubungan dengan yang paling dasar, inti dan 
mutlak.",
2. Kecakapan Intelektual

Seorang PJT harus memiliki kecakapan intelektual, sebab dengan 
kecakapan ini ia dapat melayani umat secara efektif dan kreatif, yaitu 
melayani dengan tepat sasaran dan bersifat menggerakkan umat. Maka, 
seorang PJT mesti memiliki kemampuan "menentukan suatu nada bersama 
untuk bekerja sama". Nada bersama itu tidak lain ialah visi bersama 
(shared vision).

Selain merumuskan visi bersama, seorang PJT mesti mampu mengilhamkan 
umat agar bergerak bersamanya demi pencapaian visi bersama. Di sini, 
PJT tampil, baik sebagai pembawa atau pemegang visi bersama maupun 
sebagai pendorong perubahan. Untuk itu, PJT mesti menjadi seorang yang 
terus-menerus belajar agar ia semakin akurat membaca perubahan, 
mengantisipasi masa depan, dan mempengaruhi serta menggerakkan umat 
yang dipimpinnya.

Jadi, kecakapan intelektual hanya dapat diperoleh melalui kebiasaan 
belajar. Seorang PJT bukanlah sekadar bisa mengajar, tetapi juga biasa 
belajar. Belajar di sini tentu tidak harus selalu formal, bisa juga 
informal, yakni belajar dari realitas kehidupan. Mungkin, yang 
terakhir ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena 
bagaimanapun, belajar dari realitas kehidupan bersifat faktual dan 
kontekstual. Berkaitan dengan belajar ini, PJT mau tidak mau mesti 
merupakan seorang yang gemar membaca, baik teks (tulisan) maupun 
konteks (realitas kehidupan).

3. Kecakapan Pastoral

Kecakapan pastoral berkaitan erat dengan kemampuan PJT dalam 
menggembalakan umat dengan baik. Menurut Thomas P. Sweetser, 
menggembalakan dengan baik mengandung suatu campuran atau gabungan 
antara memimpin dan mengatur, tetapi dengan proporsi lebih pada 
kepemimpinan daripada pengaturan. Memimpin adalah menolong umat untuk 
menentukan ke mana ia akan pergi dan apa yang menjadi visi dan masa 
depan mereka. Jika tujuan sudah ditentukan, maka pengaturan adalah 
kombinasi dari semua yang harus dilakukan dan diperoleh untuk tujuan 
tersebut.

Dalam kaitan pengaturan, PJT mesti mengusahakan keseimbangan yang 
sehat antara aktivitas kehidupan pribadi dan aktivitas pelayanan 
jemaat. Sweetser menegaskan bahwa sebaiknya seorang pendeta mengatur 
dan menentukan suatu muatan kerja yang wajar. Ia menuliskan: "Dua 
belas jam sehari, enam hari seminggu itu terlalu banyak untuk siapa 
pun. Lebih baik menemukan dengan tepat apa yang penting, dan sisanya 
biarkanlah atau salurkan kepada orang lain. Tak penting berapa lamanya 
orang bekerja, sebab tak pernah cukup memenuhi tuntutan-tuntutan umat 
maupun komunitas yang lebih luas."

Kecakapan pastoral tampaknya menyangkut upaya pengenalan dan 
persahabatan PJT dengan umatnya. Hal tersebut merupakan pokok penting 
dalam upaya penggembalaan yang baik. Yesus berkata, "Akulah gembala 
yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal 
Aku." (Yohanes 10:14) Jadi, sebagaimana Yesus Sang Gembala berhubungan 
dengan domba-domba-Nya dalam pengenalan dan persahabatan yang akrab, 
demikian juga seharusnya PJT berhubungan dengan umatnya. Di sini, 
kegiatan perkunjungan kepada umat ("cura animarum" atau "penyembuhan 
jiwa-jiwa") menjadi relevan dan signifikan untuk dilakukan oleh PJT. 
Seorang PJT yang memiliki kecakapan pastoral pastilah melaksanakan 
"cura animarum".

Berkaitan dengan kecakapan pastoral, seorang PJT sudah seharusnya 
memiliki kemampuan komunikasi empati. Komunikasi empati, atau 
"komunikasi yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan, 
kepedulian, dan perhatian", perlu digalakkan dalam konteks masyarakat 
sekarang ini, menimbang bahwa -– seperti diungkapkan oleh Idi Subandy 
Ibrahim -– komunikasi ini semakin sirna di era "kelimpahan 
komunikasi".

"Manusia kontemporer mempunyai perilaku berbicara terlalu banyak, 
tetapi sebenarnya tanpa menyampaikan makna. Manusia kontemporer juga 
menyaksikan dan mendengar begitu banyak berita, tetapi tanpa merasakan 
makna. Semakin banyak kita mendengarkan komentar politisi atau 
komentator politik mengenai suatu isu, tanpa sikap kritis, tak jarang 
kita bingung dibuatnya. Semakin sering kita menyaksikan acara-acara 
hiburan di televisi, tanpa sikap selektif, semakin kita tidak tahu apa 
sebenarnya yang ingin kita peroleh dari aktivitas itu. Semakin banyak 
kita menyerap informasi dari media, semakin kita tidak tahu apa arti 
semua itu bagi kehidupan."

Dengan komunikasi empati, seorang PJT akhirnya dapat menjalin 
pengenalan dan persahabatan secara lebih mendalam. Komunikasi empati 
merupakan suatu langkah untuk berbela rasa. Komunikasi ini selalu 
dimulai dengan mendengarkan kawan bicara. Jalaluddin Rumi pernah 
berkata, "Karena untuk berbicara orang harus lebih mendengarkan, 
belajarlah bicara dengan mendengarkan." Jadi, PJT seharusnya lebih 
banyak mendengarkan umat daripada berbicara supaya ketika ia 
berbicara, apa yang dibicarakannya itu sungguh bermakna bagi kehidupan 
umat.

Melayani dengan Cakap Demi Injil Yesus Kristus

Pewartaan Injil merupakan hakikat dari kehidupan gereja. Tanpa 
pewartaan Injil yang awalnya dilakukan oleh Yesus Kristus, gereja pada 
gilirannya tidak akan ada. Dalam karya Roh Kudus, pewartaan Injil 
mendorong kelahiran dan pertumbuhan persekutuan umat (communio) baru, 
yang selanjutnya disebut Gereja, sehingga dengan dan bersama communio 
itu, rencana keselamatan Allah di dunia ini terwujud.

Dalam konteks dunia yang berubah cepat, pewartaan Injil mendapatkan 
tantangan-tantangan besar. Namun, itu tidak berarti lantas Gereja 
tidak mewartakan Injil Yesus Kristus. Bagaimanapun, gereja mesti terus 
mewartakan Injil selama ia hadir di dunia ini. Maka, pemimpin jemaat 
tertahbis (PJT) seharusnya melayani dengan cakap di tengah jemaat dan 
masyarakat, seiring perubahan dunia yang berlangsung cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Robby I., "Ketika Pemimpin Harus Menghadapi Perubahan", Bina 
Media Informasi, Bandung 2005. Hardawiryana, Robert, "Spiritualitas 
Imam Diosesan Melayani Gereja di Indonesia Masa Kini", Kanisius, 
Yogyakarta 2000.

*) Catatan: daftar pustaka selanjutnya dapat dilihat di sumber 
aslinya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: Teologi Kristiani
Alamat URL: http://teologikristiani.blogspot.com/2009/01/melayani-dengan-cakap_05.html
Penulis: Hendri M. Sendjaja
Tanggal akses: 3 Maret 2013


                              KUTIPAN

Pembelajaran tidak berfokus pada gelar, namun pada pemenuhan salah 
satu kunci sukses pemimpin-gembala yaitu cakap, yang meliputi cakap 
mengajar, cakap berelasi, dan cakap memimpin. (Daniel Ronda)


                     INSPIRASI: KECAKAPAN PEMIMPIN

Kecakapan pemimpin berkenaan dengan sejauh mana penerapan karakter dan 
pengetahuan secara praktis. Kompetensi keahlian ini dapat dilihat dari 
dua sudut penting berikut.

1. Yang berkenaan dengan "hubungan antarmanusia", atau disebut sebagai 
"keterampilan atau kecakapan sosial". Seorang pemimpin yang baik tidak 
hanya menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain, tetapi juga menyadari 
bahwa ia dengan penuh tanggung jawab harus membina hubungan baik 
dengan orang lain, yang menjamin kerja sama yang baik dan keberhasilan 
kerja. Hubungan baik dengan orang lain harus dimulai oleh pemimpin. Ia 
harus membulatkan tekad, menyukai, dan menghidupinya dengan 
melaksanakannya secara penuh tanggung jawab. Golden rule kepemimpinan 
Tuhan Yesus tetap berlaku di sini, yaitu: "Segala sesuatu yang kamu 
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga 
kepada mereka" (Matius 7:12). Tekanan utama yang diberikan di sini 
adalah bahwa apa saja yang dilakukan oleh seorang pemimpin, 
mencerminkan apa saja yang akan/sedang/telah diperbuat orang 
kepadanya. Apabila pemimpin menghendaki dan melaksanakan/membina 
hubungan baik dengan siapa saja, ia pun akan menerima kebaikan dari 
tindakannya.

2. Yang berkenaan dengan "hubungan pelaksanaan tugas" yang membuat 
seseorang yang disebut ahli itu tahu dan dapat melakukan tugasnya 
dengan baik dan benar. Kecakapan tugas berkaitan erat dengan hal-hal 
praktis yang bersifat teknis sehingga dapat juga disebut keahlian 
teknis/praktis. Keahlian ini berkaitan erat dengan "bagaimana 
melaksanakan tugas", yang harus dilaksanakan dengan baik. Berikut 
adalah beberapa prinsip yang harus diperhatikan:

a. Pemimpin harus memiliki kecakapan "know how" (memberi pengarahan) 
secara umum, sekalipun ia tidak perlu "mahaahli". Wawasan yang luas 
dan belajar menggunakan segala macam cara akan membantu dalam 
memperoleh kecakapan ini.

b. Pemimpin harus memiliki keahlian khas, khususnya yang berkenaan 
dengan kecakapan memimpin.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: INDO LEAD
Alamat URL: http://lead.sabda.org/13/sep/2007/kepemimpinan_menemukan_pemimpin_kompeten
Penulis: Pdt. Dr. Yakob Tomatala
Tanggal akses: 30 Maret 2013


Kontak: leadership(at)sabda.org
Redaksi: Ryan, Davida, dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-leadership/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org