Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/144 |
|
e-Konsel edisi 144 (15-9-2007)
|
|
Edisi (144) -- 15 September 2007 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : = Cakrawala : Masalah-masalah Sekitar Cacat Tubuh = Tips : Menolong Para Penyandang Cacat = Kesaksian : Terus Berkarya dengan Kaki Palsu = Tanya-Jawab: Putra Saya Cacat = Info : 40 Hari Mengasihi Bangsa dalam Doa ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Sebuah iklan produk susu bagi ibu hamil menjanjikan kesempurnaan fisik dari bayi yang akan dilahirkan bila mengonsumsi susu tersebut. Rupanya teknologi yang ada sekarang ini semakin menggerakkan pikiran dan akal manusia untuk bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Wajar saja bila upaya ini dilakukan manusia karena hingga saat ini penampilan secara fisik masih menjadi prioritas dalam berbagai bidang. Meskipun demikian, kenyataannya Tuhan juga menciptakan manusia yang memiliki kekurangan secara fisik atau yang kita sebut penyandang cacat. Kondisi ini bisa terjadi pada seseorang, baik sejak lahir, maupun saat dewasa, sebagai akibat dari kecelakaan. Keadaan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya ini sering kali menyebabkan mereka merasa tersisih sehingga menyulitkan mereka untuk bergaul dengan orang lain. Di sinilah peranan gereja dan saudara-saudara seiman diperlukan untuk menguatkan mereka dengan memberikan perhatian dan melibatkan dalam kegiatan-kegiatan gereja. Melalui edisi kali ini, Redaksi mengajak pembaca untuk melihat bagaimana kita bisa menjangkau mereka dan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap mereka. Selamat membaca, Tuhan memberkati. Pimpinan redaksi e-Konsel, Christiana Ratri Yuliani ========== CAKRAWALA ========== MASALAH-MASALAH SEKITAR CACAT TUBUH Belas kasihan dari Tuhan Yesus sering kali dinyatakan kepada mereka yang menderita cacat tubuh. Ia disaksikan melayani dan menyembuhkan orang-orang buta, bisu, tuli, lumpuh, dan sebagainya. Pada zaman modern ini, kita sebagai orang-orang Kristen jarang sekali menaruh perhatian untuk melayani dan menolong mereka. Orang-orang yang cacat tubuhnya adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Orang-orang lumpuh kaki misalnya, terpaksa duduk terus di kursi roda. Meskipun mereka lumpuh, kita tidak boleh lupa bahwa mereka masih dapat berpikir normal, memakai tangan mereka, melihat, mendengar, dan sebagainya. Jadi, sementara ada bagian-bagian tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga bagian-bagian lain yang masih sanggup mereka lakukan. Ini hal yang penting sekali diingat pada saat kita melayani mereka. Memang sangat menyakitkan memunyai tubuh yang cacat, tetapi perlu diingat bahwa beberapa dari mereka tidak merasakan seperti yang kita duga karena mungkin sejak lahir mereka sudah cacat, sehingga mereka tidak pernah mengalami hidup dengan tubuh yang normal. Tidak diragukan lagi bahwa situasi akan sangat berbeda jikalau seseorang mengalami cacat tubuh, misalnya karena kecelakaan. Sering kali mereka melewati empat fase pergumulan yang sulit sekali. 1. "Shock" pada saat pertama kali cacat tersebut disadari. 2. Menyembunyikan diri di balik mekanisme-mekanisme pertahanannya. Ini memungkinkan dirinya untuk mampu melupakan akibat-akibat yang sesungguhnya dari cacat tersebut untuk sementara. 3. Menerima realita tersebut di mana seseorang mulai berani memikirkan akibat-akibat yang sesungguhnya dari cacat yang dialaminya. 4. Menyesuaikan diri dengan keadaannya yang cacat. Kadang-kadang reaksi emosi ini disebutkan dengan istilah "three D-A Clusters", berupa hal-hal berikut. 1. Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan kedengkian dan permusuhan. Orang tersebut begitu susah dan frustasi atas cacat yang dialami. 2. Penyangkalan dan penerimaan, atau suatu keadaan emosi yang mencerminkan suatu pergumulan yang diakhiri dengan penyerahan. Ada saat-saat di mana individu tersebut menolak untuk mengakui realita cacat yang telah terjadi meskipun lambat laun ia akan menerimanya. 3. Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase di mana individu tersebut mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan kondisinya yang sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak bergantung, ada saat-saat ia betul-betul membutuhkan bantuan sesamanya. Keseimbangan ini kadang-kadang sulit dicapai. Individu-individu yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat mencapai penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka yang normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka. Seperti halnya dengan orang-orang yang lain, para penderita cacat tubuh ingin diperlakukan dengan baik, merasakan dirinya berharga. Hal ini merupakan sasaran yang sulit dicapai dalam pelayanan bagi mereka. Coba perhatikan, dengan keterbatasan dalam kemampuan fisiknya, terdapat kegiatan dan pekerjaan yang tertutup baginya. Sekalipun ia telah mendapatkan pekerjaan, belum tentu ia akan dipekerjakan karena banyak hal yang tidak mungkin dapat dilakukannya, misalnya turun-naik tangga. Begitu juga dengan hal-hal lain seperti dalam hubungan dengan kebutuhan seksnya, di mana dengan kebutuhan yang normal, kesempatan untuk mendapatkan penyaluran yang wajar, terhambat. Sulit baginya untuk dapat berpacaran dan membina hubungan sampai dengan jenjang pernikahan. Pelayanan Konseling pada Penderita Cacat Tubuh ---------------------------------------------- Tugas utama dalam pelayanan konseling bagi para penderita cacat tubuh adalah membina hubungan baik dan kepercayaan terhadap diri konselor. Untuk itu, kita harus memperlakukan mereka sebagai individu yang berharga dengan bakat-bakat yang dihargai, dengan keunikan perasaan yang dapat diekspresikan, dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang patut dipenuhi, dan dengan perasaan frustasi yang dapat diatasi. Sikap ini tidaklah cukup hanya dengan menjabat tangan mereka setelah kebaktian dengan segala basa-basinya. Kalau konselor sulit untuk menerimanya sebagai individu yang berharga, pertama-tama konselor sendirilah yang harus memeriksa diri sendiri. Tuhan Yesus begitu memerhatikan dan menghargai mereka, kita pun tentunya juga demikian. Di samping itu, konselor juga harus menolong mereka untuk dapat menerima dirinya sendiri, secara realistis mengevaluasi kelemahan-kelemahannya sendiri dan belajar mengatasinya sehingga dapat berfungsi dengan baik dalam kehidupannya. Mereka harus ditolong untuk menyadari bahwa bagaimanapun keadaan mereka, mereka adalah individu-individu yang dikasihi Allah dan untuk mereka juga Tuhan Yesus datang. Kita harus membimbing mereka dalam pertumbuhan rohani mereka dan dalam melaksanakan apa yang dikehendaki Allah atas mereka. Di samping itu, kita harus berani membicarakan pertanyaan hidup mereka yang utama, yaitu "mengapa?" dan menolong mereka dapat menerima keadaan dan kesulitan-kesulitan hidup yang ada secara realistis. Menarik sekali bahwa rupanya konselor-konselor Kristen bukanlah satu-satunya yang tertarik dalam menolong penderita cacat tubuh. Orang tua (yang membutuhkan pengertian dan dukungan dalam pergumulan-pergumulan, baik dengan perasaannya sendiri maupun dengan tuntutan pelayanan dari anaknya yang cacat), dokter, guru, ahli ilmu jiwa, spesialis dalam rehabilitasi, dan sebagainya, semua dapat bekerja sama dalam tugas pelayanan bagi para penderita cacat tubuh ini. Begitu juga, anggota-anggota jemaat mereka dapat dilibatkan dalam pelayanan bagi penderita cacat, dalam menerima mereka sebagai manusia seutuhnya, menolong mereka untuk dapat ikut berbakti di gereja, bahkan menolong mereka dalam pertumbuhan rohani, emosi, dan kehidupan sosial mereka. Diambil dan diedit seperlunya dari: Judul buku: Pengantar Pelayanan Konseling Kristen yang Efektif Penulis : DR. Gary R. Collins Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 1998 Halaman : 173 -- 176 ========== TIPS ========== MENOLONG PARA PENYANDANG CACAT Seperti Yesus yang melayani semua orang, kita pun dipanggil untuk melayani kebutuhan rohani maupun fisik dari orang-orang di sekitar kita. Bagi para penyandang cacat, kebutuhan rohani dan fisik adalah penting bila kita benar-benar membedakan kehidupan mereka. Bagaimana kita bisa mulai menolong mereka? ------------------------------------------ Ketika kita terpanggil untuk melayani para penyandang cacat, beberapa langkah praktis berikut bisa membantu kita. 1. Lakukan penelitian. Sering kali, gereja tidak memerhatikan jemaat atau warganya yang menyandang cacat. Adakan penelitian untuk mengetahui siapa saja yang menyandang cacat dan cacat apa. 2. Buatlah strategi penjangkauan. Hanya sedikit penyandang cacat yang mau menghadiri kebaktian di gereja (kira-kira 10 -- 20 orang). Jadi, kira-kira 10 -- 17% anggota gereja adalah penyandang cacat. Beberapa penyandang cacat mau menghadiri kebaktian di gereja bila mereka diundang atau bila mereka merasa diterima. Satu tim sukarelawan bisa dibentuk untuk mengadakan penjangkauan dan pelayanan kepada penyandang cacat ini. 3. Jangan lupakan keluarganya. Sering kali, keluarga adalah perawat utama dari orang yang menyandang cacat. Stres merupakan masalah utama dari keluarga ini, seperti yang terlihat dari tingginya angka perceraian mereka yang luar biasa (85%) dan tindakan-tindakan pelecehan fisik, emosional, dan seksual. Terpisah dari gereja dan masyarakat merupakan hal yang biasa dihadapi oleh keluarga ini. Membantu menjaga dan merawat di malam hari atau menawarkan bantuan untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari bisa menjadi cara untuk menyatakan bahwa mereka diterima. 4. Dukunglah pelayanan ini dari mimbar. Ini bukanlah pelayanan yang bisa bertahan tanpa dukungan dari pendeta. Pelayanan ini sulit dan tidak biasa. Seorang pendeta yang bersedia memopulerkan pelayanan ini dan memberi respons yang hangat kepada para penyandang cacat akan membangkitkan dukungan dari para jemaat. 5. Mulailah dengan kepedulian terhadap penyandang cacat. Meskipun pelayanan ini didukung oleh pendeta yang benar-benar berkomitmen, tim sukarelawan yang terlatih, dan bangunan yang mudah dijangkau, gereja bisa saja menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi para penyandang cacat dan keluarganya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa "bagaimana bersikap" itu lebih penting daripada "bagaimana Anda berpenampilan". Rencana untuk mengadakan Minggu Peduli Penyandang Cacat dan menggunakan buku-buku tuntunan untuk mendampingi penyandang cacat, misalnya Hearts in Motion (Agoura Hills, Cal.: JAF Ministries) bisa membantu jemaat memahami dunia penyandang cacat dan bagaimana seharusnya orang Kristen merespons mereka. 6. Buatlah rencana pelayanan tahunan. Rencana ini harus mencerminkan tujuan dan sasaran selama setahun. Hindari hanya berfokus pada satu jenis kecacatan saja karena hal ini cenderung mengucilkan penyandang cacat lainnya. Sebaliknya, buatlah pelayanan yang mencakup berbagai jenis kecacatan, misalnya "respite care" (rawat inap) dan kelompok pendukung. Rencana ini harus didukung oleh banyak orang, yang artinya partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan dalam komunitas orang-orang normal. Tips bagi Para Pelayan ---------------------- Untuk memajukan sisi pribadi pelayanan ini, kita harus meneliti beberapa prinsip hubungan tertentu berikut ini. 1. Pada saat pertama kali bertemu dengan seorang penyandang cacat, perlakukan mereka sama seperti Anda memperlakukan orang lain. 2. Lakukan kontak mata saat berbicara dengan penyandang cacat. 3. Ajukan pertanyaan mengenai kecacatan mereka hanya bila perlu saja, bukan karena keingintahuan yang tidak wajar. 4. Dalam menjalin hubungan, sesuaikan dengan usia orang tersebut. 5. Perlakukan orang itu dengan sopan, hormati ruang geraknya (dan peralatannya). 6. Akuilah bila Anda tidak tahu bagaimana menolongnya, lalu katakan "..., tapi saya akan mencobanya.", 7. Hindari memberikan julukan kepada seseorang berdasarkan pada kecacatannya; gunakan kata "penyandang cacat" daripada "si cacat" atau "orang cacat". 8. Dengarkan dia meskipun rasanya sulit dan membosankan. 9. Jadilah peka; kadang-kadang mereka mengatakan "tidak" hanya untuk mengatakan, "Saya tidak mau menganggu Anda.", 10. Selingilah dengan humor. (t/Ratri) Diterjemahkan dari: Judul buku : Leadership Handbook of Outreach and Care Judul asli artikel: Ministries for Those with Disabilities Penulis : Conrad Mandsager Penerbit : Baker Books, Michigan 1994 Halaman : 168 -- 169 ========== KESAKSIAN ========== TERUS BERKARYA DENGAN KAKI PALSU "Amputasi? Saya nggak normal lagi? Kenapa saya? Kenapa? Tidak hanya kaki saya yang hancur, hati saya juga hancur! Saya mencoba untuk mengerti kejadian itu. Namun, sulit saya pahami. Saya ngambek sama Tuhan, tapi nggak lama. Saya gelisah, pikiran nggak tenang hampir sebulan nggak ke gereja. Hati saya berkata, apa pun yang terjadi, saya anak Yesus," kata Bernadus Setiawan (30 th) korban bom di Gereja Katolik Santa Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur. Bom Pagi Saat Homili -------------------- Jakarta, 22 Juli 2001 Bernad tak sabar menunggu pagi. Sudah tiga bulan ia tidak ke Gereja St. Anna karena mengikuti pendidikan SATPAM di Lido. "Minggu itu saya berangkat bersama tunangan. Dia sebenarnya mengajak ibadah siang, tapi saya sudah kangen banget menyambut tubuh dan darah Kristus. Lagian kalau sudah ke gereja, perasaan saya enak. Saya datang dengan kegembiraan penuh damai," tutur mantan Satpam SMA Tarakanita, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu. Seperti biasa suasana hening, umat mengikuti misa dengan khidmat. Di tengah Rm. Suryo Suryatma, SJ memberikan homili (khotbah -- red) terdengar bummm!!!! Ledakan bom amat dahsyat disusul teriakan umat. Sekejap mata, semua berubah. Tangis, jeritan, teriakan histeris, dan kebingungan menjadi satu. "Beberapa saat ada peristiwa yang tidak bisa saya ingat, tiba-tiba saja seorang gadis remaja membangunkan saya, rambutnya menutupi wajah saya, "Kak, kak!" Dia histeris karena melihat kakinya yang hancur. Saya segera membantu dia, mengangkatnya ke luar. Hati saya tak tega melihatnya. Dalam hati saya sempat terpikir, bagaimana kalau mengalami seperti dia. Amputasi -------- Bernad merasakan sesuatu yang tidak beres di kakinya. Hah? Telapak kaki kanan terkelupas tak karuan, darah terus mengalir. Nyeri sekali. "Saya melihat tulang telapak kaki saya hancur, separuh telapak kaki kanan hilang, sisanya pun luka bakar. Bentuknya aneh. Saat itu, nggak cuma kaki saya yang hancur, hati saya juga hancur. Saya down. Tiba-tiba saya tak ingat apa-apa, pingsan." Setelah sadar, Bernad memandangi dan mengelus-elus kakinya. Telapak kaki kanannya tampak sangat mengerikan. "Seorang teman yang selamat menolong dan membawa saya ke RS Harum untuk mendapat pertolongan pertama saja. Seterusnya, saya dibawa ke RSCM." "Darah saya ditampung di plastik, hampir tiga plastik kiloan. Dari RSCM, akhirnya seluruh korban dipindahkan ke RS St. Carolus. Di sana, kami mendapat pelayanan yang baik dan cepat. Saya langsung diperiksa, dokter pun langsung konsultasi dengan orang tua. Intinya, kaki kanan saya tidak dapat diperbaiki. Demi kesehatan saya, jalan keluarnya, kaki saya harus dipotong, amputasi. Saya sangat sedih," ujar pria kelahiran Jakarta, 7 September 1974. Terbayang di mata Bernad, selama ini bermain sepak bola bersama teman-temannya atau kadang jadi wasit dalam permainan itu. Terbayang pula, pekerjaannya sebagai SATPAM. Bagaimana juga dengan rencana pernikahan? Ahhh, kenapa harus terjadi? Sebelum operasi dilakukan, Bernad menerima sakramen perminyakan, "Itu diberikan pada orang-orang yang kondisinya sangat berat, misalnya orang yang sekarat dan hendak menemui ajal. Saya pasrah. Saat saya salaman dengan Bapak, Ibu, kakak, saya sampaikan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan saya. Saya seperti orang pamitan. Teman-teman banyak mendoakan saya, seorang suster berkata, `Jangan khawatir, tumbuhkan imanmu.