Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/341

e-Konsel edisi 341 (28-5-2013)

Psikologi dan Konseling Kristen

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

e-Konsel -- Psikologi dan Konseling Kristen
Edisi 341/Mei 2013

Salam kasih dalam Tuhan,

Dalam dunia konseling, dasar kebenaran yang harus dipegang oleh 
konselor Kristen adalah Alkitab. Namun demikian, konselor Kristen juga 
perlu menggunakan teori-teori yang dikemukakan dalam psikologi, selama 
teori-teori tersebut sesuai dengan Alkitab. Dalam edisi ini, e-Konsel 
menyajikan artikel yang membahas tentang "psikologi dan kekristenan", 
dan beberapa pandangan Sahabat e-Konsel di Facebook tentang psikologi 
dan kebatinan. Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


              CAKRAWALA: PSIKOLOGI DAN KEKRISTENAN
                  Diringkas oleh: S. Setyawati

Ilmu Psikologi menganut keragaman subjek dan minat, serta menyediakan 
pengetahuan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Namun, kita sering 
melihat munculnya ketegangan akibat informasi yang dimiliki Psikologi 
dan Alkitab. Padahal, keduanya menyediakan informasi tentang cara 
hidup sehari-hari dan bagaimana seharusnya manusia berpikir dan 
berperilaku.

Beberapa psikolog memaparkan tentang bagaimana mempelajari ilmu ini, 
bagaimana memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan di mana 
ilmu ini dapat ditempatkan. Sayangnya, banyak psikolog tidak 
mendasarkan ilmunya pada Alkitab. Karena itu, ada orang Kristen yang 
menerima dan yang menolak hasil riset psikologi dan penemuan-penemuan 
psikolog. Inilah yang menimbulkan konflik antara teologi dan 
psikologi. Akibatnya, masyarakat Kristen sering kali curiga, bahkan 
kejam terhadap psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Terkadang, hal ini 
dibenarkan karena tuntutan-tuntutan dan penafsiran-penafsiran yang 
dilakukan para ilmuwan sosial terlalu berani. Namun, ada juga orang 
Kristen yang ekstrem, yang mengambil sudut pandang yang berseberangan 
dengan apa yang telah dipaparkan oleh ilmu pengetahuan, dan membangun 
benteng pertahanan hak asasi manusia bagi dirinya sendiri dengan sikap 
yang merendahkan martabat orang lain.

Hubungan Psikologi dan Teologi

Carter dan Narramore (1979), lewat adaptasi analisis sejarah yang 
dikembangkan oleh Niebuhr (1951), menyatakan ada 4 cara untuk 
menghubungkan psikologi dan teologi.

1. Kekristenan VS Psikologi

Sejumlah tokoh Kristen mengatakan bahwa psikologi merupakan suatu 
persekongkolan antara zaman baru Iblis dan pesaing kekristenan. Jay 
Adams, seorang konselor Kristen terkenal, melakukan serangan-serangan 
yang mirip dengan psikologi konvensional pada awal tahun 1970-an. Ia 
mengomentari karya Dobson, "Dare to Discipline" (1970), dengan 
mengatakan bahwa "garis besar tingkah lakunya ditulis dalam istilah-
istilah kekristenan, tetapi ia memperkenalkan sistem tak bertuhan 
dalam istilah-istilah Kristen. Pendekatan Dobson dingin, tak bertuhan, 
dan berpusat pada manipulasi" (1973, 82). Pihak yang memihak 
kekristenan pada umumnya tidak melihat nilai psikologi sehingga mereka 
mengurangi masalah hanya dalam arena rohani. Benner (1988, 44) 
menyatakan bahwa pengurangan semacam ini membuat semua psikoterapi 
bertentangan dengan tujuan Allah.

2. Psikologi VS Kekristenan

Psikologi dianggap memiliki solusi-solusi untuk masalah yang ada, 
sementara kekristenan dianggap tidak penting dan bahkan merusak 
kehidupan yang sehat. Freud menekankan bahwa kekristenan bersifat 
patologis. Watson dan Fromm, termasuk dalam kategori ini (Benner 1988, 
47-48). Psikologi vs kekristenan juga bersifat pengurangan. Keduanya 
sama-sama terlalu menyederhanakan masalah dengan mengurangi segala 
sesuatu dengan satu sudut pandang saja. Contoh kontemporer tentang 
Psikologi vs kekristenan dapat disimak dalam "Neuropsychological Bases 
of God Beliefs" (Parsinger, 1987).

Beberapa psikolog menggunakan psikologi untuk melawan kedudukan 
kekristenan. Mereka mengajak umat Kristen berhenti menggunakan agama 
sebagai alat bantu, dan mulai mengembangkan kekuatan batin. Mereka 
menyarankan agar umat berhenti membaca Alkitab, mulai membaca 
literatur tentang pertolongan mandiri (self-help), dan berhenti 
mengikuti kebaktian gereja. Itulah sebabnya, kekristenan menolak 
perspektif psikologi.

Walaupun sebagian konselor menentang kekristenan, orang yang terlibat 
dalam pelayanan Kristen perlu menyelidiki para psikolog lokal yang 
mempertahankan sikap-sikap kekristenan dan mengenal kekhususan-
kekhususan mereka. Para pendeta rumah sakit lokal dan perkumpulan 
kesehatan mental lokal bisa menjadi sumber informasi yang berguna. 
Selain mereka, mengenal seseorang atau beberapa orang yang dapat 
dipercaya dan berkompeten dalam konseling juga bisa menjadi cara yang 
berguna.

3. Kekristenan dan Psikologi

Kekristenan dan psikologi menjadi ilmu yang terpisah, tetapi sejajar 
untuk menemukan kebenaran. Benner (1988, 41) menekankan sifat 
dualistis pemisahan ini berlawanan dengan keseluruhan Alkitab. Alkitab 
mengajarkan bahwa tidak ada kelompok orang yang terbagi-bagi, secara 
keseluruhan semua berfungsi. Minirth dan Tournier memegang pandangan 
ini.

4. Psikologi berintegrasi dengan kekristenan. 

Seorang pribadi secara mendasar dipandang sebagai suatu kesatuan 
(Benner, 1988, 41). Namun, secara analisis, ia dapat dijelaskan dari 
beberapa perspektif sekaligus (MacKay 1979, 30). Beberapa orang 
Kristen mengadopsi teologi monoteisme yang berhubungan dengan posisi 
ini, dengan menyangkal kemungkinan tentang wujud diri terlepas dari 
tubuh setelah kematian (Myers dan Jeeves, 1987, 24-30). Akan tetapi, 
kesimpulan ini tidak harus sama dengan holisme Kristen. Carter dan 
Narramore setuju dengan pandangan ini. Farnsworth dan Collins telah 
mengembangkan perspektif tersebut (Farnsworth, 1985: Collins, 1981; 
Kirwan, 1984). Risiko pandangan ini, yaitu adanya bahaya mengadopsi 
model ini tanpa berpikir kritis karena integrasi dapat dengan mudah 
menjadi sinkretisme, campuran antara kafir dan kekristenan untuk 
menghasilkan Kristen yang di bawah standar dan menoleransi iman. Maka 
dari itu, lebih baik mengadopsi pendekatan ekletis, yaitu mengambil 
bagian yang terbaik dari keempat cara di atas. Meski demikian, model 
pemisahan juga bernilai. Perbedaan pertanyaan dan pendekatan untuk 
menjawab membuat orang kreatif asalkan integritas kekristenan dan 
psikologi dipertahankan. Akhirnya, ada nilai yang jelas dalam 
pendekatan holistis model integrasi. Apalagi, pendekatan ini cenderung 
mendorong penyuburan silang terhadap gagasan-gagasan, baik dari 
psikologi maupun kekristenan, yang meningkatkan kreativitas dan 
produktivitas 
intelektual.

Setiap cara tentu memiliki kelemahan dan kelebihan. Yang pertama 
menekankan pentingnya Alkitab dan Allah, sedangkan yang kedua 
menekankan pentingnya keterbukaan terhadap investigasi psikologi, 
untuk tidak menggunakan alasan yang tampak rasional terhadap perilaku 
Kristen. Sebagai orang Kristen, kita harus memakai konsep-konsep 
psikologi yang bermanfaat dan cocok dengan Alkitab, serta meninggalkan 
konsep-konsep yang bertentangan dengan iman kita.

Sumber-Sumber Data

Ketika kita mencermati hubungan antara psikologi dan kekristenan, kita 
harus mengerti bahwa sumber utama pengetahuan adalah Allah. 
Pengetahuan akan Allah diberikan melalui wahyu khusus (Alkitab) dan 
wahyu umum (penciptaan Allah). Alkitab diwahyukan oleh Allah dan tanpa 
salah, sedangkan alam/manusia sudah jatuh dalam dosa dan tidak 
sempurna (Ackeman, 1988). Metode analisis yang digunakan untuk 
mempelajari Alkitab adalah Hermeneutika dan untuk mempelajari 
alam/manusia dipelajari adalah metode ilmiah. Kita harus mempelajari 
Alkitab dengan mempertimbangkan konteks kultural, historis, bahasa, 
bentuk-bentuk sastra, dsb..(1) Dan, mempertimbangkan metode ilmiah 
dalam mempelajari alam.(2) Teori-teori psikologi dan konstruksi-
konstruksi teologi keduanya bersifat interpretatif, tentatif, dan 
menyimpulkan data terbaik dalam masing-masing wilayah. Kesimpulan yang 
dihasilkan juga sama, saling mengisi, interaktif, dan melengkapi 
perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Prinsip yang menuntun ini 
merupakan produk-produk pewahyuan Allah dan keduanya menggambarkan 
kemanusiaan. Seharusnya, konflik tidak terjadi karena keduanya 
diturunkan dari pewahyuan Allah. Jika terjadi konflik, itu karena 
adanya kesalahan tafsiran Alkitab, penggunaan metode ilmiah, atau 
keduanya. Semua kebenaran adalah kebenaran Allah, maka kita harus 
melakukan yang terbaik untuk mengadopsi suatu pendekatan eklektis, 
yang secara tentatif menerima prinsip-prinsip alkitabiah. Terakhir, 
kesimpulan-kesimpulan teologis harus diuji dengan menggunakan unsur 
Alkitab dan wawasan psikologis yang valid.

Sumber-Sumber Ketegangan Antara Psikologi dan Kekristenan

- Antipati orang-orang Kristen terhadap psikologi. Sikap ini muncul 
  sebagai hasil dari kesukaran dalam mendefinisikan secara tepat di mana 
  psikologi secara disiplin ilmu, mulai dan berakhir. Perbedaan antara 
  psikologi, fisiologi, neurologi, sosiologi, dan filosofi tidak mudah 
  dijelaskan karena psikologi cenderung mencakup pokok bahasan yang 
  luas. Jadi, untuk memfokuskan diri pada titik kontak antara psikologi 
  dan kekristenan itu sangat sukar. Saat keduanya diintegrasikan dan 
  asumsi-asumsi umum yang ada digabungkan, maka implikasi dan asumsi-
  asumsi yang tidak konsisten dengan Alkitab inilah yang dihasilkan.

- Tingkat stres yang tinggi. Ketika individu-individu mengalami stres 
  yang tinggi, mereka bisa menunjukkan gejala-gejala depresi (seperti 
  kesedihan, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, dsb.). Namun, 
  ada juga individu yang tertekan, tetapi tidak sampai pada tingkat 
  depresi. Depresi dalam kasus ini merupakan konstruksi teoretis. 
  Konstruksi ini menjadi definisi operasional dan pembentukan model bagi 
  para ilmuwan, yaitu model yang mewakili kerangka mental model 
  konstruksi individual. Sementara itu, teologi memberikan konstruksi 
  teoretis lain untuk menolong kita membangun model tentang penciptaan 
  sehingga kita bisa mengamatinya lebih jauh.

- Ketidakpercayaan kepada Allah. Banyak ilmuwan sosial yang tidak 
  percaya akan keberadaan dan kuasa Allah.

Evaluasi Psikologi

Pengakuan bahwa Allah dapat memahami kebenaran akan mempermudah kita 
untuk menerima kebenaran yang ditemukan dalam penciptaan. Hal ini 
merupakan bagian komitmen kita kepada Allah. Allah adalah sumber utama 
kebenaran. Karena kebenaran berada di dalam Allah, sebagai ciptaan, 
kita hanya dapat mengungkapkan ringkasan dari-Nya. Pemahaman atau 
pengetahuan tentang penciptaan (yaitu, cara kita mengamati penciptaan) 
merupakan abstraksi tingkat kedua. Ketika kita mengamati penciptaan, 
kita juga mengamati kebenaran Allah.

Orang Kristen beruntung karena asumsi-asumsi pewahyuan khusus dari 
Allah dalam Alkitab. Dalam pewahyuan khusus, Allah menunjukkan diri-
Nya sendiri, menyatakan pesan-Nya dalam Yesus Kristus, dan menawarkan 
keselamatan dan pengampunan kepada semua umat, khususnya orang Kristen 
yang percaya. Alkitab memiliki pengamatan terhadap kebenaran Allah 
melalui penciptaan dan Alkitab berisi firman Allah untuk membimbing 
studi manusia tentang penciptaan. Dengan demikian, psikolog Kristen 
memiliki beberapa keuntungan daripada psikolog sekuler karena orang 
Kristen mendekati dunia dari sudut pandang kebenaran penciptaan Allah 
dan memiliki "pegangan", firman Allah, untuk mengevaluasi apa yang 
diamati dalam penciptaan dan menyaring kebenaran dari kesalahan 
(Roma 1:19-20). Orang Kristen harus menempatkan puncak iman mereka di 
dalam Allah, sesuai isi Alkitab. Di lain sisi, penemuan-penemuan 
kebenaran Allah seperti penemuan pinisilin, meskipun tidak ada dalam 
Alkitab, masih mewakili kasih karunia Allah terhadap umat manusia. 
Penemuan para ilmuwan non-Kristen tidak mengubah fakta bahwa penemuan-
penemuan itu merupakan teladan kasih karunia, pengampunan, dan 
kebenaran Allah.

Kesimpulan

Ilmu psikologi tidak akan pernah dapat menjelaskan tujuan dan makna 
keberadaan manusia. Pertanyaan-pertanyaan keberadaan manusia merupakan 
pertanyaan-pertanyaan teologis bagi orang Kristen, yang berdasar pada 
iman dan firman Allah. Idealnya, penjelasan ilmu pengetahuan dan 
pemahaman orang Kristen tentang Alkitab harus saling mengisi. 
Kebenaran ilmiah tidak dapat disejajarkan dengan Alkitab. Kita harus 
memegang Alkitab sebagai firman Allah yang tanpa salah. Dalam disiplin 
ilmu apa pun, orang Kristen harus secara teguh berakar pada firman 
Allah. Kita harus membangun suatu filter ilmu pengetahuan dari 
pewahyuan khusus yang akan mengizinkan kita menguji, apakah model-
model ilmiah dan konstruksi-konstruksi teoretis yang dipaparkan para 
ilmuwan benar-benar cocok dengan penciptaan Allah.

Diringkas dan disunting dari:
Judul asli buku: Introduction to Psychology and Counseling
Judul buku terjemahan: Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen (1)
Judul bab: Pengantar Psikologi
Penulis: Paul D. Meier, M. D., dkk.
Penerjemah: Johny The
Penerbit: ANDI, Yogyakarta 2004
Halaman: 12 -- 21


              KOMUNITAS KONSEL: PSIKOLOGI VS KEBATINAN

Masyarakat awam mungkin ada yang menyangka bahwa psikologi ada 
hubungannya dengan ilmu kebatinan. Padahal, kebenarannya tidak seperti 
itu. Bagaimana pendapat Anda? Berikut pandangan para Sahabat Facebook 
e-Konsel.

e-Konsel: Menurut Anda, apakah psikologi itu bisa dianggap ilmu 
kebatinan?

Komentar:
Fer: Bukan.

Michael: Tidak. Psikologi adalah "science" yang bisa dipelajari, 
teori-teori yang berasal dari hasil penelitian & observasi.

e-Konsel: Namun, bagaimana dengan pemikiran bahwa psikologi itu ilmu 
yang mempelajari tentang keberadaan manusia secara batin (abstrak). 
Apa bedanya dengan ilmu kebatinan?

Fer: Ilmu kebatinan menyangkut mistis, jadi berbeda dengan psikologi. 
Bagi saya, yang berbeda adalah psikologi umum dengan psikologi 
Kristen.

e-Konsel: Menurut Fer Suwardi, apa perbedaan psikologi umum dan 
psikologi Kristen itu?

Fer: Psikologi Kristen menolong orang-orang Kristen untuk mengambil 
keputusan sesuai dengan Alkitab. Namun psikologi umum, untuk semua 
solusi boleh diambil, sekalipun itu tidak sesuai dengan kebenaran 
firman. Contohnya, ada seseorang mengalami depresi yang berat dan 
mengambil solusi dengan bunuh diri. Dalam psikologi umum, hal itu 
dibenarkan karena orang tersebut sudah tidak dapat menanggung beban 
hidup lagi. Akan tetapi, psikologi Kristen menolak hal tersebut dengan 
tegas karena hal itu bertentangan dengan firman Tuhan. Begitulah 
menurut saya.

e-Konsel: Umm, ok-ok. Psikologi Kristen itu berpusat pada Kristus, 
sementara psikologi umum berpusat pada manusianya sendiri ya? Terima 
kasih.

Anda ingin menyampaikan pendapat Anda terkait topik ini? Mari 
berkomentar di Facebook e-Konsel 
< http://facebook.com/sabdakonsel/posts/10151635832373755 >. Terima 
kasih.


         STOP PRESS: BERGABUNGLAH DENGAN FACEBOOK KISAH!

Anda mencari komunitas seputar kesaksian cinta kasih Allah? Mari 
bergabung dalam Facebook KISAH, Anda akan menemukan sebuah komunitas 
yang di dalamnya terdapat banyak kesaksian dari saudara-saudari 
seiman, sehingga ada banyak berkat lagi yang akan Anda dapatkan dalam 
komunitas ini.

Silakan bergabung ke < http://fb.sabda.org/kisah >.

Tuhan Yesus memberkati.


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Adiana
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org