Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/304 |
|
e-Konsel edisi 304 (31-7-2012)
|
|
______________________________e-KONSEL________________________________ Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ______________________________________________________________________ Edisi 304/Juli 2012 DAFTAR ISI CAKRAWALA: KETERBELAKANGAN MENTAL TANYA-JAWAB: PRIORITAS MENDIDIK ANAK YANG KURANG NORMAL Shalom, Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang sempurna. Setiap orang tua pasti ingin memiliki anak-anak yang lahir secara normal, namun kenyataannya ada beberapa orang tua yang dianugerahi anak yang kurang sempurna, entah secara fisik atau secara mental. Orang tua yang memiliki anak yang tidak sempurna (berkebutuhan khusus) seperti ini seharusnya tidak dijauhi, tetapi justru didukung dan dikuatkan; demikian juga dengan anak-anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus itu. Dalam edisi 303 ini, e-Konsel menghadirkan artikel yang membahas tentang keterbelakangan mental -- apa penyebabnya dan stigma masyarakat tentang hal ini. Simak pula tanya-jawab tentang memprioritaskan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Kiranya sajian kami berguna bagi Anda dan konseli yang Anda layani. Soli Deo Glori. Pemimpin Redaksi e-Konsel, Sri Setyawati < setya(at)in-christ.net > < http://c3i.sabda.org/ > CAKRAWALA: KETERBELAKANGAN MENTAL Keterbelakangan mental lebih jarang dirujuk dalam tulisan keagamaan dan medis kuno daripada gangguan psikologis murni. Tetapi seperti halnya gangguan psikologis, hal itu disebabkan oleh berbagai alasan. Beberapa penulis memandangnya sebagai gejala alami, yang lain memandangnya sebagai manifestasi kekuatan roh jahat. Sampai zaman filsuf dan dokter Inggris, John Locke (1632-1704), keterbelakangan mental biasanya dipandang sebagai bentuk kegilaan. Sejak abad XIII sampai saat ini, keterbelakangan mental dipandang sebagai entitas yang terpisah, meskipun hal itu diperlakukan hampir sama dengan kegilaan oleh masyarakat sampai abad XX. Perubahan radikal terhadap keterbelakangan mental dihasilkan melalui studi tentang prinsip-prinsip genetis. Namun, hanya 5 persen dari kasus ini yang dikenali disebabkan oleh faktor keturunan. Tiga puluh sampai empat puluh persen penyebab kasus ini belum dikenal. (Dalam buku "Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Revisi ke-3 [DSM III-R, 1987, 30]). Keterbelakangan mental adalah kondisi ketika fungsi intelektual umum berada di bawah normal, dimulai sebelum usia 18 tahun dan dikaitkan dengan gangguan dalam perilaku penyesuaian diri. Satu persen dari masyarakat umum menderita keterbelakangan mental. Intelektual umum dianggap berfungsi dengan benar dilihat dari tingkat IQ, melalui tes kecerdasan standar seperti "Standford-Binet Intelegence Scale" atau "Wechsler Intelegence Scale for Children". Perilaku adaptif ditentukan melalui pengamatan klinis keefektifan seseorang dalam mencapai kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial yang sesuai dengan usia orang itu dan kelompok budayanya. Penyebab Beberapa penyebab keterbelakangan mental bersifat biologis, tetapi faktor psikologis juga bisa memainkan peranan. Penyebab tertentu bisa ditentukan oleh dokter sebelum anak berusia 2 tahun. Misalnya, tes rutin fenilalanin (asam amino esensial dalam menu manusia) dalam urine setiap anak untuk menemukan kemungkinan adanya fenilketonuria (PKU), yaitu kekurangan enzim khusus pada masa pertumbuhan anak di negara-negara bagian di Amerika pada umumnya. Gangguan metabolisme lemak dan karbohidrat tertentu juga bisa menyebabkan keterbelakangan mental. Sindrom down (mongolisme) merupakan salah satu problem genetik yang berkaitan dengan keterbelakangan mental yang bisa dikenali oleh dokter yang terlatih pada saat kelahiran. Gangguan psikiatris, mulai dari perilaku agresif sampai schizophrenia. Gangguan ini lebih sering dialami oleh orang yang memiliki keterbelakangan mental daripada masyarakat umum, perbandingannya antara tiga sampai empat kali lipat. Meskipun tidak setiap orang yang mengalami keterbelakangan mental mengalami gangguan emosi, namun semakin rendah kecerdasan seseorang, semakin besar peluang terjadinya gangguan emosional yang menyertainya. Tergantung pada etiologi (studi tentang sebab-sebab penyakit) khusus, orang yang mengalami keterbelakangan mental sering mengalami hilang ingatan atau gangguan pada penglihatan, pendengaran, atau fungsi motoriknya. Banyak hal yang berkaitan dengan faktor-faktor sebelum kelahiran telah dipelajari, seperti gizi ibu, yang memengaruhi perkembangan sistem saraf sentral bayi. Konsumsi alkohol selama kehamilan bisa menyebabkan sindrom alkohol pada fetus, satu kondisi yang dinyatakan melalui pertumbuhan yang lambat, keterbelakangan mental, dan kelainan bentuk kepala, wajah, tangan, dan kaki. Karena pada umumnya penderita hanya mengalami keterbelakangan mental ringan saja, maka diagnosis jarang dilakukan sampai anak-anak masuk sekolah. Banyak kasus keterbelakangan mental berkembang akibat gangguan psikososial. Kurang kasih sayang dan stimulasi intelektual, malnutrisi, pelecehan fisik, dan isolasi sosial pada masa awal kehidupan, semuanya dipercaya merupakan faktor yang bisa menyebabkan terjadinya keterbelakangan mental. Psikolog menggolongkan keterbelakangan mental menurut tingkat kecerdasan, yang disimpulkan melalui tes kecerdasan. Dalam buku DSM III-R (1987, 32-33) disebutkan ada empat kategori keterbelakangan: keterbelakangan ringan, sedang, berat, dan mendalam. Ratcliff (1985, 1987) menemukan tingkat perkembangan moral (dengan menggunakan tahap Kohlberg) orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental dalam tiap-tiap kategori ini, yang disimpulkan melalui tingkat keterbelakangan mental dan usia. Tingkat Perkembangan Moral 1. Ringan: IQ 50-55 sampai 70, usia mental 5-10 tahun, tahap moral kurang lebih 1/2. 2. Sedang: IQ 35-40 sampai 50-55, usia mental 3-5 tahun, tahap moral 0-1. 3. Berat: IQ 20-35 sampai 35-40, usia mental 2-3 tahun, tahap moral 0. 4. Mendalam: IQ di bawah 20-25, di bawah 2 tahun, tahap moral 0. Keterbelakangan mental lebih sering ditemukan pada laki-laki (perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,5: 1), dan lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi (85 persen mengalami keterbelakangan mental ringan, 10 persen sedang, 3-4 persen berat, 1-2 persen mendalam) (DSM III-R 1987, 32-33). Sebagai tambahan, dalam buku DSM III-R juga diusulkan kategori kecerdasan yang diberi istilah "fungsi intelektual perbatasan" yang mencakup orang-orang yang memiliki IQ 71 dan 84 (DSM III-R, 359-360). Orang-orang ini tidak dipandang mengalami keterbelakangan. Stigma dan Penempatan Selama bertahun-tahun, banyak orang yang mengalami keterbelakangan mental telah ditandai. Orang yang mau dan mampu bekerja sering kali ditolak karena telah diberi label "terbelakang". Akhir-akhir ini, pelembagaan orang yang terbelakang dilakukan secara rutin. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kondisi kebanyakan lembaga semacam itu yang menyedihkan, banyak orang yang terbelakang mentalnya dipindahkan ke rumah-rumah secara berkelompok atau ke rumah pribadi, atau bahkan dibebaskan. Meskipun hal ini sering kali menghasilkan konsekuensi yang positif, dalam banyak kasus orang yang sudah dibebaskan justru menjadi gelandangan. Pada sisi lain, orang yang tetap tinggal di sebuah lembaga mengalami penderitaan karena diabaikan atau dilecehkan orang-orang yang "merawat" mereka, dan jauh dari orang luar. Sejauh ini penempatan di tengah keluarga dan di rumah-rumah kelompok memiliki catatan sejarah yang paling baik dalam membantu orang yang terbelakang, meskipun beberapa juga memiliki kekurangan. Metode pelatihan yang baru, yang didasarkan pada prinsip belajar, telah dipakai orang yang mengalami keterbelakangan mental dan cukup sukses. Perawatan diri sendiri yang bersifat dasar, keterampilan sosial, dan kerja telah dipelajari melalui pembentukan dan peneguhan. Meskipun keterampilan semacam itu tidak "menyembuhkan" keterbelakangan mental, orang yang terbelakang sering kali bisa mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam penyesuaian diri daripada yang dipandang orang bisa dicapai pada masa lalu. Ada pelayanan yang murni, yang tersedia bagi orang-orang yang berharap untuk menolong orang yang terbelakang mentalnya. Apa pun yang dikerjakan untuk salah seorang dari saudara yang paling hina ini, dilakukan bagi Yesus (Matius 25:40). Ada kesempatan untuk menjadi teman pendamping dan saksi Kristen. Aktivitas semacam itu menghasilkan keuntungan yang pasti bagi orang yang bersedia merawat. Koop dan Schaeffer (1983, 30) mencatat bahwa perhatian terhadap orang yang cacat bisa menghasilkan "karakter yang lebih kuat, belas kasihan, pemahaman yang lebih dalam terhadap beban orang lain, kreativitas, dan ikatan kekeluargaan yang lebih dalam". Beberapa konteks untuk menolong bisa dikenali, termasuk mengunjungi orang yang mengalami keterbelakangan mental di lembaga, mengajar kelas khusus sekolah minggu di gereja atau di tempat mana pun mereka tinggal (biasanya untuk orang yang mengalami keterbelakangan ringan). Orang yang mengalami keterbelakangan mental yang tinggal di jalan-jalan membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan materi, serta pelatihan untuk merawat diri sendiri, yang mungkin tidak berhasil dilakukan agen pemerintah. Kekurangan kecerdasan pada diri orang yang terbelakang mentalnya harus dikenali sebelum ia berusia 18 tahun. Jadi, bagaimana kategori diagnostik seseorang yang IQ-nya menurun ketika ia berusia lebih dari 18 tahun? Jika penurunan tersebut cukup drastis dan bukan sekadar akibat kesalahan acak, hal itu mungkin karena sejenis kerusakan otak atau kemerosotan. Kategori diagnostik yang lebih tepat mungkin adalah "dimensia". Juga ada kemungkinan seorang yang berusia kurang dari 18 tahun bisa mengalami dimensia (misalnya, anak yang berusia 15 tahun yang kecerdasannya normal sebelum terjadi kecelakaan, tetapi yang memenuhi kriteria keterbelakangan mental sesudah itu). Penyakit Alzheimer merupakan salah satu bentuk dimensia. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul asli buku: Introduction to Psychology and Counseling Judul buku terjemahan: Pengantar Psikologi & Konseling Kristen I Judul bab: Inteligensi Penulis: Paul D. Meier, M.D., dkk. Penerjemah: Johny The Penerbit: (PBMR) ANDI, Yogyakarta 2004 Halaman: 172 -- 177 TANYA-JAWAB: PRIORITAS MENDIDIK ANAK YANG KURANG NORMAL Tanya: Bagaimana prioritas mendidik anak yang kurang normal, seperti IQ rendah, cacat fisik (tuli, bisu, atau cacat mental), hiperaktif, autis, dan lain-lain? Jawab: Anak-anak dengan kebutuhan khusus harus diberikan perhatian yang lebih, bahkan seharusnya diterapi di tempat-tempat pembimbingan yang memang dikhususkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Jika orang tua memiliki waktu dan pengetahuan, tidak ada masalah dan hal ini baik. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, lebih baik mereka membawa si anak ke tempat terapi. Waktu terapi terbaik adalah sebelum anak berumur 8 tahun. Karena itu, jangan tunda-tunda. Jangan juga bersikap konyol dengan mengingkari fakta dengan berkata, "Anak saya normal, saya beriman dan saya imani, saya klaim bahwa dia anak normal dan Tuhan sudah menyembuhkan, anak saya tidak ada masalah." Ini bukan iman, tetapi konyol dan Anda akan menyesal bahwa usia emas anak sudah lewat. Ketika anak bertumbuh menjadi remaja dan tidak sembuh juga, maka terapi sudah tidak bisa mengubahnya lagi, dan penyesalan tidak ada gunanya lagi. Bacalah kisah-kisah orang sukses, banyak anak-anak kurang sempurna (cacat mental, cacat fisik, tunarungu, dan tunanetra) bisa berkarya dengan luar biasa dengan tetap dalam keadaan cacat mereka. Melalui terapi yang dilakukan dengan benar, maka bakat dan talenta mereka bisa ditemukan dan mereka bisa dibimbing untuk berkarya. Janganlah membuang anak cacat atau mengurungnya di kamar karena merasa malu. Ini sikap yang tidak produktif yang membuat anak semakin menderita. Sebaliknya, ajaklah anak tersebut ke tempat umum, kenalkan dia dengan banyak orang, biarkanlah citra dirinya pulih, dan diperlakukan dengan wajar. Secara perlahan, cobalah untuk menemukan bakat khususnya dan arahkanlah dia untuk mengembangkannya. Banyak anak yang cacat fisik yang memiliki bakat khusus dalam bidang seni seperti grafis, desain, musik, lukis, dll.. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: Anak Cerdas, Ceria, Berakhlak Judul bab: Tanya Jawab Penulis: Ir. Jarot Wijanarko Penerbit: PT. Happy Holy Kids, Banten 2010 Halaman: 111 Kontak: < konsel(at)sabda.org > Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Berlian Sri Marmadi Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/konsel > Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |