Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/286 |
|
e-Konsel edisi 286 (27-3-2012)
|
|
______________________________e-KONSEL________________________________ Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ______________________________________________________________________ Edisi 286/Maret 2012 DAFTAR ISI CAKRAWALA: KEINDAHAN KEBERSAMAAN KELUARGA KOMUNITAS KONSEL: MENJAGA HUBUNGAN KELUARGA AGAR TETAP HARMONIS Shalom, Bagaimana kabar keluarga Anda? Apakah keluarga Anda saat ini sedang mengalami ketidakharmonisan? Semoga tidak. Andai kata pun ada keluarga yang sedang tidak harmonis, e-Konsel berharap semuanya bisa segera dipulihkan. Dalam edisi minggu terakhir bulan ini, e-Konsel menyajikan sebuah artikel tentang keindahan kebersamaan keluarga dan berbagai opini Sahabat Konsel terkait dengan bagaimana menjaga hubungan keluarga. Kiranya apa yang e-Konsel hadirkan ini menjadi berkat bagi keluarga-keluarga Kristen di mana pun berada. Semoga, keluarga Anda tetap harmonis selamanya, Tuhan Yesus memberkati. Pemimpin Redaksi e-Konsel, Sri Setyawati < setya(at)in-christ.net > < http://c3i.sabda.org/ > CAKRAWALA: KEINDAHAN KEBERSAMAAN KELUARGA Dalam keluarga, kita dapat mengalami hal yang indah melalui "fellowship" (hubungan) -- pada saat bersekutu hidup bersama, aslinya kelihatan. Emas bila dicampur logam menjadi karat yang berbeda-beda. Tetapi waktu dibakar dengan api, logamnya musnah, sisanya tinggal yang asli -- emas murni. Siapa diri kita sebenarnya, dalam istilah psikologi: "The Real I" (Siapa saya yang sesungguhnya)? Tanpa topeng. Bila kita becermin dan mengetahui siapa sesungguhnya diri kita, kita mungkin akan ketakutan setengah mati. Kitab Suci mengatakan bahwa kita adalah manusia yang berdosa, dari dalam hati muncul pikiran jahat, fitnah, percabulan, hujatan, dan iri hati. Waktu keadaan asli kita dibuka, terlihat sangat menakutkan. Intisari Kitab Suci adalah Tuhan Yesus mati di kayu salib demi kita; diri ini seperti sampah yang baunya busuk, tetapi dengan kematian Kristus, Dia membawa kita ke tempat yang mulia, tempat yang indah. Pada dasarnya, manusia menutupi dirinya dengan topeng yang berlapis-lapis. Kita ingin dikenal sebagai orang baik, ramah, dan supel, maka dari itu kita senang menebar senyum ke sana ke mari. Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa (1 Yohanes 1:7-8). Orang biasanya berlagak baik di depan orang lain, tetapi dalam keluarga kelihatan seperti apa dia sesungguhnya. Kita bisa berlaku ramah di gereja, toh hanya satu sampai dua jam. Latihan paduan suara, melayani Tuhan, beribadah, rapat, kita mampu bersikap seperti seorang yang baik. Namun, ketika kembali ke habitat sebenarnya, orang rumahlah yang paling tahu siapa Anda. Nanti yang bersaksi tentang kita di hadapan Tuhan bukan orang lain, tetapi anggota keluarga kita. Mengutamakan Keaslian Ini bukan berarti "be yourself" (menjadi diri Anda sendiri), sebagaimana adanya aku. Istilah "be yourself" memiliki kesan keras kepala -- aku mau menjadi diriku seperti ini, memang kenapa? Hanya Tuhan dalam kesempurnaan-Nya yang berhak berkata "I AM that I AM" (Aku adalah Aku). Dahulu, sekarang, dan selamanya, Aku tidak berubah. Sebaliknya, kita harus berubah menuju kesempurnaan. Keluarga berfungsi sebagai cermin. Memantulkan siapa sesungguhnya diri Anda. Waktu kita becermin, kelihatan semua jerawat kita. Cermin memantulkan apa adanya, bukan ada apanya. Pasangan menjadi cermin, hanya istri yang berani berkata pada suami, "Kamu jadi orang kok kasar amat!" Di sisi lain, suami jadi cermin karena suamilah yang berani berkata pada istrinya, "Kenapa akhir-akhir ini kamu kok suka marah?" Dalam keluarga, Anda bisa menunjukkan keaslian. Keluargalah yang menjadi bengkel, diri yang buruk "diservis" dan "ditune-up" supaya lebih baik lagi. Mengalami Kesalingan Saling membantu, saling mendoakan, dan saling menopang. Selamanya manusia membutuhkan tiga hal: ditolong, diperhatikan, dan dikasihi. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pastilah frustrasi, susah hati, dan ujung-ujungnya kegilaan sudah menanti. Siapa yang memerhatikan kita? Siapa yang mau menolong kita? Siapa yang bisa mengasihi kita? Tetangga? Teman kantor? Tidak mungkin, bukan? Jika anggota keluarga tidak memperoleh hal di atas, dia akan mencarinya di luar. Banyak remaja terlibat pergaulan bebas dan dunia narkoba, karena mencari pengakuan dari teman-temannya. Mengapa demikian? Karena di rumah, ia tidak mendapatkannya. Papa sibuk bekerja. Mama beraktivitas di luar rumah terus. Akhirnya, anak remaja ini merasa dikasihi dan diterima saat dia berada di tengah teman-temannya. Apa kata temannya pasti dilakukan. Kalau melakukan yang baik, ini tidak masalah; kalau melakukan yang buruk? Sungguh menyedihkan. Karena itu, jangan egois, kita harus membangun semangat kesalingan di dalam keluarga. Semangat kesalingan adalah simbiosis mutualisme. Lawannya, parasitisme -- aku memakan kamu. Sampai kurus kering, aku tidak peduli, yang penting aku tetap hidup. Ada dua tipe egois: 1. Hanya bisa menerima saja. Kebahagiaan, emosi, dan keputusan harus didapat dari orang lain. Orang lain yang harus membuatnya bahagia. 2. Hanya bisa memberi saja. Ada motivasi tersembunyi ketika memberi, dia ingin dipuji. Jadi, sering kali ia memberi tanpa melihat kebutuhan orang yang diberi. Yang paling sehat adalah serba bisa (interdependent) -- bisa memberi, bisa menerima, bisa mengasihi, bisa dikasihi, bisa memberi pendapat, dan bisa diberi masukan. Mengalami Pengampunan dan Belas Kasihan Apa yang membuat seseorang menjadi egois? Apa yang membuat seseorang tidak peduli kepada orang lain? Jelas, karena dalam hidupnya tidak pernah mengalami pengampunan dan belas kasihan. Dia menjadi orang yang keras di dalam hatinya, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain. Saat melihat orang lain, tidak muncul rasa mengasihi. Kemungkinan, dia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang kering kasih sayang. Dalam keluarga, jika bisa mengampuni dan diampuni setuntas-tuntasnya adalah pengalaman yang agung dan indah. Istri yang bersalah tetapi diampuni setulus-tulusnya oleh sang suami, akan mengalami sebuah pengalaman mengharukan dan tidak terlupakan. Jika ada pengalaman diampuni, maka seseorang akan menjadi murah hati dan berbelas kasihan kepada orang lain. Keluargalah konteks yang paling tepat untuk mempraktikkan pengampunan dan saling mengasihi. Hanya orang egoislah yang tidak bisa mengampuni orang lain. Orang egois mungkin mengampuni, tetapi kemudian berkata, "Tapi saya tahu kok, di antara kita sudah tidak bisa bergaul lagi." Dia tidak mau belajar bahwa melalui konflik ada kesempatan makin dekat. Konflik yang sehat setelah pertengkaran, orang yang berseteru malah akrab. Konflik yang tidak sehat adalah setelah bertengkar langsung terjadi perpisahan selama-lamanya. Mengapa saat ini ada suami istri tidak bicara berhari-hari? Setelah berhari-hari dilanjutkan sampai berminggu-minggu? Bahkan, ada istri yang mengatakan sudah bertahun-tahun tidak akrab dengan suaminya. Suaminya malah akrab luar biasa dengan teman kantornya. Ia bisa mengobrolkan banyak hal berjam-jam dengan temannya, tetapi sangat dingin dengan istrinya. Mengapa bisa begini? Kemungkinan mereka pernah mengalami konflik, lalu saling menyakiti dan tidak ada pengampunan. Seperti sedang membangun bata demi bata, pelan-pelan tanpa terasa menjadi sangat tinggi. Antara suami dan istri terpisah oleh bata tersebut, sehingga walaupun mereka masih bersama tetapi mereka tidak bisa bercakap-cakap lagi. Suami ada, istri ada, tetapi sudah tidak digubris karena tidak bisa melihat. Batanya terlalu tinggi! Firman Tuhan berkata, "sehingga kamu sebaliknya harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat." (2 Korintus 2:7) Seperti apa rasanya dicuekkan pasangan berhari-hari? Aduh... rasanya sakit hati sekali! Saya juga mau mengaku dosa. Saya pernah mendiamkan Liana (istri saya) berhari-hari (dua hari). Saat ada konflik yang tak terselesaikan, rasanya ingin menghukum pasangan dengan mendiamkannya. "Aku sudah malas bicara denganmu, lebih baik aku diam saja." Sebenarnya ini sangat menyakitkan, tetapi sekarang saya sudah bertobat, lagi pula saya tidak tahan mogok bicara (diam-diaman). Jangan egois, jika sekarang Anda saling mendiamkan pasangan. Mari kita merendahkan diri di hadapan Tuhan. Jumpai pasangan Anda. Ajaklah bicara pasangan Anda baik-baik, sambil membawa bendera putih tanda menyerah. Jika kita memelihara kekecewaan, maka sesungguhnya kejahatan ada di dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita berkata kepada Tuhan, "Tuhan, hadirkanlah kasih itu kepadaku!" Saat itu juga marah dan dosa hilang. Di mana ada dosa, kasih hilang. Di mana ada kasih, dosa hilang. Kehadiran Tuhanlah yang membuang semua keinginan dosa dalam diri kita, maka peliharalah kasih, terutama kepada pasangan dan anak-anak. Setelah menikah, mari kita menurunkan ego serendah-rendahnya, agar kekasih kita mendapat ruangan yang layak dalam hati kita. Jika tidak demikian, pastilah kekasih kita sudah diusir ke luar oleh si ego yang menguasai diri kita. Selamat merendahkan ego kita! Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: Garam dan Terang bagi Keluarga Judul bab: Not Egocentric (Tidak Egois) Penulis: Chang Khui Fa Penerbit: Pionir Jaya, Jakarta 2009 Halaman: 317 -- 321 KOMUNITAS KONSEL: MENJAGA HUBUNGAN KELUARGA AGAR TETAP HARMONIS Keluarga adalah tempat yang begitu indah untuk berbagi dan bertumbuh. Tanpa keluarga, kita tidak akan tetap tegar dalam menjalani hari-hari kita. Saat kita susah, senang, gagal, ataupun berhasil, keluargalah yang paling setia menemani dan menerima kita. Tidak ada seorang pun yang ingin terpisah dari keluarga. Namun, ada kalanya kita harus pergi meninggalkan keluarga karena studi atau pernikahan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kita putus hubungan dengan keluarga. Lalu bagaimana agar hubungan dengan keluarga bisa tetap terjaga walaupun terpisah ruang dan waktu? Di dinding Facebook e-Konsel, ada sebuah pertanyaan sejenis. Dan beginilah komentar Sahabat Konsel. Pertanyaan: Menurut Anda, bagaimana agar hubungan keluarga kita tetap baik dan harmonis, sekalipun anak-anak kita atau kita harus tinggal di luar kota saat kuliah atau setelah menikah? Bagikan kiat-kiatnya ya. Komentar: Shmily: Komunikasi harus lancar, biasanya tantangannya adalah kesibukan masing-masing. Kalau masih serumah, bisa diingatkan secara langsung, tapi kalau sudah di luar kota, kan tidak bisa mengingatkan langsung. Jadi, harus ditekankan/didisiplinkan untuk selalu kasih kabar seminggu 3-4 kali, misalnya. e-Konsel: Oke, Shmily. Hal ini tentu berlaku juga untuk anak yang sudah menikah dan tinggal beda rumah dengan orang tua ya? Selain jaga komunikasi, kira-kira apa ya yang dapat dilakukan? Mahardhika: Saling menelepon, sms, atau (cara kuno) berkirim surat. Joe Merra: Jaga komunikasi, misalnya jam segini harus menghubungi keluarga. Kalau tidak begitu, seiring berjalannya waktu, kita akan tenggelam dalam kegiatan kita dan kehilangan komunikasi dengan mereka. Saling mengingatkan itu akan menunjukkan sikap perhatian kita. Komitmen untuk saling percaya dan menjaga komitmen itu lebih penting. Yang kuliah jaga pergaulan atau yang kerja juga harus bisa mengatur diri dll., yang terpenting berpedoman firman Tuhan. Gunung: Setuju dengan pendapat di atas, jaga komunikasi. Meskipun tidak ditinggal di luar kota pun, kita harus tetap berkomunikasi antaranggota keluarga. e-Konsel: @Mahardhika: Terima kasih idenya. Menurutmu perlukah seminggu sekali anak yang kuliah di luar kota pulang ke rumah? Atau sebulan sekali bagi anak yang sudah berkeluarga? @Joe Merra: Betul, saling mengingatkan dengan sms ayat Alkitab tentu sangat membangun ya. e-Konsel: @Gunung: Adakah ide lain selain menjaga komunikasi? Berlin: Semua hubungan dimulai dengan komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, hubungan juga sulit untuk dipertahankan. Selain itu, kepercayaan juga merupakan elemen yang kuat dalam memperkokoh hubungan. Pasangan harus saling memercayai dan juga harus saling jujur. Ketiga hal itu harus dibungkus dalam doa dan penyerahan kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh. e-Konsel: @Berlin: Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah kunci utama untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga ya... Theresia: Kunjungan rutin juga bisa jadi pilihan dong... misalnya, anak yang sudah menikah sebaiknya tetap teratur mengunjungi orang tua dan saudara agar tali silaturahmi tetap terjaga. Tidak melulu sibuk dengan keluarga baru. Bagi yang masih kuliah, tetap ingat pulang juga tapi jangan hanya karena butuh uang. e-Konsel: @Theresia: Tepat! Selain komunikasi, kontak fisik -- bertemu muka, sangat penting untuk menunjukkan kasih dan perhatian. Komunikasi tanpa ada relasi tatap muka juga rasanya kurang sempurna ya... Terima kasih untuk komentar Anda. Jika Anda ingin berbagi pendapat, silakan tinggalkan komentar Anda di < http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10150609511868755 >. Komentar Anda pasti bermanfaat bagi orang lain. Terima kasih. Kontak: < konsel(at)sabda.org > Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Mahardhika Dicky K. (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/konsel > Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |