Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/383

e-Konsel edisi 383 (12-4-2016)

Mendampingi Orang yang Berduka


______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________


e-Konsel -- Mendampingi Orang yang Berduka
Edisi 383/April 2016


Salam jumpa dalam kasih Kristus,

Sebagian hal yang dihadapi oleh para konselor Kristen adalah 
mendampingi konseli yang tengah menghadapi penderitaan atau perasaan 
berduka. Empati dan simpati tentu saja dibutuhkan sebagai salah satu 
pendekatan, tetapi seorang konselor yang berpijak pada prinsip-prinsip 
Alkitab akan membantu konseli agar dapat menjumpai Tuhan melalui 
kedukaan atau penderitaan yang sedang dihadapinya. Tidak ada satu hal 
pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, baik pergumulan, 
penderitaan, kehilangan, bahkan maut sekalipun, mesti menjadi 
kesimpulan yang pada akhirnya diambil oleh konselor dan konseli 
melalui proses yang dilakukan. Dengan pemahaman tersebut, penderitaan 
atau kedukaan pada akhirnya akan dipandang sebagai sebuah sarana yang 
akan membuat kita semakin mengalami Tuhan dan karya-Nya.

Untuk memperlengkapi pelayanan Anda dalam mendampingi mereka yang 
tengah berduka, maka publikasi e-Konsel 383 akan mengetengahkan dua 
kolom yang khusus akan membahas mengenai permasalahan tersebut. Kami 
berharap apa yang kami sampaikan dalam edisi ini akan mendukung 
pelayanan Anda untuk menjadi berkat bagi mereka yang membutuhkan 
sentuhan kasih Allah. Selamat menyimak, Tuhan Yesus memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


        BIMBINGAN ALKITABIAH: PERJALANAN MELALUI PENDERITAAN

Penderitaan adalah bagian dari menjadi manusia. Hal itu tidak 
terelakkan. Tergantung pada derajat penderitaan yang dialami, seluruh 
hidup kita dapat dipengaruhi olehnya. Penderitaan dapat menggerogoti 
pikiran kita, memengaruhi hubungan kita -- bahkan hubungan kita dengan 
Allah -- dan tidak ada bagian dari kehidupan kita yang tidak 
tersentuh. Melihat seseorang menderita juga merupakan hal yang sulit. 
Sebagai konselor, saya ingin meringankan rasa sakit emosional dengan 
cepat; namun, bantuan yang cepat mungkin bukan cara penyembuhan yang 
terbaik.

Hanya Pandangan Dunia

Mereka yang memiliki hubungan dengan Kristus biasanya berpaling 
kepada-Nya selama masa kesusahan. Ketika penderitaan terus ada dan 
pertolongan tidak juga terlihat, penderitaan dapat menjadi hal yang 
membingungkan. Asumsi umum di antara orang-orang percaya adalah bahwa 
peristiwa menyakitkan dan traumatis tidak terjadi pada orang benar. 
Keyakinan ini, yang dikenal sebagai Pandangan Keadilan Dunia, mengacu 
pada pemahaman yang diyakini orang-orang bahwa dunia adalah tempat 
yang adil (Fetchenhauer et. Al., 2005). Idenya memungkinkan orang 
untuk melihat Allah sebagai Pribadi yang dapat diprediksi. 
Selanjutnya, anggota gereja sering menafsirkan peristiwa dengan cara 
yang mendukung keyakinan bahwa orang yang menderita memiliki sesuatu 
untuk dipelajari atau bahwa keberadaan iman yang lebih akan 
meringankan penderitaan. Ayat-ayat seperti Yohanes 10:10 sering 
dikutip untuk mendukung gagasan bahwa Tuhan melindungi orang-orang 
yang beriman dan menjauhkan perlindungan-Nya dari mereka yang tidak 
(beriman).

Kehidupan yang berlimpah, bagaimanapun, tidak menjanjikan hidup tanpa 
kesedihan atau kesulitan. Rasul Petrus menulis, "sekalipun sekarang 
ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan" 
(1 Petrus 1:6). Petrus dengan jelas menyatakan bahwa orang Kristen tidak 
terbebas dari rasa sakit dan penderitaan. Menariknya, kata penderitaan 
menunjukkan bahwa pengalaman ini merupakan bagian yang diharapkan dari 
kehidupan, sedangkan pencobaan tidak, karena perjuangan internal hanya 
berasal dari kejahatan yang ditemukan di dunia ini (Schreiner, 2003).

Penderitaan sebagai Evaluasi dari Kesedihan

Dalam merenungkan penyebab penderitaan, Knabb dan rekan-rekannya 
(2010) mengandaikan bahwa itu adalah hasil dari evaluasi pengalaman 
yang menyakitkan. Kesedihan dan penderitaan tidaklah identik. 
Melainkan, penderitaan adalah pengalaman dari proses evaluasi. Namun, 
memeriksa pengalaman yang menyakitkan, berpotensi untuk menghasilkan 
rasa kesedihan yang mungkin benar-benar akan menambah dan 
memperpanjang penderitaan. Pekerjaan evaluasi menuntut sebuah 
pemahaman yang memungkinkan pengalaman untuk diberi label dan 
diperiksa -- tugas utama untuk proses konseling.

Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman di awal hingga pertengahan 
1900-an, mendukung gagasan penderitaan sebagai proses evaluatif (Knabb 
et. Al, 2010). Bagi Bonhoeffer, rasa sakit adalah bagian normal dari 
hidup di dunia yang jatuh dalam dosa dan penderitaan menawarkan 
kemungkinan yang mengarahkan seseorang menuju kepada pemahaman yang 
lebih dalam mengenai karakter Allah, dan dengan demikian hubungan yang 
lebih intim dengan-Nya. Oleh karena itu, penderitaan tidak harus 
dihindari atau buru-buru dihilangkan (Latini, 2009).

Penderitaan sebagai Kedukaan Rohani

Bagi Snyder (2008), penderitaan dapat dilihat sebagai kedukaan rohani. 
Selama masa penderitaan, kita sering dipaksa untuk bergumul dengan 
pemahaman kita tentang Allah. Pertanyaan seperti, "Di mana Allah 
dahulu?" dan "Di mana Allah sekarang?" biasanya diajukan. Orang yang 
menderita sering mengalami perasaan ditinggalkan secara rohani. 
Masalahnya lebih daripada sakit yang intens; hal itu merupakan salah 
satu dari perasaan kehilangan, termasuk kehilangan seseorang yang 
dicintai serta Allah yang adil, dan karenanya menjadi sebuah seruan 
kerinduan akan Tuhan. Penderitaan, kemudian, adalah perasaan kuat 
ditinggalkan oleh Tuhan "yang tampaknya tertidur di perahu dan perlu 
dibangunkan untuk bertindak" (Markus 4:35-41) (Snyder, 2008, hal. 71). 
Mudah-mudahan, yang terjadi sesudahnya adalah sebuah percakapan yang 
jujur dengan Allah yang melibatkan pertanyaan mendalam dan ekspresi 
emosi yang intens.

Kedukaan rohani, karena itu, merupakan sebuah perjalanan dan proses 
penyembuhan rohani. Memutuskan untuk percaya pada kebaikan Tuhan, 
bahkan saat bergumul, akhirnya akan mengarah pada pujian kepada-Nya. 
Secara kognitif, kita dapat menyadari bahwa proses ini merupakan 
bagian dari pertumbuhan rohani, tetapi di saat kita sangat 
membutuhkan, kita mungkin mengalami kecemasan yang intens ketika kita 
tidak dapat menemukan keintiman dengan Tuhan.

Allah sebagai Teman yang Sama-Sama Menderita

Moltmann, mantan Nazi yang menjadi Kristen di sebuah kamp penjara 
Skotlandia, mendapati bahwa pertanyaan mengenai Allah yang penuh kasih 
yang mengizinkan penderitaan adalah kebingungan yang mengganggu gereja 
Kristen. Dalam mengatasi kesulitan ini, ia menegaskan bahwa Alkitab 
menunjukkan Allah yang sangat dipengaruhi oleh rasa sakit kita (Monroe 
& Schwab, 2009). Benar, banyak ayat di seluruh Alkitab memberikan 
pemahaman yang jelas bahwa Allah penuh kasih terhadap orang yang 
menderita. Peristiwa Yesus menangis atas kematian Lazarus adalah 
contoh utama bahwa Allah berduka bersama dengan kita (Yoh. 11:35).

Dalam mempelajari Filipi 3, Hoffman (2010) mencatat bahwa pengakuan 
akan penderitaan Allah sendiri adalah sangat penting. Pada intinya, 
penderitaan merupakan "Anak yang kehilangan Bapa-Nya demi kita, dan 
Bapa yang kehilangan Anak-Nya yang tunggal demi kita, adalah Allah 
yang sama yang sekarang berempati dengan menangis untuk anak-anak-Nya 
yang tengah menderita di bumi" (Hoffman, 2010, p. 131). Meskipun 
gagasan bahwa Tuhan menderita bersama-sama dengan kita mungkin 
merupakan hal yang baru bagi konseli, pengetahuan akan hal ini akan 
membantu mengembangkan hubungan yang lebih intim dengan Tuhan.

Menyesuaikan Asumsi Inti

Kadang-kadang, mereka yang mencari nasihat adalah mereka yang sedang 
berduka atas Allah mereka yang hilang. Meskipun perasaan ditinggalkan 
itu begitu nyata, Allah sebenarnya tidak hilang. Klien hanya memiliki 
konsep tentang Allah yang tidak tepat. Proses penderitaan menciptakan 
situasi yang memungkinkan individu untuk mengenal Allah lebih intim 
dan untuk memperbaiki asumsi yang salah tentang sifat-Nya.

Bagi Snyder (2008), "Menemui Allah dapat diselimuti dalam kesedihan, 
tetapi hal itu menjadi transformatif ketika kotak menyesakkan yang 
telah menutup Allah dan diri kita yang paling jujur akan pecah seperti 
buli-buli pualam Maria ... Iman tidak lagi berakar dalam doa yang 
dijawab, dan kebahagiaan tidak tergantung pada keadaan" (hal. 75). 
Oleh karena itu, seseorang tidak harus menginginkan atau berharap akan 
luput dari mengalami penderitaan (Hoffman, 2010). Meskipun orang yang 
menderita mungkin memohon "Bapa, jika mungkin, biarlah cawan ini 
berlalu," peran kita sebagai konselor Kristen adalah untuk membantu 
klien bertahan dalam prosesnya (Lukas 22:42).

Kesimpulan

Setelah kematian istrinya, C.S. Lewis menulis, "Kesedihan, 
bagaimanapun, ternyata bukan sebuah keadaan, tetapi sebuah proses" 
(Lewis, 1961, hal. 66). Bagi Floyd (2008), konselor yang memahami 
bahwa kesedihan adalah bagian penting dari kehidupan akan lebih mampu 
menasihati orang-orang yang menderita. Ketika kita memberikan 
"penghiburan dan dukungan di tengah-tengah masa sulit ... kita benar-
benar ikut `berkabung dengan orang yang berdukacita` dan menjalankan 
fungsi yang sangat penting dalam tubuh Kristus" (hal. 95). Oleh karena 
itu, dibandingkan melihat penderitaan sebagai sesuatu yang harus 
cepat-cepat diperbaiki, kita dapat berpartisipasi dalam proses 
penyembuhan yang kudus saat orang yang menderita menjadi lebih intim 
mengenal Allah. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Society for Christian Psychology
Alamat URL: http://www.christianpsych.org/wp_scp/a-journey-through-suffering/
Judul asli artikel: A Journey Through Suffering
Penulis artikel: Shannon Wolf
Tanggal akses: 19 Oktober 2015


             SURAT: MENGHADAPI KEMATIAN ANGGOTA KELUARGA

Pertanyaan: Adik perempuan saya yang bungsu meninggal. Kematiannya 
sangat memengaruhi seluruh kehidupan keluarga kami, termasuk kehidupan 
saya sendiri. Mengapa Tuhan mengizinkan dia meninggal?

Dalam pengalaman kita sehari-hari, kita sering bertanya, "Mengapa?" 
Tidak ada pertanyaan lain yang lebih sering tercetus dari mulut kita 
daripada pertanyaan tersebut! Namun demikian, "mengapa" adalah sebuah 
pertanyaan yang tidak dapat sepenuhnya dijawab oleh seseorang. Mengapa 
Tuhan mengizinkan adik Anda meninggal? Bapak tidak dapat berkata apa-
apa.

Bapak sendiri masih berusia 10 tahun ketika untuk pertama kalinya 
terjadi kematian dalam keluarga Bapak. Ayah meninggal dunia beberapa 
jam sebelum Bapak tiba di rumah dari asrama British di Argentina. 
Bapak tidak tahu apa yang sedang terjadi ketika Bapak melangkah keluar 
dari gerbong kereta api dan berlari menuju ke rumah. Akan tetapi, 
ketika Bapak sudah dekat rumah, Bapak mendengar suara rintih tangis.

Sanak keluarga berusaha mencegat Bapak ketika Bapak berlari menerobos 
pagar rumah dan masuk ke dalam rumah. Bapak mendesak masuk melewati 
mereka dan sudah berada di dalam. Ibu belum mengetahui bahwa anaknya 
sudah pulang. Air mata menggenangi pelupuk mata Bapak ketika Bapak 
melihat mayat Ayah terbaring di depan Bapak.

Saat itu, Bapak merasa benar-benar terpukul oleh kematian Ayah. Dunia 
ini seolah-olah hancur lebur dan membingungkan. Bapak marah terhadap 
segala sesuatu dan kepada setiap orang. Ini tidak adil, Bapak pikir. 
"Mengapa Ayah tidak meninggal pada usia lanjut seperti ayah-ayah 
lainnya?"

"Mengapa?" Kita semua bergumul dengan pertanyaan tersebut pada suatu 
waktu dalam kehidupan kita. Hanya Tuhanlah yang tahu mengapa adik Anda 
meninggal pada usia yang masih muda. Mungkin Tuhan hendak membebaskan 
dia dari penderitaan atau ketidakadilan pada masa depannya. Akan 
tetapi, siapakah Bapak ini yang berkata-kata demikian? Kalau Tuhan 
adalah Tuhan, bagaimanakah Bapak dapat menerangkan jalan-jalan-Nya?

Tuhan telah menyatakan: "Seperti tingginya langit dari bumi, 
demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari 
rancanganmu" (Yesaya 55:9). Kita tidak dapat memahaminya.

Dari Alkitab Perjanjian Baru, kita mengetahui bahwa dua dari murid-
murid-Nya dipenjarakan (Kisah Para Rasul 12:1-11). Secara ajaib, Tuhan 
membebaskan Rasul Petrus, tetapi mengizinkan Rasul Yakobus dibunuh. 
Mengapa? Alkitab tidak menjelaskannya. Allah mahakuasa. Dia dapat saja 
mencegah kematian Rasul Yakobus. Akan tetapi, untuk sebab-sebab 
tertentu yang tidak kita ketahui, Ia tahu, lebih baik tidak 
mencegahnya.

Tidak seorang pun mengetahui kapan kematian akan datang, tetapi kita 
semua mengakui bahwa kematian pasti akan datang. Ada yang berkata, 
"Orang muda dapat meninggal dunia, orang tua harus." Alkitab juga 
mengingatkan: "... sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya 
satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi" (Ibrani 9:27).

Kematian adik perempuan Anda datang pada usianya yang masih muda. 
Giliran Anda pun akan tiba sebelum Anda mengetahuinya. Kematian selalu 
datang terlalu cepat. Kita dirancang untuk menikmati kekekalan.

Ketika kematian datang, kadang-kadang kita mengepalkan tinju kepada 
Tuhan dalam keputusasaan. Alangkah buruknya perbuatan tersebut. Tuhan 
juga membenci kematian. Ia bahkan lebih membencinya daripada Anda atau 
Bapak sendiri.

Jika Anda menanggapi kematian adik Anda dengan serius, seperti yang 
Anda rasakan, perkenankan hal itu membawa Anda jauh lebih dekat kepada 
Tuhan dan rencana-Nya bagi Anda. Tuhan tidak menghendaki seorang pun 
binasa. Ia menghendaki semua orang berpaling kepada-Nya dan menerima 
kehidupan kekal yang ditawarkan-Nya. Dari Alkitab, kita mengetahui: 
"Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang 
kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita" (Roma 6:23). Terimalah 
pemberian-Nya pada hari ini juga.

Diambil dari:
Judul buku: Pertanyaan yang Sulit Akan Dijawab oleh Luis Palau
Judul artikel: Pasal 23
Pengarang: Luis Palau
Penerbit: Lembaga Literatur Baptis, Bandung 1999
Halaman: 110 --113


        STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KOMUNITAS BIO-KRISTI!

Mari bergabung menjadi komunitas Kristen yang memiliki pengetahuan dan 
wacana mendalam tentang tokoh-tokoh besar Kristen dalam Facebook dan 
Twitter Bio-Kristi. Dengan menjadi anggota komunitas Bio-Kristi, Anda 
akan mendapat berbagai inspirasi dan pengetahuan tentang hidup yang 
mengasihi Allah dan bertujuan pada kehendak-Nya. Komunitas Bio-Kristi 
akan menampilkan berbagai kutipan, kisah hidup, pengetahuan, serta 
akses kepada artikel-artikel yang bermutu dari para tokoh Kristen 
dunia maupun Indonesia, yang telah menorehkan dampak melalui hidup dan 
karya mereka. Bersama komunitas Bio-Kristi, kita akan bersama-sama 
menggemakan hidup yang memancarkan kasih kepada Allah dan sesama.

Jadi, tunggu apa lagi, segera bergabung dengan komunitas Bio-Kristi di:
Facebook Bio-Kristi: < http://fb.sabda.org/biokristi >
Twitter Bio-Kristi: < http://twitter.com/sabdabiokristi > 

Kami tunggu!


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti, Margaretha I., Odysius, dan Santi T.
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org