Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/124 |
|
e-Konsel edisi 124 (21-11-2006)
|
|
Edisi (124) -- 15 November 2006 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : Tak Perlu Belajar Berdusta = Renungan : Hanya Kebenaran = Cakrawala : Betapa Serius Dusta, Ternyata = Bimbingan Alkitabiah : Dusta = Kesaksian : Apakah Kamu Pernah Berbohong? = Tanya Jawab Konseling: Apakah Saya Boleh Berbohong pada Istri Demi Kebaikan? = Surat Anda : Datang Tepat Waktunya ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Setiap orang tidak perlu belajar untuk bisa berdusta atau berbohong. Natur manusia yang berdosa memberikan banyak peluang bagi kita untuk melakukan dosa berbohong. Itu sebabnya, untuk pandai berbohong anak kecil tidak perlu diajari, tak terkecuali untuk orang Kristen. Selain karena natur dosa, rasa takut dan terdesak sering menjadi faktor pendorong seseorang untuk berdusta. Banyak orang berpikir bahwa berdusta atau berbohong demi kebaikan boleh dilakukan orang Kristen. Tapi Alkitab berkata bahwa dusta untuk alasan apa pun tetaplah dosa. Dusta adalah pelanggaran yang serius di mata Allah. Edisi ini mengajak pembaca untuk melihat betapa seriusnya dusta di mata Allah dan akibatnya bagi manusia. Sejumlah ayat Alkitab akan diangkat untuk menunjukkan bahwa dusta merupakan kekejian bagi Allah. Kami harap sajian berikut dapat menjadi berkat bagi pembaca. "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya." (Amsal 12:22) < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Amsal+12:22 > Redaksi e-Konsel Ratri ========== RENUNGAN ========== HANYA KEBENARAN Bacaan : Amsal 19:1-9 Seorang anak lelaki berusia 12 tahun menjadi saksi kunci dalam suatu perkara. Salah seorang pengacara, setelah mengajukan beberapa pertanyaan, bertanya, "Ayahmu pasti telah mengatur apa yang harus kamu katakan, bukan?" "Benar," jawab anak itu. "Sekarang katakan pada kami," desak sang pengacara. "Apa saja yang ia perintahkan?" "Baiklah," jawab anak itu, "Ayah mengatakan bahwa para pengacara akan mencoba membingungkan kesaksian saya; tetapi apabila saya cermat dan berkata benar, saya akan mampu mengatakan hal yang sama setiap saat." Orang yang benar tidak memiliki sesuatu pun yang perlu disembunyikan, tetapi orang yang suka berbohong akan membayar harga yang mahal atas ketidakjujurannya. Satu kebohongan akan berkembang menjadi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang dilakukan sebelumnya, dan selanjutnya orang itu akan terjebak dalam jerat ketidakjujuran. Amsal 19:5 berkata, "Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan tidak akan terhindar." Bagi pengikut Kristus, hal terpenting yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kebenaran itu mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan. Bohong adalah bahasa iblis (Yohanes 8:44), tetapi barangsiapa yang menjadi milik Kristus akan dikenal sebagai orang-orang yang benar (Efesus 4:15; Kolose 3:9). Kebohongan sepertinya merupakan jalan keluar yang baik, tetapi ujungnya menuju maut. Oleh karena itu, pilihan yang tepat dan bijak adalah mengatakan yang sebenarnya — tak ada yang lain kecuali kebenaran — RWD Tell the truth and tell it right, A lie will never do; The Bible says that God is truth — He wants the truth from you. — JDB ORANG YANG SUKA MEREKA-REKA CERITA AKAN MENGALAMI BERBAGAI KESULITAN Sumber diambil dari: Publikasi e-Renungan Harian Edisi: Kamis, 14 Januari 1999 ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/1999/01/14/ ========== CAKRAWALA ========== BETAPA SERIUS DUSTA, TERNYATA Mengapa Hukum Allah ada sepuluh pasal? Dengan perkataan lain, mengapa "dasa"? Mengapa bukan, misalnya "panca" atau "sapta"? Orang Yahudi punya semacam legenda yang cukup populer menjawab pertanyaan ini. Mengapa jumlahnya "sepuluh", itu pasti bukanlah karena angka itu angka keramat. Bagi orang Yahudi, angka "tujuh" secara simbolis lebih bermakna. Atau "dua belas". Kata yang empunya cerita, konon Allah tiba pada angka "sepuluh" itu, setelah proses tawar-menawar yang cukup panjang dengan Musa. Semula Yahweh menghendaki angka yang jauh lebih tinggi. Alasan-Nya, hukum itu mesti dibuat sejelas mungkin agar tidak disalahtafsirkan. Karena itu, mesti dibuat amat rinci. Tapi Musa keberatan. Pada satu pihak, ia mengakui, semakin spesifik sebuah perintah, semakin jelaslah ia. Dan semakin jelas sebuah perintah, orang tidak lagi punya dalih, kecuali mematuhinya. Misalnya, orang tidak bisa mengulur-ulur waktu dengan, misalnya, mengatakan "menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung". Perintah agar "jangan sering-sering jajan dari gerai cepat saji", tentu lebih jelas ketimbang perintah "jangan terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh atau zat-zat kimiawi". Sebab yang disebut "terlalu banyak" itu seberapa banyak? Dan yang mengandung "lemak jenuh" atau "zat-zat kimiawi" itu apa saja? Namun di lain pihak, bila hukum dibuat terlalu rinci, sudah pasti daftarnya akan amat panjang. Orang akan sulit mengingatnya. Lha, kalau untuk mengingatnya saja sudah sulit apa lagi untuk menjalankannya, bukan? Sebab itu Musa memohon agar hukum Tuhan dibuat seringkas mungkin. "Cukup yang pokok-pokok saja, Tuhan, satu atau dua pasal saja kalau bisa". Allah memahami keberatan tersebut. Hukum yang ringkas memang gampang diingat. Tapi bahayanya adalah, bila ia hanya menjadi slogan. Diucap-ucapkan, tapi tidak dijiwai. Diingat-ingat, tapi tidak dihayati. Disebut-sebut, tapi tidak ditindaki. Seperti kisah tragis Pancasila kita. Oleh karena itu, Musa menaikkan tawarannya dan Allah menurunkan tuntutan-Nya. Sampai ketika tiba di angka "sepuluh", Allah berkata, "Stop! Aku sudah tidak bisa membuatnya lebih rendah lagi. Take it or leave it". "Sepuluh" dipandang cukup ringkas untuk bisa diingat, sekaligus cukup rinci untuk tidak gampang disalahmengerti. Tapi lebih dari itu, yang pasti adalah, apa pun yang termasuk "sepuluh" itu, ia pasti adalah dosa yang dianggap Allah adalah dosa yang amat serius. Pertanyaan kita adalah, mengapa "dusta" sampai bisa menerobos ke "sepuluh besar"? Kalau membunuh, mencuri, berzinah, menyembah berhala, okelah — kita sedikit banyak dapat memahaminya. Tapi "dusta"? Apakah ia tidak terlalu remeh dan kecil? Kita mempertanyakannya karena dalam kehidupan nyata, lihatlah, alangkah "biasa" dan betapa "lumrahnya" dusta itu! Mana mungkin sukses berdagang, berpolitik, bahkan menyiarkan agama, tanpa sedikit banyak berdusta? Inilah salah satu dosa yang paling awal dilakukan oleh setiap orang sejak dini. Anak-anak tak perlu belajar dari siapa pun untuk mahir berdusta. Yang membedakan antara manusia yang satu dan lainnya, bukanlah bahwa yang satu berdusta sedang yang lain tidak. Setiap orang adalah "pendusta"! Bedanya cuma, yang satu lebih pintar bohongnya ketimbang yang lain. Atau, yang satu berusaha melawannya mati-matian, sedang yang lain justru memanfaatkannya habis-habisan. Namun, apa pun yang kita katakan, dusta yang bagi manusia dianggap "tidak serius-serius amat" itu, oleh Allah dipandang sebagai sesuatu yang amat serius. Sekali lagi, pertanyaan kita, adalah mengapa? Dusta, menurut Allah, adalah dosa utama, pertama, karena kebenaran adalah hal yang terutama. Sedangkan dusta? Apa lagi, bila bukan "lawan" dari kebenaran! Ia menyembunyikan kebenaran, memutarbalikkan kebenaran, memalsukan kebenaran, menyajikan ketidakbenaran sedemikian rupa seolah-olah itulah kebenaran. Padahal kebenaran itu "apa"? Atau lebih tepat, "siapa"? Tidak lain adalah Allah sendiri! "Akulah jalan, kebenaran, dan kehidupan", begitu bukan kata Yesus (Yohanes 14:6)? Sebab itu, tak ada pilihan lain, kecuali, "Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar .... Janganlah merancang kejahatan dalam hatimu seorang terhadap yang lain, dan janganlah mencintai sumpah palsu. Sebab semuanya itu Kubenci, demikianlah firman Tuhan" (Zakharia 8:16,17). "Cintailah kebenaran dan damai!" (Zakharia 8:19). Jadi, bagaimana sesuatu yang melawan Allah dan melawan Kristus bukan dianggap sesuatu yang serius? Anda ingat tatkala masyarakat Amerika Serikat dilanda heboh perselingkuhan antara Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kehebohan itu, konon, bukan terutama karena tindak perselingkuhan itu sendiri. Tindakan itu, walau tidak terpuji, namun bagi masyarakat Amerika, itu lebih banyak adalah urusan Hillary — urusan pribadi. Yang tidak mungkin mereka tolerir adalah — dan inilah yang hampir-hampir menjungkalkan sang presiden dari kekuasaannya — bila sebagai pejabat ia telah melakukan kebohongan publik. Membohongi rakyat. Sebab di sinilah terletak legitimitas seorang pejabat publik: pada kredibilitasnya, bahwa ia dapat dipercaya! Ini berbeda sekali bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di negeri kita, bukan? Hampir setiap saat, kita tahu, pemimpin-pemimpin kita berbohong. Namun demikian, mereka tetap aman-aman saja di takhta mereka, kalau tidak malah semakin aman. Di negeri kita, "legalitas" lebih menentukan ketimbang "legitimitas". Kedua, dusta adalah dosa utama karena kata-kata adalah hal utama. Dengan perantaraan kata-kata — firman Allah — segala sesuatu dari "tiada" menjadi "ada" — ex nihilo! (Kejadian 1). Kemudian, dengan bersenjatakan kata-kata, Iblis menyeret segenap ciptaan ke pusaran kebinasaan kekal; "ditaklukkan kepada kesia-siaan" (Roma 8:20). Namun, dengan perantaraan kata-kata juga, Allah — melalui semua utusan-Nya — dengan tanpa henti-hentinya memanggil manusia untuk kembali, seraya mengaruniakan firman-Nya sebagai "pedang Roh", untuk melawan Iblis dengan segala tipu dayanya (Efesus 6:16). Dan puncaknya adalah bahwa melalui SANG KATA — LOGOS — Allah menyelamatkan segenap umat manusia, bahkan seluruh ciptaan, dari kebinasaan yang kekal untuk dibimbing kepada kehidupan yang kekal (Yohanes 1). Bila kata-kata begitu vital dalam seluruh karya Allah, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa dusta yang melecehkan kata-kata tidak layak disebut sebagai dosa utama? Alasan ketiga mengapa Allah menggolongkan dusta sebagai salah satu dari sepuluh dosa utama adalah karena sesama manusia itu juga hal yang utama. Oleh sebab itu, titah-Nya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu". "Sesama" adalah utama karena sejak awal penciptaan Allah melihat, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja" (Kejadian 2:18). Untuk sekadar hidup atau sekadar eksis, mungkin orang bisa hidup sendiri. Ingat kisah Robinson Crusoe? Tapi hidup seperti Robinson Crusoe juga "tidak baik". "Tidak baik" artinya tidak lengkap, tidak utuh, kualitasnya kurang sempurna. Menghadapi kenyataan ini, Allah tahu persis apa yang dibutuhkan manusia. "Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:18). Itulah bagaimana seharusnya paradigma hubungan antara manusia dengan sesamanya! Masing-masing menjadi "penolong yang sepadan" bagi yang lain. Saling menjadi "penolong" artinya saling mengisi dan saling menghidupi. Saling menerima dan saling memberi. Bukan justru saling mengeksploitasi atau mensubordinasi. Yang ideal adalah kooperasi, saling menerima dan saling memberi pertolongan. Sedang predikat "sepadan", artinya adalah sembabat, sederajat, setara. Memang berbeda, sebab bila cuma sama, bagaimana bisa saling menolong? Namun begitu, perbedaan ini bukan perbedaan tinggi rendah. Yang mengulurkan tangan tidak boleh merasa "super", sedang yang menadahkan tangan tidak perlu merasa "minder". Karena pada satu saat, yang sekarang menolong boleh jadi justru perlu ditolong. Oleh sebab itu, dalam hubungan antarmanusia berlaku prinsip saling menghargai. "Ojo dumeh". Jangan mentang-mentang. Dan bila itu adalah paradigma yang seharusnya, maka "bersaksi dusta tentang sesama" adalah antitesisnya. Sebab yang terjadi di sini bukanlah saling menolong, tapi saling memotong. Bukan saling memberdayakan, tapi saling memperdayakan. Di mana yang pintar mengeksploitasi kebodohan sesamanya, yang kuat menindas yang lemah. Dan lengkaplah penderitaan manusia! Itulah konsekuensinya, ketika "dusta" dibiarkan. Ketika kebenaran dipalsukan. Ketika kata-kata dibuat tak berharga. Ketika sesama menjadi subjek yang menindas atau objek yang diperas. Mengingat semua ini, masihkah Anda bertanya mengapa dusta bisa masuk ke "sepuluh besar"? Bahan diambil dari sumber: Harian Sore Sinar Harapan, Kolom Sabda No. 4628 Edisi : Sabtu, 14 Februari 2004 Penulis: Pdt. Eka Darmaputera URL : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/14/fea01.html ========== BIMBINGAN ALKITABIAH ========== Alkitab banyak sekali mencatat ayat-ayat yang menjelaskan dusta dan akibat-akibat dari berdusta. Berikut ini referensi ayat-ayat tersebut. DUSTA 1. Dilarang: Imamat 19:11; Kolose 3:9 2. Dibenci Allah: Amsal 6:16-19 3. Kekejian bagi Allah: Amsal 12:22 4. Merintangi permintaan doa: Yesaya 59:2,3 5. Iblis adalah bapa dusta: Yohanes 8:44 6. Iblis menggerakkan orang untuk berdusta: 1Raja-raja 22:22; Kisah Para Rasul 5:3 7. Orang-orang kudus: - Membenci dusta: Mazmur 119:163; Amsal 13:5 - Menjauhkan diri dari dusta: Yesaya 63:8; Zefanya 3:13 - Tidak menghormati orang yang berdusta: Mazmur 40:5 - Menolak orang yang berdusta: Mazmur 101:7 - Berdoa supaya dihindarkan dari dusta: Mazmur 119:29; Amsal 30:8 8. Para pemimpin bangsa tidak patut berdusta: Amsal 17:7 9. Kejahatan pemerintah karena memperhatikan dusta: Amsal 29:12 10. Nabi-nabi palsu sudah biasa berdusta: Amsal 14:5,25 11. Kesaksian palsu terikat pada dusta: Yeremia 23:14; Yehezkiel 22:28 12. Orang-orang fasik terikat pada dusta: Hosea 12:1 13. Orang-orang fasik menjadi benih dusta: Yesaya 57:4 14. Orang-orang fasik: - Terikat oleh dusta sejak dari kandungan ibunya: Mazmur 58:3 - Mencintai dusta: Mazmur 52:4 - Suka kepada dusta: Mazmur 62:4 - Mencari dusta: Mazmur 4:3 - Melenturkan lidahnya untuk dusta: Yeremia 9:3,5 - Melahirkan dusta: Mazmur 7:14 - Memerhatikan dusta: Amsal 17:4 15. Ciri-ciri sifat seorang pendurhaka: 2Tesalonika 2:9; 1Timotius 4:2 16. Dusta menimbulkan: - Kebencian: Amsal 26:28 - Suka pada percakapan yang tidak baik: Amsal 17:4 17. Sering kali disertai dengan banyak kejahatan: Hosea 4:1,2 18. Kebodohan orang yang menyembunyikan kebencian dengan dusta: Amsal 10:16 19. Kesia-siaan memperoleh kekayaan dengan dusta: Amsal 21:6 20. Dusta akan ketahuan: Amsal 12:19 21. Miskin lebih baik dari pada berdusta: Amsal 19:22 22. Tidak akan masuk surga: Wahyu 21:17, 22:15 23. Orang yang berdosa karena dusta dimasukkan ke dalam neraka: Wahyu 21:8 24. Hukuman untuk dusta: Mazmur 5:7, 120:3,4; Amsal 19:5; Yeremia 50:36 25. Contoh-contoh: - Ananias: Kisah Para Rasul 5:5 - Daud: 1 Samuel 21:2 - Gehazi: 2 Raja-raja 5:22 - Iblis: Kejadian 3:4 - Kain: Kejadian 4:9 - Mikhal: 1 Samuel 19:14 - Nabi dari Betel: 1 Raja-raja 13:18 - Orang Kreta: Titus 1:12 - Orang Niniwe: Nahum 3:1 - Orang-orang Gibeon: Yosua 9:9-13 - Petrus: Matius 26:72 - Sarah: Kejadian 18:15 - Saudara-saudara Yusuf: Kejadian 37:31,32 - Saul: 1 Samuel 15:13 - Simson: Hakim-hakim 16:10 - Teman-teman Ayub: Ayub 13:14 - Yakub: Kejadian 27:19 Sumber diambil dari: Pedoman Pokok-Pokok Isi Alkitab (CD SABDA 2.0) Nomor topik: 06145 Copyright : Yayasan Lembaga SABDA [Versi Elektronik (SABDA)] ========== KESAKSIAN ========== APAKAH KAMU PERNAH BERBOHONG? Orang tua acapkali mengeluh tentang kurangnya kejujuran pada anak-anak mereka. Menurut orang tua, mereka tidak pernah mengajarkan anak-anaknya berbohong, tetapi anak-anak sudah dapat membohongi orang tua sejak mereka masih sangat muda. Bahkan sebenarnya banyak orang tua sudah mengajarkan tentang dosa dan akibatnya, namun mereka masih dikelabui juga oleh putra-putri mereka. Berikut ini pendapat beberapa anak sehubungan dengan perilaku berbohong mereka. "Tidak pernah, kan tidak boleh. Bohong itu dosa, kata Alkitab. Saya baca sendiri." Gideon, 1 SD "Bohong itu kan dosa, kata mama. Saya nggak pernah bohong ...." Hellen, 3 SD "Bohong itu tidak bagus, itu kata semua orang, papa, mama, dan kakak." Inggrid, 3 SD "Saya pernah bohongin kakak, habis dia nakal sih. Ya, sebenarnya tidak boleh bohong ...." Elia, TK B "Tidak boleh bohong, jadi saya tidak pernah ...." Tri, 1 SD "Saya tidak pernah bohong, tidak boleh, nanti dimarahi Tuhan. Itu kata ibu ...." Elizabeth, 2 SD "Kata papa kita tidak boleh bohong .... Saya tidak pernah bohong." Patricia, 3 SD "Pernah, bohongin mama tapi ketahuan, jadi dimarahin. Sekarang tidak bohong lagi, kata Tuhan tidak boleh bohong." Thomson, 1 SD "Pernah sih ... tapi kata mama bohong itu tidak boleh, nanti dosa, masuk neraka." Robert, 1 SD "Saya tidak pernah bohong, kan tidak boleh, dosa ... itu kata kakak di sekolah minggu, juga kata papa." Kiki, 3 SD "Pernah, tapi takut dimarahi. Lagian kan dosa, jadi tidak boleh, nanti dimarahi mama." Nathanael, 4 SD "Pernah, tapi ketahuan sama papa dan mama, sampai saya dihukum. Sekarang kapok, tidak mau bohong lagi. Lagipula bohong itu dosa, kata mama." Jonathan, 4 SD "Pernah, bohongin teman yang nakal. Jadi sekali-sekali bohongin dia tidak apa-apa, supaya dia jera. Tapi kalau dengan teman yang baik, ya tidak perlu dibohongi." Vina, 6 SD "Tidak boleh bohong karena itu dosa, kata firman Tuhan nanti akibatnya maut. Tapi saya pernah bohong juga sih ...." Michele, 6 SD "Pernah bohong. Sebenarnya tidak boleh bohong, itu dosa. Saya tahu dari Alkitab, juga dikasih tahu mama." Yosephine, 6 SD Ada beberapa hal menarik yang dapat kita cermati dari komentar- komentar mereka. Beberapa anak langsung mengakui bahwa mereka pernah berbohong ketika ditanyai, sementara anak yang lain lebih banyak menjawab bahwa mereka tidak pernah berbohong sama sekali. Ada pula yang menyatakan bahwa kebohongannya dimaksudkan untuk membawa "kebaikan". Bagaimanapun juga, semua anak mengetahui dan mengakui bahwa berbohong adalah perbuatan yang salah, dosa, dan tidak diperkenan, baik oleh Tuhan maupun orang tua. Kebanyakan mereka memperoleh pemahaman tersebut dari orang tua. Namun, karena anak- anak yang dimintai komentar ini adalah murid-murid sekolah minggu sebuah gereja, tentunya mereka juga mendapatkan pesan-pesan moral sejenis dari guru-guru sekolah minggu mereka. Anak-anak yang menjawab pernah berbohong tidaklah menunjukkan bahwa orang tua maupun guru sekolah minggu gagal menanamkan kebenaran kepada mereka. Karena hal ini mungkin saja berarti bahwa mereka justru adalah anak yang jujur dan peka terhadap dirinya. Sebaliknya, anak-anak yang mengatakan tidak pernah berbohong juga tidak berarti sudah berhasil mengamalkan nilai-nilai kebenaran yang pernah diajarkan. Yang menarik, yaitu pengakuan pernah berbohong dikemukakan oleh anak yang usianya lebih muda (TK dan 1 SD), sedangkan anak-anak yang lebih besar, misalnya kelas 3 SD, justru mengatakan bahwa mereka tidak pernah berbohong. Untuk menghayati dan mengamalkan sebuah nilai kebenaran, setiap individu perlu melewati dua tahapan atau proses. Anak mulai mempelajari perilaku benar atau salah dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Awalnya, anak akan mematuhi hal yang benar itu karena ia tidak mau dihukum. Dengan bertambahnya usia, ia menjalankan hal yang benar karena ingin dipuji dan memperoleh dukungan orang lain. Akhirnya, anak mulai merasa wajib melakukan yang benar. Sampai sejauh ini, dapat dikatakan bahwa nilai kebenaran yang dipegang anak masih bersifat objektif (tahap objektif). Anak memegang nilai-nilai tersebut lebih karena pengaruh orang lain. Namun, memasuki tahap perkembangan berikutnya, yaitu sekitar usia 18 tahun, individu diharapkan sudah mempunyai prinsip pilihan sendiri. Pada tahap ini, anak sudah memiliki nilai mereka sendiri dan tindakan mereka tidak lagi didasarkan pada pendapat orang lain (tahap subjektif). Tahap subjektif ini tentunya akan berlangsung dengan lebih mulus kalau pada tahapan perkembangan objektif, individu yang bersangkutan sudah memperoleh bekal nilai yang memadai dari orang-orang di sekelilingnya. Kita dapat pula melihat setiap komentar anak-anak di atas dengan cara pandang yang berbeda. Melihat usia mereka, jawaban-jawaban mereka mencerminkan bahwa mereka masih berada pada tahap perkembangan objektif. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa manusia sudah berjuang dengan dosa sejak usia dini. Jadi, meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak boleh berbohong, mereka sulit untuk tidak berbohong. Hukuman dan kemarahan yang mereka terima tatkala mereka berbohong juga tidak menjamin bahwa mereka tidak akan berbohong lagi. Di sinilah pentingnya kita pun mengajarkan mengenai kasih karunia dan pengampunan Allah. Manusia memerlukan karya penebusan Kristus di atas kayu salib untuk membebaskannya dari status keberdosaan dan belenggu dosanya. "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita." (1Yohanes 1:8-10) Sumber diambil dan diedit dari: Judul buletin : Buletin Eunike (Edisi 21) Penulis : Heman Elia, M.Psi dan Esther Tjahja, S.Psi Penerbit : Yayasan Eunike, Jakarta Publikasi elektronik: Situs C3I URL : http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=83&mulai=0 ========== TANYA JAWAB KONSELING ========== APAKAH SAYA BOLEH BERBOHONG PADA ISTRI DEMI KEBAIKAN? PERTANYAAN: ----------- Istri saya tidak bisa mengelola uang dengan baik sehingga berapa pun uang yang kami punya selalu habis dibelanjakan. Padahal saya ingin bisa menabung. Saya ingin gaji saya dapat disisihkan sebagian untuk simpanan dan saya ingin istri saya bisa membuat perencanaan uang dengan baik. Tapi hal itu sering gagal sehingga saya ingin mencari jalan lain, yaitu dengan berbohong pada istri mengenai gaji bulanan saya. Apakah ini dosa? JAWABAN: -------- Dalam membangun komunikasi keluarga yang baik, faktor yang terpenting adalah kejujuran. Ketidakjujuran bukan hanya akan mengikis rasa saling percaya namun juga akan mengakibatkan banyak masalah yang berkepanjangan di kemudian hari. Bila kita berhasil menyampaikan segala hal kepada pasangan secara jujur dan dengan cara yang tepat, hasilnya akan jauh lebih baik dan hubungan kalian tidak akan runyam. Mengenai masalah sulitnya merencanakan keuangan bersama, menurut saran kami sebaiknya dibicarakan secara terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama. Bila istri Anda sulit memegang uang (karena selalu ingin membelanjakannya), lebih baik bila setiap awal bulan direncanakan lebih dulu pengeluaran-pengeluaran penting yang harus dilakukan. Sedangkan jika ada sisa uang, buatlah kesepakatan untuk menyimpan sebagian untuk simpanan dan selebihnya biarkan istri Anda untuk memakainya. Selain itu, buatlah kesepakatan agar masing-masing pihak tidak mengambil keputusan tanpa mengomunikasikannya lebih dahulu. Dalam membuat rencana/kesepakatan tidak perlu memfokuskan pembicaraan pada kelemahan istri yang menurut Anda tidak mampu mengelola keuangan dengan baik. Diskusikanlah bersama pentingnya menyisihkan sebagian uang setiap bulan untuk menabung untuk hal-hal tak terduga atau perencanaan pengeluaran di masa depan (misalnya, biaya sekolah anak-anak, membeli mobil, dsb.). Kalau perlu buatlah sebuah rekening baru bersama-sama yang dikhususkan untuk simpanan saja kecuali jika ada kondisi mendesak. Keterbukaan seperti ini akan jauh lebih baik dibandingkan melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi sekalipun motivasi Anda adalah baik. Keterbukaan dan kejujuran juga terbukti efektif dalam meningkatkan kepercayaan masing-masing pasangan. Selamat menabung. (Sil) Tim Konselor YLSA Bahan diambil dari: Situs C3I ==> http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=650&mulai=0 ========== SURAT ANDA ========== Dari: Martin <martin(at)xxxx> >Salam dalam kasih Tuhan Yesus, >Konsel edisi 1 Nopember 2006, datang tepat pada waktu ketika saya >membutuhkan. Ada seorang teman kehilangan ibunya. --cut-- >Terima kasih konsel. Saya sudah meneruskan artikel ini kepada anak >yang sebatang kara tersebut. >Salam dalam kasih Tuhan Yesus Redaksi: To God be the glory. Kami doakan kiranya Tuhan beri kekuatan dan penghiburan bagi teman Anda. Selain dalam edisi 1 November tersebut, e-Konsel juga pernah menampilkan topik yang berhubungan dengan dukacita. Jika Anda membutuhkannya, silakan membuka arsip e-Konsel di: ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/036/ ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/037/ Kami harap artikel-artikel yang ada dalam dua edisi tersebut dapat juga Anda gunakan untuk menolong teman Anda. Terima kasih untuk sharingnya, Tuhan memberkati. ============================== e-KONSEL ============================== STAF REDAKSI e-Konsel Ratri, Evie, Raka PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2006 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? masalah-konsel(at)sabda.org Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: owner-i-kan-konsel(at)xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://c3i.sabda.org/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |