Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/308 |
|
e-Konsel edisi 308 (28-8-2012)
|
|
______________________________e-KONSEL________________________________ Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ______________________________________________________________________ Edisi 308/Agustus 2012 DAFTAR ISI CAKRAWALA: MEMILIH KATA-KATA ANUGERAH KOMUNITAS KONSEL: KONSELOR YANG MEMBANGUN Salam kasih, Sebagian besar orang yang sedang mengalami masalah atau krisis akan merasa lemah dan tak berdaya, baik secara mental, psikis, ataupun rohani. Orang-orang semacam itu membutuhkan dukungan, dorongan, dan nasihat yang membangun untuk jiwa dan rohnya. Tanpa melibatkan Roh Kudus di dalam konseling, mustahil bagi kita untuk dapat membangun konseli yang kita layani. Untuk itu, seorang konselor harus membangun kerohaniannya terlebih dulu sebelum ia dapat menolong orang lain. Dalam edisi terakhir bulan ini, e-Konsel menyajikan artikel tentang memilih kata-kata yang membangun -- anugerah, dan beberapa pendapat Sahabat Konsel tentang topik ini. Selamat menyimak, kiranya sajian kami memberi warna istimewa dan menjadi wacana bagi Anda. Pemimpin Redaksi e-Konsel, Sri Setyawati < setya(at)in-christ.net > < http://c3i.sabda.org/ > CAKRAWALA: MEMILIH KATA-KATA ANUGERAH Tujuan tertinggi percakapan di dalam tubuh Kristus adalah menjadi saluran anugerah Tuhan Yesus Kristus yang memberi hidup. Di sini, kita benar-benar berfokus untuk menjadi bagian dari pekerjaan Allah di dalam kehidupan orang lain; mati terhadap harapan, impian, dan keinginan kita sendiri, sehingga tujuan-Nya-lah yang akan berkuasa; dan melihat hubungan kita dari sudut pandang duta besar. Artinya, kita mengetahui bahwa hubungan kita tidak menjadi milik kita. Manusia ada bukan demi kebahagiaan dan kepuasan dirinya, melainkan Allah telah menunjuk manusia untuk mengomunikasikan kasih-Nya yang penuh kuasa kepada mereka dengan setia. Mari kita lihat kata-kata Paulus ketika dia memanggil kita untuk berbicara dengan cara yang memberikan anugerah dalam Efesus 4:29-30. Paulus menekankan lima unsur percakapan yang penuh anugerah. 1. Memiliki komitmen yang tidak tergoyahkan kepada percakapan yang membangun. Ketika Paulus mengatakan, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, ...." dia bukan hanya berbicara tentang mengutuk, mencaci maki, atau kata-kata kotor dan vulgar. Bahkan, menafsirkan perikop ini dengan cara demikian sangat meremehkan maksud Paulus. Paulus memiliki sesuatu yang jauh lebih revolusioner secara penebusan di dalam pikirannya. Bagi Paulus, perkataan kotor adalah perkataan yang berpusat pada diri sendiri, yang tidak memunyai tujuan yang lebih tinggi daripada apa yang menjadi kemauan, keinginan, impian, dan tuntutan kita sendiri. Kata-kata kotor mengalir dari hati yang dikendalikan oleh keinginan duniawi yang menyenangkan kita pribadi. Kata-kata seperti ini diucapkan karena menyenangkan saya dan mencapai tujuan saya. Kata-kata ini adalah usaha untuk memberikan kepada saya apa yang saya inginkan, tanpa melihat ketuhanan Kristus atau panggilan saya untuk berbicara sebagai duta-Nya. Saya pernah mengonseling banyak pasangan suami-istri yang memiliki pernikahan yang rusak secara menyedihkan, yang tidak akan sampai demikian jika mereka memerhatikan prinsip ini. Jika dari awal komunikasi yang berpusat pada diri dan keinginan sendiri ini digantikan dengan percakapan sebagai duta besar, pernikahan mereka tidak akan mencapai titik perpecahan yang tragis. Kita masing-masing perlu menghadapi betapa dahsyatnya perang keinginan ini di dalam hati kita -- betapa mudahnya kata-kata kita dibentuk oleh tujuan yang tidak lebih tinggi daripada kesenangan kita sendiri. Kita perlu mengetahui betapa seringnya kita berbicara, seolah-olah kita tidak menyadari akan Tuhan, karya-Nya, dan panggilan-Nya kepada kita agar menjadi alat bagi-Nya. Lalu, apakah percakapan yang membangun itu? Percakapan yang membangun adalah komunikasi yang berorientasi pada orang lain, yaitu yang berakar dalam keberadaan, kasih, pengampunan, anugerah, dan panggilan Tuhan. Percakapan yang membangun tunduk pada rencana-Nya, berbicara sesuai dengan standar-Nya, dan memakai kata-kata yang tidak mementingkan diri sendiri. Percakapan yang membangun menemukan arti dan sukacitanya dalam fakta bahwa Allah sedang memakainya dalam interaksi dengan orang lain. Percakapan yang membangun juga berorientasi pada kebutuhan orang lain. Kata-kata diucapkan agar bermanfaat bagi yang mendengarkan. Percakapan yang membangun mengalir dari hati yang mengasihi Allah di atas segala-galanya dan mengasihi sesamanya seperti diri sendiri. Kita tidak akan pernah berbicara seperti ini jika hati kita dipenuhi dengan keinginan, tujuan, tuntutan, dan kebutuhan kita sendiri. Hanya ketika kita memercayakan diri ke dalam pemeliharaan Tuhan yang berdaulat, barulah kita dapat bebas untuk berbicara seperti ini. Di dalam mementingkan diri sendiri, keraguan, dan ketakutan, kita ingin mengendalikannya dengan percakapan untuk memastikan bahwa kita mendapatkan sesuatu yang diinginkan hati kita. Percakapan yang membangun tunduk pada panggilan Allah dan kebutuhan sesama kita. 2. Pertimbangkan orang yang menjadi lawan bicara Anda ("... untuk membangun mereka yang mendengarnya"). Paulus mengatakan sesuatu yang revolusioner di sini: kita harus mengatakan hanya hal-hal yang membuat pendengar kita dibangun. Kepada siapa kita berbicara? Apakah seorang laki-laki, wanita, anak laki-laki, atau anak perempuan? Apakah seseorang yang sebaya dengan kita, lebih muda, atau lebih tua? Apakah teman lama, kenalan, atau seseorang yang sama sekali asing? Apakah anggota keluarga, keluarga jauh, atau tetangga? Apakah kepada orang percaya, simpatisan, atau orang yang tersesat? Bagaimana pengetahuannya dan pengalamannya tentang kebenaran Alkitab? Bagaimana kadar penerimaannya terhadap pelayanan saya? Bagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menuntun apa yang harus saya katakan? 3. Pertimbangkan permasalahan di mana Anda dipanggil untuk menyelesaikannya ("... untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia"). Mempertimbangkan permasalahan artinya bertanya: Apa keperluan untuk saat ini? Anugerah apa yang dibutuhkan? Bagaimana saya dapat berbicara sebagai alat anugerah Allah? Apakah ada dosa spesifik yang perlu dikonfrontasi dengan penuh kasih? Apakah pekerjaan pembawa damai dibutuhkan karena ada ketidakrukunan dan perpecahan? Apakah ada kebutaan rohani? Kehilangan pengharapan? Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah? Apakah ada kebingungan karena banyaknya konselor dan nasihat yang saling bertentangan? Apakah ada ketakutan, kecemasan, dan kengerian? Apakah ada kemarahan, kejahatan, kegetiran, dan pembalasan? Apakah ada kekurangan pengetahuan Alkitab, hikmat alkitabiah, dan pemahaman Alkitab? Apakah ada pola pemberontakan langsung terhadap Allah? Apakah terdapat sikap mementingkan diri sendiri, keangkuhan, atau rasa benar diri yang perlu dihadapi? Apakah ada ketidakrelaan untuk menerima tanggung jawab? Apakah ada kebutuhan untuk mengucap syukur, memuji, dan beribadah? Memunyai agenda yang benar menimbulkan perbedaan penting dalam komunikasi. Sering sekali orang tua, misalnya, memasuki kamar anak-anak mereka dengan agenda menghukum daripada melayani. Yang mereka lakukan tidak lebih daripada menunjukkan kesalahan (biasanya terinfeksi oleh kemarahan dan luka mereka sendiri) dan mengumumkan hukuman. Mereka lalai mengajukan pertanyaan, yaitu apa yang Allah ingin lakukan di dalam hati anak saya melalui saya? Memerhatikan prinsip ini saja akan menghasilkan perubahan radikal di dalam hubungan kita! 4. Pertimbangkan prosesnya ("... supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia"). Dalam Kolose 4:6 Paulus berkata, "Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang." Tujuan Allah bagi komunikasi kita adalah anugerah; yaitu agar kata-kata kita memiliki manfaat khusus bagi mereka yang mendengarkan. Ini bukan hanya perikop larangan, tetapi lebih kuat lagi, ini adalah perikop perintah. Allah tidak ingin kita berdiri dengan lemah karena takut mengatakan sesuatu yang salah. Tidak, kita dipanggil untuk mempraktikkan keberanian iman, untuk berpikir, dan berbicara dengan berani sebagai agen dari Sang Raja yang memerintah setiap hubungan dan setiap keadaan. Kita harus selalu mempertimbangkan dunia roh yang tidak kelihatan dan berbicara sedemikian rupa, sehingga menghasilkan buah Roh bagi mereka yang mendengarnya. Bila kita telah berfokus pada tujuan anugerah Allah (manfaat rohani), kita perlu menanyakan cara terbaik untuk mencapainya. Cara apa yang terbaik, tempat terbaik, dan waktu terbaik untuk mengatakan apa yang perlu dikatakan, sehingga orang tersebut akan beroleh anugerah sebagaimana direncanakan Allah? Izinkan saya untuk memakai contoh orang tua. Sering orang tua menguliahi anak-anak mereka dalam usaha untuk membuat mereka melihat kesalahan yang telah diperbuat. Persoalannya adalah ini merupakan proses yang salah. Ketika orang tua sedang menguliahi, anak-anak akan diam-diam membela diri, mencari alasan, dan berdebat di dalam pikirannya; dan dengan cemas menantikan kapan "percakapan" itu selesai. Bahkan, di akhir kuliah, mungkin Anda mendengar anak Anda berkata, "Apakah Ayah sudah selesai?" Ini sama sekali bukan kata-kata pertobatan! Jika saya telah mempersiapkan diri dengan mempertimbangkan proses komunikasi yang terbaik, saya akan memasuki kamar anak remaja saya dengan mengetahui bahwa apa yang dia butuhkan adalah anugerah penginsafan dan pengakuan. Mungkin ini artinya lebih baik mengajukan pertanyaan terbuka yang memampukan anak itu untuk memeriksa keadaan, pikiran, dan motifnya, serta perilakunya, daripada memberitahukan pemikiran saya kepadanya. Saya tidak sekadar menginginkan dia untuk menyetujui saya; saya menginginkan dia untuk melihat dirinya dengan tepat pada cermin firman Allah. Saya tidak menginginkan dia untuk berurusan dengan saya, tetapi dengan Allah. Dalam setiap keadaan, saya perlu bertanya: Cara apa yang terbaik bagi kata-kata saya untuk mencapai tujuan anugerah Allah? Jawabannya akan berbeda menurut keadaan dan orang yang terlibat. 5. Jangan biarkan perkataan Anda menghambat karya Roh Kudus. ("Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.") Apa karya utama Roh Kudus? Menjadikan kita kudus. Karya pengudusan progresif dan seumur hidup ini, akan terus berproses dalam setiap keadaan dan hubungan. Dia memang bekerja dalam segala sesuatu demi kebaikan kita, agar kita dapat menjadi serupa dengan Sang Anak. (Roma 8:28-30) Sungguh menyedihkan jika percakapan kita yang mementingkan diri sendiri dan kotor menghambatnya! Itulah sebabnya, Paulus mengingatkan kita bahwa Allah memeteraikan kita bagi hari penyelamatan. Meterai adalah tanda kepemilikan. Sejak saat kelahiran baru kita, kita bukan lagi milik kita sendiri. Kata-kata kita juga bukan milik kita sendiri. Paulus mengulangi prinsip ini dalam 1 Korintus 6:19-20: "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, - dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" Dan saya tambahkan, dengan percakapanmu. Allah berkata, "Aku memiliki engkau dan Aku telah memilih engkau menjadi bagian dari karya pengudusan-Ku di dalam kehidupan orang lain. Jangan menghalangi!" Untuk menghindari ini, kita harus menghilangkan seluruh kegetiran, kegeraman, kemarahan, percekcokan, fitnah, dan kejahatan dari percakapan kita. Semua aspek negatif ini adalah bukti dari hati yang dikendalikan oleh keinginan dan tuntutan pribadi, hati yang telah merebut hak kepemilikan atas hati kita dari tangan Allah. Ketika kita telah menyingkirkan semua aspek negatif di atas, kita perlu percaya bahwa kita telah dibeli dan dimeteraikan oleh Allah. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul asli buku: War of Words: Getting to the Heart of Your Communication Struggles Judul buku terjemahan: Perang dengan Kata-Kata: Mengenali Inti Pergumulan dalam Komunikasi Anda Judul bab: Memilih Kata-Kata Anda Penulis: Paul David Tripp Penerjemah: Peter Ivan Ho Penerbit: Penerbit Momentum, Surabaya 2003 Halaman: 316 -- 323 KOMUNITAS KONSEL: KONSELOR YANG MEMBANGUN Ketika seorang konseli mendatangi seorang konselor, tentu dia datang dengan beberapa harapan. Setidaknya, dia berharap bisa mendapatkan nasihat yang berguna atau telinga untuk mendengarkan keluh kesahnya, sehingga dia dapat mengambil solusi untuk masalah yang dihadapinya dan merasakan kelegaan. Untuk membantu orang-orang yang bermasalah, seorang konselor memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendampingan dan nasihat yang membangun. Seperti apakah itu? Berikut adalah beberapa pendapat Sahabat e-Konsel di Facebook e-Konsel. e-Konsel: Menurut Anda konselor yang "membangun" itu seperti apa? Apa saja yang seharusnya dilakukan oleh seorang konselor kepada konselinya? Komentar: Magda Rohana: Konselor yang membangun adalah konselor yang meletakkan dasar yang benar dan kokoh untuk konselinya, memberikan nasihat yang dapat dilakukan dengan menjadi orang yang dapat dipercaya dan memberi teladan bagi si konseli. Shmily Tilestian: Konselor yang mampu membawa konselinya: 1. Kembali kepada Tuhan dan bertumbuh di dalam-Nya. 2. Menemukan solusi permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan prinsip firman Tuhan. 3. Melakukan follow up dengan baik terhadap konselinya. Theresia: Konselor yang membangun adalah konselor yang memberikan contoh-contoh positif, selain nasihat dan kesediaan untuk memberikan saran-saran yang bisa menjadikan konselinya menjadi pribadi yang lebih baik. Dia mendasarkan nasihatnya di atas firman Tuhan dan terus mendukung konseli dalam doa dan perhatian. e-Konsel: Jadi, seorang konselor seharusnya tidak hanya memberikan nasihat yang berdasarkan pengetahuan umum, namun juga membawa konseli untuk terus mengandalkan Tuhan dalam mengatasi masalah yang dihadapi ya? Bukan hanya membangun kepribadian dan wawasan, melainkan juga membangun imannya, karena itu yang penting ya? Yosua Setyo: Konselor yang membangun, menurut saya, adalah konselor yang membimbing konselinya untuk menemukan halangan yang membuatnya tidak bisa benar-benar terhubung dengan Allah dan kemudian (dalam anugerah Allah) bersama-sama meminta pertolongan-Nya, untuk menyelesaikan akar dari masalah itu. Berlin Berlian: Konselor yang membangun adalah konselor yang memiliki integritas dalam konselingnya, dan bertujuan mengarahkan konseli menuju kebaikan yang berpedoman pada prinsip-prinsip kebenaran Allah. e-Konsel: Dengan demikian, konselor tidak boleh sembarangan dalam memberikan nasihat dan pilihan solusi untuk konselinya ya. Menurut Anda seberapa penting keteladanan seorang konselor dalam membangun konselinya, Yosua dan Berlin? Apakah Anda memiliki pendapat yang berbeda? Silakan ungkapkan pendapat Anda di Facebook e-Konsel di < http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10151080521278755 >. Kontak: < konsel(at)sabda.org > Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Berlian Sri Marmadi Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/konsel > Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |