Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/146 |
|
e-Konsel edisi 146 (15-10-2007)
|
|
Edisi (146) -- 15 Oktober 2007 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : Keluargaku Tanggung Jawabku = Cakrawala : Menetapkan Batasan Tanggung Jawab Orang Tua Kristen = TELAGA : Menanamkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak = Bimbingan Alkitabiah: Kewajiban Orang Tua dan Kewajiban Anak ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Salam sejahtera, Jika tidak disikapi dengan bijak, perlahan tapi pasti, perkembangan zaman akan menggeser nlai-nilai keluarga. Berbagai tuntutan zaman menyibukkan setiap anggota keluarga. Akibatnya, masing-masing melalaikan tanggung jawab mereka. Bila orang tua disibukkan dengan karier mereka, anak-anak disibukkan dengan berbagai kegiatan sekolah. Sementara orang tua merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan dari segi jasmaniah, tanggung jawab berupa perhatian kepada anak pun terabaikan. Tidak heran jika banyak rumah tangga yang berada di ujung tanduk karena tidak ada keharmonisan lagi. Sebenarnya apa tanggung jawab para anggota keluarga dalam rumah tangga? Bagaimanakah masing-masing anggota keluarga seharusnya mengerjakan tanggung jawab mereka? Sajian berikut kiranya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan mampu mengingatkan kita akan tanggung jawab kita dalam keluarga. Selamat menyimak, Tuhan memberkati Redaksi tamu e-Konsel, Davida Welni Dana ========== CAKRAWALA ========== MENETAPKAN BATASAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA KRISTEN Semua orang tua bertanggung jawab untuk menetapkan batasan bagi anak-anak mereka. Kita memastikan mereka memakan makanan yang baik, memakai pakaian yang pantas, dan tidur pada waktunya. Ketika mereka bertambah besar, kita mengurangi batasan mereka, memberi mereka lebih banyak kebebasan untuk menentukan pilihan mereka sendiri, sambil tetap memerhatikan dari dekat, siap untuk bertindak bila diperlukan. Tujuan utama menetapkan batasan dalam kehidupan anak-anak kita adalah agar mereka dapat menetapkan batas-batas tanggung jawab mereka sendiri saat mereka kelak meninggalkan lingkungan keluarga. Dengan mudah kita dapat melihat bahwa di dunia sekeliling kita, proses menetapkan batasan ini sudah tidak berjalan dengan semestinya. Kisah-kisah heboh di surat kabar tentang perilaku anak-anak yang lepas kendali sebenarnya hanya mengungkapkan sebagian kecil saja di antara begitu banyak kisah lainnya yang tidak sempat menjadi berita utama. Mengapa hal ini terjadi? Dan yang lebih penting lagi, teladan apa yang dapat kita berikan sebagai orang tua Kristen bagi keluarga-keluarga yang belum percaya? Mustahil menuliskan seluruh alasan kegagalan orang tua melaksanakan peran mereka sebagai pembuat batasan dalam keluarga sekarang ini, tetapi marilah kita menyinggung beberapa di antaranya: 1. Kedua orang tua bekerja di luar rumah mengakibatkan sejumlah besar anak harus tinggal di rumah sendirian sebelum dan setelah sekolah, demikian juga selama liburan sekolah. Pada dasarnya, anak-anak ini dibiarkan tumbuh sendiri. 2. Orang tua ingin bersikap "adil". Bagaimana kita dapat berkata "tidak" pada anak-anak kita sementara semua temannya diperbolehkan melakukan hal itu? Orang tua ingin menjadi teman bagi anak-anaknya. Dalam perjalanan membesarkan anak, orang dewasa biasanya akan sampai pada tahapan di mana mereka berharap keturunannya dapat memandang mereka sebagai rekan yang setara. 3. Masyarakat secara keseluruhan memperlihatkan toleransi yang semakin tinggi terhadap dosa dalam bentuk kekerasan yang diperlihatkan di berbagai media massa, isi yang berbau seks, dan penyimpangan tingkah laku. Keluarga Kristen pun tidak terlepas dari situasi semacam ini. Namun, bagaimana cara kita menanganinya, itulah yang akan membuat perbedaan. Dengan menuruti perintah Allah, kita dapat memberikan teladan yang baik bagi orang lain dan pada saat yang sama memberikan kesaksian tentang iman kita kepada Yesus Kristus dan iman kita akan pemeliharaan Allah. Hadir untuk Mengasuh -------------------- Peran Ibu Sekarang ini, bukanlah hal yang aneh bila kedua orang tua bekerja, setidaknya bekerja paruh waktu. Dengan terus meningkatnya biaya hidup dan pendidikan, baik suami maupun istri dituntut untuk mencari nafkah demi menyokong keluarga mereka. Secara umum, diketahui dan diyakini bahwa karena tuntutan inilah, nilai-nilai kehidupan dan kerohanian keluarga telah terkena dampaknya. Dan karena alasan ini pula, sebaiknya setiap orang tua Kristen meninjau situasi keuangan mereka untuk menentukan apakah mereka bekerja karena mereka memang membutuhkan uang atau karena mereka ingin memenuhi target pendidikan dan cita-cita mereka serta menjalani hidup mewah. Perkataan berikut ini mungkin akan menyinggung cara hidup masyarakat modern, namun cukup pantas untuk direnungkan: "Keluarga akan mengalami masalah jika di rumah tidak ada sedikitnya satu orang tua yang mengasuh anak." "Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu." (Kej. 2:21-22). Allah menciptakan wanita dari pria dan Ia menjadikan mereka berbeda untuk mengisi peran yang berbeda. Kita tahu bahwa pada hakikatnya wanita diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengasuh dan memberi dukungan yang lebih baik dibandingkan pria. Dengan kehadirannya dalam tahun-tahun kritis pembentukan kepribadian, karakter, dan kebiasaan anak, ibu dapat melatih anak dengan lebih baik dalam jalan yang harus ditempuhnya. Ketika istri menunaikan peran ini, suami dapat memenuhi perannya sebagai pemimpin rohani dan pemberi nafkah dengan lebih baik. Allah tidak ingin wanita bersaing dengan pria dalam hal ini, meskipun wanita tentu saja dapat dan harus memberikan bimbingan rohani bagi anak-anak mereka, serta memelihara keluarga dengan berbagai cara lainnya. Namun, sekalipun seorang ibu telah memutuskan untuk tinggal di rumah selama tahun-tahun pembentukan dalam kehidupan anaknya, hal ini belumlah menjamin bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang yang penurut dan penuh hormat. Dibutuhkan komitmen yang kuat, tekad, pengendalian diri, kebijaksanaan, iman kepada Tuhan, dan kasih yang besar untuk dapat menjadi seorang ibu yang sukses. Sekadar tinggal di rumah dan menjadi penjaga bayi bukanlah cara yang tepat untuk membesarkan seorang anak. Ia harus siap untuk menjadi seorang guru, perawat, tukang (untuk memperbaiki mainan yang rusak), supir, atlet, dan yang paling penting, hamba Tuhan. Amsal 31 memberikan deskripsi yang indah tentang karakteristik seorang istri dan ibu yang sempurna. Wanita yang digambarkan dalam pasal ini, meski kemungkinan besar adalah suatu karakter gabungan, dengan indah melukiskan segala yang dapat dilakukan seorang wanita untuk kebaikan keluarganya. Sedapat mungkin, wanita Kristen harus menolak godaan untuk bekerja di luar rumah jika tidak benar-benar perlu. Mintalah agar Tuhan menunjukkan jalan untuk menyesuaikan kondisi keuangan Anda sehingga Anda tidak perlu bekerja ketika anak-anak Anda berada di rumah. Tentu saja, ini haruslah merupakan keputusan pribadi, yang dibuat bersama suami Anda dan dengan doa. Jika bekerja adalah satu-satunya pilihan Anda untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Anda harus mencari pekerjaan yang paling tidak mengganggu kehidupan keluarga Anda atau mungkin suatu pekerjaan yang dapat Anda lakukan ketika anak-anak berada di sekolah atau ketika suami Anda ada di rumah untuk menjaga anak-anak. Anak-anak membutuhkan orang tuanya dan keluarga yang belum percaya perlu melihat bahwa umat Kristen bersedia melakukan pengorbanan dalam hidup mereka demi kebaikan anak-anak mereka. Peran Ayah "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mzm. 127:3-5). Dengan ibu yang berkonsentrasi menjadi pengasuh utama, ayah dapat lebih memusatkan perhatian dalam melakukan perannya sebagai pemimpin rohani keluarga, melatih anak-anaknya menjadi anak-anak Tuhan melalui teladannya. Allah ingin agar setiap keluarga menjadi keluarga yang penuh kasih. Sebagai ayah, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita penuh kasih, tidak hanya terhadap keluarga kita, tetapi juga menjalankan kasih seorang Kristen terhadap Tuhan, domba-domba-Nya, dan jiwa-jiwa yang tersesat. Allah juga ingin agar setiap keluarga menjadi keluarga yang berdoa. Sebagai pemimpin rohani dalam keluarga, apakah kita memberikan teladan? Apakah kehidupan doa kita kuat, sedang-sedang saja, atau lemah? Sudahkah kita mengajarkan pentingnya dan berharganya doa yang efektif dan membaca Alkitab dengan anak-anak kita? Sudahkah kita membuat program untuk membantu membangun kebiasaan dan karakter rohani yang kuat dalam keluarga kita? Ayah harus selalu menguji dengan cermat tingkah laku rohaninya sendiri jika ia mengharapkan anak-anaknya memahami arti kesalehan yang sesungguhnya. Selain itu, peran ayah juga sebagai pendukung ibu dalam perannya sebagai pengasuh. Ia harus memberikan dukungan kepada istrinya yang mengemban tanggung jawab dalam membesarkan anak-anak dan menjaga kerapian rumahnya. Hanya dengan jalan inilah ia dapat membantu istrinya dalam menjalankan tugas-tugasnya sehingga istrinya juga dapat tetap hidup berdamai dengan Allah, dirinya sendiri, anak-anaknya, dan yang terlebih penting, dengan suaminya sendiri. Menjadi Teman Vs Menjadi Orang Tua ---------------------------------- Kedua orang tua harus sepakat tentang masalah dan cara-cara menanamkan kedisiplinan: tentang pelanggaran mana yang cukup diberikan pengarahan dan tingkah laku mana yang membutuhkan disiplin yang lebih keras, bahkan mungkin hukuman badan. Sangatlah penting bagi orang tua untuk kompak dan konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak mereka. Keadilan tentu saja adalah sifat yang patut dihargai dalam persahabatan, tetapi hubungan orang tua-anak bukan dirancang untuk menjadi hubungan yang seperti itu. "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu" (Ams. 22:6). Allah memberikan tanggung jawab kepada orang tua untuk mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak-anak mereka. Tetapi Ia juga memperingatkan orang tua agar tidak membuat marah anak-anak mereka. "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (Ef. 6:4). Begitu banyak orang tua zaman sekarang yang terlalu berlebihan menerapkan prinsip "tidak membuat marah" anak-anak mereka sehingga mereka membiarkan anak-anak melakukan apa pun yang mereka inginkan. Mereka sudah melumpuhkan peran mereka sebagai orang tua dengan mempercayai bahwa membiarkan anak-anak menetapkan sendiri pilihan mereka yang tidak bijaksana akan lebih baik daripada membuat mereka "menderita" dengan mengatakan "tidak". Jauh di kemudian hari, perlakuan memanjakan anak dapat merusak anak lebih dalam lagi. Bagaimana anak dapat mempelajari nilai-nilai orang tua mereka jika mereka tidak diajar menilai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh mereka lakukan? Memberitahukan apa yang "harus" dilakukan anak adalah satu hal, tetapi proses belajar yang sesungguhnya terjadi ketika hal itu tampak dalam tingkah laku orang tua dan juga dilakukan oleh anak itu sendiri. Sebagai orang tua Kristen, kita perlu memohon hikmat Allah dalam segala hal yang berhubungan dengan pilihan bagi anak-anak kita. Kita juga perlu menyadari bahwa pilihan yang Allah kehendaki agar kita ambil atas nama anak-anak kita tidak selalu akan menyenangkan hati mereka dan terkadang juga membuat kita dikritik oleh orang-orang yang belum percaya. Namun, jangan sampai hal ini memengaruhi keputusan kita untuk mengikuti pimpinan Tuhan. Sebaliknya, kita harus semakin bersemangat karena sesungguhnya kita sedang menanggung suatu kesaksian yang penuh kuasa kepada dunia. Menjadi Badan Sensor untuk Anak-Anak Anda ----------------------------------------- Perhatikanlah daftar film laris, lima puluh CD paling top, serta game komputer dan video game populer sekarang ini. Jika Anda mengamati dengan cermat, Anda mungkin akan terkejut melihat banyaknya kandungan kekerasan, percabulan, kebencian, seks, dan juga hal-hal anti-Kristen lainnya. Kadang-kadang hal-hal ini begitu jelas terlihat, tapi kadangkala terkubur di bawah permukaan dan diperlukan pengertian untuk dapat melihatnya. Mengapa ada begitu banyak hal busuk di sana? Sebab masyarakat sudah menerimanya sebagai sesuatu yang "normal". Nilai-nilai standar sudah diturunkan secara drastis dan umat Kristen pun sedang terseret ke dalamnya bersama-sama dengan seluruh isi dunia ini. Tak ada kebaikan yang dapat kita peroleh dengan mengizinkan anak-anak kita dibombardir oleh gambar-gambar, lirik lagu, dan macam-macam hiburan yang tidak saleh. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu" (Flp. 4:8). Nasihat Paulus haruslah menjadi tolok ukur kita. Paulus tahu bahwa daya tarik dunia dapat secara perlahan-lahan memikat umat Allah, dan ini terjadi pada keluarga kita sekararang ini, sama seperti yang terjadi pada umat Kristen di Filipi pada masa itu. Janganlah takut untuk menyensor berbagai media yang akan dipergunakan anak-anak kita, anggaplah itu sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada Anda. Sebagai orang tua Kristen, kita tentu memiliki pekerjaan yang memang telah diperuntukkan bagi diri kita. Karena itu, kita harus tetap yakin bahwa Tuhan akan menyediakan jawaban atas batasan apa yang perlu kita tetapkan bagi anak-anak kita. Ia telah menyediakan semua perlengkapan yang kita butuhkan: firman-Nya (Alkitab), Roh Kudus-Nya, dan karunia doa yang melaluinya kita dapat menyampaikan kekuatiran dan keprihatinan kita kepada-Nya. Kiranya Ia membimbing kita untuk menggunakan semua perlengkapan ini untuk menetapkan batasan yang baik bagi anak-anak kita dan untuk mengajarkan kepada mereka bagaimana menetapkan batasan bagi diri mereka sendiri. Diambil dan diedit seperlunya dari: Judul majalah: Warta Sejati, Edisi 37/Juli-Agustus 2003 Penulis : Richard Solgot Penerbit : Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia, Jakarta 2003 Halaman : 23 -- 26, 40 ========== TELAGA ========== Tugas orang tua tidak hanya membesarkan dan mencukupi kebutuhan anak-anak mereka saja. Orang tua juga harus bisa mendidik anak-anak mereka untuk memiliki rasa tanggung jawab. Dengan demikian, ketika anak-anak itu dewasa, mereka dapat membawa diri dengan baik. Dalam tanya-jawab dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D. berikut ini diuraikan bagaimana orang tua bisa melaksanakan tugas tersebut. Silakan simak! MENANAMKAN RASA TANGGUNG JAWAB PADA ANAK T : Apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang? J : Kenyataannya memang tidak. Anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa memunyai kesadaran akan tanggung jawabnya. Jadi, tugas orang tualah menumbuhkan rasa tanggung jawab itu. Anak-anak memang dilahirkan untuk bergantung pada orang tuanya, dan dalam kebergantungan itu, anak-anak mengharapkan orang tua melakukan semuanya bagi si anak. Dalam fase ini, si anak memang belum mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri. Namun perlahan-lahan, orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari orang tua dan mulai melakukan apa yang harus ia lakukan bagi dirinya sendiri. ------ T : Sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa? J : Sebetulnya, tidak ada patokan usia yang baku. Namun pada intinya, kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak sedini mungkin. Usia sedini mungkin ini sudah tentu adalah usia di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua, mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua, dan dapat mengomunikasikan dirinya pada orang tua. Ini adalah sesuatu yang penting sekali untuk dimiliki oleh si anak. ------ T : Dalam bentuk apa, orang tua bisa melatih tanggung jawab pada anak? J : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu mengurus dirinya; ini adalah hal yang sederhana. Salah satu hal yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adalah si anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani. Misalnya, menggosok gigi; otomatis kita harus mengajar anak untuk menggosok giginya. Namun setelah menjadi kebiasaan, kegiatan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada akhirnya ialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok giginya. Pada waktu usianya meningkat, misalnya 8, 10 tahun, orang tua mulai menanamkan tanggung jawab tidak saja merawat tubuh, tapi juga barang-barang kepunyaan si anak itu. Anak diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur, dan sebagainya. Ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak sudah menginjak usia remaja, kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya dan sebagainya. ------ T : Kesulitan orang tua adalah tidak memunyai semacam kurikulum atau tingkatan-tingkatan sampai di mana mengajarkan tanggung jawab kepada anak. J : Betul. Memang betapa indahnya kalau kita memunyai pedoman. Namun secara garis besar atau prinsip umumnya, kita ini melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yang bersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari. Tuhan akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Sebagai orang tua yang memerhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai memiliki kesadaran tersebut. ------ T : Kalau seorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya? J : Waktu ia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah ia akan lebih bisa memercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang mampu ia lakukan, hal-hal kecil yang tadinya ia pikir tidak berguna, tapi waktu ia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya. Dengan kata lain, hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek yang sekarang dikuasai oleh si anak, ia mengerti bagaimana melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Ini berdampak bagi kepercayaan diri si anak itu. ------ T : Di samping keyakinan diri, adakah hal lain yang timbul dalam diri si anak? J : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, ia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau ia sama sekali tidak bekerja. Pekerjaan memunyai satu substansi, satu akar, yakni tanggung jawab. Jadi, orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik. Ini kita siapkan, pertama dari melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya, kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan. Kedua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua hal yang menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesannya dalam pekerjaannya pada masa mendatang. ------ T : Kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak atau kondisi perekonomiannya kurang, biasanya anak yang sulung mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya, menggendong adiknya di mana ia sendiri masih kecil, atau bahkan malah bekerja. Apakah dampaknya pada diri anak itu? J : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya. Artinya, mereka yang seharusnya hidup pada tahap usianya terpaksa dikarbitkan untuk hidup di luar usianya. Hal-hal yang seharusnya ia dapatkan di usia itu, misalnya bergantung pada orang, bermain dengan teman-teman sebayanya, akan hilang sebab tugas yang harus ia lakukan adalah membantu orang tuanya itu. ------ T : Kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin, apakah tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan sesamanya, khususnya teman-teman sebayanya? J : Kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu. Secara prinsip, kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu memerlukan waktu bermain jauh lebih banyak daripada hal-hal yang berhubungan dengan tanggung jawabnya. Semakin kecil, semakin banyak waktu bermain yang ia butuhkan, dan waktu untuk bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali, jadi jangan sampai kita salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun, kita wajibkan ia untuk mengepel, menyapu, dan sebagainya, dan ia akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya. ------ T : Apakah teman-temannya itu tidak bisa memengaruhi rasa tanggung jawab anak? J : Teman-teman sebetulnya bisa memengaruhi tanggung jawabnya. Dalam pengertian, teman-teman bermainnya akan mengajaknya melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesuatu pula. Dalam kesempatan seperti itu, si anak juga berkesempatan untuk mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata, "E ..., besok jangan lupa ya, membawa gundu atau kelereng." Ia besok akan membawa kelereng. Hal yang berkaitan dengan teman seperti itu juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang bukan saja menyenangkan, melainkan juga hal-hal yang tidak terlalu menyenangkan. ------ T : Kalau anak itu menghadapi dua hal pilihan untuk tanggung jawab, di satu sisi ia sudah berjanji kepada temannya, tapi pada sisi yang lain, orang tuanya memberikan tanggung jawab. Bukankah ini bisa jadi membingungkan? Mana yang harus ia prioritaskan? J : Kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu, Pak, saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah sekolah," orang tua memang harus menimbang apakah sedemikian perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu. Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan tangguhkan, biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu baru katakan, "Saya minta engkau membantu saya setelah sepak bola." ------ T : Berkaitan dengan tanggung jawab ini, apa firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman, khususnya untuk orang tua? J : Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi." Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah ia akan lebih realistis, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan. Justru anak-anak yang tidak mengerti tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi, "mengejar barang yang sia-sia" atau mengejar barang yang tidak ada. Jadi sekali lagi, firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Ia perlu makan, ia perlu bekerja dengan cara mengerjakan tanahnya. ------ T : Apakah orang lain bisa tahu bahwa seseorang itu memang punya tanggung jawab atau tidak? J : Salah satu hal yang akan bisa kita lihat adalah anak-anak yang bertanggung jawab berani mengakui perbuatannya; itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anak-anak yang seolah-olah rajin, banyak bekerja, dan sebagainya, tapi belum berani mengakui apa yang telah ia kerjakan, belumlah memiliki kedewasaan. Jadi, janganlah kita terkecoh oleh kerajinan. Anak yang bertanggung jawab tahu apa kaitannya dengan dirinya sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang keliru atau salah, ia berani berkata, "Saya yang salah." Sajian di atas kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. T054A yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org> atau: < TELAGA(at)sabda.org > atau kunjungi situs TELAGA di: ==> http://www.telaga.org/transkrip.php?tanggung_jawab_anak.htm ========== BIMBINGAN ALKITABIAH ========== Setiap anggota keluarga memiliki kewajiban sendiri yang harus mereka jalankan supaya kehidupan dalam keluarga ini bisa terus berlangsung dan berkenan kepada Allah. Berikut ayat-ayat Alkitab yang menjabarkan kewajiban orang tua dan anak dalam keluarga. KEWAJIBAN ORANG TUA Kejadian 18:19 Mazmur 78:4-7 Ulangan 11:19 Keluaran 13:8 Amsal 22:6 Ulangan 4:9,10 Amsal 6:4 Efesus 6:4 Kolose 3:21 KEWAJIBAN ANAK Efesus 6:1-3 Kolose 3:20 Lukas 18:20 Ulangan 27:16 Imamat 19:3 Ulangan 5:16 Amsal 6:20 Amsal 13:1 Amsal 15:5 Amsal 20:11 Amsal 10:1 Amsal 1:10 Amsal 28:7 Amsal 8:32,33 Amsal 23:15,16 Amsal 23:22 Amsal 23:24-26 Diambil dari: Janji-janji Alkitab bagi Hidup Kita (CD SABDA 2.0) Indeks : Janji-janji Allah bagi Hidup Kita Nomor topik: 09149 (Kewajiban Orang Tua) 09150 (Kewajiban Anak) Copyright : Yayasan Lembaga SABDA [Versi Elektronik (SABDA)] ============================== e-KONSEL ============================== PIMPINAN REDAKSI: Christiana Ratri Yuliani REDAKSI TAMU: Davida Welni Dana PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2007 oleh YLSA http://ylsa.sabda.org/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? atau ingin mengirimkan Informasi/artikel/bahan/ sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. silakan kirim ke: konsel(at)sabda.org atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://c3i.sabda.org/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |