Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/328

e-Konsel edisi 328 (21-1-2013)

Motivasi Konselor

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

e-Konsel -- Motivasi Konselor
Edisi 328/Januari 2013

Salam,

Disadari atau tidak, seseorang mengambil setiap tindakan atau 
keputusan karena didorong oleh motivasi tertentu yang ada dalam hati 
atau pikirannya, entah itu baik atau jahat. Mungkin, kita juga pernah 
menjumpai tindakan baik seseorang, yang terkadang dilandasi motivasi 
buruk, dan juga sebaliknya. Demikian juga bagi seseorang yang ingin 
menjadi konselor. Ia tentu memiliki motivasi dasar yang hanya 
diketahui oleh dirinya sendiri dan Tuhan.

Sebagai konselor Kristen, alangkah bijaksananya apabila kita memiliki 
motivasi yang benar. Tanpa memiliki motivasi yang benar sesuai dengan 
ajaran Alkitab, mustahil bagi konselor Kristen untuk berhasil 
mengantarkan konseli pada pertumbuhan iman dan pengenalan akan Allah. 
Oleh sebab itu, sebelum menjadi konselor, seseorang hendaknya 
menyadari siapa dirinya di hadapan Tuhan. Tuhan, sebagai Penasihat 
yang Ajaib, telah memberikan banyak landasan alkitabiah untuk menjadi 
konselor yang berkenan bagi Allah. Dalam edisi ini, e-Konsel 
menekankan adanya motivasi yang baik dalam melayani Tuhan dan menolong 
sesama. Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


                    CAKRAWALA: MOTIVASI KONSELOR

Mengapa Anda ingin memberi konseling? Beberapa konselor Kristen, 
terutama para pendeta, didorong masuk ke dalam pelayanan ini oleh 
orang-orang yang datang secara spontan, untuk mencari pertolongan atas 
masalah-masalah mereka. Beberapa konselor lainnya telah mengikuti 
pelatihan khusus dan mendorong orang lain untuk datang kepada mereka, 
guna mendapatkan bantuan berdasarkan anggapan yang benar bahwa 
konseling dapat menjadi salah satu cara paling efektif untuk melayani 
orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Seperti yang telah kita 
lihat, Alkitab memerintahkan kita untuk saling memerhatikan dan hal 
ini tentunya mencakup bidang konseling.

Sesungguhnya, sulit bagi kita untuk mengevaluasi motivasi diri 
sendiri. Mungkin, hal ini memang benar, terutama ketika kita memeriksa 
alasan kita untuk melakukan konseling. Keinginan yang tulus untuk 
menolong orang lain merupakan alasan yang tepat untuk menjadi seorang 
konselor. Apakah ada bukti dari beberapa orang bahwa konseling Anda 
benar-benar memberi dampak positif? Apakah Anda memandang konseling 
sebagai pemenuhan secara pribadi? Hal ini dapat menjadi indikasi 
lanjutan dari kemungkinan keefektifan Anda sebagai konselor.

Namun demikian, ada isu-isu lain, yang kadang-kadang tidak disadari, 
yang dapat mengganggu keefektifan Anda. Ketika pada awalnya Anda 
memberi konseling untuk memenuhi kebutuhan sendiri, Anda sepertinya 
tidak akan banyak membantu para konseli Anda.

1. Kebutuhan akan relasi. Setiap orang memerlukan kedekatan dan 
   keakraban, setidaknya dengan dua atau tiga orang. Bagi beberapa 
   konseli, seorang konselor akan menjadi teman dekat mereka, 
   setidaknya untuk sementara waktu. Dengan anggapan, si konselor 
   tidak memiliki teman-teman dekat, kecuali para konseli. Dalam kasus
   -kasus semacam ini, kebutuhan konselor akan suatu relasi bisa 
   menghalangi pemberian bantuan. Seorang konselor mungkin tidak benar
   -benar menginginkan konselinya bertumbuh dan mengakhiri konseling 
   karena hal itu akan memutuskan hubungan pertemanan yang sudah 
   dekat. Apabila Anda mendapati bahwa Anda mencari-cari kesempatan 
   untuk memperpanjang konseling, untuk menelepon konseli, atau 
   bersosialisasi bersama, maka mungkin hubungan tersebut telah 
   memenuhi kebutuhan Anda akan pertemanan, sebagaimana hal itu juga 
   memenuhi kebutuhan konseli Anda. Pada titik ini, keterkaitan antara 
   konselor dan konseli sudah tidak lagi sebagai relasi profesional. 
   Hal ini tidak selalu buruk, tetapi beberapa teman tidak selalu bisa 
   menjadi konselor yang terbaik.

2. Kebutuhan akan kontrol/kendali. Seorang konselor yang otoriter 
   senang "mengatur" orang lain, memberikan nasihat (bahkan saat tidak 
   diminta), dan berperan sebagai pemecah masalah. Beberapa konseli 
   yang senang bergantung mungkin menginginkan konselor semacam ini, 
   tetapi pada akhirnya sebagian besar orang menolak konselor yang 
   bertipe mengontrol karena para konselor semacam itu tidak begitu 
   menolong.

3. Kebutuhan untuk menyelamatkan. Seorang penyelamat sering kali 
   memiliki keinginan tulus untuk menolong. Tetapi, konselor tipe 
   "penyelamat" melepaskan tanggung jawab dari konseli dengan 
   menunjukkan suatu sikap yang menyatakan, "Anda tidak dapat 
   mengatasi hal ini; izinkan saya melakukannya untuk Anda." Cara ini 
   mungkin memuaskan si konseli untuk beberapa saat, namun jarang 
   dapat membantu secara permanen. Apabila teknik penyelamatan gagal 
   (seperti yang sering kali terjadi), si konselor merasa bersalah, 
   tidak mumpuni, dan sangat frustrasi.

4. Kebutuhan akan informasi. Dalam mendeskripsikan masalah-masalah 
   mereka, para konseli sering memberikan berita gembira yang menarik, 
   yang mungkin tidak diceritakan kepada orang lain. Jika seorang 
   konselor penasaran, kadang-kadang ia melupakan konseli, ingin 
   mendapat informasi lebih banyak, dan sering kali tidak mampu 
   mempertahankan kepercayaan diri. Para konselor yang penasaran 
   jarang bisa membantu sehingga akhirnya orang-orang tidak akan 
   meminta bantuan lagi kepada mereka.

5. Kebutuhan akan penyembuhan pribadi. Kebanyakan dari kita memiliki 
   berbagai kebutuhan dan ketidakamanan tersembunyi, yang dapat 
   mengganggu tugas kita membantu orang lain. Inilah satu alasan 
   mengapa sekolah-sekolah psikologi terkadang mensyaratkan para 
   mahasiswanya, untuk melakukan konseling bagi diri mereka sendiri 
   sebelum mulai menolong orang lain. Sesi-sesi konseling tampaknya 
   tidak akan efektif apabila konselor memiliki maksud memanipulasi 
   orang lain, menebus kesalahan, menyenangkan beberapa tokoh yang 
   berkuasa, menunjukkan kebencian, memecahkan konflik seksual, atau 
   membuktikan bahwa ia mampu secara intelektual, dewasa secara 
   rohani, dan stabil secara kejiwaan.

Setiap calon konselor kemungkinan akan mengalami kecenderungan ini 
kapan saja, tetapi kebutuhan-kebutuhan semacam ini harus diatasi 
secara terpisah dari tugas kita terhadap para konseli. Ketika orang-
orang datang untuk berkonseling, mereka mengambil risiko menceritakan 
informasi pribadi dan memercayakan diri mereka pada pemeliharaan 
konselor. Seorang konselor menyalahi kepercayaan ini dan merusak 
keefektifan konseling jika relasi untuk membantu ini digunakan 
terutama untuk memuaskan kebutuhan si penolong itu sendiri. (t/S. 
Setyawati)

Diterjemahkan dari:
Judul buku: Christian Counseling: S Comprehensive Guide
Judul bab: The Counselor and Counseling
Judul asli artikel: The Counselor`s Motivation
Penulis: Gary R. Collins, Ph.D.
Penerbit: Word Publishing, Amerika Serikat 1988
Halaman: 24 -- 25


KOMUNITAS KONSEL: SIAPA DAN BAGAIMANA SEHARUSNYA SEORANG KONSELOR

Pada dasarnya, siapa saja bisa menjadi konselor. Namun, untuk menjadi 
konselor alkitabiah yang berdedikasi tinggi dan menjadi berkat bagi 
konseli, Anda tidak bisa melakukannya secara sembarangan. Lalu, hal-
hal apa yang harus dimiliki seseorang sebelum menjadi konselor yang 
benar? Berikut pendapat dari Sahabat e-Konsel beberapa waktu yang 
lalu.

e-Konsel: Menurut Anda, siapakah yang bisa menjadi konselor dan apa 
saja kriteria yang harus dimiliki seorang konselor?

Komentar:
Regar Arnold: Mereka yang memakai hati dan telinga untuk mendengar. 
Terima kasih.

e-Konsel: Seberapa besar faktor pendidikan mendukung kemampuan 
seseorang untuk menjadi konselor, Regar Arnold?

Twinny Singal: Buat saya pribadi, kriteria yang baik bagi seorang 
konselor, salah satunya ialah dia pernah memiliki pengalaman 
"mengalami" dan tentunya pernah berhasil dalam "mengalami" pengalaman 
tersebut. Dia dapat memberikan langkah-langkah kemajuan/peningkatan 
(improvement) secara signifikan dan bijaksana terhadap konseli. Plus, 
didukung dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dan memadai, 
ditambah dengan kematangan dari sisi kerohanian, maka hasil konseling 
diharapkan mencapai sasaran (ke arah perbaikan positif) yang 
diinginkan oleh pihak konseli maupun dari pihak konselor juga.

e-Konsel: Betul, yang diharapkan dari seorang konselor profesional ya 
seperti itu ya, Twinny Kim. Namun, bisakah kita mendidik konselor awam 
untuk menjadi konselor seperti itu?

Twinny Singal: Menurut saya, sebelum dididik, calon konselor awam 
harus dites dulu kesiapan mentalnya untuk bisa menjadi konselor yang 
baik. Apakah dia siap untuk menggunakan hati dan telinga untuk 
"mendengar" seperti yang disampaikan oleh saudara Regar Arnold. 
Dibutuhkan mental kesabaran dan mau dididik untuk menjadi konselor 
yang profesional.

e-Konsel: Tepat. Untuk itu, ini menjadi PR untuk gereja-gereja dan 
kita semua untuk mendidik jemaat, agar dapat menolong orang lain 
dengan menjadi konselor kristiani yang benar ya, Twinny Kim. Terima 
kasih untuk komentar Anda.

Bagaimana menurut Anda? Mari sampaikan pendapat Anda di link berikut 
ini < http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10151284302883755 >.


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Doni K.
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org