Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/333

e-Konsel edisi 333 (26-2-2013)

Memberi dengan Kasih

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

e-Konsel -- Memberi dengan Kasih
Edisi 333/Februari 2013

Salam,

Manusia adalah pengelola. Segala sesuatu yang kita miliki sesungguhnya 
berasal dari Tuhan, meskipun kita bekerja untuk mendapatkannya. Oleh 
karena itu, marilah kita menyadari bahwa apa yang Tuhan percayakan 
kepada kita bukanlah untuk kita nikmati sendiri, melainkan juga untuk 
dibagikan kepada orang lain. Tuhan meminta kita untuk menjadi saluran 
kasih-Nya melalui pemberian kita. Maka dari itu, marilah kita 
menyediakan diri dengan penuh kerelaan dan sukacita dalam memberi, 
baik dalam pemberian secara materi maupun secara psikis.

Selaku konselor, kita hendaknya memberikan waktu, tenaga, dan doa kita 
untuk menolong konseli yang datang kepada kita. Bukan untuk keuntungan 
pribadi, melainkan agar konseli merasakan kasih Allah melalui kita dan 
memuliakan nama Tuhan. Yang lebih utama lagi, cobalah untuk membagikan 
kabar keselamatan dari Tuhan Yesus kepada mereka. Kiranya kita yang 
tinggal di dalam Kristus memiliki prinsip "lebih baik memberi daripada 
menerima", amin.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


                  CAKRAWALA: SIKAP DALAM MEMBERI
                   Diringkas oleh: S. Setyawati

Yesus Kristus adalah kasih. Dia adalah Allah yang Mahamurah dan suka 
memberi. Sebagai murid Yesus Kristus, konselor Kristen sudah 
sewajarnya menjadi orang yang suka memberi. Dalam hal ini, pemberian 
tidak hanya terbatas pada bentuk materi, namun juga dalam bentuk-
bentuk yang lain seperti perhatian, kasih, dan penguatan.

Dalam hal memberi, seorang konselor perlu mengingat hal-hal berikut 
ini:

- Memberi adalah berkat bagi yang memberi dan yang menerima. Ketika 
kita dapat memberikan sesuatu kepada orang lain, itu berarti kita 
beroleh kasih karunia. Hal ini dinyatakan Paulus dalam 2 Korintus 8:4. 
Kita perlu belajar dari orang-orang Makedonia. Mereka "sangat miskin", 
namun mereka mau memberi dan menganggap kesempatan memberi sebagai 
"kasih karunia".

- Memberi memberikan peluang bagi kita untuk mencerminkan watak Allah. 
Allah adalah Pemberi (Yohanes 3:16; Roma 8:32; Filipi 2:5-8), itu 
sudah menjadi sifat Allah. Dan, sebagai konselor-konselor Kristen, 
kita hendaknya berusaha meneladani Dia.

- Memberi dapat menumbuhkan persekutuan dan persaudaraan. Apabila kita 
bertindak sebagai mitra yang ikut ambil bagian dalam segi keuangan 
dengan murah hati dan rendah hati, maka kasih pun diperkuat. "Kasih 
karunia yang tak terkatakan" (2 Korintus 9:14-15) itulah yang mengikat 
kasih antara pemberi dan penerima.

- Memberi dapat menghasilkan kedewasaan. Oleh karena itu, hendaknya 
kamu kaya dalam pelayanan kasih ini (2 Korintus 8:1,7; 2 Korintus 
9:10).

- Memberi memungkinkan Allah untuk dapat memberi kepada si pemberi. 
Perjanjian Baru menekankan upah rohani dari hal memberi walaupun upah 
secara materi juga diberikan (Matius 6:19-21). Apa yang kita berikan 
menentukan apa yang akan kita terima (Lukas 6:38). Ketika kita memberi 
segala sesuatu dengan kasih, seperti kita melakukannya untuk Tuhan, 
kita akan semakin mengakui bahwa Tuhan adalah Allah yang memelihara 
(Filipi 4:19). Marilah kita menyimpan harta di surga dengan berbuat 
kebajikan dalam hal memberi (Filipi 4:17). Allah tidak berjanji akan 
memberikan semua hal yang kita minta. Akan tetapi, Ia akan memenuhi 
setiap kebutuhan kita, bukan setiap keinginan kita yang mementingkan 
diri sendiri. Selain itu, mari kita memberi karena dorongan kasih, 
bukan karena keinginan untuk mendapat imbalan. Tuhan Yesus menyuruh 
agar kita memberi "dengan tidak mengharapkan balasan" (Lukas 6:35).

Dalam Perjanjian Lama, Allah berjanji untuk memberkati orang Israel 
secara materi karena kerelaan mereka untuk memberi dengan murah hati. 
Jadi, dalam hal ini yang terpenting adalah memberi dengan kasih, 
dengan kerelaan hati. Jika kita memberi supaya dapat menerima imbalan 
duniawi, kita memalsukan upah surgawi kita (Matius 6:2).

- Memberi dapat mendatangkan banyak hasil positif.
a. Memberi menyebabkan orang mengucap syukur dan memuji 
   (2 Korintus 9:11-13).
b. Memberi menyebabkan orang bersukacita (Filipi 4:10).
c. Memberi menyebabkan orang berdoa (Filipi 1:4-5).
d. Memberi mendorong orang lain untuk memberi (2 Korintus 9:2).

"Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima." 
(Kisah Para Rasul 20:35) Itu sebabnya, kita harus mengatur apa yang 
kita miliki agar kita bisa memberikan sebagian untuk menolong sesama. 
Ada saatnya kita menerima, namun usahakan untuk lebih banyak menjadi 
pemberi.

- Memberi hendaknya dengan kerelaan hati. Syarat-syarat memberi yang 
benar bisa dilihat dalam Kitab Keluaran 13:1-16, 23:19 dan 
Imamat 27:30-32. Jangan pernah menggunakan harta yang Tuhan percayakan 
hanya untuk kepentingan diri sendiri, dan jangan pernah menipu Tuhan 
Allah (Maleakhi 3:8-10). Dalam hal memberi, bukan soal sepersepuluh 
dari yang kita terima, melainkan soal pemberian sukarela sebagai 
ungkapan kasih dan saling membantu (2 Korintus 8:8-9). Sepuluh persen 
merupakan titik awal yang baik untuk mendisiplin diri Anda.

- Memberi harus dengan sukacita dan rela hati (Ulangan 15:7-10 dan 
2 Korintus 9:7). Ketika memberi, usahakan untuk melakukannya dengan 
tulus seperti melakukannya untuk Tuhan, dan sebagai bentuk ucapan 
syukur kita akan rahmat dan kasih-Nya kepada kita, bukan untuk maksud 
supaya tidak mendapat hukuman dari Tuhan. Jangan pernah menghakimi 
orang lain yang memberi lebih sedikit daripada yang kita pikir 
seharusnya dapat mereka berikan (Roma 14:4-5,10).

Besarnya pemberian kita haruslah sebanding dengan penghasilan kita. 
Sepuluh persen merupakan jumlah yang baik sebagai permulaan. Namun, 
ketika kita digerakkan untuk memberi lebih dari sepuluh persen, itu 
jauh lebih baik. Dan, ketika kita berkekurangan, jangan merasa bahwa 
kita tidak bertanggung jawab untuk memberi atau berpikir bahwa 
pemberian kita tidak berarti (Lukas 21:1-4; 2 Korintus 8:11-12). Allah 
tertarik pada sikap hati, bukan pada besarnya pemberian.

- Memberi hendaknya dilakukan dengan murah hati (2 Korintus 9:6). 
Allah itu murah hati dan mengambil setiap kesempatan untuk 
mengungkapkan kemurahan hati-Nya. Alangkah senang hati Tuhan bila kita 
mencerminkan sifat-Nya.

- Memberi harus teratur dan sistematis (1 Korintus 16:2). Terkadang, 
antara niat dan tindakan tidak selalu sama atau sejalan. Oleh karena 
itu, perlu adanya disiplin mingguan. Walaupun tidak ada sesuatu yang 
universal mengenai peraturan memberi secara mingguan, merencanakan 
pemberian sangatlah penting.

- Memberi hendaknya tanpa pamer (Matius 6:1-4). Seperti biasanya, hal 
yang penting di mata Allah adalah motivasinya, bukan tindakannya.

Sebagai konselor Kristen, bersediakah kita untuk memberi? Jika belum, 
ingatlah ayat-ayat di atas dan segeralah melakukannya sebelum 
terlambat.

Diringkas dari:
Judul asli buku: A Compact Guide to the Christian Life
Judul buku terjemahan: Kompas Kehidupan Kristen
Judul bab: Uang
Judul asli artikel: Bagaimanakah Seharusnya Sikap Saya Tentang Memberi?
Penulis: K. C. Hinckley
Penerjemah: Gerrit J. Tiendas
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1989
Halaman: 211 -- 216


        KOMUNITAS KONSEL: MEMBERI DENGAN BIJAKSANA

Manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk memberi, meskipun 
besarnya tidak sama satu dengan yang lain. Apalagi bagi sepasang 
kekasih yang sedang dimabuk cinta. Apa pun akan diberikan demi orang 
yang disayangi. Namun, apakah bijaksana apabila kita memberikan 
"kehormatan" kita kepada orang yang belum menjadi suami atau istri 
kita?

Kasus inilah yang pernah kami perbincangkan di Facebook e-Konsel. Ada 
seorang gadis yang sangat mencintai pacarnya hingga rela "memberikan" 
semua yang diinginkan pacarnya tersebut. Bahkan, ia rela memberikan 
kehormatannya. Awalnya, pria yang menjadi pacar gadis itu mengatakan 
bahwa ia mau mengikuti keyakinan si gadis. Akan tetapi, setelah 
merenggut kehormatan si gadis, pria itu malah meminta si gadis untuk 
mengikuti keyakinannya. Bagaimana kita menolong gadis tersebut untuk 
menyelesaikan masalahnya ini?

Komentar:
Retno Dwi: Pertama, kita doakan terus. Kedua, kita nasihati bahwa yang 
dilakukan salah dan terus "follow up" dia untuk mengambil langkah yang 
baru yang Tuhan kenan.

Suzana Esther: Si gadis diajar tentang kasih Kristus yang tidak 
bersyarat dan begitu dalam, sehingga dia mampu untuk meninggalkan 
kekasihnya karena si gadis lebih mengasihi Tuhan Yesus yang telah mati 
bagi dia, dan diajar bahwa Tuhan sanggup menjamin masa depannya.

Maria Oktasari: Izin komentar. Kalau menurut aku, dikembalikan lagi 
sama sang gadisnya. Dia tentu lebih mengetahui apa yang menjadi 
pilihannya. Kalau dia bersedia dan yakin terhadap keyakinan 
kekasihnya, kenapa tidak. Tetapi kalau sebaliknya, dicari solusi 
supaya keduanya sama tidak terpaksa dan merasa dirugikan.

Shmily Tilestian: Waduh... kasus yang kompleks nih. Menurutku, lebih 
baik jangan tinggalkan keyakinan hanya untuk mengejar/mempertahankan 
orang (sekalipun orang tersebut sangat dicintai). Tapi dalam kasus 
ini, sangat berat bagi si gadis (karena sudah kehilangan kehormatan) 
untuk menentukan pilihan antara: keyakinan/kehilangan pria itu. 
Percayalah bahwa dengan tidak meninggalkan Tuhan adalah keputusan yang 
TERBAIK.

Petridien Manik: Jangan meninggalkan Tuhan, kalaupun kehormatanmu 
telah diambil hingga hamil. Jangan takut, saya bersedia menjadi ayah 
si bayi. Dan, seiring berjalannya waktu, cinta bisa timbul di antara 
kita berdua. Berpikirlah 7x jika mau meninggalkan Tuhan.

e-Konsel: Terima kasih untuk Sahabat Konsel semua yang sudah sumbang 
saran. Memang masalah ini cukup pelik, apalagi bagi seorang gadis. 
Perasaan cinta yang tertanam di hati bagi seorang wanita lebih sulit 
dilepaskan dibanding seorang pria. Dengan bimbingan yang tepat, 
kiranya masalah yang dialami gadis ini dapat diselesaikan dengan 
bijaksana. Saya sependapat dengan Sahabat yang menyarankan agar si 
gadis tetap mengutamakan Tuhan dan kebenaran-Nya. Tuhan selalu memberi 
kesempatan bagi orang yang bertobat dan menjadi manusia yang baru, 
yang hidup taat kepada-Nya. Sekali lagi terima kasih untuk komentar 
Anda.

Enny Juwita: Jangan takut ditinggalkan kekasih, tetapi lebih 
menakutkan kalau ditinggalkan Tuhan. Oke. GBU.

Rachel M: Keputusan tetap di tangan si gadis. Tetapi tetap dapat 
diberikan bimbingan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang terbaik 
dengan segala risiko atau akibat yang nantinya harus dia jalani. 
Andaikan dia mengikuti kemauan pria, bagaimana dengan imannya terhadap 
Yesus yang selalu membuka kasihnya terhadap orang yang berdosa? 
Bagaimana pula dengan keluarganya? Siapkah ia menerima risiko dibenci 
oleh keluarganya? Andaikata ia meninggalkan si pria, siapkah ia jika 
si pria mengumbar apa yang telah mereka lakukan meskipun tidak sampai 
hamil? Atau sekalipun sampai hamil, jika ia tetap menikah dengan si 
pria, siapkah ia menjalani hidup tanpa Juru Selamatnya, dan hidup 
dengan pria dengan janji palsu -- yang sebelum mendapat apa-apa, 
janjinya mau ikut si gadis, tapi setelah mendapat malah ngomong 
sebaliknya. Itu tandanya ia adalah pria dengan janji palsu. Saran 
lain, coba "search" tulisan Pak Julianto dari Pelikan. Soalnya masalah 
ini terlalu kompleks untuk di-share ke publik lewat FB. Maybe better, 
kalau langsung cari ahlinya sehingga lebih bijak dalam menanganinya. 
Thanks. Maaf, jika terlalu panjang. Tuhan memberkati kita semua.

e-Konsel: Terima kasih Ibu Enny, Ibu Rachel, dan Ibu Lena untuk saran 
dan masukannya. Basically, kita mesti pegang Matius 6:33 ya. 
Mengutamakan Tuhan di atas segalanya, toh hanya Tuhan yang bisa 
menanggung hidup kita dan memberikan jaminan hari depan yang lebih 
baik. Setiap perbuatan memang akan selalu diikuti konsekuensi. 
Penyesalan akan selalu datang di akhir babak perbuatan. Akan tetapi, 
tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya, dan paling tidak 
kita bisa memberikan pencerahan dan penguatan kepada konseli sehingga 
ia sendiri dapat memutuskan apa yang akan dilakukannya. Tuhan beserta 
kita.

Maya Sari: Harusnya sejak awal si cewek tahu bahwa seks sebelum 
menikah pasti ada risikonya. Risikonya macam-macam, rayuan/janji akan 
dinikahi, janji akan pindah agama, tapi belum tentu ditepati. Kalau 
sudah terlanjur memberikan, ya sudah. Akan tetapi, tetap tidak boleh 
meninggalkan Tuhan, dan jadikan itu pengalaman berharga. Cowok masih 
banyak, Tuhan pasti kasih jodoh yang baik buat dia, asalkan meminta ke 
Tuhan, dan tobat akan aib yang dia ciptakan.

e-Konsel: Tuhan harus menjadi yang pertama dan utama di atas segalanya 
ya. Demikianlah kesimpulan untuk kasus ini. Ada harga yang harus 
dibayar dalam segala hal. Tetapi, Tuhan selalu memberikan yang terbaik 
bagi kita, yang mengasihi-Nya. Amin.

Kami ajak Anda untuk memberi komentar untuk kasus ini di link Facebook 
e-Konel < http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10151177757558755 >


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Doni K.
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org