Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/279

e-Konsel edisi 279 (7-2-2012)

Kasih Kristiani

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 279/FEBRUARI 2012

DAFTAR ISI
CAKRAWALA: KASIH TANPA SYARAT
ULASAN SITUS: IPEKA COUNSELING CENTER (ICC)

Shalom,

"Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan
kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih." (1 Korintus
13:13) 
Kasih itu kekal dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Kasih
itu mengampuni, menerima apa adanya, menutupi semua kesalahan, dan
bertahan sampai akhir.

Pada bulan Februari, e-Konsel mengangkat tema tentang kasih. Dalam
edisi pertama bulan ini, kami menyajikan artikel yang berjudul "Kasih
tanpa Syarat" dan ulasan situs konseling yang dikelola oleh Yayasan
IPEKA. Selamat menyimak sajian kami, dan tetaplah konsisten untuk
hidup di dalam kasih kristiani yang selalu membagi. Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Sri Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >

                   CAKRAWALA: KASIH TANPA SYARAT
                   Diringkas oleh: Sri Setyawati

G.K. Chesterson, seorang penulis dan jurnalis, mengatakan bahwa tujuan
utama pendidikan bukanlah mempelajari sesuatu, melainkan belajar
meninggalkan sesuatu. Kita perlu belajar melupakan segala anggapan
kita dulu mengenai cinta, agar kita dapat memahami kasih kristiani
yang sebenarnya.

Dalam sebuah upacara perkawinan, ada pasangan yang mengucapkan ikrar
perkawinan seperti ini, "Saya berjanji akan mencintaimu selama saya
bisa tetap jujur pada diri saya sebagai manusia, saya berjanji akan
mencintaimu selama kita mampu saling membantu mengembangkan potensi
masing-masing semaksimal mungkin, saya berjanji akan mencintaimu
selama cinta kita tak berubah." Janji tersebut mengungkap suatu
ketetapan niat yang bersyarat. Janji itu berlaku selama syarat-syarat
itu dipenuhi.

Hal ini berbeda dengan kasih kristiani yang tak bersyarat. Dalam
mengasihi, kita harus meninggalkan syarat-syarat kasih seperti
berikut.

Kasih yang Memilih

Secara alamiah kita cenderung hanya mengasihi orang-orang yang seperti
kita; memiliki persamaan suku, minat, hal kejiwaan, pekerjaan, atau
ekonomi. Pilihan-pilihan ini menambahkan sebuah syarat pada cinta.
"Saya akan mencintai dirimu selama...."

Banyak pria dan wanita modern yang amat pemilih dalam menentukan siapa
yang akan mereka kasihi. Pola khas pergaulan semacam ini ialah memilih
dua atau tiga orang teman dekat, dan boleh dikatakan mengabaikan yang
lain. Bila jumlah teman dekat yang mereka pilih itu menurun,
syarat-syarat pun bertambah. Seseorang terpilih sebagai teman, sebab
dia seimbang dengan seseorang yang memilihnya. Karenanya,
sumber-sumber perselisihan yang mungkin ada diperkecil, agar dapat
memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari persahabatan itu.

Inilah pola yang saya ikuti sebelum saya menjadi orang Kristen. Saya
memunyai dua teman akrab saja. Hubungan kami membentuk suatu
lingkungan yang akrab dengan beberapa aspek yang baik, namun tertutup.
Hubungan kami menjadi hubungan yang sangat mengikat diri dan terbatas
pada kelompok kecil saja.

Akhirnya, kami bertiga menjadi Kristen (menerima Kristus sebagai Juru
Selamat) dan menjadi anggota jemaat yang sama. Kami masih tetap
berhubungan erat. Dalam banyak hal, ikatan kami semakin kuat, karena
ikrar kami sebagai orang Kristen. Namun kini, kami masing-masing juga
dekat dengan sejumlah anggota lain dari kelompok yang lain. Dan kami
merasa terikat juga pada banyak orang yang sama sekali berbeda dengan
diri kami.

Kasih yang Menguntungkan

"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;
mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang
yang mencaci kamu... kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu
akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi,
sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan
terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:27-28, 32-35)

Kasih kristiani tidak mengharapkan balas budi dari kasih yang mereka
berikan. Sebenarnya, kita cenderung mengasihi orang-orang yang mampu
membalas kasih kita saja, atau orang-orang yang menghargai kita. Akan
tetapi, hal itu membatasi kasih kristiani. Ketika Yesus memerintahkan
kita untuk mengasihi musuh-musuh kita, Ia menentukan batas yang lebih
tinggi dalam kasih.

Tentu, selalu ada orang-orang yang sukar untuk kita kasihi. Ini
normal. Mungkin beberapa orang tadi adalah musuh kita, yakni
orang-orang yang hendak menyakiti kita, tetapi kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang hanya menjengkelkan kita, orang-orang yang
kepribadiannya bertolak belakang dengan kepribadian kita. Namun
demikian, mengasihi orang-orang seperti ini ada juga keuntungannya
bagi kita. Mereka itu seperti kertas ampelas yang menimbulkan
pergesekan. Manfaatnya timbul apabila sifat-sifat mereka yang
menjengkelkan itu menghasilkan sesuatu yang kita butuhkan, seperti
kesabaran yang lebih besar, toleransi, keluwesan, dsb.. Ini semacam
pemolesan rohani. Walaupun kita memperoleh manfaat dari pemolesan ini,
tetapi ini bukan alasan utama untuk mengasihi orang lain, dengan tidak
mempersoalkan apakah kita akan mendapat keuntungan atau tidak bila
kita mengasihi mereka.

Adakalanya, orang-orang yang sukar kita cintai ini akan menghargai
usaha kita. Tetapi walaupun mereka tak menghargai usaha kita, kita
harus mengasihi mereka dan melayani mereka, seperti yang dilakukan
Yesus (Lukas 17:11-18).

Walaupun Yesus tidak menyetujui sikap tak tahu berterima kasih, bahkan
Ia mengecamnya, namun kasih-Nya tidak bergantung pada ucapan terima
kasih yang diberikan, sebagai alasan atas kasih-Nya. Bila kita
mendapati diri kita melayani orang-orang yang lupa menyatakan terima
kasih mereka, kita tidak boleh menanggapi sikap mereka itu dengan
mengatakan, "Itulah kali terakhir saya membantu mereka." Akan tetapi,
sebagaimana Tuhan kita, Yesus, kita hendaknya mengasihi dan melayani
orang-orang yang tak tahu berterima kasih. Pelayanan ini tak dapat
dilakukan dengan kasih yang bergantung pada keuntungan.

Kadang kala, kasih itu menguntungkan. Kasih itu menular. Orang-orang
yang kita kasihi cenderung membalas kasih kita. Tetapi keuntungan
perseorangan bukanlah urusan kita. Kita harus mengasihi tanpa
memedulikan apakah itu menguntungkan atau tidak.

Kasih yang Berhati-Hati

"Kasih itu penuh risiko. Apa yang terjadi bila orang yang Anda kasihi
itu berpaling dan mengkhianati Anda? Apakah yang akan terjadi bila
orang yang Anda kasihi itu meninggal dunia, atau menemui kemalangan?
Bukankah kasih hanya akan membuat hati Anda terluka?" Kasih yang
berhati-hati berusaha melindungi diri dari dukacita. Hal menjauhi
dukacita, kesulitan, dan cobaan akan menjadi syarat-syarat kasih. Cara
semacam ini menjadi semakin umum dalam hubungan kita, dan orang mudah
berubah karena mereka mendasarkan kasih pada perasaan.

Tentu saja tidak bisa dijamin, bahwa kasih kristiani tidak akan
membawa dukacita. Orang Kristen masih bisa berbuat dosa dan masih
dapat saling menyakiti hati. Rasul Yakobus mengatakan bahwa kasih
"menutupi banyak dosa." Maksudnya, ada banyak dosa yang dapat
ditutupi. Hubungan yang langgeng hanya dimungkinkan dengan menahan
kesedihan melalui kasih yang mengikat diri, bukan dengan cara
menghindari kesedihan.

Daripada mencari-cari cara melindungi diri agar hati tidak terluka
dalam pergaulan kita dengan sesama, lebih baik orang Kristen melakukan
pendekatan lain dalam menangani hal tersebut. Dalam pelajaran bela
diri, salah satu pelajaran pertama yang diberikan adalah cara
menjatuhkan diri yang tepat. Para pelatih bela diri memang realistis.
Mereka menganggap bahwa anak-anak asuhan mereka nantinya harus menahan
tendangan-tendangan yang tangguh. Maka dari itu, mengetahui cara
menjatuhkan diri yang baik, serta cara mengatasi pukulan-pukulan yang
datang adalah ketangkasan yang penting.

Orang Kristen juga dapat belajar cara menahan sakit hati dalam
hubungan antar pribadi, yakni melalui pengampunan, kesabaran, langsung
menangani perselisihan, dst., tanpa membuat semakin tegang ataupun
menjaga jarak.

Kasih demi Pemuasan Diri

"Saya butuh hubungan yang penuh kasih, supaya hidup saya memuaskan."
Siapakah akan memungkiri fakta yang tersirat di dalam pernyataan itu?
Kita semua butuh hubungan penuh kasih agar hidup kita memuaskan.
Masalahnya bukanlah pemuasan diri, tetapi menganggap pemuasan diri
sebagai tujuan hidup kita.

Bila pemuasan diri adalah tujuan akhir, maka akan ada kecenderungan
untuk memandang hubungan kasih sebagai alat untuk mencapai tujuan itu.
Sering kali pendekatan ini menuntun kita untuk memusatkan perhatian
pada kebutuhan pribadi akan kasih sayang atau pemuasan diri sendiri
melalui cinta. Kasih yang tadinya merupakan pelengkap dari pemuasan
diri, kini menjadi syarat lain yang harus dipenuhi.

Tujuan hidup orang Kristen bukanlah pemuasan diri, melainkan kasih
akan Allah dan sesama manusia. Ajaran-ajaran Alkitab mendorong kita
untuk memusatkan diri pada sesama, dan bukan memikirkan diri sendiri.
Kita mengasihi, bukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi,
tetapi sebagai tanggapan kasih Allah, "Kita mengasihi, karena Allah
lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yohanes 4:19) Kasih bukanlah upaya
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu pemuasan diri,
kebahagiaan, ataupun kepuasan pribadi; kasih itulah tujuannya.

Kasih sebagai Ganjaran atau Hukuman

Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa teknik ganjaran dan hukuman
sangat efektif untuk mengubah tingkah laku. Sebagai contoh adalah
tikus, ia dapat dilatih untuk melakukan latihan-latihan yang cukup
sulit.

Karena kasih itu sangat kuat, kita cenderung memakainya sebagai suatu
ganjaran, atau menariknya kembali sebagai hukuman. Tetapi kasih
semacam itu adalah kasih yang bersyarat. Kasih kristiani tidaklah
untuk diamalkan dengan cara seperti itu. Kita tidak boleh menarik
kembali ikatan janji kita untuk mengasihi orang lain, sebagai hukuman
bagi orang tersebut bila ia bersalah; kita juga tidak boleh mengancam
akan menarik kembali kasih kita, agar ia terdorong untuk mengubah
dirinya. Dengan perkataan lain, mengasihi atau janji untuk lebih
mengasihi hendaknya tidak dimanfaatkan sebagai alat pemikat.

Saya tidak mau memberi kesan bahwa kita berlaku tidak konsekuen jika
kita mengasihi orang lain, dan bersamaan dengan itu pula, kita mencoba
mengubah mereka. Kita bisa saja menerima dan mengasihi orang lain, dan
pada saat yang sama, berusaha mengubah tingkah laku mereka. Cara Tuhan
menerima dan mengasihi kita adalah contoh yang baik, yang dapat kita
terapkan dalam hubungan kita dengan sesama.

Dalam kebaktian penginjilan yang dilakukan Billy Graham, sebuah lagu
dinyanyikan, "Sebagaimana adaku, kudatang pada-Mu, Yesus." Kata-kata
lagu pujian itu menyatakan suatu kebenaran yang penting: Allah
mengundang kita untuk datang kepada Yesus dan menerima keselamatan,
walau bagaimanapun keadaan kita. Warta suci Kristus bukanlah "berubah
dahulu, baru datang", tetapi "datanglah, sebagaimana ada." Meskipun
demikian, perubahan merupakan bagian berita keselamatan. "Datanglah
sebagaimana adanya, tetapi jangan tetap dalam keadaan itu; berubahlah
supaya serupa dengan Kristus."

Maksud kasih yang mengubah tingkah laku ialah bahwa kasih yang kita
berikan itu tidak tergantung pada tingkah laku orang, bukan berarti
kita tak boleh berusaha mengubah kelakuan orang. Sebenarnya,
adakalanya kita wajib mencoba memperbaiki tindak-tanduk seseorang.
Misalnya, apabila tingkah laku seorang anak tidak pantas, maka orang
tua wajib berusaha agar kelakuan anak mereka berubah. Kita tidak boleh
mengabaikan tanggung jawab kita untuk membantu maupun mendorong orang
yang kita cintai untuk mengubah kelakuannya, jika memang harus
melakukannya. Namun, kita hendaknya jangan mengancam bahwa kita akan
berhenti mengasihi mereka, jika mereka tidak mengubah kelakuan mereka.

Kasih yang Harus Setimpal

Keseimbangan dalam kasih itu bertalian dengan menjaga agar semua
setimpal. Namun, mencari keseimbangan itu sama seperti hendak
menjangkau bintang yang jauh sekali dari kita.

Dalam Efesus 5:25, Paulus mengatakan, "... kasihilah isterimu
sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat...." Nasihatnya membatalkan
usaha untuk memelihara keseimbangan dalam kasih. Saya tidak dapat
membayangkan bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya seperti itu. Puji Tuhan,
Ia tidak pernah menerapkan prinsip keseimbangan kasih semacam itu
kepada saya.

Hanya kasih tanpa syarat -- kasih yang tidak ambil pusing dengan
ketidakseimbangan dalam pernyataan kasih -- yang dapat mengakhiri
prinsip kasih yang setimpal. Seperti Yohanes menuliskan, "Kita
mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita," bukan "kita
mengasihi agar semua itu setimpal."

Dalam bentuk apa pun kasih itu muncul, kasih yang bersyarat bukanlah
kasih kristiani. Kasih kristiani berdasarkan kasih Tuhan yang tidak
bersyarat kepada umat-Nya, yakni kasih yang diulurkan-Nya kepada kita,
walaupun kita memusuhi Dia (Kolose 1:21-22).

Ringkasan

Kasih yang diamalkan oleh orang Kristen hendaklah kasih tanpa syarat.
Kasih yang memilih, mendorong kita untuk hanya mengasihi orang-orang
yang serupa dengan kita. Kasih yang menguntungkan, mendorong kita
untuk mengasihi sesama bila kita melihat bahwa kasih yang kita
tanamkan itu membuahkan hasil/balasan. Kasih yang berhati-hati,
berusaha melindungi kita dari sesuatu yang menyakiti hati kita atau
dari kekecewaan. Kasih demi pemuasan diri, hanya mengutamakan
kebutuhan kita akan pemuasan diri. Kasih yang dipakai sebagai sarana
untuk mengubah kelakuan orang yang kita kasihi, berarti menggunakan
kasih sebagai ganjaran atau hukuman. Kasih yang harus seimbang,
berusaha agar segala sesuatu seimbang, tidak pernah memberikan lebih
banyak atau lebih sedikit kepada orang yang kita kasihi. Semua ini
adalah bentuk kasih yang menyimpang dari kasih kristiani. Kasih
kristiani, sama seperti kasih Tuhan, adalah kasih tanpa syarat.

Diringkas dari:
Judul asli buku: Decision to Love
Judul buku: Apakah Kasih Kristiani Itu?
Judul asli artikel: Tanpa Syarat
Penulis: Ken Wilson
Penerjemah: Tidak dicantumkan
Penerbit: Penerbit Gandum Mas, Malang
Halaman: 42 -- 57

Catatan: Jika Anda ingin membaca artikel ini seutuhnya, Anda bisa
mengaksesnya melalui situs Christian Counseling Center Indonesia di
alamat: http://c3i.sabda.org/kasih_tanpa_syarat

              ULASAN SITUS: IPEKA COUNSELING CENTER (ICC)

IPEKA adalah singkatan dari Iman, Pengharapan, dan Kasih. Yayasan
Kristen ini berkiprah di bidang pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah Kristen di beberapa kota besar di Indonesia. Selain
melayani melalui pendidikan, yayasan ini juga memiliki pelayanan
konseling yang diwadahi oleh IPEKA Counseling Center (Pusat Konseling
IPEKA) di Jakarta. Dengan semboyan "Pemulihan dan Pengharapan dalam
Kristus", ICC melayani konseling dan konsultasi bagi semua kalangan,
mulai anak-anak hingga dewasa. Selain melayani permintaan konseling
via surel, para konseli juga bisa datang langsung (tentu saja dengan
membuat jadwal terlebih dahulu dengan konselornya).

ICC juga melayani berbagai psikotes yang terkait dengan dunia
pendidikan dan karier, pelatihan psikologi, dan seminar/lokakarya
untuk peserta dalam jumlah banyak. Situs ini juga menyediakan
artikel-artikel menarik dalam kategori belajar, keluarga, masalah
perilaku, dll.. Silakan kunjungi alamat URL-nya untuk mengetahui
pelayanan konseling ICC selengkapnya. (MDK)

Tanggal akses: 23 September 2011

==> < http://www.ipeka.org >

Kontak: < konsel(at)sabda.org >
Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Mahardhika Dicky K.
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/konsel >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org