Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/205 |
|
e-Konsel edisi 205 (1-4-2010)
|
|
______________________________e-KONSEL________________________________ Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ______________________________________________________________________ EDISI 205/1 April 2010 Daftar Isi: = Pengantar: Rambu-rambu untuk Para Konselor = Cakrawala: Etika Konseling = Tips: Etika Konseling Melalui Telepon (Hotline) = Info: e-MISI: Mengabarkan Injil ke Seluruh Indonesia PENGANTAR ____________________________________________________________ Salam sejahtera, Sama seperti pada berbagai profesi lain, konseling juga memiliki kode etik yang harus dipatuhi oleh seorang konselor. Konselor tidak bisa menjalankan tugasnya dengan mudah jika ia tidak memahami kewajiban dan haknya sebagai konselor. Etika dan kode etik konseling dirancang bukan untuk membatasi konselor melainkan untuk menjaga hubungan konselor dengan konseli agar seluruh proses konseling bisa berlangsung secara efektif. Melalui edisi ini, Redaksi mengajak pembaca untuk bersama-sama memahami etika konseling. Redaksi berharap bahwa sajian ini akan dapat menambah bekal pengetahuan para konselor dalam melayani Tuhan melalui konseling. Selamat menyimak. Redaksi e-Konsel, Christiana Ratri Yuliani http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ http://c3i.sabda.org/ http://fb.sabda.org/konsel CAKRAWALA ____________________________________________________________ ETIKA KONSELING Etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan seorang konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang konselor. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu konselor harus bertanggung jawab untuk memberi perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling. Konselor tidak boleh melakukan konseling ketika energi, atensi, dan motivasinya dibuyarkan oleh jadwal yang terlalu padat, masalah-masalah pribadi, dll.. Mengapa demikian? Itu pertanggungjawaban kita sebagai seorang konselor. Jika kita sedang letih, bosan, atau sedang sibuk mengerjakan sesuatu, kita sulit memberikan perhatian kepada seseorang, kecuali jika mendesak atau orang yang akan konseling tiba-tiba sudah datang. Di dalam konseling, kita membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jadi jika kita sedang bosan dan memunyai banyak masalah, bagaimana kita bisa berkonsentrasi secara penuh? Konseling adalah jenis pelayanan yang sangat menguras energi. Oleh karena itu, pelaksanaan pelayanan ini tidaklah mudah. Kita harus berkonsentrasi dari awal sampai akhir konseling. Pikiran kita menganalisis apa yang dikatakan oleh klien. Sebetulnya, apakah yang sedang dirasakan oleh klien? Apakah yang mengisi pikiran dan hati klien? Jika kita tidak "fully attentive", konseling itu tidak akan berlangsung dan itu berarti kita tidak bertanggung jawab. Menurut saya, konseling biasanya harus didahului "appointment" supaya saya bisa siap. Jika kita keliru dalam menghadapi seseorang, kita akan membuat dia sengsara. Artinya, itu tidak bertanggung jawab. Konselor harus dapat mengukur kekuatannya supaya dapat melakukan konseling dengan baik. Mengukur kekuatan berarti ia benar-benar mengetahui sekuat apa dia dalam berkonseling. Kita tidak boleh terlalu memaksakan diri. Jika hari ini saya bisa mengonseling 3 orang, jangan dipaksakan untuk mengonseling 5 orang. Setiap konselor memunyai kekuatan yang berbeda. Semakin ahli seseorang, semakin mudah dia berkonsentrasi dalam konseling. Tetapi, dia pun harus tetap mengukur kekuatannya. Anda juga harus menyadari kompetensi Anda dan tidak melakukan konseling di luar kompetensi Anda meskipun ia sangat tertarik. Etika ini sangat penting. Misalnya, saya tidak akan mengonseling anak penyandang autisma karena itu bukanlah keahlian saya. Sangat tidak bertanggung jawab jika saya mengonseling anak tersebut. Jadi, kita harus melihat hingga sejauh mana keahlian kita. Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan. Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi personal, misalnya berelasi sebagai teman. Kita harus mengetahui batasnya. Jika relasi kita sebatas personal, kita hanya menjadi pendengar curahan hati. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal yang menjadikan klien "over dependent", atau terjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika demikian, mengingat konselor adalah penanggungjawabnya, ia harus menghentikan proses konseling itu. Konselor sebaiknya berhati-hati juga ketika menyikapi hubungan pribadi dengan klien. Kedekatan yang berlebihan dengan klien sering menjadikan dia sangat bergantung kepada kita. Oleh sebab itu, kita harus bisa menjaga jarak. Kita harus mengetahui tanda-tanda klien mulai bergantung kepada kita. Jika itu sudah terjadi, kita bisa tidak objektif lagi. Kita akan kesulitan dalam melihat masalah klien dan merefleksikan perasaannya ketika relasi tersebut sudah menjadi terlalu personal. Jadi, relasi yang dibangun di antara konselor dan klien haruslah bersifat terapeutik. Karakteristik Terapis yang Efektif 1. Beritikad baik: prihatin terhadap keadaan orang lain dan bersedia membantunya (termasuk memperhadapkan dia dengan hal-hal yang belum disadarinya). 2. Bersedia dan dapat hadir bersama klien dalam pengalaman hidupnya, entah suka maupun duka. 3. Menyadari dan menerima kelebihannya bukan dengan maksud untuk menguasai atau mendominasi orang lain atau mengecilkan orang lain. 4. Menggunakan metode dan gaya berkonseling yang sesuai dengan kepribadiannya sendiri. 5. Bersedia menanggung risiko, rela menjadi contoh, dalam hal ini bagi kliennya. Bersedia disentuh secara emosional dan menyampaikannya kepada klien pada saat itu diperlukan. 6. Menghargai diri sendiri sehingga mampu berhubungan dengan orang lain. Menggunakan kelebihannya dalam hal berhubungan dengan orang lain. 7. Bersedia menjadi contoh bagi klien dan tidak menuntut klien melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Dituntut kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan mengoreksi diri sendiri. 8. Berani mengambil risiko untuk membuat kekeliruan dan berani mengakuinya pula. Bersedia belajar dari kekeliruan itu tanpa mencela diri sendiri. 9. Berorientasi pada pertumbuhan: tidak menganggap diri telah memiliki segalanya. Seorang konselor harus memunyai spiritualitas yang sehat supaya dia bisa menolong kliennya bergumul bersama Tuhan. Banyak klien sering tidak mengetahui apakah arti bergumul dengan Tuhan. Jika konselor tidak memerhatikan kerohanian dirinya sendiri, dia akan kesulitan untuk memberikan konseling. Siapa yang bisa mengubah hati manusia? Tidak ada! Kita juga tidak bisa, meskipun kita seorang konselor. Hanya Tuhan yang bisa mengubah manusia. Jadi, kita harus sangat memerhatikan pertumbuhan rohani kita. Pilar pelayanan konseling adalah doa. Kita kadang-kadang menemukan orang yang begitu sulit, masalah yang sangat rumit, tetapi Tuhan memberikan pencerahan tentang bagaimana kita bisa menolong orang tersebut. Secara ilmu pengetahuan, analisis kita mungkin baik, tetapi orang kadang-kadang membutuhkan faktor lain. Jika kita tidak melihat pertumbuhan rohani kita, sebaiknya kita tidak memberikan konseling. Itu adalah wujud tanggung jawab kita. Kita juga perlu membangun kehidupan emosional yang sehat. Artinya, kita memunyai relasi yang baik dengan orang lain, dan kita belajar menyelesaikan masalah-masalah kita sendiri. Jika emosi kita tidak sehat, klien mungkin menjadi sasaran kita. Bukan tidak mungkin kita akan marah atas ketidaksehatan klien. Bagaimana pembangunan emosi yang sehat? Syarat utama konselor adalah ia seorang yang sudah lebih dahulu dilayani konseling. Saya sudah bertahun-tahun dilayani konseling supaya siap menjadi konselor. Jika kita tidak sehat secara emosi, kita bisa saja kolaps. Masalah-Masalah Etis dalam Konseling 1. Tanggung jawab profesional. Apakah saya orang yang tepat untuk menolongnya atau saya harus merujuk konselor lain untuk dia. Apakah saya konsisten pada prinsip dan tujuan selama proses terapi itu, atau saya mulai berkompromi dengan kepentingan atasan? Konselor harus bersedia merujuk konselor lain untuk klien apabila ia merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang kepadanya. Sebagai konselor, kita dituntut untuk mampu bersikap demikian. Seorang konselor tidak bisa menangani konselinya karena beberapa alasan, misalnya jika kasusnya atau akibatnya bisa menimbulkan sesuatu yang tidak baik (misalnya pada kasus-kasus histeria), atau kita merasa bahwa dia akan lebih baik ditangani seorang konselor wanita, dan sebagainya. Dengan keahlian yang ada, kita bisa melihat bahwa klien ini sebaiknya kita "refered" ke orang lain. Itu tindakan profesional. Misalnya, jika saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju sepanjang konseling dengan saya (konseling juga menyangkut soal kecocokan) atau sukses konseling itu kecil, saya wajib mengarahkan dia ke konselor lain. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban seorang konselor. Walaupun kita begitu tertarik pada kasusnya, janganlah merasa kecewa sekiranya kita tidak bisa menangani dia. Dia mungkin tidak cocok dengan kita. Setiap konselor harus memprediksi sukses suatu konseling, hingga sejauh mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap profesional, bukan semata-mata karena keinginan untuk membantu atau tertarik. 2. Menjadi diri sendiri (otentik dan membuka diri). Bila ketertarikan klien sudah termasuk proses "transference" (pemindahan), perlukah konselor terbuka kepada klien dan mengatakan, "... bahwa saya tidak bisa konseling dengan Anda, karena... " (misalnya kasus klien naksir konselor)? Apakah seorang konselor perlu mengemukakan alasannya secara transparan atau mengetahui keadaan yang sebenarnya? Ini bergantung pada kesiapan dan kematangan klien. Misalnya, pada kasus klien yang terobsesi pada konselor. Jika perlu, kita bisa mengeksplorasi ketertarikan klien kepada kita, misalnya "Apa yang kamu sukai pada saya?", "Apa yang timbul dalam hatimu ketika kamu saya perhatikan?" Bila klien menjawab, "Saya merasa Anda seperti Ayah saya." Konselor bisa menjawab, "O, jadi kamu sangat merindukan figur Ayahmu yang selama ini hilang dari hidupmu?" (Jadi, jangan tergesa-gesa melepaskan si klien). Adakalanya terapis ingin menekankan persahabatan. Hati-hati! Jika hanya menekankan persahabatan, kita tidak dapat menekankan sesuatu kepada si klien. Jika kita sedikit menjaga jarak, tekanan itu akan lebih efektif. Hindari berbasa-basi, seperti mengatakan, "Kita kan teman, jangan segan-segan." Contoh lain, bila klien memang tidak punya teman, lalu kita menawarkan diri menjadi temannya, namun ternyata dia menyebalkan kita. Kita justru menjadi sulit untuk berteman dengannya. Jadi, pelihara bobot pertemanan dan profesionalitas kita. Jangan mengobral kalimat, "Anggap saja kita berteman." Juga hati-hati, jangan berjanji kepada klien "Saya tidak akan meninggalkan engkau", "Saya tidak akan marah kepadamu" sebab dengan berbuat demikian kita sudah membatasi diri kita sendiri. Sikap membuka diri juga berkaitan dengan gejala pemindahan. Kita akan lebih suka berbicara dengan klien tertentu, namun berbicara seperlunya dengan klien kita yang lain. Adakalanya kita berbicara melucu dan "ngalor ngidul" dengan klien tertentu. Ini adalah gejala "tranference" pada diri konselor. Gejala ini perlu disadari dan ditanyakan pada diri sendiri: demi kepentingan siapa saya berbicara melantur seperti ini? Apakah itu berfaedah bagi klien? Ini menolong kita untuk lebih menguasai diri. Sebaliknya, jangan menjadi profesional canggung, kaku, dan tidak bisa bercanda (kecuali jika kita berkarakter demikian). Bercanda pun jangan demi kepentingan diri kita, tetapi demi kepentingan si klien. 3. Hati-hati, jangan menyentuh klien. Tidak semua orang suka disentuh. Tetapi, jika dia yang ingin memeluk kita, tanggapi dia secara tepat (sejenis). Namun, terhadap lawan jenis, jika kita tidak bisa, sampaikan secara terus terang kepada klien. Bisa dengan cara lain, misalnya Anda mengatakan, "Mau nggak jari (jari kelingking) kita berpelukan sebagai tanda kita saling menguatkan satu terhadap yang lain." Tindakan ini akan dikenang lama oleh klien. 4. Dalam hal berdoa. Apakah doa yang kurang etis (karena tidak terapeutik) dalam konseling? Amati motivasi kita mendoakan klien: untuk apa? Ada waktunya kita tidak perlu mendoakan klien. Misalnya dia, sedang marah kepada Tuhan. Pemindahan dan Kontra-Pemindahan Pemindahan (transference) merupakan sebuah proses alam bawah sadar (unconscious) yang diproyeksikan klien kepada terapisnya mengenai perasaan-perasaan, atau sikap/reaksi terhadap tokoh-tokoh penting dalam kehidupan masa lalunya. Pemindahan sering terjadi karena pengalaman masa lalu yang membekas dalam hidup kita. Dalam proses terapi, pemindahan ini memunyai nilai tersendiri, karena melalui proses inilah klien akan dapat mengungkapkan perasaan-perasaannya yang telah terdistorsi. Sedangkan reaksi yang didapatnya adalah respons terapis dan bukan tokoh-tokoh dalam hidupnya dahulu. Ketika klien memilih terapis A, B, atau C, ini pun suatu pemindahan. Jadi, prinsip utamanya ialah terapis tidak boleh membiarkan dirinya masuk/terjerat ke dalam proyeksi kliennya. Jika terapis sudah terjerat, hakikatnya ia telah memuaskan kebutuhan neurotik klien, yang akhirnya akan melestarikan kebutuhan-kebutuhan neurotik si klien. Jika klien memproyeksikan figur ayahnya yang galak pada diri terapis, si terapis tidak perlu bereaksi marah atau tersinggung. Dengan demikian, klien menyadari bahwa tidak semua orang seperti ayahnya yang galak itu. Kontra Pemindahan (Counter Transference) adalah proses pemindahan yang dilakukan terapis terhadap kliennya. Ini terjadi apabila kebutuhan pribadi terapis bercampur aduk hubungannya dengan si klien. Akhirnya, ini dapat merusak objektivitasnya. Beberapa pertanyaan dapat diajukan kepada diri sendiri untuk mengetahui apakah terapis sedang melakukan kontra pemindahan. 1. Apakah saya senantiasa membutuhkan pujian dan pengakuan klien? Adakalanya terapis perlu menegur pola pikir klien yang irrasional (ini berisiko). 2. Apakah saya melihat diri saya pada si klien? Apakah saya makin terserap (karena menyukai), atau makin menjauh (karena melihat karakteristik tertentu pada klien yang Anda tidak sukai). Misalnya, dalam terapi pernikahan atau kelompok, saya lebih menyukai salah satu klien dibanding klien lainnya. 3. Apakah saya mulai tertarik kepada klien, baik secara romantik atau seksual? Penting untuk Anda ketahui bagaimana menghadapinya secara sadar tanpa merusak proses terapi. Misalnya, jangan menanyakan sesuatu berkaitan seksual yang tidak perlu. 4. Apakah saya terdorong untuk segera memberikan nasihat kepada klien? Terapis terjebak perasaan diri lebih tinggi dari klien; terlalu khawatir bahwa klien akan mengambil keputusan yang keliru sehingga tidak membiarkan klien mandiri. 5. Apakah muncul keinginan untuk menjalin persahabatan dalam diri saya? Masih beranikah? 6. Apakah ada perasaan tidak ingin kalah terhadap klien (menang sendiri)? 7. Apakah Anda merasa marah melihat klien tidak maju, atau ketika klien kurang menghargai terapi? 8. Apakah ada dorongan untuk menggunakan kekuasaan saya sebagai terapis? 9. Jika saya meminta klien datang lebih dari seminggu, untuk kepentingan siapakah itu? Apakah itu untuk reputasi? Kerahasiaan Apakah istrinya perlu diberitahu bahwa suaminya telah menyeleweng? Sebaiknya, mintalah si suami sendiri yang menyampaikan. Jika menyangkut anak remaja, ceritakan garis besarnya. Ini pun atas izin dari remaja tersebut. Mintalah dia memberitahukan yang manakah harus dirahasiakan. Jadi, ceritakan gambaran secara umum saja kepada orang tuanya. Sebaiknya, terapis tidak menceritakan masalah klien kepada siapa pun yang dikenal klien maupun terapis. Ini berbahaya, sebab orang akan mengatakan kita suka bergosip. Semuanya harus dengan persetujuan klien jika memang perlu diceritakan. Nilai Kehidupan Tak bisa dihindari, terapi melibatkan nilai kehidupan terapis. Ia tidak mungkin 100% netral ketika bertindak dan bereaksi terhadap klien, yang dipengaruhi nilai kehidupannya. Tanpa sadar ia sudah mengkomunikasikan nilai itu kepada kliennya. Misalnya, ketika ia mengatakan, "Untuk apa ke kamu ke disko, nggak baik itu!" "Tidak boleh berpacaran sebelum 20 tahun, lho!" "Mengapa kamu tidur berdua bersama dengannya (teman sejenis)." Tanpa disadari sang terapis, ia sering menebarkan nilai hidup tertentu yang dilandasi kepentingan pribadi. Berhati-hatilah, jangan sampai berlebihan dan prematur ketika memberikan nilai kehidupan pribadi, apalagi bukan sesuatu yang prinsip. Waspadalah juga agar tidak menekankan sesuatu yang hanya untuk menyenangkan pribadi klien atau terapis. Prinsip Etika Psikolog (Konselor) A. Competence (Kemampuan) Psikolog harus benar-benar melakukan tugasnya sebaik mungkin (sebaik-baiknya). Ia menyadari bahwa batasan dirinya bergantung pada bidang yang sudah dipelajari dan diterimanya. Ia menyadari bahwa kelompok yang berbeda membutuhkan penanganan secara berbeda pula. Ia harus senantiasa bersedia belajar. B. Integrity (Integritas) Ia perlu memelihara integritas pribadi: jujur, adil, dan menghormati orang lain, mengerti nilai-nilai kehidupan, keinginan-keinginan, dan keterbatasan diri pribadinya. C. Profesional and Scientific Responsibility (Tanggung Jawab Profesional dan Ilmiah) Ia harus memiliki tanggung jawab profesional. Tidak bertindak sembarangan. Perlu berkonsultasi dengan orang-orang atau lembaga yang berpengalaman dan lebih profesional. Tentang moralitas, psikolog boleh meyakini nilai-nilai itu tetapi tidak boleh merusak terapi. Nilai hidup pribadinya tidak boleh merusak kualitas pekerjaannya. Misalnya, jika ia seorang lesbian, ia tidak boleh memaksakan kliennya agar bersikap permisif terhadap perilaku lesbian. Setiap psikolog harus memerhatikan rekan sekerjanya. Jika ia mengetahui ada yang nakal, ia harus melaporkan rekannya untuk diproses pencabutan izin bekerjanya. Standar Etika Prinsip Umum 1. Boundaries of Competence: Kita hanya memberikan layanan yang sesuai dengan training dan pendidikan yang kita terima dan pelajari. 2. Describing the Nature and Results of Psychological Services: (a) Beritahukan klien apa yang akan kita berikan dan lakukan kepadanya. Setelah selesai, kita wajib memberitahukan kepadanya, supaya ia tidak merasa dirugikan. (b) Jika kita bekerja untuk suatu lembaga dan diwajibkan melapor kepada lembaga itu, kita harus meminta izin kepada klien. 3. Sexual Harrasment (pelecehan seksual): (a) Tidak boleh melakukan pelecehan seksual, memikat klien secara seksual, dan atau berperilaku yang bermuatan seksual. (b) Kita tidak boleh membedakan klien berdasarkan jenis kelamin. 4. Personal Problems and Conflics: (a) Kita tidak boleh membahayakan klien karena masalah diri kita sendiri (misalnya, kita sedang marah kepada istri di rumah, lalu marah kepada klien). (b) Jika memunyai masalah pribadi, segera cari pertolongan (jangan terlalu lama). Sementara itu, berhentilah sementara sebagai konselor. 5. Avoiding Harm: Kita tidak boleh merugikan klien. Harus menghindari gangguan. 6. Misuse of Psychologists` Influence: Kita tidak boleh memberikan pengaruh untuk menekan klien. Misalnya, memberi pertimbangan yang keliru demi kepentingan kita. 7. Multiple relationships: Kita tidak bisa menghindari persahabatan dengan klien, namun jangan sampai persahabatan itu mengganggu dan merugikan proses terapi kita. Bila perlu, jagalah jarak dengan klien. 8. Barter (With Patient or Clients): Dalam terapi yang serius, jangan menerima kado atau hadiah dalam bentuk apa pun. Pemberian yang bersifat tidak anti-teraupetik (membangun) boleh diterima dan harus dijaga agar tidak mengekploitasi hubungan itu. Diambil dan diedit seperlunya dari: Judul buku: Perlengkapan Seorang Konselor Penulis: Julianto Simanjuntak Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), Jakarta 2007 Halaman: 389 -- 399 TIPS _________________________________________________________________ Salah satu sarana konseling yang telah dipakai oleh gereja/ organisasi pelayanan untuk menolong mereka yang sedang mengalami kesulitan/masalah adalah melalui pelayanan telepon (hotline). Anda yang telah atau ingin melibatkan diri dalam pelayanan hotline dapat mempelajari beberapa tips praktis di bawah ini. ETIKA KONSELING MELALUI TELEPON (HOTLINE) Petunjuk Praktis Menerima Telepon: 1. Ramah tamah dengan nada sambutan: "Hallo, selamat pagi", siang, atau malam, lalu sebutkan "Di sini .... (sebutkan nama pelayanan Hotline Anda), apakah ada yang dapat kami bantu?" Setelah klien menceritakan sedikit permasalahannya, tanyakan, "Apakah kami boleh mengenal nama Anda?", 2. Bila penelepon meragukan keamanan percakapan, konselor memberikan jaminan kerahasiaan itu dengan sopan. 3. Bila penelepon menanyakan nama konselor, sebaiknya konselor berhati-hati agar tidak sembarangan memberikan nama kepada orang (tidak setiap penelepon butuh mengenal nama atau pribadi konselor). 4. Bila penelepon tidak sopan, sebaiknya ingatkan dia dengan satu kalimat pendek (misal: "Anda tidak perlu marah-marah kepada saya ...", "Anda tidak perlu mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya"), sambil menanyakan apakah sebetulnya yang dia ingin sampaikan. Bila ia tetap menanggapi dengan kata-kata yang tidak sopan, Anda boleh menutup telepon. 5. Jika penelepon mulai dengan melaporkan kekecewaannya terhadap konselor lain, Anda harus bisa menolong dia untuk berfokus pada permasalahannya (jangan melayani pokok-pokok sampingan). 6. Jika penelepon terus berbicara tanpa dapat dipotong, konselor harus menghentikan dia dengan sopan, dengan kata-kata, "Anda sudah berbicara banyak, saya khawatir bahwa saya akan lupa pada apa yang Anda katakan. Bagaimana jika kita mulai dari pokok yang pertama dahulu.", 7. Jika penelepon seseorang yang beragama lain, Anda harus mematikan niat Anda untuk menjadikan konseling sebagai sarana penginjilan, minimal untuk sementara. 8. Bila penelepon menceritakan/menanyakan masalah orang lain dan bukan dirinya sendiri, Anda harus menghargai maksud baiknya, dengan mengatakan, "Anda memunyai beban yang baik untuk memikirkan orang lain, tetapi jika saya boleh mengetahui, apakah yang Anda akan lakukan setelah Anda mengetahui penyelesaian persoalan ini." Anda harus mengingatkan bahwa klien Anda adalah si penelepon, meskipun dalam konteks percakapan itu ia sedang menanyakan masalah orang lain. 9. Bila penelepon marah kepada Anda, entah dengan kata-kata apa pun, Anda tidak perlu melayani kemarahan tersebut. Akhiri percakapan dengan kalimat pendek: "Saya terpaksa menutup telepon ini karena Anda belum siap melakukan percakapan konseling ini.", 10. Jika si penelepon mengajak Anda berdebat (misal: soal agama), Anda tidak perlu melayani perdebatan itu, sebaliknya fokuskan pada apa yang menjadi persoalan si penelepon (misal: kebencian terhadap orang tertentu atau ketidakpuasan terhadap gereja). 11. Jika Anda merasa terganggu atau kurang siap (misal: penelepon menghubungi pada pukul 2 pagi), Anda sebaiknya waspada terhadap respons diri Anda sendiri. Tariklah napas panjang dan katakan pada diri sendiri, "Mungkin si penelepon benar-benar sedang sangat membutuhkan bantuan.", 12. Bila suara klien terlalu kecil, Anda harus mengatakan dengan jelas bahwa Anda tidak mendengar suaranya: "Maafkan saya tidak dapat mendengar suara Anda dengan jelas, dapatkah Anda mengulangi sekali lagi." (Anda jangan sampai menafsirkan keliru apa yang sudah disampaikannya). 13. Jika penelepon meminta Anda menelepon balik karena tidak bisa melanjutkan percakapan, Anda harus menjelaskan bahwa dalam pelayanan Hotline, Anda tidak dapat menelepon balik). Jika klien ingin berbicara kepada rekan Anda, berikan jadwal rekan yang bersangkutan. 14. Tidak dibenarkan untuk berkenalan pribadi, bertemu di luar konteks hotline, dan menerima hadiah secara pribadi. Namun demikian, pelayanan hotline adalah layanan konseling, maka janganlah memutlakkan ketentuan di atas. Kadang-kadang ada seseorang yang secara tulus merasa tertolong oleh individu tertentu, sehingga ia ingin menyatakan rasa terima kasih dan menjalin hubungan yang bersifat lebih pribadi. Dalam hal ini, persoalannya adalah tanggung jawab pribadi di luar organisasi layanan hotline. 15. Jika penelepon ingin memberikan hadiah, Anda harus memberi dia pengertian bahwa pemberian yang dapat diterima adalah berbentuk dukungan kepada layanan hotline, tanpa kewajiban apa pun dari pihak penerima (misalnya: tidak ada keharusan untuk mengambil hadiah tersebut). Kerja sama dengan layanan kemanusiaan yang Lain: 1. Konselor harus menyadari batasan layanan konseling melalui telepon, bahkan keterbatasannya sebagai konselor (apa pun latar belakang pendidikannya). Pada kasus-kasus yang tidak mungkin ditangani sendiri, konselor harus siap bekerja sama dengan orang-orang yang lebih tepat, misalnya dokter, psikolog, pendeta, psikiater, pekerja sosial, polisi, dsb.. Untuk maksud itu, ketika konselor melayani konseling melalui telepon, dianjurkan untuk memunyai daftar rujukan (referrals) yang siap pakai, termasuk nama, alamat, dan nomor telepon. 2. Dalam hal menjaga kerahasiaan, konselor tetap bisa menyampaikan kepada orang lain jika: - diizinkan klien dan - kondisi klien sangat membahayakan, misalnya klien akan bunuh diri. Dalam hal ini, konselor harus menanyakan nama, alamat, dan nomor telepon dengan menanyakan, "Anda sekarang berada di mana?", "Apakah Anda sendiri?", sehingga konselor bisa menghubungi polisi, aparat keamanan, dokter, dsb.. Bahan diambil dari: Judul Buku: Pelayanan Konseling Melalui Telepon Penulis: Pdt. Dr. Yakub B. Susabda dan Tim Penerbit: People Helpers Ministry Indonesia, Jakarta Halaman: 57 -- 58 Artikel ini pernah dipublikasikan di Publikasi e-Konsel edisi 034: ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/034/ INFO _________________________________________________________________ e-MISI: MENGABARKAN INJIL KE SELURUH INDONESIA Situs e-MISI dibangun oleh Yayasan Lembaga Sabda (YLSA) untuk menyediakan informasi, referensi, dan bahan-bahan kekristenan tentang pekerjaan misi di Indonesia maupun di seluruh dunia. Situs ini akan menolong Anda untuk melihat pekerjaan tangan Tuhan yang luar biasa di berbagai tempat di dunia. Melalui situs ini, kita diharapkan akan terdorong untuk ikut mengambil bagian dalam pekerjaan misi di mana pun. Situs ini terbuka bagi Anda yang ingin mengirimkan informasi dan bahan-bahan seputar misi. Jadi, mengapa harus menunggu? Kunjungi segera situs ini dan dapatkan berkatnya! ==> http://misi.sabda.org/ atau ikut bergabung di Facebook e-Misi: ==> http://fb.sabda.org/misi _______________________________e-KONSEL ______________________________ Pimpinan Redaksi: Christiana Ratri Yuliani Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih Penanggung Jawab Isi Dan Teknis Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2010 YLSA -- http://www.ylsa.org/ Katalog -- http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ______________________________________________________________________ Anda punya masalah/perlu konseling? atau ingin mengirimkan Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. silakan kirim ke: konsel(at)sabda.org atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org ARSIP: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I: http://c3i.sabda.org/ Network Konseling: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_konseling Facebook: http://fb.sabda.org/konsel ___________________________________________________________________
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |