Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/110

e-Leadership edisi 110 (9-1-2012)

Harga Kepemimpinan (I)

==========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI JANUARI 2012=============

                      HARGA KEPEMIMPINAN (I)

                  e-Leadership 110 -- 09/01/2012

DAFTAR ISI
ARTIKEL: HARGA SEBUAH KEPEMIMPINAN (I)
INSPIRASI: BIJAK MENGAMBIL KEPUTUSAN (1 SAMUEL 20:1-9, 14-17)

Shalom,

Puji Tuhan, kita masih diberikan kesempatan untuk bertemu kembali di
tahun 2012 ini. Bertepatan dengan tahun baru ini, e-Leadership pun
memasuki usia yang baru pula, yaitu usia yang ke-6 tahun. Kami sungguh
bersyukur kepada Tuhan atas penyertaan dan pertolongan-Nya selama
tahun-tahun yang lalu. Redaksi berharap, semakin tahun e-Leadership
dapat semakin berkembang dan menjadi berkat dalam menunjang dan
melengkapi tugas kepemimpinan Anda.

Dalam edisi perdana tahun ini, kami mengajak Anda menyimak mengenai
harga pengorbanan seorang pemimpin untuk mencapai keahlian profesional
dalam kepemimpinannya. Ada beberapa aspek yang perlu Anda ketahui,
agar dapat mengemban tugas Anda dengan lebih baik lagi. Anda dapat
menyimaknya dalam 2 edisi e-Leadership sepanjang bulan Januari ini.
Kiranya menjadi berkat dan refleksi pribadi dalam melengkapi wawasan
kepemimpinan Anda. Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Leadership,
Desi Rianto
< ryan(at)in-christ.net >
< http://lead.sabda.org >

"Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata
kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34)
< http://alkitab.sabda.org/?Markus+8:34 >

                 ARTIKEL: HARGA SEBUAH KEPEMIMPINAN (I)

Setiap pencapaian berharga memunyai harga yang harus dibayar dengan
kerja keras, kesabaran, iman, dan daya tahan.

Kepemimpinan sejati selalu menuntut harga dari setiap individu, bahkan
jika kepemimpinan itu dijalankan oleh orang yang paling matang dan
stabil emosinya sekalipun. Tampaknya sudah menjadi pendapat umum di
dunia bahwa semakin tinggi prestasi, semakin mahal pula harga yang
harus dibayar. Demikian juga dengan kepemimpinan sejati. Yesus sendiri
tampaknya memikirkan hal ini ketika Ia berkata, "Karena barangsiapa
mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya." (Lukas
9:24a)

Sangat benar bahwa setiap pencapaian berharga harus dibayar dengan
setimpal. Persoalan ini bisa diringkas menjadi satu pertanyaan dasar:
Berapa banyak yang bersedia Anda bayar dengan kerja keras memeras
keringat, kesabaran, iman, dan daya tahan untuk mendapatkannya?

Ted Williams -- megabintang bisbol tahun 40-an dan 50-an, namanya
termasuk dalam "Hall of Fame", dan dianggap sebagai salah satu pemukul
terbaik yang pernah bermain -- dikenal sebagai pemukul "alami". Sekali
waktu ia pernah ditanyai tentang bakat alaminya dan langsung menjawab,
"Tidak ada istilah pemukul alami. Saya menjadi seorang pemukul yang
baik karena saya membayar harga berupa latihan yang terus-menerus."
Bagi pengamat awam, caranya mengayunkan tongkat pemukul terlihat
mudah. Demikian juga, keahlian profesional dalam kepemimpinan tidak
begitu saja datang; hal itu hanya muncul melalui upaya tekun.

Mari kita pertimbangkan beberapa aspek mahalnya harga yang harus
dibayar oleh orang-orang yang menduduki jabatan kepemimpinan maupun
yang ingin mencapainya.

1. Kritik

Kritik adalah sebuah harga mahal yang dibayar oleh para pemimpin. Jika
seseorang tidak dapat mengelola kritik, hal itu berarti pada dasarnya
ia belum matang secara emosional. Kekurangan ini pada akhirnya akan
muncul dan menghalangi kemajuannya dan kelompoknya mencapai tujuan
bersama. Setiap pemimpin harus mengantisipasi beberapa hal semacam
itu. Namun, kritik bisa berujung pada kebaikan jika sang pemimpin
mampu menerimanya.

Saya dapat melihat bahwa sering kali orang-orang yang melontarkan
kritikan kepada sayalah yang paling membantu saya. Betapa sulitnya
menerima kritik pada awalnya, namun betapa luar biasa leganya pada
akhirnya! Satu-satunya cara kita benar-benar mengenali diri kita
adalah dengan umpan balik dari orang lain. Kita benar-benar tidak tahu
bagaimana kesan kita di mata orang lain tanpa mereka memberitahukannya
kepada kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan tanggapan mereka.

Para penjilat membantu kita merasa lebih baik tentang diri kita, namun
kita tidak benar-benar diuntungkan oleh mereka. Perubahan sejati dan
pertumbuhan emosional datang saat kita menghadapi kelemahan-kelemahan
dan kekurangan-kekurangan diri kita sebagaimana yang dilihat oleh
orang lain. Inilah harga sebuah kepemimpinan karena sang pemimpin
berada dalam posisi yang paling banyak terlihat. Situasi ini
membuatnya lebih rentan terhadap kritik. Namun, pemimpin yang matang
mampu menangani hal ini dan membuat penyesuaian dan koreksi pribadi
yang dibutuhkan. Ia mampu berkata, "Terima kasih atas kritik Anda
dalam hidup saya. Hal itu telah membawa saya kepada introspeksi diri
yang lebih mendalam, saya membutuhkannya.",
2. Keletihan

Seseorang berkata bahwa dunia ini dipimpin oleh orang-orang yang
lelah. Barangkali ada hakikat nyata dari pernyataan ini, karena para
pemimpin sejati harus bersedia bangun lebih awal dan belajar lebih
lama daripada generasi mereka. Beberapa orang memunyai stamina luar
biasa, tetapi keletihan sering kali muncul saat mereka ingin mencapai
tujuan organisasi mereka dan muncul dalam tanggung jawab kepemimpinan
mereka.

Pemimpin yang bijaksana akan berusaha untuk menemukan keseimbangan dan
mencari kesibukan lain -- sebuah perubahan irama hidup -- untuk
mengurangi stres. Ia harus mencari beberapa hiburan yang menyenangkan.
Jika tidak, pada akhirnya ia tidak lagi berguna. Anda pasti pernah
mendengar ungkapan, "Aku lebih memilih terbakar habis bagi Allah
daripada mati berkarat demi iblis." Semangat ini mulia dan saleh, dan
pengabdian seseorang harus mengarah kepada pemikiran itu. Namun di
sisi lain, jika seseorang dapat belajar bagaimana untuk bersantai
sejenak alih-alih bekerja mati-matian, efektivitasnya akan berlipat
ganda.

Jika seseorang benar-benar "terbakar habis", pengaruh dan
kontribusinya berakhir. Perawatan kesehatan, istirahat, dan
keseimbangan hidup yang tepat akan membantu pemimpin menjaga
kemampuannya untuk bertahan. Namun, seorang pemimpin harus siap untuk
menerima harga yang harus dibayarnya, baik secara emosional maupun
jasmaniah.

Selama berminggu-minggu menulis bab ini, saya benar-benar menderita
kelelahan selama pelayanan di luar negeri. Saya harus mempersingkat
pelayanan di luar negeri lalu pulang ke rumah untuk istirahat dan
perubahan irama hidup yang drastis. Jika saya menerapkan apa yang
sekarang saya ajarkan berbulan-bulan sebelumnya lebih awal, hal ini
tidak akan terjadi. "Perubahan irama" merupakan kebutuhan mutlak bagi
pemimpin yang ambisius.

3. Waktu untuk Berpikir

Harga lain yang harus dibayar oleh para pemimpin Kristen adalah waktu
yang harus disisihkan untuk berpikir kreatif dan merenung. Kita jarang
menganggapnya sebagai harga yang harus dibayar, namun demikianlah
adanya. Kebanyakan orang terlalu sibuk meluangkan waktu untuk benar-
benar berpikir.

Demi suatu tujuan, banyak pemimpin ingin bergerak maju tanpa membayar
harga untuk berpikir demi menentukan cara terbaik untuk mencapai
tujuan. Benar bahwa "solusinya bukanlah bekerja lebih keras, melainkan
bekerja lebih cerdas."

Kebanyakan upaya yang berhasil hanya diraih setelah berjam-jam
pemikiran yang mendalam dan penelitian yang cermat.

4. Kesendirian

Harga keempat yang harus dibayar oleh pemimpin -- yang jarang kita
perhatikan -- adalah kesediaan untuk sendirian karena ia telah
kehilangan kebebasannya dengan melayani orang lain. Seorang pemimpin
sejati mendukung minat, gagasan, dan cita-cita para anggotanya. Pada
saat yang sama, pemimpin yang efektif harus berjuang untuk menunaikan
potensi dan cita-citanya tanpa terserap ke dalam kelompok. Ini
membuatnya hidup dalam kesendirian yang seimbang, berada di antara
dirinya dengan kelompoknya, karena dia perlu memerhatikan orang lain
sekaligus mengasingkan diri dari mereka.

Semua pemimpin tangguh bersikap demikian karena mereka mampu
menyamakan diri dengan kelompoknya tanpa menjadi "salah satu dari
mereka." Seorang pemimpin harus siap untuk melangkah menjauh dari
rombongan dan menyendiri. Yesus sering kali melakukan hal ini dalam
pelayanan-Nya. Meskipun sang pemimpin pada dasarnya adalah orang yang
ramah, pada saat yang bersamaan ia harus siap untuk menempuh jalan
kesendirian.

Sang pemimpin harus dapat menjalin persahabatan, namun ia harus cukup
matang dan cukup tegar untuk berdiri seorang diri, bahkan jika ada
banyak yang menentangnya selagi menjalankan tugasnya.

Penelitian mendalam tentang tokoh-tokoh Alkitab yang sangat diberkati
dan dipakai Allah mengungkapkan bahwa mereka lebih sering menjadi
orang-orang dalam kesendirian. Para nabi, misalnya, benar-benar
kesepian; mereka sering kali disalahartikan dan menjadi ancaman bagi
masyarakat karena teguran langsung mereka terhadap perilaku
masyarakat. Sekarang pun sama saja, pengkhotbah yang kesepian adalah
seseorang yang berkata "Beginilah bunyi firman Allah" dan mengajak
orang-orang untuk bertobat.

Salah satu alasan sulitnya menanggung kesendirian adalah secara
emosional para pemimpin mungkin membutuhkan orang lain. Oleh karena
itu mereka tidak mampu bersikap individualis.

Alasan lain mengapa kesendirian begitu sulit dalam kepemimpinan adalah
karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Naluri dasar
dalam kepribadian manusia adalah kebutuhan untuk "dirangkul" dan
diterima oleh rekan-rekan sebaya. Keinginan untuk dekat dengan
orang-orang dan berbagi beban tanggung jawab itu wajar. Sebagai
seorang pemimpin, sulit jika harus membuat keputusan yang memengaruhi
hidup orang lain. Para pemimpin sering kali memisahkan diri, itulah
harga mahal yang harus mereka bayar.

5. Identifikasi

Seorang pemimpin tidak saja harus menjadi seorang diri dan terasing
pada waktu yang bersamaan, namun secara berlawanan ia juga harus
menyamakan diri dengan kelompoknya. Ia harus selalu berada di depan
kelompoknya, namun secara bersamaan berjalan bersama orang-orang yang
dipimpinnya. Ini dapat menjadi suatu perbedaan tipis. Pasti ada jarak
antara sang pemimpin dan para anggotanya. Penting bagi sang pemimpin
untuk mengetahui prinsip ini, namun tetap mampu berhubungan dengan
rekan-rekannya.

Supaya efektif, sang pemimpin tidak dapat berlari terlalu jauh
mendahului kelompoknya. Alkitab dipenuhi ilustrasi yang menggambarkan
para pemimpin yang menyamakan diri dengan kelompoknya. Contoh yang
paling tepat adalah Tuhan Yesus, yang sering berbagi sukacita maupun
dukacita dengan orang-orang. Penderitaan dan kematian-Nya di kayu
salib adalah perlambang identifikasi-Nya dengan umat manusia. Rasul
Paulus mengatakan ia akan menjadi seperti orang Yahudi atau seperti
orang Yunani atau seperti hamba supaya memenangkan masing-masing
(1 Korintus 9:19-23).

Jadi, dalam hal tertentu, pemimpin sejati harus membayar harga untuk
mendekatkan diri, menjadi bagian kelompok. Ini berarti ia harus
bersedia untuk menjadi pribadi yang jujur dan terbuka. Rasa
kemanusiaannya harus muncul. Ia tidak boleh terlihat seperti robot,
pribadi yang kaku seperti mesin yang takut mengungkapkan dirinya yang
sebenarnya.

Untuk menyamakan diri dengan kelompok, sang pemimpin harus membayar
harga untuk meluangkan waktu mengenal para anggotanya -- untuk berbagi
perasaan, kesuksesan, maupun kegagalan. Karena sebagian besar tujuan
tidak dapat diraih seorang diri, kelompok harus dijadikan tumpuan.
Sang pemimpin harus menyadari kekuatan kelompok, bersedia untuk
membuat kelonggaran, dan memimpin dengan kasih tanpa kehilangan visi
akan sasaran jangka panjang. (t/Dicky)

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: The Making of a Christian Leader
Judul asli artikel: The Price of Leadership
Penulis: Ted W. Engstrom
Penerbit: Zondervan, Michigan 1976
Halaman: 95 -- 98

                                KUTIPAN

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mendapatkan prestasi yang luar
biasa dari orang biasa. (Brian Tracy)

               INSPIRASI: BIJAK MENGAMBIL KEPUTUSAN
                    (1 SAMUEL 20:1-9, 14-17)

Seseorang menuliskan, "Tertawa berisiko memperlihatkan kebodohan.
Menangis berisiko memperlihatkan kecengengan. Bertemu orang lain
berisiko memperlihatkan keterlibatan. Menunjukkan perasaan berisiko
menunjukkan diri Anda yang sebenarnya. Mengemukakan gagasan-gagasan,
impian-impian Anda di hadapan umum berisiko kehilangan mereka.
Mencintai berisiko untuk tidak dicintai. Hidup berisiko mati. Berharap
berisiko putus asa. Mencoba berisiko gagal." Artinya, semua keputusan
dan tindakan yang kita ambil dalam hidup ini menghasilkan risiko.

Yonatan adalah pria yang dalam hidupnya berani menanggung risiko dari
keputusan-keputusan yang diambilnya. Sebagai seorang calon pemimpin
bangsa Israel di masa depan, dia ditantang oleh keadaan untuk memilih:
Apakah akan mendukung ayahnya untuk membinasakan Daud atau membangun
kerja sama dengan Daud? Jika dia mengikuti kehendak ayahnya untuk
membantu membunuh Daud, risikonya dia akan terhitung sebagai musuh
Tuhan. Kalau dia bekerja sama agar Daud luput dari Saul dan menjadi
raja Israel, risikonya ia bisa dicap sebagai anak yang tidak berbakti
kepada orang tuanya, bahkan kehilangan kesempatan menjadi raja atas
Israel.

Yonatan adalah anak yang sangat dekat dengan ayahnya, Alkitab
melukiskan kedekatan itu demikian, "Tetapi Yonatan berkata kepadanya:
Jauhlah yang demikian itu! Engkau tidak akan mati dibunuh. Ingatlah,
ayahku tidak berbuat sesuatu, baik perkara besar maupun perkara kecil,
dengan tidak menyatakannya kepadaku. Mengapa ayahku harus
menyembunyikan perkara ini kepadaku? Tidak mungkin!"(1 Samuel 20:2).
Ketika Yonatan yakin bahwa Saul memang telah membulatkan hati untuk
membunuh Daud sahabatnya, pergumulan di dalam hatinya semakin berat.
Namun, sikap takut akan Tuhan yang ada padanya, membuat dia mampu
mengambil keputusan yang benar: Berpihak kepada kebenaran! Sikap takut
akan Tuhan memampukan Yonatan berpikir panjang, hatinya tidak terbawa
emosi.

Di sisi yang lain, Yonatan memikirkan masa depan keluarga dan
bangsanya. Karena itu, ia memilih untuk membela Daud, karena dalam hal
ini Daud sama sekali tidak bersalah. Yonatan menyadari bahwa Daud
pasti diangkat Tuhan menjadi raja, karena itu ia memastikan bahwa Daud
akan memberikan perlindungan kepada keluarganya, terutama jika ia
telah tiada. Dalam ketulusan, Yonatan meminta Daud berjanji untuk
setia memelihara keluarganya dan Daud pun menyanggupinya. Sebenarnya
ada risiko lain dari keputusannya ini, Daud bisa saja tidak menepati
janjinya, tetapi Yonatan yang mengenal Daud mengambil risiko itu.

Dalam hidup ini banyak orang yang tidak berani melangkah karena takut
akan risiko. Orang yang tidak berani mengambil risiko, tidak melakukan
terobosan apa pun dalam hidupnya. Mintalah hikmat dari Tuhan di saat
kita berhadapan dengan pilihan yang berisiko.

Diambil dari:
Nama buku renungan: Manna Sorgawi, 04 Oktober 2011
Judul artikel: Bijak Mengambil Keputusan (1 Samuel 20:1-9, 14-17)
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: YPI Kawanan Kecil Divisi Renungan Harian, Jakarta Utara 2011

Kontak: < leadership(at)sabda.org >
Redaksi: Desi Rianto dan Yonathan Sigit
(c) 2012 Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org >
< http://fb.sabda.org/lead >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org