Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/205

e-Konsel edisi 205 (1-4-2010)

Etika Konseling

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 205/1 April 2010

Daftar Isi:
  = Pengantar: Rambu-rambu untuk Para Konselor
  = Cakrawala: Etika Konseling
  = Tips: Etika Konseling Melalui Telepon (Hotline)
  = Info: e-MISI: Mengabarkan Injil ke Seluruh Indonesia

PENGANTAR ____________________________________________________________

  Salam sejahtera,

  Sama seperti pada berbagai profesi lain, konseling juga memiliki
  kode etik yang harus dipatuhi oleh seorang konselor. Konselor tidak
  bisa menjalankan tugasnya dengan mudah jika ia tidak memahami
  kewajiban dan haknya sebagai konselor. Etika dan kode etik konseling
  dirancang bukan untuk membatasi konselor melainkan untuk menjaga
  hubungan konselor dengan konseli agar seluruh proses konseling bisa
  berlangsung secara efektif.

  Melalui edisi ini, Redaksi mengajak pembaca untuk bersama-sama 
  memahami etika konseling. Redaksi berharap bahwa sajian ini akan 
  dapat menambah bekal pengetahuan para konselor dalam melayani Tuhan 
  melalui konseling.

  Selamat menyimak.

  Redaksi e-Konsel,
  Christiana Ratri Yuliani
  http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
  http://c3i.sabda.org/
  http://fb.sabda.org/konsel

CAKRAWALA ____________________________________________________________

                           ETIKA KONSELING

  Etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan seorang
  konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang
  konselor. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor
  harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu konselor harus
  bertanggung jawab untuk memberi perhatian penuh terhadap klien
  selama proses konseling. Konselor tidak boleh melakukan konseling
  ketika energi, atensi, dan motivasinya dibuyarkan oleh jadwal yang
  terlalu padat, masalah-masalah pribadi, dll.. Mengapa demikian? Itu
  pertanggungjawaban kita sebagai seorang konselor. Jika kita sedang
  letih, bosan, atau sedang sibuk mengerjakan sesuatu, kita sulit
  memberikan perhatian kepada seseorang, kecuali jika mendesak atau
  orang yang akan konseling tiba-tiba sudah datang.

  Di dalam konseling, kita membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jadi 
  jika kita sedang bosan dan memunyai banyak masalah, bagaimana kita 
  bisa berkonsentrasi secara penuh? Konseling adalah jenis pelayanan 
  yang sangat menguras energi. Oleh karena itu, pelaksanaan pelayanan 
  ini tidaklah mudah. Kita harus berkonsentrasi dari awal sampai akhir 
  konseling. Pikiran kita menganalisis apa yang dikatakan oleh klien. 
  Sebetulnya, apakah yang sedang dirasakan oleh klien? Apakah yang 
  mengisi pikiran dan hati klien? Jika kita tidak "fully attentive", 
  konseling itu tidak akan berlangsung dan itu berarti kita tidak 
  bertanggung jawab. Menurut saya, konseling biasanya harus didahului 
  "appointment" supaya saya bisa siap. Jika kita keliru dalam 
  menghadapi seseorang, kita akan membuat dia sengsara. Artinya, itu 
  tidak bertanggung jawab.

  Konselor harus dapat mengukur kekuatannya supaya dapat melakukan 
  konseling dengan baik. Mengukur kekuatan berarti ia benar-benar 
  mengetahui sekuat apa dia dalam berkonseling. Kita tidak boleh 
  terlalu memaksakan diri. Jika hari ini saya bisa mengonseling 3 
  orang, jangan dipaksakan untuk mengonseling 5 orang. Setiap konselor 
  memunyai kekuatan yang berbeda. Semakin ahli seseorang, semakin 
  mudah dia berkonsentrasi dalam konseling. Tetapi, dia pun harus 
  tetap mengukur kekuatannya. Anda juga harus menyadari kompetensi 
  Anda dan tidak melakukan konseling di luar kompetensi Anda meskipun 
  ia sangat tertarik. Etika ini sangat penting. Misalnya, saya tidak 
  akan mengonseling anak penyandang autisma karena itu bukanlah 
  keahlian saya. Sangat tidak bertanggung jawab jika saya mengonseling 
  anak tersebut. Jadi, kita harus melihat hingga sejauh mana keahlian 
  kita.

  Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan.
  Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi
  personal, misalnya berelasi sebagai teman. Kita harus mengetahui
  batasnya. Jika relasi kita sebatas personal, kita hanya menjadi
  pendengar curahan hati. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh
  terlalu personal yang menjadikan klien "over dependent", atau
  terjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika demikian, mengingat
  konselor adalah penanggungjawabnya, ia harus menghentikan proses
  konseling itu.

  Konselor sebaiknya berhati-hati juga ketika menyikapi hubungan
  pribadi dengan klien. Kedekatan yang berlebihan dengan klien sering
  menjadikan dia sangat bergantung kepada kita. Oleh sebab itu, kita
  harus bisa menjaga jarak. Kita harus mengetahui tanda-tanda klien
  mulai bergantung kepada kita. Jika itu sudah terjadi, kita bisa
  tidak objektif lagi. Kita akan kesulitan dalam melihat masalah klien
  dan merefleksikan perasaannya ketika relasi tersebut sudah menjadi
  terlalu personal. Jadi, relasi yang dibangun di antara konselor dan
  klien haruslah bersifat terapeutik.

  Karakteristik Terapis yang Efektif

  1. Beritikad baik: prihatin terhadap keadaan orang lain dan bersedia
     membantunya (termasuk memperhadapkan dia dengan hal-hal yang belum
     disadarinya).

  2. Bersedia dan dapat hadir bersama klien dalam pengalaman hidupnya,
     entah suka maupun duka.

  3. Menyadari dan menerima kelebihannya bukan dengan maksud untuk
     menguasai atau mendominasi orang lain atau mengecilkan orang
     lain.

  4. Menggunakan metode dan gaya berkonseling yang sesuai dengan
     kepribadiannya sendiri.

  5. Bersedia menanggung risiko, rela menjadi contoh, dalam hal ini
     bagi kliennya. Bersedia disentuh secara emosional dan
     menyampaikannya kepada klien pada saat itu diperlukan.

  6. Menghargai diri sendiri sehingga mampu berhubungan dengan orang
     lain. Menggunakan kelebihannya dalam hal berhubungan dengan orang
     lain.

  7. Bersedia menjadi contoh bagi klien dan tidak menuntut klien
     melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Dituntut
     kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan mengoreksi diri sendiri.

  8. Berani mengambil risiko untuk membuat kekeliruan dan berani
     mengakuinya pula. Bersedia belajar dari kekeliruan itu tanpa
     mencela diri sendiri.

  9. Berorientasi pada pertumbuhan: tidak menganggap diri telah
     memiliki segalanya.

  Seorang konselor harus memunyai spiritualitas yang sehat supaya dia 
  bisa menolong kliennya bergumul bersama Tuhan. Banyak klien sering 
  tidak mengetahui apakah arti bergumul dengan Tuhan. Jika konselor 
  tidak memerhatikan kerohanian dirinya sendiri, dia akan kesulitan 
  untuk memberikan konseling.

  Siapa yang bisa mengubah hati manusia? Tidak ada! Kita juga tidak 
  bisa, meskipun kita seorang konselor. Hanya Tuhan yang bisa mengubah 
  manusia. Jadi, kita harus sangat memerhatikan pertumbuhan rohani 
  kita. Pilar pelayanan konseling adalah doa. Kita kadang-kadang 
  menemukan orang yang begitu sulit, masalah yang sangat rumit, tetapi 
  Tuhan memberikan pencerahan tentang bagaimana kita bisa menolong 
  orang tersebut. Secara ilmu pengetahuan, analisis kita mungkin baik, 
  tetapi orang kadang-kadang membutuhkan faktor lain. Jika kita tidak 
  melihat pertumbuhan rohani kita, sebaiknya kita tidak memberikan 
  konseling. Itu adalah wujud tanggung jawab kita.

  Kita juga perlu membangun kehidupan emosional yang sehat. Artinya, 
  kita memunyai relasi yang baik dengan orang lain, dan kita belajar 
  menyelesaikan masalah-masalah kita sendiri. Jika emosi kita tidak 
  sehat, klien mungkin menjadi sasaran kita. Bukan tidak mungkin kita 
  akan marah atas ketidaksehatan klien.

  Bagaimana pembangunan emosi yang sehat? Syarat utama konselor adalah 
  ia seorang yang sudah lebih dahulu dilayani konseling. Saya sudah 
  bertahun-tahun dilayani konseling supaya siap menjadi konselor. Jika 
  kita tidak sehat secara emosi, kita bisa saja kolaps.

  Masalah-Masalah Etis dalam Konseling

  1. Tanggung jawab profesional.

     Apakah saya orang yang tepat untuk menolongnya atau saya harus
     merujuk konselor lain untuk dia. Apakah saya konsisten pada
     prinsip dan tujuan selama proses terapi itu, atau saya mulai
     berkompromi dengan kepentingan atasan?

     Konselor harus bersedia merujuk konselor lain untuk klien apabila
     ia merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang
     kepadanya. Sebagai konselor, kita dituntut untuk mampu bersikap
     demikian. Seorang konselor tidak bisa menangani konselinya karena
     beberapa alasan, misalnya jika kasusnya atau akibatnya bisa
     menimbulkan sesuatu yang tidak baik (misalnya pada kasus-kasus
     histeria), atau kita merasa bahwa dia akan lebih baik ditangani
     seorang konselor wanita, dan sebagainya.

     Dengan keahlian yang ada, kita bisa melihat bahwa klien ini 
     sebaiknya kita "refered" ke orang lain. Itu tindakan profesional. 
     Misalnya, jika saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju 
     sepanjang konseling dengan saya (konseling juga menyangkut soal 
     kecocokan) atau sukses konseling itu kecil, saya wajib 
     mengarahkan dia ke konselor lain. Ini adalah bentuk 
     pertanggungjawaban seorang konselor. Walaupun kita begitu 
     tertarik pada kasusnya, janganlah merasa kecewa sekiranya kita 
     tidak bisa menangani dia. Dia mungkin tidak cocok dengan kita. 
     Setiap konselor harus memprediksi sukses suatu konseling, hingga 
     sejauh mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap 
     profesional, bukan semata-mata karena keinginan untuk membantu 
     atau tertarik.

  2. Menjadi diri sendiri (otentik dan membuka diri).

     Bila ketertarikan klien sudah termasuk proses "transference" 
     (pemindahan), perlukah konselor terbuka kepada klien dan 
     mengatakan, "... bahwa saya tidak bisa konseling dengan Anda, 
     karena... " (misalnya kasus klien naksir konselor)? Apakah 
     seorang konselor perlu mengemukakan alasannya secara transparan 
     atau mengetahui keadaan yang sebenarnya?

     Ini bergantung pada kesiapan dan kematangan klien. Misalnya, pada
     kasus klien yang terobsesi pada konselor. Jika perlu, kita bisa
     mengeksplorasi ketertarikan klien kepada kita, misalnya "Apa yang
     kamu sukai pada saya?", "Apa yang timbul dalam hatimu ketika kamu
     saya perhatikan?" Bila klien menjawab, "Saya merasa Anda seperti
     Ayah saya." Konselor bisa menjawab, "O, jadi kamu sangat
     merindukan figur Ayahmu yang selama ini hilang dari hidupmu?"
     (Jadi, jangan tergesa-gesa melepaskan si klien).

     Adakalanya terapis ingin menekankan persahabatan. Hati-hati! Jika
     hanya menekankan persahabatan, kita tidak dapat menekankan
     sesuatu kepada si klien. Jika kita sedikit menjaga jarak, tekanan
     itu akan lebih efektif. Hindari berbasa-basi, seperti mengatakan,
     "Kita kan teman, jangan segan-segan."

     Contoh lain, bila klien memang tidak punya teman, lalu kita
     menawarkan diri menjadi temannya, namun ternyata dia menyebalkan
     kita. Kita justru menjadi sulit untuk berteman dengannya. Jadi,
     pelihara bobot pertemanan dan profesionalitas kita. Jangan
     mengobral kalimat, "Anggap saja kita berteman." Juga hati-hati,
     jangan berjanji kepada klien "Saya tidak akan meninggalkan
     engkau", "Saya tidak akan marah kepadamu" sebab dengan berbuat
     demikian kita sudah membatasi diri kita sendiri.

     Sikap membuka diri juga berkaitan dengan gejala pemindahan. Kita 
     akan lebih suka berbicara dengan klien tertentu, namun berbicara 
     seperlunya dengan klien kita yang lain. Adakalanya kita berbicara 
     melucu dan "ngalor ngidul" dengan klien tertentu. Ini adalah 
     gejala "tranference" pada diri konselor. Gejala ini perlu 
     disadari dan ditanyakan pada diri sendiri: demi kepentingan siapa 
     saya berbicara melantur seperti ini? Apakah itu berfaedah bagi 
     klien? Ini menolong kita untuk lebih menguasai diri.

     Sebaliknya, jangan menjadi profesional canggung, kaku, dan tidak
     bisa bercanda (kecuali jika kita berkarakter demikian). Bercanda
     pun jangan demi kepentingan diri kita, tetapi demi kepentingan si
     klien.

  3. Hati-hati, jangan menyentuh klien.

     Tidak semua orang suka disentuh. Tetapi, jika dia yang ingin
     memeluk kita, tanggapi dia secara tepat (sejenis). Namun,
     terhadap lawan jenis, jika kita tidak bisa, sampaikan secara
     terus terang kepada klien. Bisa dengan cara lain, misalnya Anda
     mengatakan, "Mau nggak jari (jari kelingking) kita berpelukan
     sebagai tanda kita saling menguatkan satu terhadap yang lain."
     Tindakan ini akan dikenang lama oleh klien.

  4. Dalam hal berdoa.

     Apakah doa yang kurang etis (karena tidak terapeutik) dalam
     konseling? Amati motivasi kita mendoakan klien: untuk apa? Ada
     waktunya kita tidak perlu mendoakan klien. Misalnya dia, sedang
     marah kepada Tuhan.

  Pemindahan dan Kontra-Pemindahan

  Pemindahan (transference) merupakan sebuah proses alam bawah sadar
  (unconscious) yang diproyeksikan klien kepada terapisnya mengenai
  perasaan-perasaan, atau sikap/reaksi terhadap tokoh-tokoh penting
  dalam kehidupan masa lalunya. Pemindahan sering terjadi karena
  pengalaman masa lalu yang membekas dalam hidup kita.

  Dalam proses terapi, pemindahan ini memunyai nilai tersendiri, 
  karena melalui proses inilah klien akan dapat mengungkapkan 
  perasaan-perasaannya yang telah terdistorsi. Sedangkan reaksi yang 
  didapatnya adalah respons terapis dan bukan tokoh-tokoh dalam 
  hidupnya dahulu. Ketika klien memilih terapis A, B, atau C, ini pun 
  suatu pemindahan.

  Jadi, prinsip utamanya ialah terapis tidak boleh membiarkan dirinya
  masuk/terjerat ke dalam proyeksi kliennya. Jika terapis sudah
  terjerat, hakikatnya ia telah memuaskan kebutuhan neurotik klien,
  yang akhirnya akan melestarikan kebutuhan-kebutuhan neurotik si
  klien. Jika klien memproyeksikan figur ayahnya yang galak pada diri
  terapis, si terapis tidak perlu bereaksi marah atau tersinggung.
  Dengan demikian, klien menyadari bahwa tidak semua orang seperti
  ayahnya yang galak itu.

  Kontra Pemindahan (Counter Transference) adalah proses pemindahan
  yang dilakukan terapis terhadap kliennya. Ini terjadi apabila
  kebutuhan pribadi terapis bercampur aduk hubungannya dengan si
  klien. Akhirnya, ini dapat merusak objektivitasnya.

  Beberapa pertanyaan dapat diajukan kepada diri sendiri untuk
  mengetahui apakah terapis sedang melakukan kontra pemindahan.

  1. Apakah saya senantiasa membutuhkan pujian dan pengakuan klien?
     Adakalanya terapis perlu menegur pola pikir klien yang irrasional
     (ini berisiko).

  2. Apakah saya melihat diri saya pada si klien? Apakah saya makin
     terserap (karena menyukai), atau makin menjauh (karena melihat
     karakteristik tertentu pada klien yang Anda tidak sukai).
     Misalnya, dalam terapi pernikahan atau kelompok, saya lebih
     menyukai salah satu klien dibanding klien lainnya.

  3. Apakah saya mulai tertarik kepada klien, baik secara romantik
     atau seksual? Penting untuk Anda ketahui bagaimana menghadapinya
     secara sadar tanpa merusak proses terapi. Misalnya, jangan
     menanyakan sesuatu berkaitan seksual yang tidak perlu.

  4. Apakah saya terdorong untuk segera memberikan nasihat kepada
     klien? Terapis terjebak perasaan diri lebih tinggi dari klien;
     terlalu khawatir bahwa klien akan mengambil keputusan yang keliru
     sehingga tidak membiarkan klien mandiri.

  5. Apakah muncul keinginan untuk menjalin persahabatan dalam diri
     saya? Masih beranikah?

  6. Apakah ada perasaan tidak ingin kalah terhadap klien (menang
     sendiri)?

  7. Apakah Anda merasa marah melihat klien tidak maju, atau ketika
     klien kurang menghargai terapi?

  8. Apakah ada dorongan untuk menggunakan kekuasaan saya sebagai
     terapis?

  9. Jika saya meminta klien datang lebih dari seminggu, untuk
     kepentingan siapakah itu? Apakah itu untuk reputasi?

  Kerahasiaan

  Apakah istrinya perlu diberitahu bahwa suaminya telah menyeleweng?
  Sebaiknya, mintalah si suami sendiri yang menyampaikan. Jika
  menyangkut anak remaja, ceritakan garis besarnya. Ini pun atas izin
  dari remaja tersebut. Mintalah dia memberitahukan yang manakah harus
  dirahasiakan. Jadi, ceritakan gambaran secara umum saja kepada orang
  tuanya.

  Sebaiknya, terapis tidak menceritakan masalah klien kepada siapa pun
  yang dikenal klien maupun terapis. Ini berbahaya, sebab orang akan
  mengatakan kita suka bergosip. Semuanya harus dengan persetujuan
  klien jika memang perlu diceritakan.

  Nilai Kehidupan

  Tak bisa dihindari, terapi melibatkan nilai kehidupan terapis. Ia
  tidak mungkin 100% netral ketika bertindak dan bereaksi terhadap
  klien, yang dipengaruhi nilai kehidupannya. Tanpa sadar ia sudah
  mengkomunikasikan nilai itu kepada kliennya. Misalnya, ketika ia
  mengatakan, "Untuk apa ke kamu ke disko, nggak baik itu!" "Tidak
  boleh berpacaran sebelum 20 tahun, lho!" "Mengapa kamu tidur berdua
  bersama dengannya (teman sejenis)."

  Tanpa disadari sang terapis, ia sering menebarkan nilai hidup
  tertentu yang dilandasi kepentingan pribadi. Berhati-hatilah, jangan
  sampai berlebihan dan prematur ketika memberikan nilai kehidupan
  pribadi, apalagi bukan sesuatu yang prinsip. Waspadalah juga agar
  tidak menekankan sesuatu yang hanya untuk menyenangkan pribadi klien
  atau terapis.

  Prinsip Etika Psikolog (Konselor)

  A. Competence (Kemampuan)

  Psikolog harus benar-benar melakukan tugasnya sebaik mungkin
  (sebaik-baiknya). Ia menyadari bahwa batasan dirinya bergantung pada
  bidang yang sudah dipelajari dan diterimanya. Ia menyadari bahwa
  kelompok yang berbeda membutuhkan penanganan secara berbeda pula. Ia
  harus senantiasa bersedia belajar.

  B. Integrity (Integritas)

  Ia perlu memelihara integritas pribadi: jujur, adil, dan menghormati
  orang lain, mengerti nilai-nilai kehidupan, 
  keinginan-keinginan, dan keterbatasan diri pribadinya.

  C. Profesional and Scientific Responsibility (Tanggung Jawab 
     Profesional dan Ilmiah)

  Ia harus memiliki tanggung jawab profesional. Tidak bertindak 
  sembarangan. Perlu berkonsultasi dengan orang-orang atau lembaga 
  yang berpengalaman dan lebih profesional. Tentang moralitas, 
  psikolog boleh meyakini nilai-nilai itu tetapi tidak boleh merusak 
  terapi. Nilai hidup pribadinya tidak boleh merusak kualitas 
  pekerjaannya. Misalnya, jika ia seorang lesbian, ia tidak boleh 
  memaksakan kliennya agar bersikap permisif terhadap perilaku 
  lesbian. Setiap psikolog harus memerhatikan rekan sekerjanya. Jika 
  ia mengetahui ada yang nakal, ia harus melaporkan rekannya untuk 
  diproses pencabutan izin bekerjanya.

  Standar Etika

  Prinsip Umum

  1. Boundaries of Competence:
     Kita hanya memberikan layanan yang sesuai dengan training dan
     pendidikan yang kita terima dan pelajari.

  2. Describing the Nature and Results of Psychological Services:
     (a) Beritahukan klien apa yang akan kita berikan dan lakukan
         kepadanya. Setelah selesai, kita wajib memberitahukan
         kepadanya, supaya ia tidak merasa dirugikan.
     (b) Jika kita bekerja untuk suatu lembaga dan diwajibkan
         melapor kepada lembaga itu, kita harus meminta izin kepada klien.

  3. Sexual Harrasment (pelecehan seksual):
     (a) Tidak boleh melakukan pelecehan seksual, memikat klien
         secara seksual, dan atau berperilaku yang bermuatan seksual.
     (b) Kita tidak boleh membedakan klien berdasarkan jenis kelamin.

  4. Personal Problems and Conflics:
     (a) Kita tidak boleh membahayakan klien karena masalah diri kita
         sendiri (misalnya, kita sedang marah kepada istri di rumah,
         lalu marah kepada klien).
     (b) Jika memunyai masalah pribadi, segera cari pertolongan (jangan
         terlalu lama). Sementara itu, berhentilah sementara sebagai
         konselor.

  5. Avoiding Harm:
     Kita tidak boleh merugikan klien. Harus menghindari gangguan.

  6. Misuse of Psychologists` Influence:
     Kita tidak boleh memberikan pengaruh untuk menekan klien.
     Misalnya, memberi pertimbangan yang keliru demi kepentingan kita.

  7. Multiple relationships:
     Kita tidak bisa menghindari persahabatan dengan klien, namun
     jangan sampai persahabatan itu mengganggu dan merugikan proses
     terapi kita. Bila perlu, jagalah jarak dengan klien.

  8. Barter (With Patient or Clients):
     Dalam terapi yang serius, jangan menerima kado atau hadiah dalam
     bentuk apa pun. Pemberian yang bersifat tidak anti-teraupetik
     (membangun) boleh diterima dan harus dijaga agar tidak
     mengekploitasi hubungan itu.

  Diambil dan diedit seperlunya dari:
  Judul buku: Perlengkapan Seorang Konselor
  Penulis: Julianto Simanjuntak
  Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), Jakarta 2007
  Halaman: 389 -- 399

TIPS _________________________________________________________________

  Salah satu sarana konseling yang telah dipakai oleh gereja/
  organisasi pelayanan untuk menolong mereka yang sedang mengalami
  kesulitan/masalah adalah melalui pelayanan telepon (hotline).
  Anda yang telah atau ingin melibatkan diri dalam pelayanan hotline
  dapat mempelajari beberapa tips praktis di bawah ini.

              ETIKA KONSELING MELALUI TELEPON (HOTLINE)

  Petunjuk Praktis Menerima Telepon:
  1. Ramah tamah dengan nada sambutan:
     "Hallo, selamat pagi", siang, atau malam, lalu sebutkan "Di
     sini .... (sebutkan nama pelayanan Hotline Anda), apakah ada
     yang dapat kami bantu?" Setelah klien menceritakan sedikit
     permasalahannya, tanyakan, "Apakah kami boleh mengenal nama
     Anda?", 2. Bila penelepon meragukan keamanan percakapan, konselor memberikan
     jaminan kerahasiaan itu dengan sopan.

  3. Bila penelepon menanyakan nama konselor, sebaiknya konselor
     berhati-hati agar tidak sembarangan memberikan nama kepada orang
     (tidak setiap penelepon butuh mengenal nama atau pribadi
     konselor).

  4. Bila penelepon tidak sopan, sebaiknya ingatkan dia dengan satu
     kalimat pendek (misal: "Anda tidak perlu marah-marah kepada saya
     ...", "Anda tidak perlu mengucapkan kata-kata yang tidak
     semestinya"), sambil menanyakan apakah sebetulnya yang dia
     ingin sampaikan. Bila ia tetap menanggapi dengan kata-kata yang
     tidak sopan, Anda boleh menutup telepon.

  5. Jika penelepon mulai dengan melaporkan kekecewaannya terhadap
     konselor lain, Anda harus bisa menolong dia untuk berfokus pada
     permasalahannya (jangan melayani pokok-pokok sampingan).

  6. Jika penelepon terus berbicara tanpa dapat dipotong, konselor
     harus menghentikan dia dengan sopan, dengan kata-kata, "Anda
     sudah berbicara banyak, saya khawatir bahwa saya akan lupa
     pada apa yang Anda katakan. Bagaimana jika kita mulai dari
     pokok yang pertama dahulu.", 7. Jika penelepon seseorang yang beragama lain, Anda harus mematikan
     niat Anda untuk menjadikan konseling sebagai sarana penginjilan,
     minimal untuk sementara.

  8. Bila penelepon menceritakan/menanyakan masalah orang lain dan
     bukan dirinya sendiri, Anda harus menghargai maksud baiknya,
     dengan mengatakan, "Anda memunyai beban yang baik untuk 
     memikirkan orang lain, tetapi jika saya boleh mengetahui, apakah 
     yang Anda akan lakukan setelah Anda mengetahui penyelesaian 
     persoalan ini." Anda harus mengingatkan bahwa klien Anda adalah 
     si penelepon, meskipun dalam konteks percakapan itu ia sedang 
     menanyakan masalah orang lain.

  9. Bila penelepon marah kepada Anda, entah dengan kata-kata apa pun,
     Anda tidak perlu melayani kemarahan tersebut. Akhiri percakapan dengan
     kalimat pendek: "Saya terpaksa menutup telepon ini karena Anda
     belum siap melakukan percakapan konseling ini.", 10. Jika si penelepon mengajak Anda berdebat (misal: soal agama),
      Anda tidak perlu melayani perdebatan itu, sebaliknya fokuskan
      pada apa yang menjadi persoalan si penelepon (misal: kebencian
      terhadap orang tertentu atau ketidakpuasan terhadap gereja).

  11. Jika Anda merasa terganggu atau kurang siap (misal:
      penelepon menghubungi pada pukul 2 pagi), Anda sebaiknya
      waspada terhadap respons diri Anda sendiri. Tariklah napas
      panjang dan katakan pada diri sendiri, "Mungkin si penelepon
      benar-benar sedang sangat membutuhkan bantuan.", 12. Bila suara klien terlalu kecil, Anda harus mengatakan dengan jelas
      bahwa Anda tidak mendengar suaranya: "Maafkan saya tidak dapat
      mendengar suara Anda dengan jelas, dapatkah Anda mengulangi
      sekali lagi." (Anda jangan sampai menafsirkan keliru apa yang
      sudah disampaikannya).

  13. Jika penelepon meminta Anda menelepon balik karena tidak bisa
      melanjutkan percakapan, Anda harus menjelaskan bahwa dalam
      pelayanan Hotline, Anda tidak dapat menelepon balik). Jika klien
      ingin berbicara kepada rekan Anda, berikan jadwal rekan yang
      bersangkutan.

  14. Tidak dibenarkan untuk berkenalan pribadi, bertemu di luar
      konteks hotline, dan menerima hadiah secara pribadi. Namun
      demikian, pelayanan hotline adalah layanan konseling, maka
      janganlah memutlakkan ketentuan di atas. Kadang-kadang ada
      seseorang yang secara tulus merasa tertolong oleh individu
      tertentu, sehingga ia ingin menyatakan rasa terima kasih dan
      menjalin hubungan yang bersifat lebih pribadi. Dalam hal ini,
      persoalannya adalah tanggung jawab pribadi di luar organisasi
      layanan hotline.

  15. Jika penelepon ingin memberikan hadiah, Anda harus memberi dia
      pengertian bahwa pemberian yang dapat diterima adalah berbentuk
      dukungan kepada layanan hotline, tanpa kewajiban apa pun
      dari pihak penerima (misalnya: tidak ada keharusan untuk
      mengambil hadiah tersebut).

  Kerja sama dengan layanan kemanusiaan yang Lain:
  1. Konselor harus menyadari batasan layanan konseling melalui
     telepon, bahkan keterbatasannya sebagai konselor (apa pun
     latar belakang pendidikannya). Pada kasus-kasus yang tidak
     mungkin ditangani sendiri, konselor harus siap bekerja sama
     dengan orang-orang yang lebih tepat, misalnya dokter, psikolog,
     pendeta, psikiater, pekerja sosial, polisi, dsb.. Untuk maksud
     itu, ketika konselor melayani konseling melalui telepon,
     dianjurkan untuk memunyai daftar rujukan (referrals) yang siap
     pakai, termasuk nama, alamat, dan nomor telepon.

  2. Dalam hal menjaga kerahasiaan, konselor tetap bisa menyampaikan
     kepada orang lain jika:
     - diizinkan klien dan
     - kondisi klien sangat membahayakan, misalnya klien akan
       bunuh diri. Dalam hal ini, konselor harus menanyakan nama,
       alamat, dan nomor telepon dengan menanyakan, "Anda sekarang
       berada di mana?", "Apakah Anda sendiri?", sehingga konselor bisa
       menghubungi polisi, aparat keamanan, dokter, dsb..

  Bahan diambil dari:
  Judul Buku: Pelayanan Konseling Melalui Telepon
  Penulis: Pdt. Dr. Yakub B. Susabda dan Tim
  Penerbit: People Helpers Ministry Indonesia, Jakarta
  Halaman: 57 -- 58

  Artikel ini pernah dipublikasikan di Publikasi e-Konsel edisi 034:
  ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/034/

INFO _________________________________________________________________

             e-MISI: MENGABARKAN INJIL KE SELURUH INDONESIA

  Situs e-MISI dibangun oleh Yayasan Lembaga Sabda (YLSA) untuk
  menyediakan informasi, referensi, dan bahan-bahan kekristenan
  tentang pekerjaan misi di Indonesia maupun di seluruh dunia. Situs
  ini akan menolong Anda untuk melihat pekerjaan tangan Tuhan yang
  luar biasa di berbagai tempat di dunia. Melalui situs ini, kita
  diharapkan akan terdorong untuk ikut mengambil bagian dalam
  pekerjaan misi di mana pun. Situs ini terbuka bagi Anda yang ingin
  mengirimkan informasi dan bahan-bahan seputar misi. Jadi, mengapa
  harus menunggu? Kunjungi segera situs ini dan dapatkan berkatnya!

  ==>  http://misi.sabda.org/
 
  atau ikut bergabung di Facebook e-Misi:
  ==> http://fb.sabda.org/misi

_______________________________e-KONSEL ______________________________
Pimpinan Redaksi: Christiana Ratri Yuliani
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Penanggung Jawab Isi Dan Teknis Yayasan Lembaga SABDA
INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN
Copyright(c) 2010
YLSA    -- http://www.ylsa.org/
Katalog -- http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________
Anda punya masalah/perlu konseling? atau ingin mengirimkan
Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
silakan kirim ke:
konsel(at)sabda.org atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
ARSIP: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
Situs C3I: http://c3i.sabda.org/
Network Konseling: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_konseling
Facebook: http://fb.sabda.org/konsel
___________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org