Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/130 |
|
e-Konsel edisi 130 (19-2-2007)
|
|
Edisi (130) -- 15 Februari 2007 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : Bahan Perenungan untuk Kita = Cakrawala : Hubungan Tanpa Restu Orang Tua = TELAGA : Relasi yang Tidak Direstui = Kesaksian : Mertuaku Tidak Merestui Pernikahanku = Tips : Untuk Pasangan yang Tidak Mendapatkan Restu dari Orang Tua ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Selain saling mengenal secara pribadi, setiap pasangan yang hendak menikah tidak seharusnya melupakan restu dari orang tua. Meski setiap orang tua tidak dengan mudah merestui hubungan anak dengan pasangannya, tidak berarti restu orang tua tidak penting. Setiap orang tua pasti memiliki pertimbangan dan alasan-alasan tertentu dalam hal ini. Bagi pasangan yang belum juga direstui, hendaknya mereka terus mengusahakan supaya hubungan mereka direstui, bukan malah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif, misalnya bunuh diri, meninggalkan orang tua, ataupun tidak lagi menghormati orang tua. Menutup edisi bulan Februari ini, topik mengenai restu dari orang tua diangkat sebagai perenungan orang tua dan pasangan yang hubungan kasihnya tidak direstui. Kiranya sajian ini bisa menjadi bahan pemikiran lebih lanjut bagaimana sebaiknya kita bertindak jika kita menghadapi permasalahan ini. Selamat menyimak, Tuhan memberkati. Redaksi e-Konsel, Ratri ========== CAKRAWALA ========== HUBUNGAN TANPA RESTU ORANG TUA oleh Christiana Ratri Menjalin hubungan tanpa restu orang tua bukanlah hal yang diinginkan setiap pasangan. Saat memutuskan untuk menikah pastilah mereka membutuhkan orang tua sebagai pembimbing dan "guru cinta" untuk menjalani lika-liku kehidupan berumah tangga. Artinya, restu orang tua terhadap hubungan dengan pasangan sangat diharapkan. Kenyataannya, banyak orang tua menolak untuk memberikan restu itu kepada anak dan pasangannya dengan dilandasi berbagai alasan. Ada banyak perbedaan yang sering kali menjadi alasan mengapa orang tua menyatakan ketidaksetujuan mereka. Karena menikah bukan hanya menyatukan dua pribadi saja, tetapi juga dua keluarga. Masing-masing pihak mungkin memiliki perbedaan-perbedaan yang dianggap amat prinsip bagi orang tua dan dianggap tidak dapat membawa anaknya kepada rumah tangga yang bahagia kelak. Orang tua dapat mengungkapkan ketidaksetujuan mereka melalui kata-kata, sikap tidak peduli atau sikap campur tangan yang berlebihan, dan bisa juga melalui tindakan-tindakan yang dengan jelas menunjukkan penolakan mereka. Ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan anaknya selalu dilatari oleh sejumlah alasan. Mari melihat alasan-asalan tersebut. 1. Perbedaan agama Salah satu perintah Tuhan dalam hal pasangan hidup adalah supaya kita memiliki pasangan hidup yang seimbang, dalam arti yang seiman, seperti yang tertulis dalam surat 2 Korintus 6:14-16. Akan tetapi, anak muda yang mengabaikan firman Tuhan, yang tetap menyebut diri Kristen, di zaman ini tidaklah sedikit. Alhasil, tak jarang muda-mudi kita banyak yang menjalin hubungan justru dengan pasangan yang tidak seiman. Tayangan televisi pun seolah menegaskan bahwa pasangan tidak seiman pun dapat tetap bersatu. Perbedaan agama inilah yang sering menjadi alasan kebanyakan orang tua untuk tidak merestui hubungan anaknya. Penolakan tersebut bukan karena mereka tidak ingin melihat anaknya bahagia, tetapi tentu saja karena mereka merasa bertanggung jawab untuk membimbing anak mereka turut pada perintah firman Tuhan, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup. 2. Perbedaan usia Secara psikologis menikah dengan orang yang usianya terpaut sangat jauh memang dapat menimbulkan beberapa kendala. Hal itu juga dianggap tidak lumrah dan dapat menimbulkan pandangan yang kurang baik dari masyarakat. Hal-hal seperti ini sering kali dijadikan alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan anaknya dengan orang yang berusia jauh lebih tua atau lebih muda dari anaknya. Selain tidak mau mendengar komentar negatif dari masyarakat, alasan yang paling kuat biasanya karena mereka tidak ingin banyak masalah terjadi dalam rumah tangga anaknya kelak karena perbedaan usia yang sangat jauh tersebut. 3. Latar belakang keluarga Azas bibit, bebet, bobot (istilah Jawa) masih sangat memengaruhi pengambilan keputusan orang tua untuk merestui hubungan anaknya atau tidak. Artinya, dalam memilih pasangan hidup, orang tua ingin anak-anaknya memilih pasangan hidup dari keluarga baik-baik, sederajat dengan keluarga mereka, memiliki status sosial yang jelas dan baik dalam masyarakat, serta sehat jasmani dan rohani. Dari segi ekonomi pun masih banyak orang tua yang tidak ingin anaknya menikah dengan orang yang bertaraf ekonomi lebih rendah. Begitu juga dengan pendidikan, jabatan, dan lain sebagainya. Semuanya harus setara, jika bisa memilih yang lebih baik dari yang telah dimiliki sang anak. Tidak direstuinya hubungan anak karena alasan ini lebih banyak menyangkut harga diri keluarga, untuk menghindari tanggapan miring dari masyarakat, dan adanya ketakutan dari orang tua apabila anaknya kelak tidak bahagia jika bibit, bebet, dan bobotnya tidak seimbang dengan pasangannya. 4. Ras/suku Di beberapa suku tertentu, menikah dengan orang bukan dari suku yang sama dianggap sebagai pelanggaran adat yang berat. Selain itu, pernikahan sesama suku ditujukan untuk menjaga kemurnian darah kesukuan mereka. Suku-suku tertentu bahkan menerapkan aturan jika ada anak yang menikah dengan pasangan yang bukan dari suku yang sama, warisan nenek moyang tidak akan jatuh ke tangan mereka. Biasanya hal seperti inilah yang sangat dihindari. Alasan yang lebih modern mengenai pernikahan antarsuku adalah perbedaan budaya kelak dapat menjadi pemicu perselisihan dalam rumah tangga anaknya. 5. Tidak sehat jasmani atau rohani Inilah alasan lain mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan anaknya. Adanya penyakit yang diidap oleh calon menantu, misalnya AIDS, kanker, cacat fisik, ataupun penyakit terminal lainnya dijadikan alasan kuat orang tua untuk tidak merestui hubungan sang anak. Kebanyakan orang tua akan berpikir bahwa penyakit atau cacat yang dimiliki oleh calon menantunya ini akan menjatuhkan harga diri keluarga serta hanya akan membuat anaknya menderita karena harus terus merawat pasangannya. Selain itu, mantan pencandu obat-obat terlarang pun sering kali tidak luput dari konsekuensi ini. 6. Masih ada hubungan keluarga Ungkapan bahwa cinta dapat tumbuh kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja mungkin ada benarnya juga. Tidak sedikit terjadi kasus seseorang jatuh cinta pada saudara dekat (misalnya, kepada sepupunya, keponakannya, pamannya, dll.). Jika hal seperti ini terjadi, bukan saja orang tua tidak merestui, tetapi juga keluarga besar. Memang ini bisa menjadi alasan yang sangat kuat karena berdasarkan pernyataan yang sudah umum di masyarakat, pernikahan dengan saudara dekat dapat menghasilkan keturunan yang cacat. Untuk menghindari hal tersebut biasanya orang tua sangat berusaha memutuskan hubungan anak dengan pasangannya. Jika orang tua tidak menyetujui dan tidak akan memberi restu akan hubungan ataupun pernikahan anak mereka, apakah reaksi yang diberikan sang anak? Reaksi yang paling aman sampai yang paling ekstrim dapat menjadi respons mereka menanggapi penolakan tersebut. 1. Menuruti keinginan orang tua Saat orang tua mengatakan tidak pada hubungan si anak dengan pasangannya, biasanya hal ini dijadikan tanda bagi si anak bahwa hubungan ini bukan hubungan yang dikehendaki Tuhan. Selain itu, anak juga ingin menuruti firman Tuhan untuk selalu menghormati ayah dan ibunya. Memutuskan hubungan dengan pasangan dan menuruti kehendak orang tua merupakan salah satu bentuk pengorbanan anak. Si anak ingin menunjukkan baktinya kepada orang tua meskipun harus mengorbankan kebahagiaannya. Bisa pula ketika anak melakukan ini karena alasan yang dipakai orang tua untuk tidak merestui mereka adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan lapang dada oleh anak. Misalnya, calon menantunya ini tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau bukan orang yang seiman. 2. Trauma untuk berhubungan kembali Saat anak memilih menuruti kehendak orang tua untuk memutuskan hubungan dengan pasangannya, bukan tidak mungkin timbul trauma dari diri anak sebagai salah satu bentuk kekecewaannya yang terpendam. Anak menjadi trauma untuk berhubungan kembali dengan lawan jenis dan memutuskan untuk tidak menikah (melajang) seumur hidupnya. 3. Nekad melanjutkan hubungan meskipun tidak direstui Banyak pasangan yang tetap bertahan dan memperjuangkan hubungan mereka walaupun orang tua tidak merestuinya. Mereka masih berharap orang tua dapat memberi restu di kemudian hari, meskipun akan banyak halangan dan pengorbanan untuk itu. Biasanya jika tetap tidak mendapatkan restu, mereka memutuskan untuk tetap menikah (kawin lari). Yang lebih membahayakan lagi jika mereka tetap melanjutkan hubungan dengan hidup bersama layaknya suami isteri tanpa ikatan pernikahan yang sah (kumpul kebo). 4. Bunuh diri Reaksi ini adalah reaksi yang bisa jadi paling tidak diinginkan orang tua. Tetapi bukan tidak mungkin hal ini menjadi keputusan anak. Saat merasa tidak mendapat restu dari orang tua dan segala perjuangannya untuk mempertahankan hubungan sudah gagal, si anak akan menunjukkan pemberontakannya dengan mengakhiri hidup. Kemungkinan ini bisa semakin terbuka lebar apabila dalam menyatakan penolakan orang tua hanya terus menerus menyalahkan anak, tidak mau mendengar pendapat anak, bertindak kasar, dan gelap mata terhadap anaknya. Reaksi yang diberikan anak memang bisa berbeda-beda dan kadang di luar dugaan orang tua. Sebenarnya, jika ketidaksetujuan bisa disampaikan dengan baik disertai alasan yang sungguh masuk akal dan menyentuh hati si anak, reaksi yang ditimbulkan mungkin bukan reaksi yang merugikan (Kolose 3:21). Sebaliknya, orang tua pun harus bijak dengan mendengarkan terlebih dahulu alasan anak mengenai pasangannya tersebut, mencernanya, lalu menjelaskan alasan ketidaksetujuannya. Duduk bersama untuk tukar pikiran sebagai sesama orang dewasa tentu akan lebih membantu untuk mencari jalan keluar bersama. Berdoalah bersama-sama agar masing-masing pihak mengetahui kehendak Tuhan dalam hidup si anak (Efesus 5:17). Untuk anak, jika berbagai macam usaha untuk berkompromi dengan orang tua menemui jalan buntu, itu bukan alasan untuk mengambil jalan lain dengan cara memberikan reaksi negatif. Jika pasangan kita tidak seiman, alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan kita sebenarnya merupakan alasan yang baik. Firman Allah pun telah memberikan rambu-rambu ini pada kita (2 Korintus 6:14-16). Di sisi lain, walaupun kita sudah seiman jangan pula menutup telinga terhadap ketidaksetujuan orang tua kita. Kita juga perlu mendengarkan pendapat mereka sebagai salah satu pertimbangan bagi kita dalam mencari kehendak Tuhan. Selain merugikan diri sendiri, reaksi-reaksi negatif yang ditunjukkan dengan tidak menjaga kekudusan, selain merugikan diri sendiri juga membawa kita jauh dari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Harapan agar dengan memperoleh kehamilan orang tua akan merestui hubungan merupakan hal yang tidak benar. Memang pada beberapa kasus, orang tua dengan terpaksa mengizinkan pernikahan anaknya daripada menanggung malu. Tapi itu bukan restu melainkan keterpaksaan. Namun, tidak jarang pula orang tua justru meminta anak untuk pergi jauh-jauh dari mereka dan hal itu dapat membawa masalah yang lebih kompleks lagi. Kawin lari terkadang juga menjadi pilihan sebagai reaksi negatif anak terhadap ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan yang dijalinnya dengan pasangan. Dengan kawin lari (perkawinan yang sah walaupun tanpa restu orang tua) anak dan pasangannya berharap bisa mendapat restu dari orang tua ketika suatu saat mereka kembali pada orang tua. Pada beberapa kasus memang ada orang tua yang akhirnya merestui pernikahan anaknya karena ternyata menantunya memiliki sifat yang baik. Apalagi ketika pihak orang tua melihat rumah tangga anaknya yang bahagia. Meskipun restu orang tua dan kebahagiaan rumah tangga bisa saja terjadi setelah kawin lari, bukan berarti hal sebaliknya tidak jarang terjadi. Segala perbedaan di antara keduanya, yang mungkin menjadi alasan orang tua untuk tidak merestui, bisa menjadi bumerang dalam rumah tangga. Malahan, tak jarang yang akhirnya bercerai. Apa pun alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan sepasang kekasih, jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak lagi menghormati orang tuanya (Efesus 6:1-3). Baik Anda maupun pasangan Anda, tetaplah menunjukkan rasa hormat dan sikap positif kepada mereka. Selain itu, tetaplah menjaga jalinan hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang tua. Hal ini penting karena perbedaan pandangan yang ada mudah sekali menjadi konflik yang berkepanjangan. Tetaplah bertekun dalam doa; satu hal yang tidak boleh kita tinggalkan di saat-saat membingungkan ini. Jika kita yakin hubungan ini benar dan dia memang pasangan hidup yang Tuhan sediakan bagi kita, bawalah permasalahan ini ke dalam tangan Tuhan. Doakan orang tua kita yang belum bisa memberikan restu, minta Tuhan supaya memberi pencerahan kepada mereka. Selain itu, dukungan doa dari saudara-saudara seiman juga akan menolong kita dalam menghadapi masalah ini (Matius 21:22; Roma 12:12; Filipi 4:6). ========== TELAGA ========== Pdt. Paul Gunadi Ph.D. dalam ringkasan tanya jawab berikut ini mengungkapkan perlunya kebijakan dari anak untuk bisa mengurai mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan anaknya. Berikut ringkasan tanya jawab tersebut, selamat menyimak. RELASI YANG TIDAK DIRESTUI T : Apabila orang tua tidak merestui pernikahan anaknya, apakah hal ini berarti secara otomatis Tuhan juga tidak merestui? J : Tidak, sebab orang tua bukanlah Tuhan. Orang tua adalah manusia yang kadangkala bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang sangat subjektif dari dirinya yang akhirnya menelurkan sikap membenci calon menantunya. Jadi, restu orang tua tidak sama dengan restu Tuhan. Yang kita utamakan adalah restu Tuhan, namun kita juga mesti terbuka mendengarkan masukan orang tua sebab mereka dapat melihat sesuatu dengan jelas hal-hal yang mungkin kita luput melihatnya. ------ T : Bagaimana kalau orang tua itu sulit untuk disadarkan bahwa sebenarnya dia salah? J : Sering kali ini menjadi perangkap. Sekali berkata "tidak", orang tua akan kesukaran menarik kata-kata itu karena ini menyangkut harga diri. Rasanya mereka harus merendahkan diri kalau mereka harus mengaku keliru. Ada juga orang tua yang dengan berani mengakui kekeliruannya. Namun, sering kali kita dipengaruhi oleh unsur budaya "yang muda harus mengalah". Prinsip ini tidak alkitabiah sebab prinsip Alkitab tidak mengatakan yang muda harus mengalah meskipun yang tua itu salah. Siapa yang berada di pihak yang salah dialah yang mengalah dan mengakui kesalahannya, siapa berada di pihak yang benar, dialah yang benar. Jadi dalam hal ini, orang tua juga mesti belajar objektif dan melihat dengan lebih terbuka, mau menanyakan pendapat orang. Kadang-kadang memang ada orang tua yang tidak mau menanyakan pendapat orang lain, malah mencoba memengaruhi orang untuk mendukung dia dan melawan menantu. ------ T : Bagaimana dengan anggapan bahwa dengan kawin lari nanti suatu saat orang tuanya pasti akan luruh dan menerima? J : Sudah tentu kita mesti melihat alasan mengapa orang tua kita tidak menyetujui dan apakah orang tua kita berada di pihak yang benar. Kalau nasihat-nasihat anak Tuhan yang telah kita dengar mengatakan kita ada di sisi yang benar, silakan melangsungkan pernikahan. Bagaimana kalau orang tua marah, tidak mau datang dan sebagainya? Kita terpaksa menerimanya, mungkin minta perwakilan dari orang lain yang bisa mendukung kita. Sudah tentu ini akan menyakiti hati orang tua dan tindakan ini dinilai kurang ajar, tidak hormat, tidak menghargai orang tua, dan tidak berterima kasih. Tindakan ini biasanya menimbulkan rasa sakit hati yang dalam, orang tua merasa dibuang, dianggap tidak bernilai karena anak lebih mementingkan pasangan. Jadi setelah pernikahan, penting bagi anak untuk tetap menunjukkan hormat dan kasih kepada orang tua, kendati orang tua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orang tua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus "memukul balas" anak karena mereka merasa dilukai dan mereka memang ingin mengganjar si anak dengan penolakan itu. Jadi, biarkan saja. Hanya saja, orang tua perlu melihat sikap anak yang tetap memelihara hubungan, tetap menegur, menyapanya, menanyakan kondisinya, dan sebagainya. Orang tua membutuhkan waktu untuk sembuh dan "membalas". Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka sudah cukup puas dengan pembalasan itu, biasanya mereka akan menerima anaknya kembali kalau memang pada akhirnya mereka melihat bahwa anaknya menikah dengan orang yang tepat. ----- T : Dalam banyak hal, sering kali yang disalahkan orang tua itu malah menantunya bukan anaknya. Itu bagaimana? J : Ini reaksi alamiah, kita mengerti orang tua itu, bagaimana pun mereka cenderung membela anaknya, jadi akhirnya menimpakan semua kesalahan kepada menantu. Kebencian orang tua yang sebetulnya tertuju kepada anak sekarang dikonversi semua, diubah menjadi kemarahan terhadap menantu. Kita dapat menyimpulkan, biasanya kemarahan dan penolakan orang tua terhadap menantu jauh lebih lama ketimbang terhadap anak sendiri. Mungkin dalam beberapa lama orang tua bisa kembali baik dengan anak, tapi terhadap menantu tidak. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya, menantu jangan agresif menjahit kembali relasi yang telah robek ini. Sikap yang agresif akan membuat orang tua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka. Mereka akan menuduh tindakan menantu itu sebagai tindakan mencari muka belaka. Jadi, meskipun si menantu baik hati, mau merendahkan diri, jangan bertindak berlebihan, tapi seperlunya saja. Sebab mudah sekali nanti dilabelkan mau mencari muka dan orang tuanya makin benci bukannya makin menerima si menantu. ------ T : Sering kali pada awalnya orang tua merestui hubungan mereka bahkan sampai ke pernikahan. Yang menyulitkan, seiring berjalannya waktu orang tua menyadari bahwa menantunya ini tidak cocok untuk anaknya. Mereka pun tidak lagi merestui hubungan ini dan menjelek-jelekkan menantu di hadapan anaknya maupun di hadapan orang lain. Bagaimana jika ini terjadi? J : Ini juga sering terjadi. Orang tua sebaiknya jangan terlalu aktif dan agresif mencampuri urusan anaknya. Kalau si anak yang datang meminta masukan, berilah masukan, tapi kalau tidak jangan terlalu agresif menyerang si menantu. Lebih baik orang tua bersikap pasif terhadap hal-hal seperti ini. Kalau tidak, (tindakan yang terlalu agresif) ini sering kali memperluas masalah. ------ T : Kalau seandainya orang tua sudah mengakui bahwa dia salah dan mau menerima kembali atau merestui hubungan anak dan menantunya itu, bagaimana seharusnya sikap anak dan menantu terhadap orang tua mereka? J : Harus memaafkan. Kadang-kadang hal ini menjadi masalah sebab si anak merasa sakit hatinya sudah terbalas, tapi tidak bisa memaafkan. Berdoalah kepada Tuhan, meminta Tuhan memberikan pengampunan. Biarkan Tuhan mengisi hatinya dengan pengampunan sehingga dia bisa mengampuni mertuanya yang telah melukai hatinya itu. ----- T : Apa yang firman Tuhan katakan untuk memperbaiki hubungan seperti ini? J : Matius 5:44 dan 45, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga ...." Kita tidak punya musuh kalau kita mendoakannya. Begitu kita mulai mendoakan musuh kita, orang itu berhenti menjadi musuh kita karena kita tidak bisa menggabungkan keduanya. Siapa pun yang merasa dilukai, datanglah kepada Tuhan, berdoalah bagi orang yang telah melukai itu, begitu kita mendoakan dia luluhlah kemarahan-kemarahan dan dendam kita. Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #189B yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. -- Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org> atau: < TELAGA(at)sabda.org > ========== KESAKSIAN ========== Berikut ini kesaksian yang dikirimkan kepada Redaksi e-Konsel oleh Meilina, seorang staf sebuah yayasan di Solo. MERTUAKU TIDAK MERESTUI PERNIKAHANKU Saya bertemu dengan suami saya, Tio, sekitar empat tahun yang lalu. Waktu itu kami dikenalkan oleh salah seorang teman. Sejak semula kami sadar bahwa kami berbeda keyakinan dan itu yang harus kami perjuangkan supaya hubungan kami bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Kami tinggal di kota yang berbeda sehingga hanya di akhir pekan saja kami bisa bertemu. Pertentangan dari orang tua mulai saya rasakan ketika saya diperkenalkan kepada keluarganya. Meskipun keluarga saya tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinan kami, namun ternyata tidak demikian dengan orang tua Tio. Wujud ketidaksetujuan mereka sering saya alami melalui kata-kata kasar yang mereka ucapkan ketika saya berkunjung ke rumahnya. Waktu demi waktu kami lalui dengan penuh pertimbangan, apakah kami akan melanjutkan hubungan kami atau tidak. Karena perbedaan keyakinan adalah masalah utama kami, saya berinisiatif untuk mulai mengenalkan Yesus kepadanya sedikit demi sedikit. Iseng-iseng saya mengajaknya ke gereja, membaca buku-buku kristiani, dan mengenalkan kegiatan maupun sakramen Kristen. Di luar dugaan, rupanya dia sangat tertarik dan bahkan lebih bersemangat untuk mempelajari kekristenan dibanding saya. Perubahan dalam dirinya mulai saya rasakan, inilah yang menjadi pemicu semangat saya, begitu pula dengan dia, untuk terus mempertahankan hubungan kami. Puncak kegembiraan saya adalah ketika dia bersedia dibaptis dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat hidupnya. Namun, rupanya masalah tidak selesai sampai di sini. Orang tuanya justru semakin menentang hubungan kami ketika mengetahui bahwa dia sekarang menjadi Kristen. Kami pun sering mendoakan mereka, meminta agar Tuhan memberikan jalan keluar bagi hubungan kami. Sering saya merasa putus asa dengan hubungan kami ini, tapi dukungan dari keluarga dan teman-teman saya selalu berhasil memompa semangat saya untuk kembali bangkit. Akhirnya, kami menikah meskipun calon mertua saya merestui dengan terpaksa, bahkan mereka tidak berkenan hadir di gereja menyaksikan pemberkatan pernikahan kami. Mereka mengutus salah satu saudara untuk menjadi wali nikah suami saya. Meskipun demikian kami tetap bersabar dan tabah. Beberapa hari setelah pernikahan, diadakan acara "Ngunduh Mantu", yaitu pesta pernikahan yang diadakan oleh pihak suami. Setelah acara ini selesai, saya tinggal bersama mertua selama beberapa hari. Di saat-saat tersebut saya mengalami ketakutan yang amat sangat, mengingat saya harus tinggal bersama mereka ketika suami saya bekerja di siang hari. Rupanya selama saya tinggal bersama mereka, mereka menilai saya melalui tingkah laku dan tutur kata saya selama berada di sana. Dari situlah saya mulai merasakan perubahan sikap dari mertua saya. Mereka mulai bisa menerima saya, memperlakukan saya dengan baik seperti anak mereka sendiri. Saya benar-benar bersyukur dengan perubahan ini. Tak berapa lama kemudian saya hamil, kami memberitahukan berita bahagia ini kepada mereka. Mereka tak kalah bahagianya dengan kami. Dan reaksi mereka itu sungguh di luar dugaan saya. Sejak saat itu, mereka mulai memberi perlakuan-perlakuan khusus kepada saya. Mereka mulai mencurahkan lebih banyak perhatian dan nasihat kepada saya. Saat ini kami tengah menanti kelahiran anak pertama kami. Tak henti-hentinya saya bersyukur atas campur tangan Tuhan dalam masalah ini. Kiriman dari: Sdri Meilina <meilina<at>> ========== TIPS ========== UNTUK PASANGAN YANG TIDAK MENDAPATKAN RESTU DARI ORANG TUA 1. Libatkanlah Tuhan dalam setiap pergumulan. Carilah kehendak Dia dan pijakan yang kuat dalam Firman Allah untuk hubungan Anda. Banyaklah membaca buku rohani untuk membangun karakter masing-masing, terutama dalam mempersiapkan diri menuju pernikahan. 2. Pertimbangkanlah calon pasangan Anda dengan baik, terutama segala perbedaan yang ada dan kesiapan Anda untuk menghadapinya. 3. Carilah pembimbing rohani yang teruji dan memiliki pandangan yang objektif dalam kehidupannya. Akan lebih baik jika pembimbing tersebut sudah menikah. Jangan sembunyikan apa pun saat berkonsultasi. 4. Jangan menutup diri terhadap pergaulan. Melalui pergaulan, Anda bisa lebih memahami diri Anda dan apa yang Anda inginkan. 5. Buanglah keinginan untuk membela diri. Katakan apa yang benar dan izinkan Tuhan membela kita. Dalam masa pergumulan, jangan terpancing untuk menggunakan kelemahan orang lain untuk membela hubungan Anda. Perkataan yang mencela hubungan Anda tidak boleh ditanggapi dengan emosi, apalagi mencari kelemahan pihak lain dan menyerang balik. 6. Tetaplah bersikap hormat dan rendah hati serta menjaga diri dalam pergaulan berpacaran yang baik dan tidak bercela. Lingkungan saudara seiman akan dapat menjaga Anda berdua dari salah melangkah dan jatuh ke dalam dosa. 7. Bersikaplah dewasa dengan tidak mengabaikan tanggung jawab lain, contohnya dalam urusan pekerjaan atau keluarga. Jika tidak, ini akan menjadi peluang bagi pihak yang menentang Anda untuk menyerang Anda melalui kelalaian Anda. 8. Berusahalah untuk melihat masalah ini secara positif dari sisi orang tua Anda, serta tidak memaksakan prinsip yang Anda pegang kepada orang lain. 9. Tetap atau terus membangun hubungan yang baik dengan orang tua masing-masing. Bahan diambil dan diedit seperlunya dari: Judul majalah: getLIFE!/Edisi Spesial Christian Marriage Penulis : Daniel dan Lidia Kurnia Penerbit : Yayasan Pelita Indonesia, Bandung 2004 Halaman : 75 ============================== e-KONSEL ============================== STAF REDAKSI: Ratri PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2007 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? masalah-konsel(at)sabda.org Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://c3i.sabda.org/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |