Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/92 |
|
e-Konsel edisi 92 (1-8-2005)
|
|
><> Edisi (092) -- 01 Agustus 2005 <>< e-KONSEL *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Daftar Isi: - Pengantar : Gambaran Masa Kecil tentang Pernikahan - Cakrawala : Perasaan Hambar terhadap Orang yang Terdekat - TELAGA : Kejenuhan dalam Pernikahan - Stop Press : Pembukaan Kursus Kelas Virtual Pesta - Tanya Jawab Konseling: Pernikahan Dingin *REDAKSI -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- REDAKSI* -*- PENGANTAR DARI REDAKSI -*- Ingatkah Anda, ketika masih kecil kita sering membaca dongeng- dongeng yang berakhir dengan "happy end", yaitu sang putri yang akhirnya menemukan cintanya, lalu menikah dan hidup bahagia selama- lamanya bersama sang pangeran. Sungguh gambaran yang sangat indah tentang pernikahan yang didasari oleh keagungan cinta. Pernikahan digambarkan sebagai akhir hidup yang bahagia, selama-lamanya! Benarkah demikian? Setelah menjadi dewasa, kita mulai melihat hal- hal yang berbeda, tidak seperti kisah indah dalam dongeng-dongeng tersebut. Banyak pernikahan yang ternyata kandas, dan gambaran masa kecil kita tentang "pernikahan yang bahagia selama-lamanya" menjadi semakin kabur. Bahkan, berita perceraian pun sekarang sudah bukan lagi hal yang mengejutkan. Pernikahan ternyata bukanlah sebuah akhir, melainkan justru merupakan sebuah awal babak baru yang berbeda dari masa pacaran. Dalam perjalanannya, pernikahan, pada kenyataannya banyak menemui masalah. Salah satunya adalah masalah kejenuhan. Ya, kejenuhan nampaknya tidak terlihat seperti sebuah masalah besar yang membahayakan. Namun pada kenyataannya, kejenuhan seringkali menjadi pemicu awal keretakan sebuah rumah tangga. Edisi e-Konsel kali ini akan mengangkat tema Kejenuhan dalam Pernikahan agar para pembaca e-Konsel dapat terus waspada jika ancaman kejenuhan mulai datang dalam pernikahan Anda. Bagi pasangan-pasangan yang saat ini sedang mengalaminya, kami harap sajikan kami dapat menjadi inspirasi untuk menemukan solusi yang tepat bagi masalah Anda. Selamat membaca dan merenungkan! (Sil) Redaksi *CAKRAWALA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* CAKRAWALA* -*- PERASAAN HAMBAR TERHADAP ORANG YANG TERDEKAT -*- "Ah, kalau saja perasaan manusia tidak berubah-ubah ...." Keluhan dengan berbagai kemungkinan ini seringkali muncul dalam percakapan- percakapan pribadi. Rupanya, dibalik keluhan ini ada jeritan penyesalan dan ketidakberdayaan dari individu-individu yang mendambakan kebahagiaan. Sekarang mereka memelihara hidup dengan perasaan tidak berdaya. Apa yang indah dan membahagiakan di masa lampau, sekarang hanya tersisa, dalam bentuk serpihan kenangan. Masa lampau sudah lewat, sejarah tak dapat diulang lagi, dan kesempatan sudah semakin pudar. Kasus: Rini pernah mengecap apa yang ia dambakan sebagai kebahagiaan keluarga. Tahun-tahun pertama pernikahannya dengan Arif diisi dengan banyak kebersamaan yang sangat dinikmati. Ke mana-mana mereka selalu berdua dan dalam segala hal Arif selalu terbuka, bercerita, dan berdiskusi dengannya. Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Hubungan dengan Arif sudah menjadi sangat hambar. Rini menyibukkan diri dengan anak-anak dan urusan di rumah, sedangkan Arif sibuk meniti karir. Keduanya hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Terus terang Rini merasa bosan dan lelah dengan jerat kehidupan keluarga yang seperti ini. Ia kecewa dengan Arif yang dirasanya sangat egois dan gampang marah. Ia merasa terhina jikalau Arif mengatakan dirinya goblok dan tidak tahu apa- apa. Memang Arif pernah mengeluh tentang Rini. Bagi Arif, Rini seperti katak di bawah tempurung, tahunya hanya urusan dapur. Ia malu kalau mengajak Rini ke pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya. Perasaannya terhadap Rini sudah berubah. Kasus di atas sebenarnya merupakan kasus yang polanya hampir selalu hadir dalam setiap keluarga, yaitu "perubahan perasaan yang tidak pernah diantisipasi." Sebagai konselor, seharusnya kita waspada bahwa 90% pernikahan membawa benih masalah yang siap untuk berkembang dan benar-benar akan menjadi masalah yang serius di kemudian hari. Memang, setiap pernikahan harus dikerjakan, atau pasangan akan menghadapi konsekuensi logisnya, yaitu perubahan perasaan yang menjadi penyebab segala macam masalah keluarga. Perubahan perasaan? Apakah itu dan bagaimanakah menghadapinya? Menurut ilmu faal, perasaan terjadi karena ada stimulus yang dialami. Stimulus (bisa bentuknya kebutuhan yang ingin dipenuhi) tersebut merangsang Hypothalamus di otak, yang kemudian menstimulir susunan syaraf sympatis, dan susunan syaraf sympatis tersebut menstimulir kelenjar adrenal untuk melepaskan cairan kimiawi epinephrine yang menghasilkan perasaan takut atau sedih, atau norepinephrine yang menghasilkan perasaan marah atau gairah (McKeachi and Doyle, "Psychology," NY.: Addison-Wesley, 1966, p.233). Begitulah terjadinya perasaan dan setiap individu mempunyai keunikannya masing-masing. Kadang-kadang ada individu yang entah mengapa, pada saat menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan, kelenjar adrenalnya melepaskan epinephrine secara berlebihan sehingga ia menjadi pemurung, berpikiran negatif, bahkan depresif. Atau sebaliknya, ada individu yang jika mendapat perlakuan ramah sedikit saja sudah menjadi sangat bahagia karena adrenal melepaskan norepinephrine secara berlimpah-limpah. Keunikan kerja bagian-bagian tubuh manusia merupakan bagian integral dari keunikan kepribadiannya. Untunglah 60-70% manusia berada dalam kategori normal. Artinya, meskipun masing-masing mempunyai keunikan kepribadian dengan traitsnya, mereka semua dapat belajar dan beradaptasi. Mereka menyadari dan dapat mengontrol perasaan, pikiran dan tingkah lakunya, bahkan mereka mampu (kalau mau) mengarahkannya kepada hal-hal yang positif dan membangun. Sekarang, apa yang terjadi dengan Rini dan Arif dan bagaimanakah caranya untuk menolong mereka? PERTAMA, kalau mereka berdua adalah pribadi-pribadi yang normal (artinya tidak mempunyai kelainan-kelainan) dan tidak ada persoalan yang serius (misalnya kehadiran "PIL" atau "WIL"), maka perubahan perasaan terjadi oleh karena mereka terjebak dalam "sistem mandeg" yang memaksa mereka memainkan peran yang keliru dan yang itu-itu saja tanpa kekuatan untuk merubah dan memperbaharuinya. Hidup manusia memang naturnya mesti terus berubah. Mungkin Rini dan Arif memasuki pernikahan tanpa persiapan yang matang untuk mengantisipasi perubahan. Sama seperti mungkin lebih dari 90% pasangan yang lain, mereka memasuki dan kemudian menghidupi pernikahan secara alami, persis seperti daun kering yang ikut arus sungai saja. Apa yang mereka lakukan hanyalah menjalankan hidup selayaknya (kerja atau menyelesaikan tugas-tugas rutin rumah tangga) dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul secara alami subjektif juga. Akibatnya, mereka terjebak dalam "sistem mandeg". Sistem memang merupakan "subtle enemy" atau musuh dalam selimut yang selalu menjadi penyebab utama kegagalan hidup pernikahan. Mula-mula "sistem mandeg" tersebut terjadi karena masing-masing pribadi tidak kreatif dan rela menghidupi pernikahan sebagai rutinitas saja. Kemudian mereka menghadapi realita hidup yang rutin dan itu-itu saja, dan central nervous system di otak manusia bereaksi dalam bentuk menghadirkan perasaan flat, tanpa gairah, serta bosan. Setelah itu mulailah muncul perubahan sikap dari individu-individu tersebut. Mungkin Rini cenderung menyerah dengan cara meneruskan rutinitas mengasuh anak dan menyelesaikan tugas rumah tangga yang tak ada habisnya. Bahkan, mungkin ia belajar menimba kenikmatan dalam rutinitas tersebut sehingga tidak memperjuangkan perubahan sistem. Tanpa sengaja dan tanpa sadar, ia sudah menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang kurang membutuhkan Arif dan makin lama makin tidak mempedulikan kebutuhan suami (karena antara lain kebutuhan emosinya sudah terpuaskan dengan anak-anak). Pihak lain, Arif juga begitu. Ia tidak melawan dan berupaya mengatasi perubahan perasaan terhadap Rini. Kebosanan dan kegelisahannya pada saat di rumah diatasi dengan menguatkan fokus perhatian di luar dan pada karirnya. Akibatnya, setiap kali mereka bertemu di rumah, mereka terjebak dalam "sistem mandeg" yang memaksa mereka memainkan peran yang itu- itu saja. Menghadapi kasus "sistem mandeg" ini konselor harus menolong menyadarkan dan mengenali apa yang sudah dan sedang terjadi dalam kehidupan mereka. Kemudian, menolong masing-masing menemukan keunikan diri sendiri, mengapa mereka bereaksi begitu untuk kondisi dan realita yang ada. Setelah itu barulah konselor menolong mereka menemukan strategi yang dapat memecah dan mengubah sistem hidup pernikahan mereka, dari yang "mandeg" menjadi sistem yang menstimulir kreativitas dan produktivitas masing-masing. Konselor harus terus menerus bertanya, langkah-langkah perubahan apa yang akan mereka lakukan dan mengapa begitu? Apa yang akan mereka lakukan jikalau proses perubahan sistem tidak lancar dan menghadapi halangan-halangan? KEDUA, konselor perlu waspada bahwa perubahan perasaan dalam kasus Rini dan Arif juga terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus. Di tengah sistem yang "mandeg" timbul perasaan gelisah dan kemudian ketidakpuasan yang memicu kepekaan terhadap pasangan. Itulah yang terjadi, sehingga ada peristiwa-peristiwa dimana masing-masing individu saling melukai. Arif menyebut Rini seperti katak di bawah tempurung, goblok, dan bisanya cuma urusan dapur, dan Rini menilai Arif sebagai satu pribadi egois yang tidak dapat diajak bicara, sehingga komunikasi dengannya tidak lagi dirindukan. Menghadapi kondisi seperti ini, konselor harus dapat menolong mereka menyadari apa yang sudah terjadi dalam diri mereka masing-masing, dan bagaimana mereka sudah terjebak dan "cenderung selalu memakai kacamata tertentu" dalam mendengar, menilai, dan menyikapi pasangannya. Konselor harus waspada bahwa "tanpa Rini dan Arif" mempunyai pengalaman-pengalaman baru yang positif, mereka tidak akan mampu melepas dan mengganti kacamata "buruk" yang mereka pakai. Oleh sebab itu, setelah mereka sadar diri atau memiliki "self-aware", mereka harus ditolong untuk menemukan konteks-konteks perjumpaan yang baru yang dapat mereka pakai untuk masing-masing dapat memainkan peran-peran yang baru pula. Misalnya, adanya waktu berduaan untuk "fun" atau bersenang-senang (keluar makan malam, nonton film, atau apa saja kegiatan tanpa beban rutin masing- masing). Atau, meminta mereka sendiri menentukan apa yang akan mereka lakukan untuk "break the system" atau memecah kebekuan sistem di rumah, misalnya dengan membuat kebiasaan-kebiasaan baru seperti misalnya, makan malam selalu bersama sambil membicarakan firman Tuhan kemudian saling mendoakan dengan jujur di hadapan Tuhan. Perubahan perasaan, dari cinta menjadi hambar, adalah gejala umum yang terjadi pada hampir semua pernikahan. Meskipun demikian, sebagai anak-anak Tuhan, kita semua terpanggil untuk mewaspadai dan mengatasinya. Mulailah dengan langkah kesadaran diri, barulah setelah itu menyusun strategi untuk membangun kehidupan pernikahan dengan sistem baru yang lebih produktif. Dengan pertolongan Tuhan dan kerelaan memulai cara hidup yang baru pernikahan dapat diselamatkan dan nama Tuhan dipermuliakan. -*- Sumber diambil dari: -*- Judul Buletin: Parakaleo (Edisi April - Juni 2003, Vol. X/2) Penulis : Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D. Penerbit : STTRII, Jakarta, 2003 Halaman : 1 - 2 *TELAGA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TELAGA* Perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D. berikut ini akan mengupas masalah kejenuhan yang biasa terjadi dalam suatu pernikahan. Silakan pembaca menyimaknya dan semoga dari ringkasan tanya jawab ini, Anda mendapat berkat. -*- KEJENUHAN DALAM PERNIKAHAN -*- T : Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan atau jemu itu? J : Kita ini manusia yang memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya, kita mencintai istri kita karena dia cantik, kita mencintai pria ini karena kegantengan dan kelembutannya. Lama-kelamaan, semua itu berubah menjadi sesuatu yang biasa, memang itu adalah kodrat manusiawi. Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai menghilang pula. Adakalanya, hal-hal yang sama, yang terus- menerus kita lakukan akan membuat kita jenuh dalam pernikahan tersebut. Tapi sebetulnya, ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan kejenuhan tersebut. Misalnya, hubungan yang saling mengisi, menyuburkan, menggairahkan, seharusnya mengimbangi kecenderungan kita untuk merasa jenuh. Jadi, dengan kata lain, pernikahan itu seperti suatu keseimbangan, suatu equilibrium dimana harus ada keseimbangan antara dua faktor itu. Di satu pihak, memang kecenderungan manusia secara kodrati adalah untuk merasa bosan. Dengan cara itulah pernikahan kita akan langgeng. ------ T : Kebosanan itu terkait erat dengan emosi dan perasaan kita, apakah kalau timbul kebosanan lalu ada perasaan lain yang sebenarnya mengatakan jangan-jangan kita ini tidak mencintai pasangan kita lagi? J : Dugaan itu acapkali muncul, kita cenderung beranggapan bahwa pasangan kita itu sudah berubah, tidak lagi seperti dulu, cintanya kepada kita mulai berkurang. Jadi, pada dasarnya pernikahan itu memang perlu dipupuk agar kuat, supaya kita yang menjadi insan nikah itu merasakan keamanan. Rasa tidak aman cenderung membuat kita berpikir apakah dia masih mencintai kita atau tidak. Tapi rasa aman tidak menggugah kita untuk mempertanyakan hal-hal seperti itu. Rasa aman merupakan sesuatu yang perlu ditanam dan dipupuk dalam pernikahan. Otomatis ini berkaitan dengan perasaan dicintai. Ada orang yang beranggapan sekali mencintai, akan selama-lamanya mencintai. Sekali dicintai selama-lamanya akan dicintai, ini harapan pada pasangan kita. Kenyataannya tidaklah demikian, cinta itu bisa padam, kita bisa kurang mencintai dan kebalikannya pasangan kita bisa kurang mencintai kita pula. ------ T : Hal apa yang bisa kita lakukan untuk memupuk hubungan pernikahan supaya kebosanan itu jangan menjadi-jadi atau menguasai kehidupan kita? J : Kita perlu membangun suatu hubungan yang saling mengisi. Kita ibaratkan saja bahwa kita ini seperti wadah kosong yang perlu diisi. Sebetulnya, kita datang ke pernikahan dengan harapan pasangan kita akan mengisi kita. Meskipun kita orang yang mandiri, orang yang sudah sehat tetapi tetap terbersit harapan bahwa pasangan kita akan mengisi kita. Kita mengharapkan, PERTAMA, pasangan kita bisa mengerti kita. Kita adalah orang yang sangat butuh pengertian, supaya kita merasakan hidup ini masuk akal. Kalau kita hidup di tengah-tengah orang yang tidak bisa mengerti kita, kita merasakan hidup ini tidak masuk akal. KEDUA, kita akan merasa sendiri atau sepi kalau tidak ada yang bisa benar-benar memahami kita. Salah satu hal mendasar yang kita harapkan dari pasangan kita adalah dimengerti. Adakalanya, problem belum bisa selesai pada hari yang sama, tapi kalau kita merasakan bahwa pasangan kita sudah mengerti yang ingin kita sampaikan atau kemukakan, sebetulnya kita merasa lebih lega. Jadi, kebutuhan untuk dimengerti itu penting sekali, ini adalah salah satu dari sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Mengisi artinya adalah mengisi kebutuhan yang mendasar, misalnya merasakan kita ini berharga, dicintai, dan diperhatikan. Jadi, sebetulnya pernikahan yang bisa terhindar dari kejenuhan adalah pernikahan yang saling mengisi. ------ T : Apakah mungkin yang dibutuhkan adalah kreativitas dari suami istri itu supaya pasangannya tidak bosan? J : Betul, pernikahan adalah sesuatu yang mempunyai dua sisi yang kelihatannya paradoks. Kita menikah karena pernikahan itu memenuhi kodrat kita sebagai manusia sosial, kita menginginkan kedekatan, keintiman itu sebabnya kita menikah. Pernikahan memberikan wadah untuk terpenuhinya kebutuhan keintiman tersebut. Di pihak lain, sebetulnya pernikahan itu mempunyai sisi yang berlawanan dengan kodrat kita, yaitu kita ini memang orang yang tidak tahan lama dengan sesuatu yang sama, sejak kecil kita terbiasa hidup dengan yang baru. Mainan lama yang tidak kita sukai akan kita singkirkan, kita minta dibelikan mainan yang baru. Sekarang kita menikah dengan orang yang kita cintai, tapi lama-kelamaan mulai ada problem, ada konflik. Cinta itu tidak lagi segemerlap sebelumnya, kejenuhan mulai muncul. Kita tidak bisa mengatakan, "Aku sudah bosan, aku hendak melepaskan engkau dan mencari yang baru." Itu bertentangan dengan yang Tuhan minta, tapi sesungguhnya kita harus mengakui itu dalam sifat manusiawi kita. Jadi, pernikahan memang mempunyai sisi atau aspek yang paradoks dan kita harus bekerja keras untuk mempertahankannya dan melawan sifat manusiawi kita itu. Agar kita bisa mengatasi sifat manusiawi kita yang cenderung jenuh, kita harus kreatif dan yang namanya kreatif tidak memerlukan kreativitas yang sangat tinggi. Kita bisa melakukannya dengan berjalan-jalan berdua, pergi belanja berdua, itu sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang. ------ T : Apa tanda-tanda yang lazimnya muncul ketika kebosanan datang? J : Salah satu tanda adalah kita cepat merasa terganggu dengan pasangan kita, misalnya ketika ditanya oleh pasangan kita mengapa pulang terlambat, kita merasa terganggu, jengkel, dan marah. Itu merupakan suatu tanda bahwa kita ini bosan atau tidak lagi menikmati hubungan ini, mulai merasa jenuh atau jemu dengan kita, tidak ada lagi yang menarik tentang kita seperti dulu atau mungkin masih ada tetapi sudah sangat berkurang. ------ T : Biasanya, kita tidak mau mengakui bahwa kita itu sedang bosan. Kalaupun seandainya pasangan kita menanyakan secara terbuka, walau kita sedang bosan, kita sulit mengatakannya, takut dia tersinggung. Bagaimana pemecahannya? J : Sebaiknya kita tidak menggunakan kata bosan, kita langsung masuk kepada problemnya. Sebab kejenuhan identik dengan problem, ada hal-hal yang tidak kita sukai, sebetulnya itu intinya. Jadi, langsung saja soroti pada problemnya, apa yang kita harapkan yang tidak terpenuhi, problem apa yang belum terselesaikan dalam hubungan kita ini, apa yang tidak kita sukai tentang dirinya yang terus-menerus harus kita terima, hal-hal itu langsung harus kita bicarakan. Jadi selesaikan masalahnya, bukan kebosanannya. ------ T : Di dalam kebosanan yang mulai timbul, biasanya mudah sekali orang ketiga masuk ke sana. Bagaimana hal itu bisa diatasi oleh pasangan suami istri, yang salah satu mungkin atau bahkan dua- duanya, sedang dilanda oleh kebosanan? J : Mengutip satu bagian firman Tuhan yang mungkin bisa menjadi kesimpulannya juga, yaitu cerita tentang pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun. Dikatakan oleh si pencoba atau Iblis kepada Tuhan kita, dicatat di Matius 4:3, "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." Tetapi Yesus menjawab, "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Yesus Tuhan kita sudah tentu dalam problem yang besar, yaitu tidak makan setelah 40 hari 40 malam berpuasa. Jalan pintas yang tercepat adalah memerintahkan atau mengubah batu menjadi roti, dan Ia mampu melakukannya. Tapi Tuhan Yesus di sini memberikan suatu jalan keluar yang lebih panjang tidak sepintas seperti tadi itu, yakni mempercayakan problem hidup ini, kesulitan hidup ini kepada Tuhan. Sebab yang lebih penting daripada jalan pintas ini adalah mentaati perintah Tuhan itu sendiri. Maka, Dia mengatakan bahwa yang lebih penting adalah setiap firman yang keluar dari mulut Allah sendiri. Bagi siapa yang sedang mengalami kejenuhan, kebosanan, godaan untuk mencicipi yang lebih besar di luar, luar biasa besarnya dan itu jalan pintas yang akan mengobati kejenuhan kita, akan menyemarakkan kehidupan kita, tapi masalahnya itu tidak keluar dari mulut Allah, itu keluar dari mulut si Iblis. Nasihat dari Tuhan adalah pentingkanlah yang keluar dari mulut Allah, memang jalannya lebih pintas tapi itu keluar dari mulut si Iblis. Jalan Allah mungkin lebih panjang tapi keluar dari mulut Allah sendiri. -*- Sumber: -*- [[Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #036A yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. ==> http://www.telaga.org/transkrip.php?kejenuhan_dalam_pernikahan.htm -- Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-Mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)xc.org> atau: < TELAGA(at)sabda.org > ]] *STOP PRESS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* STOP PRESS* -*- PEMBUKAAN KURSUS KELAS VIRTUAL PESTA -*- Kabar Gembira! Bagi Anda yang ingin mengikuti KURSUS KELAS VIRTUAL -- PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam), mulai bulan Agustus ini YLSA membuka pendaftaran baru periode Agustus - September 2005. Dengan dibukanya Kursus Kelas Virtual PESTA, maka sekarang peserta PESTA tidak hanya dapat mengambil bahan Kursus, tapi juga bisa belajar bersama-sama dengan rekan-rekan lain dalam satu kelas diskusi dengan didampingi oleh seorang Moderator (hanya sebagai fasilitator) melalui sistem Milis (Mailing List - email). Kursus perdana yang akan dibuka adalah: KEHIDUPAN RASUL PAULUS -- (KRP). Kursus KRP ini terdiri dari 6 pelajaran, dan berlangsung selama 2 bulan, untuk mempelajari tentang latar belakang dan kehidupan Rasul Paulus. Pendaftaran peserta dimulai pada 1 Agustus dan akan ditutup 15 Agustus 2005 (atau kalau jumlah peserta 30 orang sudah terpenuhi). Biaya: Gratis. Syarat-syarat menjadi peserta Kelas Virtual PESTA: 1. Mengisi Formulir Pendaftaran Kelas Virtual PESTA (tersedia di: ==> http://www.pesta.org//formulir.php?jenis=kelas). 2. Memiliki akses ke internet (minimal seminggu 3 kali). 3. Belum pernah mengikuti pendidikan teologia formal (STT). 4. Mengerjakan tugas menjawab semua pertanyaan dalam pelajaran yang diberikan. 5. Berpartisipasi dalam diskusi secara aktif dan positif (taat pada peraturan diskusi). 6. Memiliki sikap sportif dan keterbukaan untuk belajar. 7. Mempunyai ketekunan untuk mengikutinya sampai akhir pelajaran. Jika Anda tertarik untuk mengikutinya, silakan mengisi Formulir Pendaftaran di: ==> http://www.pesta.org//formulir.php?jenis=kelas atau menulis ke: ==> < staf-PESTA(at)sabda.org > Nah, tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda! *TANYA JAWAB*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*--*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*KONSELING* -*- PERNIKAHAN DINGIN -*- Setelah menjalani kehidupan pernikahan selama beberapa tahun, banyak pasangan suami istri yang mengeluh pernikahannya sudah tidak seindah dan sehangat pada masa-masa pacaran. Keluhan ini sangat wajar dan manusiawi. Lalu, bagaimana kita mengurai masalah ini agar tidak berlarut-larut? Simak saja tanya jawab dari seorang ibu berikut ini! T : Saya seorang ibu rumah tangga. Kami sudah menikah selama 2 tahun dan dikaruniai seorang putri. Pernikahan kami berjalan cukup lancar. Tidak banyak konflik yang terjadi dan kalaupun ada, dapat kami atasi dengan baik. Tetapi akhir-akhir ini saya merasakan pernikahan kami tidak sehangat ketika masa pacaran dulu. Saya tidak lagi sepenuhnya dapat menikmati kehidupan keluarga kami. Bukankah Tuhan mempersatukan kami untuk dapat menikmatinya? Kadangkala saya mulai berpikir apakah perpisahan dapat menolong kami untuk mengatasi keadaan ini? J : Kehidupan rumah tangga memang jauh berbeda dengan kehidupan masa pacaran. Selama masa pacaran kita tidak terlalu dituntut untuk bertanggung jawab, waktu bertemu pun terbatas. Tidak heran setiap pertemuan penuh dengan bunga dan kemesraan. Berbeda dengan kehidupan rumah tangga yang sarat dengan tugas dan tanggung jawab, sehingga suami istri seringkali terjebak pada rutinitas dan kejenuhan. Diperlukan motivasi, komitmen, dan usaha yang keras dari suami istri untuk memelihara dan meningkatkan kemesraan dan kehangatan hubungan yang telah terbina selama masa pacaran. Yang jelas, perpisahan bukanlah solusi untuk masalah ini. Selain sangat dibenci oleh Tuhan, perpisahan akan meninggalkan luka yang dalam pada kedua belah pihak, anak-anak dan keluarga besar. Ketika sepasang mempelai mengikatkan diri dengan janji pernikahan, mereka meyakini bahwa Tuhan yang telah mempersatukan mereka, sampai maut memisahkan mereka. Karena itu, suami istri perlu memiliki waktu untuk bersekutu bersama setiap hari, baik dalam doa maupun pembacaan Firman Tuhan. Melalui waktu persekutuan seperti ini, baik suami maupun istri dibangun secara rohani untuk mengatasi setiap persoalan yang mereka hadapi. Langkah praktis lain yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan waktu khusus untuk membina hubungan pribadi di antara suami dan istri. Kesibukan pekerjaan, pelayanan, dan rumah tangga seringkali menyebabkan komunikasi menjadi renggang. Apalagi jika suami dan istri sama-sama terikat pada pekerjaan penuh waktu. Selain komunikasi suami istri, diperlukan juga waktu untuk berkencan yang bebas dari gangguan pihak lain termasuk anak-anak. Pergantian suasana akan sangat membantu dalam mendapatkan romantisme yang lebih daripada yang didapatkan selama masa pacaran. Nikmatilah bulan madu kedua, ketiga, dan seterusnya untuk bisa mendapatkan kembali kehangatan bersama suami. -*- Sumber diedit dari: -*- Judul Majalah : GetLife! (Edisi: #03/2004) Judul Artikel : Pernikahan Dingin Penjawab : Daniel & Lidya Kurnia Penerbit : Yayasan Pelita Indonesia, Bandung, 2004 Halaman : 42 - 43 e-KONSEL*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*e-KONSEL STAF REDAKSI e-Konsel Ratri, Evie, Silvie PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2005 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://www.sabda.org/katalog/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Anda punya masalah atau perlu konseling? <masalah-konsel(at)sabda.org> Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: <owner-i-kan-konsel(at)xc.org> *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Berlangganan: Kirim e-mail kosong ke: subscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Berhenti: Kirim e-mail kosong: unsubscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP publikasi e-Konsel: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |