Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/43 |
|
e-Konsel edisi 43 (1-7-2003)
|
|
><> Edisi (043) -- 01 Juli 2003 <>< e-KONSEL *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Daftar Isi: - Pengantar : Perceraian vs Pernikahan yang Bahagia - Cakrawala : Apakah Pernikahan Kami Masih Bisa Diharapkan? - Telaga : Perceraian [Kaset T 31B] - Bimbingan Alkitabiah : Mempertimbangkan Perceraian - Tips : Menghindari Perceraian - Surat : Edisi 40 Memberi Berkat *REDAKSI -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- REDAKSI* -*- PENGANTAR DARI REDAKSI -*- Dalam kehidupan pernikahan, kata 'perceraian' adalah kata yang sangat mengerikan untuk didengarkan atau diucapkan. Walaupun demikian, kata 'perceraian' toh seringkali muncul dalam pikiran suami atau istri yang mulai menghadapi masalah dalam perkawinan mereka. Masalah memang pasti akan muncul dalam kita mengarungi bahtera pernikahan, tapi pertanyaannya, apakah perceraian menjadi solusi satu-satunya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi? Dalam kenyataannya perceraian tidak pernah memberikan pemecahan, apalagi kebahagiaan. Sebaliknya perceraian justru mengakibatkan penderitaan dan luka hati yang lebih besar, baik untuk suami/istri maupun anak dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dan sebagai orang Kristen kita tahu bahwa orang yang paling kita lukai hatinya adalah Tuhan, karena Tuhan tidak menghendaki adanya perceraian. Sajian edisi e-Konsel kali ini, yang membahas topik "Menghindari Perceraian", kami harap dapat menolong kita untuk memahami betapa pentingnya mempertahankan pernikahan bagi orang Kristen. Selain untuk menolong pernikahan-pernikahan yang sedang mengalami masalah, kiranya sajian ini juga dapat menolong menguatkan pernikahan yang sudah dibina dengan baik. Dengan demikian "Pernikahan yang Bahagia" (seperti yang dibahas dalam e-Konsel edisi 40), yang sangat diidam- idamkan oleh banyak pasangan, bisa terwujud. Selamat menyimak sajian berikut ini dan kiranya kata 'perceraian' dapat berubah menjadi 'rekonsiliasi', sehingga nama Tuhan dimuliakan. Tuhan memberkati! Tim Redaksi *CAKRAWALA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* CAKRAWALA* -*- APAKAH PERNIKAHAN KAMI MASIH BISA DIHARAPKAN? -*- Pertanyaan yang nadanya pesimistis ini sering saya dengar melalui mulut orang-orang yang berkonsultasi dengan saya. Mereka mengemukakan pergumulan yang mendalam dan seringkali sangat menyakitkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Mengapa demikian? Tentu ada berbagai penyebabnya. Tetapi salah satu sebab yang sering dikemukakan adalah perasaan dan keyakinan (yang tentunya didukung oleh fakta) bahwa suaminya/istrinya tidak mencintainya lagi. Mereka mengatakan, "Kalau sudah tidak ada cinta, untuk apa diteruskan? Kalau sudah tidak ada cinta, apakah pernikahan masih bisa diharapkan?" Memang pernikahan tanpa cinta sulit untuk dapat diperbaiki. Tetapi apakah sebenarnya cinta itu? Apakah perasaan menyenangkan pada saat- saat permulaan pernikahan pasti merupakan manifestasi dari cinta? Apakah perubahan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan selalu merupakan bukti 'sudah hilangnya cinta?' Apakah kata-kata yang mengkonfirmasikan tidak adanya cinta adalah bukti bahwa cinta benar- benar sudah tidak ada lagi? Pernah seorang ibu bercerita bahwa pada saat bertengkar, suaminya sering mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan, seperti, "Aku sudah muak dan bosan dengan kamu. Kamu perempuan yang tidak berharga sama sekali. Kalau saya belum meninggalkan kamu, itu semata-mata oleh karena anak-anak. Aku menyesal mengapa dulu tidak menikah dengan si A (bekas pacarnya)." Kata-kata ini memang benar-benar merupakan konfirmasi dari tidak adanya cinta. Dan benar-benar dalam hatinya ada kekecewaan dan rasa bosan terhadap istrinya. Bahkan tidak dapat disangkal ia masih menyimpan rasa suka terhadap bekas pacarnya. Tetapi apakah ini semua merupakan bukti yang otentik bahwa cintanya terhadap istrinya sudah tidak ada lagi? Masalah ini merupakan masalah yang rumit. Karena hanya mereka yang memahami psikologi dengan cukup baik yang dapat memahami pula apa yang sesungguhnya terjadi dalam jiwa si suami. Kapan kata-kata yang buruk itu diucapkan? Dalam kondisi apakah si suami sampai mengucapkan kata-kata yang sedemikian? Apakah ia betul- betul mengucapkannya dengan penuh kesadaran? Apakah memang hal-hal yang diucapkannya itulah yang dikehendakinya? Ternyata seringkali tidak demikian, dengan jujur si istri mengatakan bahwa di luar pertengkaran, si suami adalah seorang suami yang baik. Ia sabar, penuh perhatian, lembut, dan setelah bertengkar, ia betul- betul menyesal dan meminta maaf. Sebagai orang Kristen, ia sangat membenci perbuatan dan kata-kata yang ia ucapkan pada saat itu. Cinta dalam hubungan suami istri benar-benar mengandung banyak misteri. Antara kebutuhan, realitas, perasaan, persepsi, penafsiran, dan komunikasi terdapat berbagai macam manifestasi kebenaran (truth) yang harus dikenali dan dipatuhi, antara lain: 1. Kalaupun apa yang dikatakan si suami pada saat bertengkar betul- betul dari dalam hatinya, tak berarti si suami sudah tidak mencintai istrinya lagi. ----------------------------------------------------------------- Apa yang ada di dalam hati manusia betul-betul merupakan suatu misteri tersendiri. Banyak orang menyimpan berbagai memori (kenangan) yang busuk dan tidak sepantasnya di dalam hati mereka tanpa mereka dapat membuangnya begitu saja. Kenangan yang tersimpan dalam alam bawah sadar dan setengah sadar (unconscious dan preconscious) itu seringkali begitu saja memanifestasikan diri di luar kendali orang yang bersangkutan. Dan itu terjadi terutama pada saat-saat kritis (misalnya marah) atau pada saat orang tersebut mengalami kekosongan jiwa (misalnya melamun). Dalam kasus di atas, si suami mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya pada saat marah. Apakah yang dikatakannya itu benar- benar dari dalam hatinya? Tentu saja ya. Apakah ia masih memiliki rasa 'tertarik' pada bekas pacarnya? Tentu saja ya. Apakah ia pernah muak dengan istrinya? Tentu saja ya. Itu semua realitas yang ada dan tersimpan di dalam lubuk hatinya. Dan tidak seorang pun, termasuk dirinya sendiri yang dapat membuang itu begitu saja. Jadi, yang dikatakan si suami pada saat marah itu 'betul-betul realitas' yang ada di dalam hatinya. Tetapi kehadiran realitas itu di dalam hatinya tak berarti ia tidak mencintai istrinya. Kebenaran yang objektif mesti dikenali. Kita perlu bertanya, "Apakah dan bagaimanakah 'sikap hati' yang sesungguhnya dari si suami? Apakah kehadiran memori bahkan perasaan yang tidak pantas itu disukai dan dinikmatinya? Atau sebagai anak Tuhan, ia membencinya dan selama bertahun-tahun sudah menggumuli untuk membuangnya meskipun ia belum berhasil?" Di sinilah letak 'truth' (kebenaran) di belakang fenomena tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah suami yang baik walaupun ia masih mempunyai kenangan dan perasaan yang tidak sepantasnya. Bahkan jikalau pada saat marah ia 'slip of tongue' dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati istrinya. Bukankah rasul Paulus yang begitu agung juga bergumul dengan fenomena yang serupa? Ia mengeluh, "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. ... tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku ... (Roma 7:15,23). 2. Bahkan jikalau si suami sampai jatuh ke dalam pencobaan, tetap tidak dapat dikatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak dapat diharapkan lagi. ------------------------------------------------------------------ Kadang-kadang kita menjumpai realitas yang lebih menyakitkan lagi. Bukan hanya pada saat bertengkar si suami mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, tetapi terbukti ia jatuh, bahkan mungkin ia jatuh berkali-kali dalam pencobaan. Dalam percakapan konseling tadi, si istri akhirnya menceritakan hal yang jauh lebih menyakitkan lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan hubungan suaminya dengan bekas pacarnya, yang masih berkelanjutan sampai sekarang. "Ia masih sering menelepon suami saya, minta tolong ini dan itu. Misalnya urusan perpanjangan SIM baru-baru ini. Ia 'kan punya suami. Mengapa minta suami saya yang mengurusi? Saya tidak tahu apa saja yang mereka berdua lakukan." Untuk cerita ini, si suami mengaku memang semuanya itu benar, dan bahkan ia mengatakan, "Saya memang bukan suami yang baik, tapi saya sendiri tidak tahu mengapa saya selalu tidak dapat menolak permintaannya. Bahkan terus-terang saya akui, kadang-kadang saya sendiri yang mau. Saya benci sekali dengan kelemahan saya ini." Apakah pernikahan mereka masih dapat diharapkan? Jawabannya, sekali lagi, ya. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita sebenarnya dapat membedakan antara suami yang sengaja (mau menghancurkan rumah tangganya sendiri) dengan suami yang tidak sengaja. Untuk yang pertama, Paulus bahkan mengatakan, "Kalau mereka mau bercerai, silakan." (1Korintus 7:15). Karena bagi orang yang 'melawan kebenaran', segala sesuatu yang baik sulit untuk diharapkan. Kalau mereka mempunyai masalah dalam pernikahan, masalah terbesar hampir mustahil untuk dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi lain halnya dengan kasus ketidaksengajaan dan ketidakberdayaan pribadi. Banyak orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan kondisi keluarga yang kurang 'kondusif' untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Akibatnya setelah dewasa, mereka mengalami banyak kesulitan dalam membina hubungan dan kerja sama dengan sesamanya. Dan mereka menghadapi persoalan-persoalan yang seharusnya 'tidak perlu' dihadapi. Kadang-kadang, seperti si suami tadi, bentuknya adalah 'ketidakberdayaan' untuk menolak pencobaan. Meskipun hati nuraninya sadar dan mengatakan 'tidak', tetapi dengan kepribadiannya yang lemah, ia toh melakukan hal yang kemudian ia sesali. Memang setiap individu harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Tetapi perlu juga dipahami bahwa hal memikul tanggung jawab bukanlah penyelesaian pada dirinya sendiri. Ia harus bertobat, mendisiplinkan diri, menciptakan sistem kehidupan baru yang tidak memberi peluang untuk pencobaan, bahkan bertekad untuk memulai suatu kehidupan doa dan puasa, plus kerelaan untuk menerima terapi dari orang yang tepat. Banyak individu yang mempunyai kelemahan seperti si suami tadi. Mereka bukan hanya sering kali melukai hati pasangannya dengan kata-kata yang tidak sepatutnya, mereka bahkan menunjukkan praktek kehidupan yang banyak diwarnai oleh kejatuhan dan kegagalan dalam membuktikan cinta dan kesetiaannya. Apakah pernikahan dengan individu seperti ini merupakan pernikahan yang sudah tidak dapat diharapkan lagi? Saya yakin, sebagai orang percaya, tidak seharusnya kita mengatakan demikian. Karena "... dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1Korintus 15:58) -*- Diedit dari sumber -*-: Judul Buletin: Parakaleo, Volume III/3, Juli-September 1996 Judul Artikel: Apakah Pernikahan Kami Masih Bisa Diharapkan? Penulis : Dr. Yakub B. Susabda Halaman : 1 - 2 *TELAGA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TELAGA* -*- PERCERAIAN -*- Dalam Alkitab Allah berfirman kepada kita untuk tidak melakukan perceraian. Mengapa Allah berfirman demikian? Bagaimana proses terjadinya perceraian dan apa akibatnya? Berikut ini kami sajikan tanya jawab mengenai perceraian dengan Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. sebagai narasumbernya. Selamat menyimak! T: Kita tahu bahwa Tuhan Allah melarang perceraian. Bagaimana proses terjadinya sehingga pasangan bisa memutuskan hubungan pernikahan yang suci dan sakral itu? J: Sebenarnya penyebabnya bisa dibagi dalam 2 kategori. Yang pertama adalah perceraian yang disebabkan karena kekurangan makanan emosional pada pernikahan. Ibaratnya seperti pohon yang kurang sekali dirawat sehingga akhirnya pohon itu lama-lama kering dan mati. Yang kedua adalah perceraian yang diakibatkan karena adanya hama yang menyerang pernikahan itu, misalnya pertengkaran, atau masuknya orang lain -- yang akhirnya membuat pernikahan itu rontok. ----- T: Bagaimana sebenarnya tahapan-tahapan terjadinya perceraian? J: Biasanya dimulai dengan perceraian emosional. Salah satu penyebabnya adalah "kekeringan makanan pupuk" atau kurangnya kebutuhan emosional yang seharusnya diterima oleh seseorang. Ada juga yang akhirnya mengalami kematian cinta yang bukan karena kekurangan pupuk saja tapi karena pertengkaran, hati yang terlalu dilukai oleh pasangannya, terus-menerus dimaki, disalahkan, dsb. Pertengkaran itu juga berpotensi besar membunuh cinta atau relasi dalam pernikahan. Akibat dari semuanya itu adalah padamnya cinta antara keduanya. Setelah perceraian emosional, biasanya terjadi perceraian fisik baik secara langsung atau setelah ada selang waktu yang cukup lama. Perceraian fisik maksudnya adalah tidak lagi tidur bersama lagi. Hal ini bisa berlangsung untuk jangka waktu tertentu dan sebetulnya menimbulkan problem baru karena membuka pintu bagi masuknya orang ketiga. ----- T: Banyak pasangan yang mencari alasan mengatakan bahwa daripada bertengkar terus dan memberi pengaruh jelek terhadap anak-anak, maka lebih baik berpisah dengan baik-baik. Bagaimana pendapat Bapak? J: Saya harus mengakui alasan ini memang ada betulnya. Dalam salah satu hasil riset yang pernah saya baca, dalam rumah tangga di mana pertengkaran sudah begitu mengerikan (ada teriakan-teriakan, pemukulan yang mengancam keselamatan jiwa si istri atau si suami), maka si anak akan mengalami tekanan yang sangat besar. Jadi jika kedua orang tua itu berpisah/tidak serumah, otomatis si anak akan lebih menikmati kedamaian, meskipun perceraian itu sendiri nantinya akan membawa dampak kerugian yang lain pada anak. ----- T: Bagaimana pengaruh perceraian itu terhadap anak-anak? J: Perceraian berpengaruh negatif terhadap anak-anak. Saya pernah membaca hasil riset longitudinal (riset yang dilakukan sepanjang waktu tertentu dan waktunya lumayan cukup lama) yang menunjukkan bahwa luka-luka yang diderita si anak saat orang tuanya bercerai, ternyata masih dibawa sampai anak itu dewasa. Meskipun perceraian orang tua itu terjadi mungkin lebih dari 10 tahun yang lampau. ----- T: Apakah ada kebenaran Firman Tuhan yang berbicara tentang perceraian? J: Saya akan awali dengan perkataan guru saya, dia berkata: "Saya yakin Tuhan melarang perceraian karena Tuhan tahu dampak dari perceraian itu terlalu pahit, baik bagi yang melakukannya, korbannya, pasangannya atau anak-anaknya." Firman Tuhan dalam Matius 19:6 berkata, "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Jadi sekali lagi jelas bahwa Tuhan tidak mau terjadi perceraian dalam pernikahan, karena Tuhan tahu dampaknya terlalu pahit bagi banyak orang dan tidak sesuai dengan rencana-Nya. -*- Sumber -*-: [[Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #31B yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan.]] -- Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-Mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel@xc.org > atau: < TELAGA@sabda.org > *BIMBINGAN *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*--*-*-*-*-*-*-*-*-* ALKITABIAH* -*- MEMPERTIMBANGKAN PERCERAIAN -*- AYAT ALKITAB ============ Roma 7:2 1Petrus 3:7 1Korintus 7:3-4 Amsal 18:22 Filipi 2:3-5 LATAR BELAKANG =============== Perceraian, yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan penyimpangan dari maksud Allah, tidak disokong Alkitab kecuali dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa dari salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami istri itu. Kerap kali, kedua pihak sama bersalah. Kesombongan dan pementingan diri sendiri, sering menambah andil pada keadaan yang mendorong terjadinya perceraian. Perceraian sering dihasilkan oleh kehendak yang kaku. "Kata Yesus kepada mereka: 'Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.'" (Matius 19:8). Perceraian bukan maksud asli Allah bagi pernikahan. Walaupun diputar balik bagaimanapun, Alkitab tidak membenarkan perceraian. Alkitab menandaskan: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." (Kejadian 2:24). Rasul Paulus menulis: "Kepada orang- orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya." (1Korintus 7:10) "Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, Firman Tuhan, Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, Firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!" (Maleakhi 3:15-16) Perceraian diizinkan, terbatas pada kondisi-kondisi berikut: 1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan atau homoseks, dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari pengampunan Allah, atau meninggalkan dosanya dan kembali setia kepada istri atau suaminya. (Lihat Matius 19:9). 2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan yang tidak beriman meninggalkan pasangannya yang Kristen. (Lihat 1Korintus 7:15) Jika sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian bercerai, dia harus tetap dalam keadaannya itu. Jika seseorang sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya yang kedua itu berhasil. Meninggalkan pasangan yang kedua untuk kembali pada pasangan yang pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak menciptakan kebenaran! Berpasangan dengan yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai dengan pasangannya yang bukan Kristen, untuk memenangkannya ke dalam iman pada Kristus (1Korintus 7:12-16). Perhitungkan resikonya: 1. Senang atau tidak senangkah Allah? 2. Perceraian itu akan menganggu kelangsungan hidup dan membawa pengaruh buruk pada orang lain (anak-anak, orang tua, sanak keluarga), atau tidak? 3. Sungguhkah ia akan menyelesaikan masalah, atau akan menciptakan masalah-masalah baru? Perceraian adalah suatu pengalaman emosional buruk yang membekas dalam. Gunakan segala sumber untuk mencari jalan keluar: 1. Mulailah berusaha dari diri sendiri, mencari jalan keluar dengan penuh kerendahan hati dan semangat mengampuni. (Lihat Matius 18:21-22) 2. Mintalah dan ikuti secara serius, bimbingan pernikahan Kristen dari pusat bimbingan Kristen atau dari pendeta. 3. Jika perlu, mulailah dengan mencoba hidup terpisah dalam usaha mencari perbaikan terutama dalam kasus penyiksaan jasmani dan mental, homoseks, alkohol, kecanduan, dan sebagainya. Dalam kasus ini pemisahan sementara sangat dianjurkan. STRATEGI UNTUK MEMBIMBING ========================= 1. Tunjukkan sikap kasih dan memperhatikan. Yakinkan dia bahwa Anda senang berbicara dengannya dan berusaha mencarikan jalan keluar. Anda ingin bertindak sebagai sahabat yang membagikan wawasan yang Anda miliki. 2. Dengarkan dengan penuh perhatian. Silakan dia menceritakan kasihnya dan menyalurkan perasaannya, sampai Anda merasa telah mengerti situasinya. 3. Jangan bersikap sebagai hakim. Jangan memihak. Sasaran Anda adalah menyampaikan sudut pandang Alkitab dan menantangnya untuk mengambil keputusan sendiri dan menerima akibatnya sepanjang hidup seterusnya. Ingat teladan Tuhan Yesus. Dengan lembut Dia melayani si perempuan Samaria, walaupun diketahui-Nya bahwa dia telah bersuami lima orang dan yang terakhir hidup bukan dengan suaminya. Dia menyatakan diri-Nya sebagai Juruselamat dan menawarkan "air hidup" kepadanya. (Yohanes 4:9-42) 4. Katakan padanya, bahwa bila ingin menerima pertolongan dari Allah, dia harus menyerahkan dirinya kepada Kristus dengan segala konsekuensinya. Penyerahan diri itu harus tetap, tidak tergantung pada pemecahan masalahnya. Tanyakan apakah dia pernah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. 5. Sesudah menerima Kristus, dia berhak menantikan pertolongan dari Tuhan. Orang itu kini akan memiliki dimensi dan sudut pandang hidup yang baru, yang akan sangat membantunya dalam mencari pemecahan masalah. Dia bisa bergantung pada sumber pertolongan dan pengertian yang ada dalam Firman Tuhan, yang seharusnya mulai dibaca dan dipelajarinya. Orang itu pun bisa membawa seluruh permasalahannya kepada Allah dalam doa. Doa dan penelaahan Alkitab akan menciptakan pengaruh pada penyesuaian sikap-sikap kepribadiannya dan akan membantu dia mencari penyelesaian dengan pasangan hidupnya, melalui pertobatan dan pengakuan. 6. Anjurkan dia untuk berupaya mencari segala kemungkinan untuk mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan Alkitab. 7. Berdoalah dengannya, agar Allah memulihkan kembali hidup dan pernikahannya. -*- Sumber -*-: Judul Buku: Buku Pegangan Pelayanan Penulis : Billy Graham Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, 1993 Halaman : 192 - 194 *TIPS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TIPS* -*- MENGHINDARI PERCERAIAN-*- Cara yang paling jelas untuk menghindari perceraian adalah dengan membangun pernikahan yang lebih kokoh lagi -- pernikahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitabiah dan ditandai dengan kasih, komitmen, dan komunikasi yang terbuka. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah perceraian ketika ada pasangan yang sudah memutuskan untuk berpisah? 1. Konseling --------- Sebelum pasangan memutuskan untuk berpisah mereka mempunyai tanggung jawab pada Tuhan, diri mereka sendiri, dan keluarga mereka sendiri untuk melakukan apa saja yang bisa digunakan untuk menghindari perceraian dan membawa pembaharuan pada pernikahan. Hal ini membutuhkan pendekatan yang halus dan beralasan untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan; suatu pendekatan yang seringkali tidak dilakukan. Namun, jika suami istri itu mempunyai keinginan untuk menyelesaikan konflik dan membangun hubungan, maka kesempatan untuk menghindari perceraian terbuka lebar. 2. Intropeksi Diri --------------- Dengan atau tanpa konseling, setiap pasangan harus bertanya, "Apa yang aku lakukan (atau yang gagal dilakukan) yang menyebabkan masalah dalam pernikahanku?" Penyebabnya bisa jadi karena adanya kritikan, harapan yang tidak masuk akal, perbuatan yang disebabkan oleh pengalaman pahit, penolakan untuk mengampuni, ketidaksetiaan pada pasangan, ketidakinginan untuk membangun suatu pernikahan, atau perbuatan- perbuatan serupa yang merugikan dan membuat ketegangan dalam pernikahan. Tuhan Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk melihat (dan kiranya menghindari) kesalahan-kesalahan yang dilakukan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Kita tidak mungkin bisa melihat diri kita sendiri dengan jelas, tetapi jika kita meminta Tuhan untuk membuka pikiran kita, Tuhan pasti mengabulkannya, mungkin melalui penilaian yang dilakukan oleh konselor atau pandangan dari salah seorang teman. Lalu pasangan itu harus mencari pertolongan dari Tuhan atau sesamanya untuk menghilangkan tingkah laku yang merugikan ini. 3. Rekonsiliasi ------------ Setelah mempunyai keinginan untuk bercerai, hanya satu dari delapan pasangan yang mencoba untuk melakukan rekonsiliasi. Meskipun demikian sebagian dari mereka masih tetap mengusahakan proses rekonsiliasi ini. Seringkali rekonsiliasi muncul setelah dilakukan diskusi selama berjam-jam untuk menyelesaikan masalah diantara pasangan tersebut. Namun, sebenarnya rekonsiliasi adalah wujud dari keinginan Allah yang tidak menghendaki perceraian. 4. Pimpinan Tuhan -------------- Hanya Tuhan yang dapat benar-benar memperbaiki dan menyembuhkan suatu pernikahan yang gagal. Baik secara pribadi atau bersama- sama, setiap pasangan harus mencari kehendak, kekuatan, dan pimpinan Tuhan sebagai cara untuk menjaga agar kehidupan rohani mereka tetap hidup dan berkembang; juga sebagai usaha untuk mencegah perceraian. Membaca Alkitab dan berdoa setiap hari adalah suatu kekuatan ampuh bagi pasangan untuk mendapatkan kuasa kesembuhan dari Tuhan. Setelah hampir 50 tahun hidup bersama dan mengadakan seminar-seminar pernikahan, Charlie dan Martha Shedd menyimpulkan bahwa hanya ada dua cara yang menjamin secara pasti keabadian suatu pernikahan, yaitu: berdoa bersama dan memahami Alkitab bersama-sama. Semuanya itu tidak lepas dari pengaruh gereja. Orang-orang percaya diperintahkan untuk saling menanggung beban orang lain, saling memperhatikan, dan saling mendoakan. Bagi orang Kristen, doa, perhatian, pemeliharaan, dan dukungan bukan merupakan pilihan. Semuanya itu telah diperintahkan oleh Tuhan. Dengan demikian, untuk menghindari perceraian, orang-orang percaya diperintahkan untuk berdoa bagi pasangan-pasangan yang sudah menikah, bahkan ketika pernikahan-pernikahan itu dalam kondisi sehat/baik-baik saja. Doa yang efektif dan perhatian yang tulus sangat membantu dalam proses pemulihan, dan bahkan pemulihan bagi pernikahan-pernikahan yang tidak sehat. -*- Diterjemahkan dan diedit dari sumber -*-: Judul Buku : Christian Counseling a Comprehensive Guide Judul Artikel: Preventing Divorce Penulis : Gary R. Collins, Ph.D. Penerbit : Word Publishing, U.S.A, 1998 Halaman : 464 - 465 *SURAT*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-DARI ANDA-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*SURAT* Dari: <rani@> >Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas dimuatnya edisi 40 >yang mengambil tema "Pernikahan yang Bahagia". Saya adalah seorang >istri dari seorang suami yang sangat sibuk sehingga kami jarang >bisa saling berbagi seperti pada saat kami masih pacaran. Bahkan >pertengkaran bukan hal yang aneh lagi dalam pernikahan kami. Saya >sering menuduh suami saya dengan hal-hal yang tidak bisa saya >buktikan yang sebenarnya hanyalah ketakutan saya. Pada waktu itu >pernah terlintas dalam pikiran saya untuk bercerai karena saya >merasa suami saya sudah tidak pernah memperhatikan saya lagi dan >saya mengganggap suami saya sudah tidak mencintai saya lagi. Tetapi >setelah saya membaca edisi 40, saya merasa dibukakan oleh Tuhan >bahwa sebenarnya pernikahan saya masih bisa diselamatkan dan saat >ini saya sedang mencoba untuk mempraktekkan tips yang diberikan. >Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih dan semoga Tuhan >memberkati pelayanan Anda! Redaksi: Kami bersyukur jika apa yang disajikan e-Konsel bisa membantu menyelesaikan masalah yang Anda hadapi. Kami yakin kasih Tuhan akan menolong Anda untuk terus bersabar dan mencari jalan keluar bagi masalah Anda. Tekunlah berdoa kepada Tuhan agar usaha Anda untuk meghidupkan kembali pernikahan Anda bisa berhasil. Untuk melengkapi bahasan tentang pernikahan, maka edisi 43 yang kami sajikan ini diharapkan akan semakin mengukuhkan iman Anda bahwa Tuhan tidak menghendaki perceraian dan Ia pasti akan menyediakan jalan keluar bagi mereka yang mau menuruti kehendak-Nya. e-KONSEL*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*e-KONSEL STAF REDAKSI e-Konsel Yulia, Ratri, Natalia, Purwanti, Kiki PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2003 oleh YLSA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Anda punya masalah atau perlu konseling? <masalah-konsel@sabda.org> Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: <owner-i-kan-konsel@xc.org> *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* Berlangganan: Kirim e-mail kosong ke: subscribe-i-kan-konsel@xc.org Berhenti: Kirim e-mail kosong: unsubscribe-i-kan-konsel@xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP publikasi e-Konsel: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |