Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/235

e-Konsel edisi 235 (29-3-2011)

Berdamai dengan Sesama (II)

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 235/MARET 2011

DAFTAR ISI
CAKRAWALA: BEDA PENDAPAT? TIDAK MASALAH
KESAKSIAN SAHABAT: KEHADIRAN-NYA MEMULIHKAN

Salam kasih,

Minggu lalu, kita belajar bagaimana mengampuni orang yang telah
menyakiti kita. Saat ini, kita akan belajar mengasihi orang yang
berbeda pendapat dengan kita. Setiap orang bebas berpendapat. Akan
tetapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa kebebasan tersebut bisa saja
menimbulkan perselisihan antarsesama. Melalui artikel yang kami
sajikan dalam edisi ini, kiranya Anda dapat menemukan solusi untuk
berdamai dengan orang yang berbeda pendapat dengan Anda. Selain itu,
ada juga kesaksian nyata sahabat e-Konsel yang tersaji di kolom
Kesaksian Sahabat. Kami berharap, edisi kali ini memberi manfaat
tersendiri bagi Anda. Selamat menyimak.

Pimpinan Redaksi e-Konsel,
Sri Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >

              CAKRAWALA: BEDA PENDAPAT? TIDAK MASALAH

Orang-orang Kristen bisa saja tidak sependapat. Kadang-kadang kita
mengalami perbedaan pendapat dan berusaha memberikan alasan-alasan
untuk membenarkan pendapat kita. Padahal, beda pendapat, hikmat, dan
prinsip-prinsip alkitabiah dapat merangsang adanya diskusi yang sehat
dan mengarahkan dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat.
Kesulitannya adalah membuat diskusi tetap bersemangat tanpa bersifat
merusak, sebab apabila kita menjadi marah atau frustrasi, maka kita
berdekatan dengan dosa. Percakapan-percakapan yang merusak
meninggalkan kepahitan dalam suatu hubungan. Tetapi, jika kita
memutuskan untuk saling menghindari, maka kita melanggar
perintah-perintah Alkitab.

Setiap kita perlu melatih diri dengan keterampilan ketidaksepakatan
yang sehat. Keterampilan dalam ketidaksepakatan akan membantu kita
hidup dalam keselarasan. Alkitab memberikan kebebasan kepada setiap
individu untuk tidak sepakat dan setiap pihak benar. Allah lebih
peduli pada sikap kita masing-masing terhadap satu sama lain
dibandingkan pendapat kita tentang sebuah masalah. Menjadi benar
dengan cara yang salah bisa saja terjadi. Oleh sebab itu, dalam
jangkauan-jangkauan di mana Alkitab memberikan kebebasan untuk tidak
sependapat, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak sependapat secara
ikhlas. Roma 15:1-13 memberikan dua cara untuk tidak sepakat dengan
ikhlas. Pertama, "Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan
sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." (ayat 2) Kedua,
"Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga
telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah." (ayat 7)

Saling Menyenangkan

Dalam Roma 15:1-6, perintah pertama meletakkan tanggung jawab pada
orang yang kuat. Orang yang kuat harus menyenangkan yang lemah (Roma
15:2). Menyenangkan seseorang berarti berperilaku dalam cara-cara yang
membangun pihak yang lemah secara rohani. Coba pikirkan suatu perilaku
yang diperdebatkan tetapi Anda kuat dalam perilaku itu. Lalu tanyakan
pada diri Anda, "Apakah aku mau melepaskan?" Misalnya, ibu mertua Anda
berpikir semua tarian adalah salah, sementara Anda ingin anak
perempuan Anda ikut dalam kursus tari. Siapa yang menyerah? Jika ibu
mertua Anda memiliki suatu sikap farisi, legalistik tentang semua
jenis tarian, Anda boleh memilih untuk mengabaikan pendapatnya. Yesus
pun terkadang mengabaikan orang-orang Farisi. Salah satu contohnya
ketika murid-murid Yesus memungut bulir-bulir gandum untuk dimakan
ketika mereka melewati ladang-ladang gandum pada hari Sabat (Markus
2:23-28). Yesus mengetahui ajaran tradisional yang dianut oleh
orang-orang Farisi, namun Ia tidak mengatakan sesuatu kepada para
murid-Nya guna memperingatkan atau menghentikan mereka, sehingga tidak
lagi menyinggung perasaan orang Farisi. Kadang, Yesus tetap
melanjutkan tugasnya, meskipun bertentangan dengan tradisi dan
pendapat legalistik orang Farisi. Contoh lain bisa ditemukan di Markus
3:1-6, di mana Yesus memilih perselisihan-perselisihannya dengan
hati-hati.

Yesus memerintahkan agar kita "mencari kesenangan sesama kita" (Roma
15:2). Sesama di sini berarti orang-orang Kristen di dekat Anda. Dalam
kasus perbedaan pendapat antara Anda dan ibu mertua Anda, semua bisa
diselesaikan dengan damai. Jika ibu mertua Anda tinggal di kota lain,
Anda bisa membiarkan anak-anak Anda mengikuti kursus menari, tetapi
jika Anda sering menjalin kontak dengan ibu mertua Anda, jalan terbaik
adalah tunduk kepada ibu mertua Anda. Dari hal ini kita melihat sering
kali keputusan-keputusan kita tergantung pada situasi. Keputusan yang
kita ambil dipengaruhi oleh orang yang ada di dekat kita.

Contoh lain, seorang suami mengizinkan dan menganggap wajar jika
seorang wanita/istri menggunakan celana panjang ketika mengikuti
kebaktian di gereja. Tetapi sang istri tidak sependapat. Siapa yang
harus tunduk? Suami ataukah istri? Alkitab menyerahkan tanggung jawab
pada suami untuk tunduk pada istrinya supaya dapat menyenangkan
istrinya. Sebaliknya, sang istri dibiarkan untuk tidak sepakat dengan
suaminya, dan sang suami tidak kecewa jika istrinya memakai rok ke
gereja. Bagaimana jika situasinya berbeda? Bagaimana jika sang istri
berpikir tidak ada salahnya memakai celana panjang ke gereja dan sang
suami berpikir sebaiknya tidak demikian? Jika demikian sang istri
perlu tunduk pada suaminya. Sang istri seharusnya memakai rok guna
menyenangkan suaminya.

Seberapa jauh kita bertindak dalam hal ini? Seberapa banyak kebebasan
yang sebaiknya kita tinggalkan demi seseorang yang lain dalam tubuh
Kristus? Alkitab memusatkan perhatian pada Yesus Kristus, teladan
kita, yang meninggalkan kebebasan-Nya demi kita (Roma 15:3a). Jika
Kristus tidak menyenangkan diri-Nya sendiri, maka kita hendaknya
mengikuti perintah-Nya. Teladan Kristus dinubuatkan oleh Alkitab dan
Alkitab memberikan apa yang kita perlukan (Roma 15:4).

Saling Menerima

Saling menerima merupakan kunci kedua yang Alkitab berikan agar kita
mampu untuk tidak bersepakat secara ikhlas (Roma 15:7-13). Penerimaan
menuntut kasih. Saling menerima berarti kita memberikan kasih kita
yang tulus dan murni. Ketidaksepakatan terkadang melukai perasaan
orang lain. Apabila hal ini terjadi, meskipun kita terluka, kita harus
menunjukkan kasih melalui tindakan-tindakan kita dan berani mengampuni
orang yang berbeda pendapat dengan kita. Dalam kasus ini, Tuhan Yesus
memberikan teladan kepada kita -- Ia menerima orang Yahudi (Roma 15:8)
dan Kafir (Roma 15:9-12).

Saat ini banyak orang Kristen bersikap seperti orang kafir. Mereka
merasa bebas untuk merokok, minum anggur, berdansa, atau memiliki
sebuah gambar Yesus di dinding rumah mereka. Apakah Yesus akan
menerima orang seperti ini? Ya, Allah menerima orang kafir ini (Roma
14:3b). Orang "Yahudi" Kristen yang sangat hati-hati harus belajar
menerima orang "kafir", begitu pula sebaliknya. Mengapa? Sebab
"Kristus juga telah menerima kita" (Roma 15:7).

Alkitab tidak menginginkan hal-hal yang meragukan menjadi penghalang
untuk kita mengampuni. Orang Kristen harus sepakat bahwa sesuatu
diperbolehkan atau benar, tetapi ia diperintahkan supaya
mempertahankan sikap bersatu dan menerima orang Kristen lain yang
berbeda pendapat dengan dirinya. Orang-orang Kristen bebas untuk
bekerja pada hari Minggu dan harus mengasihi orang-orang percaya lain
di sekitarnya. Tidak sepakat dengan ikhlas berarti meninggalkan
kebebasan-kebebasan demi orang lain di antara jemaat. Mengapa? Yesus
Kristus menerima mereka apa adanya. Ia tidak menyuruh mereka mengubah
pendapat-pendapat mereka. Beban tanggung jawab ada pada yang kuat
supaya berhenti melakukan hal-hal tersebut yang dirasa salah oleh
orang Kristen yang lain.

Kadang, kita merasa sulit mendengar Alkitab berkata kepada kita supaya
meninggalkan hal-hal yang kita nikmati demi orang lain. Kita
bertanya-tanya sampai berapa lama kita harus membatasi
kebebasan-kebebasan kita dalam hubungan-hubungan tertentu. Akankah
teman-teman yang lebih lemah menjadi kuat? Apakah kita mampu menikmati
kebebasan-kebebasan kita? Kita memerlukan doa. Kita perlu tahu bahwa
kita berbuat hal yang benar, dan Allah yang akan memberi kita sukacita
dan damai sejahtera pada saat kita meninggalkan kebebasan-kebebasan
kita. Kita akan berlimpah dalam pengharapan hanya oleh kuasa Roh di
dalam diri kita, karena kita berkorban demi orang-orang yang Allah
kasihi.

Orang-orang Kristen yang tidak sepakat sering bertengkar akibat
masalah-masalah kecil. Perselisihan mereka mungkin menyebabkan mereka
memaksakan ketegangan-ketegangan dalam hubungan mereka, sehingga
akhirnya mereka merasa tidak nyaman bila saling bertemu. Bagaimana
mereka mengakhiri perselisihan? Cara yang paling lazim adalah
berpisah. Orang-orang Kristen yang merasa tidak puas kadang membentuk
gereja sendiri di tempat lain. Tindakan menghindar menjadi suatu cara
hidup lebih dari sekadar suatu gaya manajemen konflik berkala. Pada
dasarnya, kecenderungan manusia adalah menghindar; sementara cara
Tuhan adalah menerima. Apabila kita mengatasi ketidaksepakatan
terhadap masalah-masalah dengan cara kita sendiri lebih daripada cara
Allah, kita sesungguhnya gagal bersepakat secara ikhlas.

Diringkas dari:
Judul asli buku: Free to Disagree
Judul buku terjemahan: Berselisih Pendapat Tanpa Sakit Hati
Judul asli artikel: Bagaimana Berbeda Pendapat Secara Ikhlas
Penulis: John Wecks
Penerjemah: Suryadi
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 1999
Halaman: 102 -- 116

             KESAKSIAN SAHABAT: KEHADIRAN-NYA MEMULIHKAN

Jakarta -- Desember lalu adalah Natal kelima yang saya lewati bersama
ketiga anak saya yang masih kecil-kecil. Lima tahun sudah suami saya
meninggalkan Tuhan dan menelantarkan saya dan anak-anak demi kehidupan
barunya dengan wanita lain.

Enam bulan pertama saat kepergian suami, hati saya remuk. Begitu juga
dengan jiwa anak-anak yang hancur berpuing-puing. Saat itu, saya dan
anak-anak sempat mengalami depresi berat. Saya semakin putus asa,
karena doa-doa saya yang meminta Tuhan untuk mengembalikan suami saya
tidak terkabul.

Sempat terlintas dalam pikiran saya untuk meninggalkan Tuhan yang saya
anggap tuli, buta, dan melalaikan saya. Terlebih lagi, banyak gereja
yang hanya mau melayani kaum janda yang ditinggal mati pasangannya,
tetapi menutup mata terhadap kaum perempuan yang ditinggal selingkuh,
diceraikan, ataupun ditelantarkan pasangannya.

Belum sempat saya berjalan terlalu jauh meninggalkan-Nya, Tuhan
mengirimkan rohaniwan, konselor, dan kawan-kawan rohani untuk menopang
jiwa dan membalut luka hati saya. Setelah menjalani konseling dan
terapi yang cukup lama, akhirnya saya bisa mengampuni suami walau dari
mulutnya tidak pernah terucap kata maaf sekalipun.

Tidak hanya mengampuni, saya berusaha mendoakan, memintakan berkat,
dan menjalin hubungan baik dengan mantan suami saya. Sejak saat itu,
Tuhan memulihkan hati saya dan Dia telah melumpuhkan sengat-sengat
dari kenangan pahit saya. Tuhan mengizinkan saya untuk tetap mengingat
pengkhianatan suami tanpa harus merasakan lagi sengatnya.

Ketika mencari hikmat, saya tahu bahwa Tuhan sedang berkarya lewat
kegagalan rumah tangga saya. Rencana manusia boleh saja gagal, tetapi
rencana Tuhan tidak pernah gagal dan kegagalan saya tidak akan
menggagalkan rencana Tuhan untuk menyelamatkan saya dan keturunan
saya.

Itulah sebabnya, saya tidak lagi menyalahkan suami dan istri barunya,
serta orang-orang yang mendukung mereka. Walaupun pada awalnya saya
merasa apa yang mereka lakukan mengoyak jiwa, akhirnya saya bisa
merasakan tangan Tuhan yang membebat hati saya. Lebih ajaib lagi,
Tuhan menggunakan penderitaan saya untuk meringankan dan memulihkan
hati anak-anak Tuhan yang lain.

Walaupun kesaksian hidup saya banyak menolong anak-anak Tuhan untuk
bangkit dari keterpurukan, bukan berarti karier pelayanan saya menemui
jalan mudah. Tidak sedikit gereja yang memarginalkan saya karena
dianggap tidak mampu membangun keluarga yang harmonis.

Beberapa rohaniwan bahkan mengingatkan saya untuk tidak memimpikan
jabatan majelis atau pelayan Tuhan di gereja, karena hidup saya
dianggap cacat. Saya pun mencoba mencari kembali makna hidup di luar
gereja supaya saya tetap merasa berharga dan berguna bagi orang lain,
sebagaimana Tuhan menganggap saya berharga dan penting di dalam
rencana-Nya.

Itulah sebabnya, saya memilih persekutuan HOPE-LK3 yang merupakan
"bengkel hati" bagi anak-anak Tuhan yang mengalami masalah
perselingkuhan, perceraian, dan disharmoni dengan pasangan. Di sana,
saya bisa "mengais" jiwa-jiwa yang "terbuang" dan tak terlayani oleh
gereja.

Hampir satu setengah tahun saya bergaul dengan Ibu Lily dalam
komunitas senasib di HOPE-LK3. Saat perkenalan pertama, saya melihat
wajah Ibu Lily sangat dingin dan tidak menarik, seolah menyimpan
derita yang begitu besar. Sudah tiga tahun lebih Ibu Lily pisah
ranjang karena suaminya memilih tidur dengan istri simpanannya.

Walaupun sudah lama bergabung dalam HOPE-LK3, baru beberapa bulan
terakhir ini Ibu Lily mau membagi beban. Ia menangis, menumpahkan
sejuta kekecewaannya. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali duduk
diam di sampingnya, mendengarkan, dan menatapnya penuh empati, sambil
sesekali memberikan tisu untuk menyeka air mata yang membanjiri wajah
Ibu Lily. Setelah puas menangis, wajah Ibu Lily tampak lebih cerah dan
memancarkan kecantikan yang luar biasa.

Saya bersyukur karena persekutuan HOPE-LK3 telah dipakai Tuhan untuk
mengeluarkan nanah-nanah dari hati Ibu Lily. Ibu Lily yang dulu selalu
menyalahkan suami dan wanita penggodanya perlahan-lahan belajar
mengampuni suaminya. Ibu Lily yang sudah tiga tahun tidak bertegur
sapa dengan suaminya, akhirnya mau merendahkan diri di hadapan Tuhan
untuk membuka kembali komunikasi. Ketika LK3 merayakan Natal, Ibu Lily
mengundang suaminya tanpa memikirkan bagaimana respons yang akan
didapatnya. Walaupun suaminya tak menanggapi undangan tersebut, Ibu
Lily tetap tersenyum karena ia melakukannya bukan untuk suaminya,
tetapi untuk Tuhan.

Saat merayakan Natal, saya dan Ibu Lily mencoba memaknai kehadiran
Kristus dalam keluarga kami yang tak utuh lagi. Kami meyakini bahwa
kehadiran Tuhan bukan untuk meniadakan masalah atau membuat kami kebal
dari virus yang melukai hati.

Melalui Natal, kami percaya Kristus datang untuk memulihkan hati kami
walau keadaan sangat sulit. Walaupun pasangan kami terus melukai hati
kami, tetapi kami harus tetap bersikap baik sebagaimana yang Tuhan
kehendaki.

Lewat Natal, Tuhan hadir untuk memulihkan hubungan kami dengan Tuhan.
Kami tidak lagi mempermasalahkan apa yang terjadi dan apa yang akan
Tuhan kerjakan. Yang terpenting bagi kami adalah melakukan bagian kami
untuk mengampuni, mengasihi, dan memberkati orang lain. Kami percaya
Tuhan hadir untuk mengerjakan bagian-Nya.

Kami percaya, melalui Natal kali ini, Tuhan menginginkan kami
memulihkan hubungan sosial dengan pasangan/mantan pasangan kami,
walaupun hubungan itu tak seindah yang kami impikan.

Diambil dari:
Nama situs: Kekal
Alamat URL: http://kesaksian.sabda.org/kehadiran_nya_memulihkan
Penulis: Mundhi Sabda Hardiningtyas
Tanggal akses: 8 Februari 2011

Kontak: < konsel(at)sabda.org >
Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Yulia Oeniyati
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/konsel >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org