Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/269

e-Konsel edisi 269 (22-11-2011)

Konseling Pastoral bagi Orang Sakit

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 269/NOVEMBER 2011

DAFTAR ISI
CAKRAWALA: MENDAMPINGI ORANG SAKIT
KOMUNITAS KONSEL: KONSELING KLINIS

Salam kasih,

Salah satu hal yang paling tidak disukai dalam hidup ini adalah saat
kita sakit. Bagi orang sakit, bukan hanya makanan yang terasa tidak
nikmat, tubuh dan hidup pun mungkin akan terasa tidak nyaman. Hal ini
bisa bertambah parah, jika dia hanya berfokus pada rasa sakit/penyakit
yang dirasakannya. Untuk itu, orang sakit perlu dikuatkan dan didoakan
agar tetap memiliki semangat juang. Untuk mendampingi orang sakit dan
keluarga, seorang konselor harus memiliki cara pendekatan yang tepat.
Dalam edisi terakhir bulan November, e-Konsel mengetengahkan artikel
yang membahas tentang efek sakit fisik. Dengan membaca artikel ini,
kami berharap Anda dapat menentukan cara pendekatan yang tepat untuk
membantu konseli Anda. Apakah Anda pernah memiliki pengalaman dalam
pelayanan konseling klinis? Simaklah beberapa pendapat Sahabat
e-Konsel tentang hal ini di kolom Komunitas Konsel. Kiranya sajian
kami dalam edisi ini berguna bagi Anda dalam melayani Tuhan dan
sesama. Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Sri Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >

                   CAKRAWALA: MENDAMPINGI ORANG SAKIT

Dalam banyak hal, sulit bagi kita untuk memisahkan efek penyakit dan
penyebabnya. Rasa sakit, perasaan tidak berdaya, emosi, dan reaksi
keluarga terhadap suatu penyakit, bisa menjadi efek sekaligus juga
penyebab masalah fisik dan penyesuaian lainnya. Banyak reaksi, seperti
rasa bersalah atau amarah, dapat memperburuk penyakit dan memperparah
sakit fisik. Hal ini membuat perasaan bersalah atau amarah semakin
bertambah, dan "lingkaran setan" pun berkembang.

Mudah bagi kita untuk memerhatikan efek negatif suatu penyakit, tetapi
sulit untuk melihat manfaat positif yang lebih banyak. Salah satu
penelitian atas 345 pria korban serangan jantung menunjukkan bahwa,
ketika mereka mengeluhkan penyakit mereka dan menyalahkan orang lain
(mengungkit-ungkit masalah dengan keluarga, misalnya, atau tekanan di
tempat kerja), kemungkinan besar mereka akan berpikir tidak sehat dan
mengalami serangan jantung lainnya. Hal-hal ini akan sangat berbeda
bagi orang-orang yang dapat melihat beberapa hal bermanfaat di balik
serangan jantung yang mereka alami. Orang-orang tersebut sering kali
mengubah nilai hidup dan cara pandang rohani mereka, berusaha untuk
mengembangkan hubungan interpersonal, berusaha untuk mengurangi stres,
dan merawat tubuh mereka dengan lebih baik. Hasilnya, reinfarksi
(serangan jantung lanjutan) berkurang dan rasa sakit menurun. Oleh
karena itu, efek penyakit tidaklah selalu negatif.

Sayangnya, efek-efek negatifnya sering kali lebih banyak daripada efek
positif. Contoh reaksi terhadap penyakit sering kali terlihat seperti
berikut. Seorang konselor sebaiknya peka dalam menghadapinya.

1. Pertahanan dan Penyangkalan Diri.

Karena penyakit adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan, ada
kecenderungan untuk menyangkal parahnya penyakit itu dan terkadang
kehadirannya. Hal ini sungguh terjadi ketika penyakit yang diderita
benar-benar parah atau sepertinya fatal. Setidaknya, untuk beberapa
saat (pada sejumlah pasien yang menanti saat kematian), ada sikap hati
yang mengatakan, "Pasti bukan saya. Saya yakin diagnosis ini salah.
Allah pasti akan menyembuhkan saya."

Para pembaca buku-buku panduan pengantar psikologi, terbiasa dengan
istilah mekanisme pertahanan diri -- cara pikir yang memampukan kita
untuk mengingkari kenyataan dan berpura-pura bahwa rasa frustrasi dan
konflik tidaklah terlalu penting. Pemikiran semacam ini sangat lazim.
Pemikiran ini terjadi secara otomatis, biasanya tanpa pertimbangan apa
pun, dan sering kali tanpa kita sadari pemikiran itu muncul di kepala
kita. Tujuannya adalah untuk melindungi kita dari rasa khawatir.

Sejumlah mekanisme pertahanan diri telah diidentifikasi dan banyak di
antaranya yang terlihat pada orang-orang sakit dan keluarga mereka.
Rasionalisasi, misalnya, merupakan kecenderungan untuk membuat alasan
("Mereka mungkin salah memahami hasil tes"). Proyeksi membuat kita
menyalahkan amarah, ketakutan, atau ketidakberdayaan kita kepada orang
lain ("Masalahku adalah dengan dokter yang berusaha membuat hidupku
berantakan"). Bentuk reaksi ini cenderung hanya untuk menunjukkan
kebalikan dari apa yang dirasakan seseorang ("Lihatlah, betapa
sehatnya aku dan betapa banyak perkembangan yang aku alami dari hari
ke hari"). Pikiran yang mengkhayal membuat kita berpura-pura ("Tidak
lama lagi, dokter tentu akan menemukan cara penyembuhan yang baru").
Represi adalah melupakan secara tidak sadar, sedangkan supresi adalah
melupakan dengan sengaja. Keduanya digunakan untuk menghilangkan
kenyataan yang tidak menyenangkan dari pikiran kita. Tipuan semacam
ini bisa sangat membantu, jika memberi kita kesempatan untuk
menghimpun kekuatan dan mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk
menghadapi kenyataan dengan lebih realistis. Akan tetapi, ketika
pertahanan dan penyangkalan diri tetap kuat, si pasien atau anggota
keluarganya tidak akan realistis, dan mungkin akan menjadi sangat
kasar ketika tersadar.

2. Penarikan Diri.

Saat kita sakit, kita perlu membiarkan orang lain menolong dan
mengasihi kita. Akan tetapi, bagi kebanyakan orang hal ini tidak
mudah. Mereka merasa terancam dengan ketergantungan mereka kepada
orang lain, merasa lemah, dan tidak dimengerti. Akibatnya, mereka
menarik diri; terkadang dengan sikap mengasihani diri sendiri dan
diikuti rasa kesepian.

3. Perlawanan dan Amarah.

Beberapa pasien suka melawan. Karena tidak mudah melawan penyakit,
mereka melampiaskan amarah kepada para dokter, perawat, anggota
keluarga, dan orang lain, termasuk para konselor. Kritik, keluhan,
protes keras, dan tuntutan untuk sembuh sering kali menjadi karakter
pasien dan membuat orang lain frustrasi.

4. Manipulasi.

Ada beberapa orang yang berusaha mengendalikan dan memanipulasi orang
lain dengan tipu daya atau taktik pemaksaan yang mencolok. Ketika
orang-orang semacam ini jatuh sakit, tidak mengherankan jika mereka
menggunakan penyakit itu untuk mengendalikan orang lain, atau untuk
mendapatkan perhatian dan simpati.

5. "Malingering" dan "Hypochondriasis".

Penyakit terkadang memberi keuntungan, seperti perhatian dan simpati
dari orang lain, kesempatan untuk tidak melakukan apa-apa, kebebasan
dari tanggung jawab, izin sosial untuk istirahat di rumah, dan bangun
terlambat. Beberapa orang menikmati manfaat menderita sakit. Alhasil,
mereka tidak pernah membaik, atau mereka mengalami serangkaian gejala
fisik yang tidak diketahui asal mulanya dan kesembuhan yang kecil.

"Malingering" didefinisikan sebagai "berbohong secara sengaja atau
membesar-besarkan gejala fisik atau kejiwaan, demi meraih tujuan yang
jelas dan khusus dari keuntungan menjadi pasien." Terkadang hal ini
berlangsung singkat (seperti seorang siswa yang berpura-pura sakit,
sehingga dia bisa tetap tinggal di rumah dan menghindari ujian yang
sulit). Pada kesempatan lain, hal ini bisa terjadi dalam waktu yang
cukup lama (seperti seorang buruh yang memalsukan cederanya, supaya
mendapat tunjangan kecelakaan kerja). Kecurigaan akan hal ini acap
kali membuat dokter dan anggota keluarga marah, tetapi tidak ada cara
efektif untuk membuktikan bahwa "pasien" itu hanya berpura-pura.
Lagipula, para dokter terkadang takut akan tuntutan hukum, jika mereka
tidak merawat orang yang dianggap berpura-pura sakit, padahal dia
benar-benar sakit atau cedera.

"Hypochondriasis" juga merupakan penyakit pura-pura, namun tidak ada
usaha secara sadar untuk terlihat sakit. Orang-orang yang melakukan
hal ini cenderung berpikir sedang mengalami penyakit, sehingga mereka
mencari gejala fisik dan beranggapan bahwa perubahan fisik sekecil apa
pun, menjadi indikator penyakit tersebut. Ketika para dokter tidak
menemukan masalah, orang-orang tersebut menjadi marah dan terkadang
mencari dokter baru. "Aku tidak tahu apa yang salah dengan profesi
dokter," keluh seorang pria dalam sebuah kartun yang muncul
akhir-akhir ini. "Tahun ini aku sudah menemui 23 dokter dan semuanya
memberi tahu bahwa tidak ada masalah apa pun dalam diriku."

Menurut salah satu tim medis, tipe orang itu bermacam-macam. Orang
yang senang menderita, misalnya, cenderung marah kepada dirinya
sendiri dan orang lain. Beberapa di antaranya mau mengorbankan dirinya
sendiri untuk merawat orang lain. Ketika orang tersebut meninggal atau
pergi, dia hanya menjaga keseimbangan hidupnya dengan merawat apa yang
dianggap sebagai penyakitnya sendiri. Sebaliknya, jenis orang yang
sangat bergantung tidak begitu marah dan lebih pasif. Orang ini sering
menggunakan gejala-gejala sakit untuk mendapat perhatian, hubungan,
perasaan dianggap penting, dan bimbingan dari sosok-sosok yang
berpengaruh.

Tanpa mempertimbangkan penyebab atau karakter penyakit, kita perlu
menyadari bahwa penyakit adalah sebuah jalan hidup bagi beberapa
orang. Hal ini mungkin menyenangkan (mungkin juga tidak) bagi pasien,
tapi beberapa orang melihat bahwa mengalami penyakit itu lebih mudah
daripada menjalani hidup tanpa ada keluhan fisik sama sekali.

6. Harapan.

Terkadang, penyakit memiliki efek yang memicu munculnya harapan dalam
diri pasien dan keluarganya. Dalam bukunya yang terkenal, "On Death
and Dying", Elisabeth Kubler-Ross -- seorang psikiater, mengatakan
bahwa kapan pun seorang pasien berhenti berharap, kematian pun segera
menyusul. Bahkan, seorang yang sakitnya sangat parah memiliki
pandangan realistis atas kondisinya dan mengakui bahwa harapan mampu
menopang dan menguatkannya, khususnya pada masa-masa sulit. Para
konselor medis dan nonmedis telah mengetahui bahwa pasien akan
berangsur-angsur membaik, ketika ia memiliki secercah harapan. Hal ini
tidak berarti bahwa para dokter dan orang lain harus berbohong tentang
kondisi pasien. Menurut Kubler-Ross, ini berarti "kita mengatakan
kepada mereka bahwa harapan adalah sesuatu yang tidak terlihat yang
mungkin akan terjadi, bahwa mereka mungkin mendapatkan anugerah, bahwa
mereka mungkin bisa hidup lebih lama daripada yang dibayangkan."
Bahkan, bagi orang Kristen ada harapan yang lebih besar dengan
mengetahui bahwa Allah semesta alam yang Mahakuasa dan Mahakasih,
memedulikan kita baik sekarang maupun untuk selamanya. (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Judul buku: Christian Counseling: A Comprehensive Guide
Judul asli artikel: The Effects of Physical Illness
Penulis: Gary R. Collins, Ph.D.
Penerbit: Word Publishing, Amerika Serikat 1988
Halaman: 333 -- 335

                   KOMUNITAS KONSEL: KONSELING KLINIS

Dalam menjalankan konseling pastoral, terkadang kita juga diminta
untuk memberikan konseling bagi orang-orang sakit yang ada di rumah
sakit. Konseling yang terkait dengan klinik/rumah sakit/kesehatan ini
disebut konseling klinis. Nah, untuk saling berbagi dengan Sahabat
Konsel yang mungkin sudah memiliki pengalaman dalam hal ini, e-Konsel
membuka pertanyaan di dinding Facebook e-Konsel. Puji Tuhan, respons
yang diberikan para Sahabat cukup beragam. Simak komentar mereka
berikut ini.

e-Konsel: Apakah Anda pernah memunyai pengalaman dalam proses
konseling klinis?

Komentar:

Frisca Vie: Iya punya, Vie konselor bersertifikat untuk para penderita
            ODHA dan OHIDA.
Shmily Tilestian: Belum pernah...

e-Konsel:
@Vie: Wow, sepertinya menantang ya... kesulitan apa yang sering
      Anda hadapi, Vie?
@Shmily: Oke, tak apa.

Frisca Vie: Yang paling sulit, di saat Vie musti memberi tahu ke
mereka kalau ternyata mereka positif HIV, rasa prihatin tapi kita
dituntut untuk tidak bersimpati terhadap pasien, melainkan berempati,
apalagi kalau melihat reaksi mereka... mau menangis tapi tidak boleh,
itulah momen yang paling sulit dilalui. Momen untuk
memberitahukan/menyampaikan hasil VCT positif terhadap pasien.

Theresia S. Setyawati: Belum pernah sih, selama ini. Cuma waktu itu,
pernah ikut seminar konseling klinis.

e-Konsel:

@Vie: Saya bisa membayangkan dan mengerti perasaan Anda. Sebagai
konselor memang kita dituntut untuk tegas dan tegar sekaligus tetap
memiliki kasih. Bersyukurlah Anda akhirnya bisa melewatinya.

@Theresia: Oya? Paling tidak dengan begitu, Anda memiliki latar
belakang teorinya, kan? Tinggal dipraktikkan.

Frisca Vie: Iya benar, bisa bertahan sampai sekarang ini hanya karena
pertolongan Tuhan Yesus, tanpa Dia saya tidak mampu. Praise the Lord.

e-Konsel: @Vie: Segala puji hanya bagi Tuhan. Selamat! Anda menjadi
alat-Nya yang berharga... selamat melayani, semoga Anda tidak mudah
lelah dan menyerah.

Frisca Vie: Amin, terima kasih e-Konsel. GBU.

e-Konsel: @Vie: Kembali kasih, Nona.

Bagaimana dengan Anda, apakah Anda pernah terlibat dalam konseling
klinis? Mari kita berbagi cerita di Facebook e-Konsel dengan alamat:
< http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10150329374828755 >.
Kami tunggu partisipasi Anda.

Kontak: < konsel(at)sabda.org >
Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Mahardhika Dicky K.
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/konsel >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org