Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/126 |
|
e-Leadership edisi 126 (10-9-2012)
|
|
=========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI SEPTEMBER 2012============ MEMAHAMI KELEMAHAN DIRI PEMIMPIN (I) e-Leadership 126 -- 10/09/2012 DAFTAR ISI ARTIKEL: ANUGERAH TUHAN DAN KELEMAHAN SEORANG PEMIMPIN KRISTEN (2 KORINTUS 12:1-10) (I) INSPIRASI: PERSAHABATAN Tuhan menciptakan setiap manusia itu unik. Masing-masing kita memiliki perbedaan dalam hal kelebihan maupun kelemahan diri. Sayangnya, banyak orang, termasuk para pemimpin yang menjadikan kelemahan sebagai momok, sehingga tidak sedikit yang menyembunyikan kelemahannya demi pencitraan. Lalu, bagaimana pemimpin keluar dari problem ini serta apa relasi antara anugerah dan kelemahan diri? Temukan uraiannya dalam e- Leadership edisi September. Bagian pertama dalam edisi ini akan membahas tentang anugerah Tuhan tidak menghilangkan kelemahan seorang hamba-Nya. Kami harap menjadi berkat bagi Anda semua. Selamat menyimak! Pemimpin Redaksi e-Leadership, Desi Rianto < ryan(at)in-christ.net > < http://lead.sabda.org > "Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." (Galatia 6:24) < http://alkitab.sabda.org/?Galatia+6:24 > ARTIKEL: ANUGERAH TUHAN DAN KELEMAHAN SEORANG PEMIMPIN KRISTEN (2 KORINTUS 12:1-10) (I) Dalam sebuah seminar kepemimpinan yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang direktur dan manajer dari berbagai perusahaan, seorang pembicara berkata, "Jika Anda ingin menjadi seorang pemimpin yang kuat, salah satu kunci yang harus dipegang adalah jangan pernah sekalipun Anda menunjukkan kelemahan di depan orang-orang yang Anda pimpin. Sekali saja mereka mengetahui kelemahan Anda, habislah Anda." Apa yang dikatakan oleh pembicara tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, seorang pemimpin yang kuat adalah orang yang seharusnya tampak tidak memunyai kelemahan. Kedua, kelemahan identik dengan sesuatu yang menggerogoti efektivitas seorang pemimpin. Tidak heran, kelemahan menjadi momok yang menakutkan bagi banyak pemimpin, sehingga wajar saja jika banyak pemimpin berusaha menyangkal dan juga menutup-nutupi kelemahan-kelemahan mereka. Asumsi mereka: seorang pemimpin yang kuat selalu "jauh" dari kelemahan. Apa yang diyakini oleh kepemimpinan sekuler, sadar atau tidak sadar, telah diadopsi oleh orang Kristen dalam bentuk lain. Banyak orang Kristen sering beranggapan bahwa seorang pemimpin Kristen yang mendapat anugerah Tuhan adalah seorang yang luar biasa, begitu luar biasanya, hingga ia berada "jauh" di atas rata-rata orang baik dalam visi, misi, maupun dalam kerohanian. Pemikiran seperti ini sering membuat seorang pemimpin Kristen menjadi merasa malu untuk mengakui kelemahan-kelemahannya. Akibatnya, tidak jarang pemimpin Kristen kemudian jatuh dalam kesibukan melabur citra dirinya demi mendapatkan nilai A pada integritasnya. Namun, kita semua tahu bahwa kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang jauh dari kejujuran dan hanya mendatangkan tekanan yang besar pada jiwa kita, stres yang tak berkesudahan. Tentu saja kita perlu menghindari hal demikian. Salah satu kunci agar kita tidak jatuh menjadi pemimpin yang demikian, adalah memahami dengan baik apa yang Alkitab katakan tentang relasi antara anugerah Tuhan dan kelemahan. Pertama, anugerah Tuhan tidak menghilangkan kelemahan seorang hamba-Nya. "Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena pernyataan-pernyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri." (2 Korintus 12:7) Gosip tentang kelemahan Paulus yang disebarkan oleh guru-guru palsu di jemaat Korintus menggoyangkan keabsahan kerasulan Paulus. Mereka berkata bahwa ia terlalu lemah dan tidak pantas untuk menjadi rasul Kristus; "Surat-suratnya memang tegas dan keras, tapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan perkataannya tidak berarti." (2 Korintus 10:10, 11:6) Mereka juga berkata bahwa alasan Paulus tidak menerima uang dukungan dari jemaat Korintus adalah karena ia tidak mengasihi jemaat tersebut (2 Korintus 11:7-11, 12:13, 12:16-18). Para guru palsu di jemaat Korintus yang hendak "menjatuhkan" Paulus bukan hanya pandai menyiarkan kelemahan-kelemahan Paulus, tetapi mereka juga lihai mengiklankan superioritas diri mereka, baik dalam intelektual maupun spiritual. Mereka menganggap diri lebih pintar berkhotbah, mengajar, memunyai pengetahuan yang tinggi, dan dalam akan kebenaran, kepemimpinan yang menonjol, dan juga kelebihan-kelebihan spiritual dengan berbagai penglihatan dan wahyu dari Allah. Maksud mereka jelas, yaitu agar jemaat Korintus percaya bahwa mereka lebih layak dipercaya sebagai hamba Tuhan daripada Paulus, sang perintis gereja itu. Bagaimanakah respons Paulus? Apakah ia membela diri dengan menunjukkan bahwa ia tidak memunyai kelemahan dan menunjukkan segudang prestasi yang telah dicapainya? Sama sekali tidak! Ia tidak memamerkan deretan panjang dari pos-pos PI dan gereja yang dibukanya; ia tidak menceritakan sedikit pun tentang berapa banyak orang yang telah mendengar khotbahnya dan tidak menyebut satu pun orang terkenal yang telah bertobat karena pelayanannya; ia tidak membuat klaim apa pun tentang mukjizat-mukjizat yang terjadi dalam pelayanannya dan tidak berkata apa pun tentang pelayanan internasionalnya; ia juga tidak menuliskan serangkaian gelar kesarjanaannya. Ia memang membela keabsahan kerasulannya dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar, tetapi ia tidak mengklaim bahwa ia bebas dari kelemahan, dan yang mengejutkan, ia berterus terang bahwa ia adalah seorang yang lemah. Pada ayat 1, Paulus menulis kepada jemaat Korintus, "Aku harus bermegah sekalipun hal itu tidak ada faedahnya." Paulus mengerti bahwa berbicara sombong itu tidak ada manfaatnya. Ia tidak mau melakukan hal itu, tetapi dalam keadaan ini ia terpaksa melakukannya untuk membela tuduhan-tuduhan dari guru-guru palsu atas keabsahan kerasulannya. Pada ayat 2 -- 4, Paulus menceritakan pengalaman rohaninya yang spektakuler, yaitu penglihatan dan pernyataan Tuhan yang ia terima 14 tahun yang lalu, di mana ia diangkat oleh Tuhan ke tingkat yang ketiga dari surga dan mendengar perkataan-perkataan yang tidak terkatakan, yang tidak boleh diucapkan oleh manusia. Pengalaman ini tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun, juga kepada jemaat Korintus yang pernah ia dirikan dan layani selama kurang lebih 2 tahun. Ia tidak mau orang menilai dirinya berdasarkan penglihatan-penglihatan rohani spektakuler yang tidak dapat dibuktikan oleh siapa pun. Sebaliknya, ia ingin jemaat Korintus menilai dirinya hanya berdasarkan apa yang mereka lihat dan dengar dari pengajaran dan kehidupannya (ayat 6b). Meskipun demikian, ia terpaksa menceritakannya juga sekalipun ia tahu itu adalah perbuatan bodoh. Namun, bukan atas pengalaman penglihatan yang spektakuler itu Paulus berbangga. Jika ia berhenti sampai di situ, berarti ia sama dengan guru-guru palsu yang membanggakan penglihatan spiritual mereka tanpa kejelasan. Paulus melanjutkannya dengan bercerita tentang "duri" dalam dagingnya, yang ia dapat setelah mengalami penglihatan yang luar biasa itu. Ia berkata, "dan supaya aku jangan meninggikan diri karena pernyataan-pernyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu `duri` di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri." (ayat 7) Apa yang Paulus maksud dengan "duri" dalam dagingnya itu? Sangat mungkin istilah "duri di dalam daging" ini dimengerti maksudnya dengan baik oleh jemaat Korintus saat itu, tetapi tidak demikian dengan kita pada masa kini. Kata "duri" yang dipergunakan Paulus dalam bahasa Yunaninya adalah "skolops", dapat berarti "kayu sula" atau "pancang yang memantek sesuatu" atau bisa juga berarti "duri yang menusuk masuk ke dalam." Para penafsir memunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menafsir "duri" yang dimaksud oleh Paulus. Ada yang mengatakan itu adalah kelemahan fisik, seperti penyakit epilepsi, malaria, gangguan pada mata, serangan migrain, atau bisa juga kesukaran berbicara (gagap), bahkan penganiayaan yang menimpanya. Ada juga yang menafsirkan "duri" itu lebih menuju kepada gangguan emosi seperti histeria, depresi berkala; dan yang lain menafsirkannya lebih kepada moralitas karakter Paulus, seperti cobaan yang bersifat seksual. D.A. Carson menulis: Namun, yang jelas adalah bahwa "duri" di dalam daging Paulus, apa pun itu adanya, menimpanya setelah ia mengalami "pernyataan-pernyataan yang luar biasa tersebut". Dengan perkataan lain, kelemahan itu bukanlah kelemahan yang dibawa sejak lahir atau gangguan karakter yang telah ada padanya sebelum ia diangkat naik ke tingkat ketiga dari surga. Dari beberapa pendapat di atas, yang dapat kita simpulkan dengan pasti adalah "duri" dalam daging Paulus itu sangat menyakitkan, mengganggu, dan membuatnya sangat menderita. Paulus menyebut "duri" dalam dagingnya itu sebagai seorang utusan Iblis yang menggocohnya. Kalimat ini menyiratkan bahwa "duri" itu memunyai potensi untuk membuat Paulus jatuh ke dalam dosa, sebagaimana Setan yang lebih menyenangi kegelapan daripada terang, kenajisan daripada kesucian, kesombongan daripada kerendahan hati. Kelemahan yang diakibatkan oleh adanya "duri" dalam daging Paulus menjadi daerah rawan yang permanen dalam dirinya yang dapat membuatnya "terjatuh". Paulus menyadari keadaan yang sangat berbahaya ini. Oleh karena itu, ia berkata: "Tentang hal itu aku sudah tiga kali memohon kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur daripadaku." (ayat 8) Jumlah "tiga kali" kemungkinan besar merupakan cara pengungkapan yang biasa dipakai pada waktu itu, untuk menekankan bahwa Paulus sudah sering kali berdoa kepada Tuhan untuk hal itu. Tetapi jawab Tuhan kepadanya: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (ayat 9b) Amat mengherankan! Allah tidak mengabulkan doa Paulus, Allah menolak untuk mengangkat "duri" yang mengganggu Paulus, hamba-Nya. Sebagai gantinya, Ia menegaskan bahwa anugerah yang Ia berikan kepada Paulus itu cukup untuk mengatasi gangguan yang datang kepadanya. Jawaban itu bukan yang Paulus inginkan, namun itu sebenarnya adalah yang ia butuhkan. Dari jawaban Tuhan ini, kita melihat bahwa anugerah Tuhan tidak melenyapkan kelemahan dari seorang pemimpin Kristen, bahkan seorang pemimpin Kristen sekaliber Paulus pun, yang dipakai Allah secara sangat luar biasa dan dicukupi Allah dengan anugerah-Nya, tetap memiliki kelemahan seperti kita pada umumnya. Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan dalam diri kita: Mengapa Paulus tidak merasa malu menceritakan tentang "duri" di dalam dagingnya kepada jemaatnya? Bukankah itu akan mengurangi wibawanya sebagai seorang pemimpin Kristen, apalagi dengan mengisahkan bahwa doanya ditolak oleh Tuhan? Lalu, di manakah kekuatan spiritualnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang rasul yang mendapat anugerah Allah? Jawabannya, justru hal inilah yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang rasul sejati karena ia mengenal dengan benar apa arti anugerah Allah. Paulus tidak malu, resah, gelisah, atau merasa terancam untuk menceritakan kelemahan dirinya, karena ia mengerti bahwa anugerah Tuhan diberikan bukan dengan maksud untuk menghilangkan sama sekali kelemahan seorang hamba-Nya. Itu berarti kelemahan adalah bagian yang wajar dari diri seorang pemimpin atau hamba Allah. Kelemahan tidak perlu disangkal, tidak perlu pula diterjemahkan sebagai kurangnya anugerah Allah kepada diri kita. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kita adalah tempat yang tepat untuk mengingatkan bahwa kita adalah manusia biasa yang sarat keterbatasan dan kekhilafan. Kalaupun kita sudah dipakai oleh Allah menjadi hamba-Nya yang "luar biasa", itu sama sekali bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita mendapat anugerah-Nya. Jabatan sebagai seorang pemimpin sering kali mendesak kita untuk menunjukkan diri kita tampak lebih kuat dari keadaan kita yang sebenarnya. Apalagi dalam konteks banyak orang yang hendak "menjatuhkan" kita, kita pantang dilihat sebagai orang yang lemah yang kemudian diidentikkan dengan kurangnya anugerah Allah kepada kita. Dengan berbagai cara dan kata, kita terus berusaha untuk menutup dan menyangkal kelemahan kita. Seluruh pikiran, waktu, dan tenaga yang kita miliki, kita habiskan untuk membangun "benteng pertahanan diri" agar kita luput dari sasaran "tembak" orang-orang yang tidak menyukai kita. Akibatnya, kita menjadi seorang pemimpin Kristen yang selalu was-was, cemas, dan kehilangan rasa aman. Setiap orang kita curigai dan yang lebih buruk lagi, kita mulai menyerang kelemahan-kelemahan mereka, sampai-sampai tidak terdengar lagi hikmat yang mengajarkan kita untuk menatap sejenak pada anugerah Tuhan, sumber pengharapan yang mendatangkan kekuatan. Sesungguhnya, Tuhan tidak pernah bermaksud menjadikan kita seorang pemimpin tanpa kelemahan atau pura-pura tanpa kelemahan. Kasih karunia-Nya tidak menghilangkan kelemahan-kelemahan kita, di sisi lain, kasih karunia-Nya tidak hilang karena kelemahan-kelemahan kita. Oleh sebab itu, marilah kita belajar untuk menerima kelemahan-kelemahan yang ada pada kita dengan wajar sambil terus memandang pada kasih karunia-Nya, sehingga kekuatan kasih karunia-Nya itu dapat memancar dengan bebas dalam hidup dan pelayanan kita. [Pembahasan bagian kedua, bersambung ke e-Leadership edisi 127] Diambil dari: Judul Jurnal: VERITAS, Volume 3, Nomor 2 (Oktober 2002) Penulis: Benny Solihin Penerbit: Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Malang 2002 Halaman: 183 -- 187 KUTIPAN "Tak ada masalah yang tak dapat diatasi. Dengan sedikit keberanian, kerja sama, dan tekad seseorang dapat mengatasi apa pun." (B. Dodge) INSPIRASI: PERSAHABATAN Seorang sahabat pernah berkata kepada saya bahwa tawa adalah jarak terpendek antara dua insan. Ketika dua orang bisa tertawa bersama, biasanya itu akan menjadi awal mula sebuah persahabatan. Sebaliknya, pernahkan Anda menjumpai seseorang yang wajahnya selalu serius? Rasanya sangat sulit baginya untuk sekadar tersenyum. Padahal senyuman dapat menjadi sebuah undangan untuk membina hubungan dengan orang lain. Saya amati, pemimpin yang disukai biasanya adalah mereka yang bisa mengambil hati bawahannya. Terkadang mereka membuat lelucon sehingga suasana menjadi segar. Pemimpin seperti ini akan lebih mudah mendapatkan umpan balik dan saran dari bawahannya. Mereka disukai karena dapat menjadi sahabat. Sebaliknya, pemimpin yang terlalu serius akan sulit didekati karena cenderung tertutup. Pemimpin yang terlalu serius mungkin diikuti, namun tidak dicintai dengan sepenuh hati. Bagaimana menurut Anda? Diambil dari: Judul buku: The Leadership Wisdom Penulis: Paulus Winarto Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Jakarta 2006 Halaman: 213 Kontak: < leadership(at)sabda.org > Redaksi: Desi Rianto dan Yonathan Sigit Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org > < http://fb.sabda.org/lead > Berlangganan: < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |