Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/353

e-Konsel edisi 353 (26-11-2013)

Konflik dalam Keluarga

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________


e-Konsel -- Konflik dalam Keluarga
Edisi 353/November 2013

Salam damai,

Konflik bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam kehidupan berkeluarga. Namun, 
asal kita tahu bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapinya, konflik 
sepelik apa pun tentu dapat kita atasi dengan pimpinan Roh Kudus. Dalam edisi 
ini, e-Konsel menyajikan artikel yang terkait dengan problem dalam keluarga. 
Harapan kami, sajian e-Konsel ini dapat menolong Anda dalam melayani konseli 
Anda yang mungkin memiliki kasus serupa. Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


                CAKRAWALA: PROBLEMATIK DALAM KELUARGA
                    Diringkas oleh: S. Setyawati

Benarkah keluarga yang bahagia adalah keluarga yang bebas konflik/masalah? 
Tidak! Dalam kehidupan ini, masalah akan selalu ada. Keluarga yang bahagia ialah 
keluarga yang dapat mengelola setiap konflik yang muncul dalam keluarga mereka. 
Keluarga yang dibentuk oleh dua pribadi yang berbeda dan unik tentu memiliki 
perbedaan. Sebelum bertemu dan bersatu dalam pernikahan, masing-masing pribadi 
telah mengembangkan selera, kesukaan, kebiasaan, kesenangan, dan ketidaksenangan 
serta nilai-nilai hidup yang dipegang. Jadi, tidak masuk akal jika kita berpikir 
bahwa dalam keluarga segala sesuatu harus sama, dilakukan dengan cara dan waktu 
yang sama.

Masalah dalam Keluarga

Masalah rumah tangga sangat beragam, mulai dari yang dianggap sepele sampai 
dengan yang berat dan besar. Beberapa faktor yang memicu munculnya masalah 
keluarga antara lain berikut ini:

- Kehadiran anak pertama yang membuat suami istri harus menata ulang ritme 
  kehidupannya. Jika tidak siap akan memicu konflik dan ketegangan hubungan antara 
  keduanya.

- Sang suami harus bekerja dua belas jam sehari, sedangkan sang istri harus 
  tinggal di rumah mengurus anak dan rumah.

- Sikap dan tindakan yang kurang berkenan terhadap keluarga dari pihak 
  istri/suami.

- Anak beranjak dewasa dan mulai sering meninggalkan rumah.

- Masa pensiun tiba dan keduanya tinggal di rumah.

- Yang seorang selalu memencet pasta gigi dari bawah, sedangkan yang lain selalu 
  dari atas.

- Saat berbicara, yang seorang senang bercerita panjang lebar, sedangkan yang 
  lain memberikan garis besarnya saja.

- Yang seorang perlu kamar yang benar-benar gelap untuk tidur, sedangkan 
  pasangannya tidur dengan lampu menyala.

- Yang seorang menganggap bahwa hubungan seksual hanya dapat dilakukan di tempat 
  tidur dan di bawah selimut, sedangkan pasangannya menyukai variasi dan kreatif 
  dalam melakukannya.

- Yang seorang biasa menggantung baju di mana saja dia suka, sedangkan yang lain 
  menata baju dengan gantungan berdasarkan warna dan adanya jarak antargantungan.

- Ketika anak dalam keadaan sakit, yang seorang terlihat begitu gelisah, 
  sedangkan yang lain tampaknya tenang-tenang saja.

- Bagi suami istri yang sama-sama bekerja, perbedaan pendapatan atau penghasilan 
  sering kali menjadi masalah, terutama jika pendapatan istri lebih besar dari 
  pendapatan suami.

Faktor Pemicu Masalah Keluarga

Mengenai masalah dalam rumah tangga, Bernard Wiese dan Urban Steinmetz berkata, 
"Ketidaksesuaian pendapat tak terelakkan dalam suatu pernikahan dan kehidupan 
keluarga. Kadang kala, masing-masing pribadi dapat menjadi pesaing, seperti juga 
penolong dan pelengkap bagi pasangannya. Setiap pasangan harus menghindari sikap 
menjauhkan diri yang sering muncul ketika konflik terjadi; dan membenahi 
hubungan mereka supaya tidak ada lagi sakit hati, keinginan untuk saling 
membalas, atau saling menuduh. Untuk dapat mencapai hal itu, perbedaan-perbedaan 
harus didiskusikan secara terbuka sehingga komunikasi yang baik dapat 
dipulihkan. Reaksi kemarahan memang tak dapat dihindari dalam kehidupan 
seseorang, tetapi yang paling penting adalah apa yang diperbuat seseorang dengan 
amarahnya itu." [1]

Sedangkan H. Norman Wright, seorang konselor keluarga dan pernikahan, menyatakan 
bahwa ada tiga faktor yang berubah pada lembaga pernikahan, yang dapat 
menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga [2], yaitu:

1. Berkurangnya saling pengertian di antara pasangan yang menikah.

Masalah utama dalam pernikahan sebenarnya bukan seks, uang, dan anak-anak. 
Ketiga hal itu dapat menimbulkan masalah, tetapi ada faktor lain yang lebih 
berpengaruh -- hilangnya/lemahnya komunikasi antara suami dan istri. Norman 
Wright setuju bahwa hilangnya komunikasi adalah inti masalah di balik meroketnya 
angka perceraian di masyarakat, termasuk keluarga Kristen. Rapuhnya pernikahan 
lebih banyak disebabkan lemahnya komunikasi dan kemampuan dalam mengelola 
konflik. Komunikasi keluarga yang tersumbat ini menghancurkan kehangatan rumah 
tangga dan mendinginkan suasana hubungan antarpribadi dalam keluarga.

Keluarga yang kehilangan keterampilan berkomunikasi cenderung mudah mengalami 
konflik karena tidak adanya saling pengertian, demi terwujudnya pernikahan yang 
kuat dan bertumbuh. Konflik yang tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik pun 
menjadi seperti api dalam sekam, atau bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu 
dengan dampak yang tidak terkendali. Karena itu, perlu ada sikap saling 
mengerti. Walaupun ada perbedaan, cobalah untuk membicarakan dan memahaminya 
dengan baik.

2. Hilangnya tekad untuk mempertahankan pernikahan.

Sekarang ini, banyak orang yang memasuki pernikahan dengan sikap mudah menyerah. 
Jika tidak cocok, hubungan dapat diakhiri dan mencoba lagi dengan orang lain. 
Banyak orang yang sangat tidak sabar dengan hidup pernikahan mereka. Mereka 
tidak ingin berjuang untuk mempertahankan pernikahan, dan memilih "cara cepat" 
untuk mengakhiri persoalan.

3. Berkembangnya harapan-harapan yang tidak realistis terhadap pernikahan.

Banyak pasangan muda dibutakan oleh harapan-harapan yang tidak realistis ketika 
memasuki pernikahan. Mereka berpikir bahwa pernikahan yang bahagia ditandai 
dengan cinta romantis yang tidak pernah surut, pasangan dapat memenuhi semua 
keinginannya, pasangan selalu sejalan dengan pikiran dan kemauannya, ekonomi 
keluarga stabil bahkan berkelebihan, dsb.. Mereka mencari sesuatu yang "ajaib" 
dalam pernikahan, tanpa menyadari bahwa keberhasilan pernikahan membutuhkan 
kerja sama mereka berdua.

Bagaimana Mengatasi Masalah dalam Keluarga?

Salah satu kunci keberhasilan dalam keluarga ialah kemampuan mengatasi setiap 
permasalahan sehingga setiap anggota keluarga dapat memainkan perannya secara 
optimal. Kuasailah masalah dan carilah solusi bersama atas masalah tersebut. Ini 
bukan hal yang mudah, tetapi harus diupayakan. Cara yang tepat dalam 
menyelesaikan masalah keluarga dapat memicu terciptanya proses pertumbuhan. 
Setiap pasangan Kristen seharusnya belajar dari berbagai konflik dan mau 
memiliki sikap yang lebih dewasa. Rumah memerlukan ketenangan yang hangat dan 
kehangatan yang tenang. Oleh sebab itu, bicarakan cara mengatasi dan 
menyelesaikan masalah yang ada, serta pahami dan terapkan prinsip-prinsip 
berikut ini [3]:

1. Bertumbuh dalam Kristus. Keinginan ini tidak dapat dibuat-buat dan tidak 
   muncul secara otomatis. Keinginan ini bergantung pada hubungan pribadi yang 
   sehat dengan Kristus dan ditandai dengan adanya kerinduan untuk berdoa dan 
   membaca Alkitab sambil merefleksikannya dalam kehidupan pribadi dan keluarga. 
   Dampaknya, prinsip-prinsip kebenaran Alkitab dan nilai-nilai kristiani akan 
   tampak dan dijunjung tinggi.

2. Bertumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa, selalu ingin belajar, mau 
   memberi, bersedia berkorban, dan melayani. Jika setiap pribadi tidak mau 
   mengasihi dan membahagiakan pasangannya, masalah yang ada tidak akan selesai 
   dengan tuntas. Pribadi yang tidak mau menjadi lebih dewasa cenderung egosentris 
   dalam menyelesaikan masalah keluarga.

3. Berinisiatif dan mulai menyelesaikan masalah keluarga dengan penuh kesadaran. 
   Setiap pribadi harus mempunyai keinginan kuat untuk mempertahankan keutuhan 
   pernikahannya dan berusaha mencari alternatif solusi yang baik untuk semua 
   pihak. Perlakukan orang lain (suami, istri, anak, atau orang tua kita) seperti 
   kita ingin diperlakukan (Matius 7:12). Perubahan harus dimulai dari diri 
   sendiri, dan hendaklah kita hidup dengan ramah, kasih mesra, saling mengasihi, 
   dan mengampuni sebagai dasar dalam mengatasi masalah keluarga kita (Efesus 
   4:32). 
   Terkadang, kita perlu menanyakan pada diri sendiri: Apakah saya mencintai 
   pasangan hidup saya seperti Kristus mencintai umat-Nya? Apakah saya sungguh-
   sungguh mencintai pasangan hidup saya seperti saya mengasihi diri saya sendiri? 
   Jika jawabannya adalah TIDAK, mulailah untuk melakukan perubahan diri, maka 
   pernikahan Anda akan menemukan kembali kehangatannya (Efesus 5:22-31).

4. Berpikir positif terhadap pasangan. Pandangan positif akan melahirkan 
   pendekatan dan cara-cara yang positif dalam mengatasi permasalahan dalam 
   keluarga. Fokuslah pada kelebihan, bukan kekurangan pasangan Anda.

5. Berpikir dan mewujudkan kehidupan keluarga yang sukses. Jangan pernah 
   sekalipun memikirkan untuk bercerai sebagai solusi permasalahan keluarga. 
   Tetapkan orientasi hidup pernikahan yang benar.

6. Ingatlah selalu akan kasih mula-mula yang mendasari pernikahan. Jika Anda 
   mengasihi pasangan yang Tuhan berikan, tidak akan ada keinginan untuk 
   mengecewakan atau menyakiti. Yang ada adalah berbagi suka dan duka.

Dan, yang terpenting ialah menempatkan Tuhan dan firman-Nya sebagai Pemandu 
kehidupan pribadi dan keluarga. Ingatlah, keluarga kita akan bahagia jika Tuhan 
menjadi "Tamu" yang tetap di dalamnya. Pasangan yang berhasil membina 
keharmonisan bukanlah mereka yang memiliki pemikiran, perilaku, dan sikap yang 
persis sama, tetapi yang mau belajar menerima keberbedaan melalui proses 
penerimaan, pengertian, dan saling melengkapi. Berikut ini kutipan Kong Fut Tze 
mengenai keluarga yang harmonis, "Apabila ada harmoni di dalam rumah, akan ada 
ketenangan di masyarakat. Apabila ada ketenangan di masyarakat, ada ketenteraman 
di dalam negara. Apabila ada ketenteraman di dalam negara, akan ada kedamaian di 
dalam dunia."

Catatan
[1] Sebagaimana dikutip oleh H. Norman Wright. Untuk lebih jelasnya, lihat pada 
    H. Norman Wright, Persiapan Pernikahan, (Yogyakarta: Gloria, 2000), hlm. 175.
[2] H. Norman Wright, Komunikasi: Kunci Pernikahan Bahagia, (Yogyakarta: Gloria, 
    2000), hlm. 14-17.
[3] Pdt. Yusak Susabda PhD, dkk., Konseling Pranikah: Sebuah Panduan untuk 
    Membimbing Pasangan-Pasangan yang Akan Menikah, (Bandung: Mitra Pustaka, 2004), 
    hlm. 92-93.

Diringkas dari:
Nama situs: Blesseddayforus`s Blog
Alamat URL: http://blessedday4us.wordpress.com/2010/06/02/problematika-dalam-keluarga/
Penulis: Pdt. Jotje Hanri Karuh
Tanggal akses: 16 Oktober 2013


                       TELAGA: KONFLIK DALAM KELUARGA

Dua pribadi yang berbeda -- suami dan istri, masing-masing memiliki cara hidup 
yang berbeda. Oleh karena itu, satu sama lain harus beradaptasi. Hal sekecil apa 
pun bisa menjadi konflik bila masing-masing pribadi tidak bisa menyesuaikan 
diri.

Faktor penyebab paling umum yang menimbulkan pertengkaran di dalam keluarga 
adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara atau gaya 
hidup tertentu. Nah, sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita, berarti kita 
harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya berani memeriksa diri, 
mengintrospeksi kelemahan masing-masing, dan akhirnya berani untuk mengubah 
diri. Kecenderungan banyak pasangan yang menikah adalah tidak mencari bantuan 
terhadap masalahnya, sampai masalah itu berkembang semakin serius. Bahkan, 
Marcia Lasswell dalam bukunya, "No Fault Marriage", mengatakan bahwa rata-rata 
pasangan menikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami 
persoalan pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7 
tahun, dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi. Setelah itu, baru dibawa kepada 
orang lain untuk mendapatkan bantuan.

Penyebab orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya, antara lain:

- Budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu sehingga kita 
cenderung menutup diri. Kita mempunyai anggapan bahwa tidak baik membicarakan 
masalah rumah tangga dengan orang lain.

- Adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti 
memberitakan kejelekan kita sendiri.

- Kita berpikir kalau kita menceritakan masalah pasangan kita, kita sedang 
berkhianat.

- Dan, alasan yang paling mendasar adalah kita termasuk tipe orang yang tidak 
begitu menyukai perubahan.

Di bawah ini ada beberapa pandangan tentang bagaimana menyelesaikan masalah.

1. Menguasai/mendominasi. Mendominasi atau menguasai secara paksa akan membuat 
   suasana pernikahan "tenteram". Dan, tenteram ini bersifat semu atau sementara. 
   (Cara ini tidak dianjurkan.)

2. Menghindar. Cara ini tidak sehat karena kita hanya menunda membicarakan dan 
   menyelesaikan masalah, dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.

3. Menuruti/mengikuti kemauan pasangan kita. Ini pun tidak sehat, sebab waktu 
   kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita, itu berarti kita harus 
   menguasai atau mengekang keinginan kita.

4. Kompromi. Kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau 
   tuntutan kita supaya akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah yang boleh 
   kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.

5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-
   masing/memikirkan solusinya.

Untuk bisa bekerja sama, lakukanlah langkah-langkah berikut ini:

- Harus mengakui adanya konflik.
- Mengomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa 
  yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.
- Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak.
- Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.
- Melaksanakannya.

Mazmur 18:21-23 berkata, "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia 
membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti 
jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab segala hukum-Nya 
kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari padaku."

Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tetapi intinya 
kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita 
mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: TELAGA
Alamat URL: http://www.telaga.org/audio/konflik_dalam_keluarga_1
Judul transkrip: Konflik dalam Keluarga 1 (T002B)
Penulis: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Tanggal akses: 16 Oktober 2013


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Adiana
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org