` Yah, saya relakan untuk menjalani operasi." "Selama 23 hari di rumah sakit, banyak orang membesuk saya. Teman gereja, tetangga, bahkan jemaat gereja lain yang nggak saya kenal. Saya terharu juga meskipun masih ada perasaan marah sama Tuhan atas kejadian ini," kenang anak pasangan Albertus Moeki dan Christina Sih Prihatini ini. Sementara tunangannya, Theresia Tri Suhartati telah sembuh total setelah mengalami kebutaan selama 12 jam. Setelah amputasi, ia menggunakan tongkat untuk berjalan. Perubahan besar di kaki kanannya itu mengaburkan harapannya akan masa depan. Bernad kerap merenung, mereka-reka apa yang bakal terjadi pada hari depannya. Dengan keadaan kaki seperti itu, rasanya tidak mungkin melanjutkan pekerjaan sebagai SATPAM. Marah Sama Tuhan ---------------- Lembaga tempat Bernad bekerja memberi bantuan honor lima bulan kerja dan membiayai kursus komputer. "Suster memanggil saya dan bilang bahwa di tata usaha sudah ada tenaga. Karena dianggap sudah bisa cari pekerjaan lain, saya dilepas. Meskipun berat, saya mengerti." Kadang kala, rasa marah atas kejadian yang mengakibatkan cacat, timbul tenggelam. "Saya ngambek sama Tuhan. Saya bilang sama Tuhan, saya belum bisa menemui-Mu. Sebulan saya nggak ke gereja. Pikiran saya kacau, hati saya gundah. Saat saya merenungkan kisah Tuhan Yesus dan sabda-Nya, saya nggak tahan. Hati saya menjerit, `Maaf ..., maaf ya Tuhan atas pikiran dan perasaan jelek saya terhadap-Mu. Padahal Engkau memikul salib untuk menyelamatkan jiwa saya.` Saya ingat-ingat kembali penderitaan dan pengorbanan-Nya. Saya nggak tahan, akhirnya saya mengambil keputusan, `Tuhan, apa pun yang terjadi, aku tetap anak-Mu. Tuhan, saya terima pemberian-Mu ini.` Minggu berikutnya saya ke gereja." Tak lama kemudian Bernad, mendapat sumbangan dua kaki palsu dari pundi amal SCTV dan gereja. Ia belajar berjalan dan juga naik motor dengan kaki palsunya. "Dulu beberapa orang menjanjikan pekerjaan untuk saya, tapi terus terang saja nggak ada yang menjadi kenyataan. Saya melamar ke mana-mana belum dapat. Susah juga mencari pekerjaan karena kaki begini." Hidup Baru dengan Kaki Baru --------------------------- Hidup terus berjalan dan Bernad tidak bisa terus-menerus memikirkan kesedihan. Ia harus mencari jalan keluar bagi pekerjaannya. Punya pekerjaan tanpa proses lamaran yang "menyakitkan", tanpa penolakan karena cacat. Bernad pun terpikir usaha sendiri, dagang! Itu bukan pekerjaan baru baginya. Kala SMA, ia pernah berjualan koran. Ia juga pernah berjualan madu. "Saya lalu menelepon yang punya madu, saya bilang kalau saya mau dagang lagi. Lalu beberapa waktu kemudian, saudara saya di Solo memodali makanan kering seperti abon, usus, cakar, lele, semuanya. Nah ..., seperti ini," kata Bernad sambil membuka boks plastik besar berisi aneka makanan. Teman saya di gereja juga membuat kacang goreng, biji ketapang, dan saya ikut menjualnya. Saya juga menjual majalah. Itulah pekerjaan saya keliling Jakarta dengan motor yang ada di depan itu. Sehari tak kurang menempuh 100 km," jelas Bernad sambil menunjuk motor di teras rumahnya. Pernikahan yang Mengharukan --------------------------- Selain pekerjaan, yang mengganggu pikiran Bernad ketika diamputasi adalah kelanjutan hubungannya dengan Tri. "Keluarga besarnya keberatan kalau Tri menikah dengan saya. Yahhh ..., saya kan nggak seperti dulu. Saya cacat. Mereka tentu berpikir bagaimana saya bisa punya pekerjaan dengan keadaan seperti ini. Laki-laki kan kepala keluarga. Harus bisa memberi nafkah." Cinta mereka pun diuji. Syukurlah, Tri dan orang tuanya tidak mempersoalkan kondisi Bernard. Situasi seperti itu toh bisa menimpa siapa saja. Lebih-lebih Tri melihat sendiri kejadian itu. "Lewat proses yang agak panjang, kami menikah. Wah ..., haru banget. Sekarang kami sedang berdoa supaya Tuhan kasih momongan," tutur Bernad tersenyum. Di Altar Gereja Khatolik Santa Anna, 9 Februari 2003, gereja tempat Bernard kehilangan sebagian kakinya, mereka mengucapkan janji nikah yang agung. Janji setia dalam suka dan duka, dalam miskin dan kaya, dalam sakit dan sehat, sampai maut memisahkan. Bernard juga merasa sedang diuji, seberapa besar kasihnya pada Tuhan. Akankah gelombang hidup yang menerpanya dapat merobohkan imannya? Atau sebaliknya, ia semakin kokoh dengan kesulitan dan penderitaan yang dihadapinya? "Saya mau lebih mendekatkan diri sama Tuhan. Saya sering bilang dalam doa, `Aku ini anak-Mu. Apa pun yang terjadi, aku ini anak-Mu.` Saya tak akan lari dari Kristus. Saya berserah penuh pada-Nya." Pesona Sang Juruselamat, Sang Penebus dari Nazaret telah terpatri di hati Bernad. Ia patut menjagainya sepanjang hidup. Bahan diambil dan diedit seperlunya dari sumber: Judul buku : Karena Dia Penulis : Niken Maria Simarmata Penerbit : ANDI Halaman : 31 - 39 ========== TANYA-JAWAB ========== PUTRA SAYA CACAT Pertanyaan ========== Bapak Palau, anak saya lahir dalam keadaan cacat. Kakinya pendek sebelah. Setahun setengah kemudian, ia kehilangan tiga jari tangannya dalam sebuah kecelakaan. Walaupun demikian, ia dapat menulis dengan baik, dapat bermain-main, dan sangat aktif. Tetapi, kelak bila ia dewasa, saya pikir ia akan menderita secara psikologis sebab ia cacat. Bagaimanakah saya dapat menolong anak saya? Jawaban ======= Anda tadi mengatakan bahwa keadaan cacat jasmani anak Anda tidak menghalangi dia unggul dalam beberapa kegiatan fisik. Bapak senang mendengarnya. Tetapi, Anda belum memberitahu saya apa yang membuat anak Anda cacat sejak lahir dan berapa umurnya. Kedengarannya anak Anda dapat dengan baik mengatasi keadaannya yang cacat. Sudahlah lumrah bila seseorang yang cacat berusaha menutupi kekurangannnya sampai-sampai ia menjadi lebih unggul daripada yang lain. John Powell memberi beberapa contoh di dalam bukunya, "Why Am I Afraid To Tell You Who I Am?" (Mengapa Saya Takut Memberitahu Anda Siapa Saya?). Glenn Cunningham adalah pelari jarak jauh pertama Amerika yang terkenal. Ia menjadi jagoan mungkin karena usahanya yang tangguh menguatkan kakinya. Kakinya menjadi pincang pada usia tujuh tahun. Pada waktu itu, ia nyaris tewas dalam musibah kebakaran. Charles Atlas menjadi bina ragawan (body builder) pertama yang terkenal sebab ketika remaja ia malu dengan keadaan tubuhnya yang lemah dan kecil. Saya yakin Anda sependapat dengan saya bahwa Anda tidak khawatir akan keadaan fisik anak Anda. Yang mengkhawatirkan Anda ialah kalau-kalau jiwanya akan menderita karena tubuhnya cacat. Sedikit banyak, kita semua juga mengalami penderitaan mental dan emosi. Efek dari penderitaan itu lebih berkaitan dengan keadaan batin kita daripada keadaan fisik kita. Konon, setiap ketidakberuntungan memunyai imbangan keuntungan yang sama besarnya atau bahkan lebih besar lagi. Saya menyetujuinya. Keadaan fisik anak Anda sebenarnya dapat menolong dia menjadi lebih kuat secara psikologis. Berilah dorongan agar ia juga unggul secara intelektual, moral, dan sosial. Mertua perempuan saya terkena penyakit polio pada usia 42 tahun. Sampai sekarang ia sudah 20 tahun menggunakan kursi roda, tetapi ia tidak membiarkan keadaannya yang cacat itu membatasi perkembangan kepribadiannya ataupun hubungannya dengan orang lain. Sebagai contoh, setiap hari Rabu ia memimpin kelompok kaum pemudi. Ia membawa dampak yang baik bagi mereka. Ada banyak contoh tentang orang-orang yang menjadi unggul kendati keadaan tubuh mereka cacat. Doronglah anak Anda untuk membaca kisah kehidupan orang-orang seperti Florence Nightingale (yang mengorganisasi kembali rumah-rumah sakit Inggris sementara ia sendiri sedang terbaring sakit di tempat tidur), Franklin D. Roosevelt (yang memimpin Amerika Serikat menuju kemenangan dalam Perang Dunia II sementara ia sendiri terbatas ruang geraknya pada kursi roda), dan Helen Keller (yang berhasil mengatasi keadaannya yang cacat dan menjadi seorang dosen dan pengarang yang disegani). Ada satu buku istimewa yang saya ingin Anda dan putra Anda baca. Saya yakin Anda berdua akan terkesan sewaktu membacanya. Buku itu ditulis oleh seorang wanita yang pada usia delapan belas tahun mengalami kecelakaan ketika berenang. Tulang lehernya patah sehingga ia menjadi cacat; ia lumpuh dari bagian leher ke bawah. Nama wanita itu Joni Eareckson Tada; bukunya berjudul Joni. (Sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul "Joni di Balik Awan" terbitan Gandum Mas. -- Red) Di dalam buku itu, ia dengan jujur mengutarakan bagaimana Tuhan menolong dia mengatasi keterbatasan jasmaninya dan bagaimana Tuhan memimpin dirinya menjalami kehidupan yang aktif, produktif, dan memuaskan. Diambil dari: Judul buku: Pertanyaan yang Sulit Akan Dijawab Oleh Luis Palau Penerbit : Lembaga Literatur Baptis (Yayasan Baptis Indonesia), Bandung 1999 Halaman : 11 -- 14 ========== INFO ========== 40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA Dengan mendekatnya bulan puasa, hati kita diketuk untuk mengingat mereka yang belum mengenal kasih Tuhan. Adakah Anda tergerak untuk berdoa bersama-sama menjelang dan selama bulan Ramadhan ini? Bahan pokok doa yang disebut ",40 Hari Mengasihi Bangsa Dalam Doa", telah kami persiapkan untuk Anda yang terbeban berdoa. Silakan menghubungi kami untuk mendapatkan bahan pokok doa ini lewat e-mail. Anda juga bisa mendaftarkan teman-teman Anda supaya mereka pun bisa berdoa dengan memakai bahan doa ini. Kirimkan surat Anda ke: ==> < doa(at)sabda.org > Mengirimkan bahan ",40 Hari Doa" menjelang dan selama bulan Ramadhan secara elektronik telah menjadi tradisi tahunan yang dikerjakan oleh Yayasan Lembaga SABDA dengan bekerja sama dengan pelayanan ",40 Hari Doa". Untuk tahun 2007, 40 hari doa akan dilakukan tanggal 3 September - 12 Oktober 2007. ------------------------- potong di sini -------------------------- Bagi Anda yang berminat untuk mendapatkan versi kertasnya, silakan menghubungi: Mengasihi Bangsa dalam Doa P.O. Box 7332 JATMI JAKARTA 13560 Email : < a40hdbb(at)yahoo.com > Harap permohonan pengiriman buku mencantumkan: Nama jelas : Alamat lengkap : Kota dan kode pos: Propinsi : Nama lembaga : No telp./HP : E-mail : ------------------------- potong di sini -------------------------- Marilah kita berpuasa dan berdoa bersama untuk Indonesia. Biarlah tangan Tuhan yang penuh kuasa itu menolong dan menggugah hati nurani para pemimpin bangsa ini untuk bertekad dan bersatu mengeluarkan bangsa kita dari kemelut berbagai masalah yang berkepanjangan. Selamat menjadi "penggerak doa" di tempat di mana Anda berada dan biarlah karya Tuhan terjadi di antara umat-Nya, khususnya bangsa Indonesia. ============================== e-KONSEL ============================== PIMPINAN REDAKSI: Christiana Ratri Yuliani PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2007 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? atau ingin mengirimkan Informasi/artikel/bahan/ sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. silakan kirim ke: konsel(at)sabda.org atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://c3i.sabda.org/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |