Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/115 |
|
e-Konsel edisi 115 (4-7-2006)
|
|
Edisi (115) -- 04 Juli 2006 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : Menyikapi Keberadaan Anak = Cakrawala : Menantikan Kelahiran Anak = Tips : Jika Tidak Mempunyai Anak = Tanya Jawab Konseling : Makna Kehadiran Anak = Surat Anda : Permohonan Bantuan Pelayanan ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Hampir setiap pasangan suami istri selalu mendambakan kehadiran anak dalam rumah tangga mereka. Namun, bagaimana jika setelah bertahun- tahun menanti, Tuhan belum juga mengaruniakan seorang anak pun kepada mereka? Bagaimana pula dengan pasangan suami istri yang "terpaksa" harus menerima kehadiran buah hati mereka di saat mereka belum siap? Keadaan di atas terlihat sangat kontras, namun keadaan seperti itulah yang terjadi. Ada yang sangat menginginkan dan mendambakan buah hati, namun tidak mendapatkannya. Di sisi lain ada yang memiliki buah hati, namun sesungguhnya tidak mengharapkan kehadirannya. Edisi yang kami suguhkan berikut ini sedikit banyak akan mengajak pembaca untuk melihat apakah makna kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga. Silakan disimak dan kiranya menjadi berkat. Redaksi e-Konsel, Ratri ========== CAKRAWALA ========== MENANTIKAN KELAHIRAN ANAK "Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku." (Mazmur 22:10-11) Rasanya baru kemarin ketiga anak kami lahir; segalanya masih tampak begitu jelas di benak saya. Kenyataannya, sudah lebih dari sebelas tahun yang lalu anak kami yang bungsu dilahirkan. Ada kalanya kehadiran anak menimbulkan kecemasan dan ketegangan pada hubungan pernikahan itu sendiri. Saya bisa memaklumi hal itu. Kita bersekolah untuk menjadi insinyur dan dokter, namun tidak ada sekolah yang mempersiapkan kita untuk menjadi ayah dan ibu. Melalui artikel ini saya ingin membagikan satu masukan yang berkaitan dengan pengaruh kelahiran anak pada hubungan pernikahan. Pada prinsipnya, pertanyaan yang terpenting mengenai kelahiran anak bukanlah "apakah direncanakan?" melainkan "apakah dinanti-nantikan?" Sudah tentu perencanaan adalah tindakan yang baik sebab perencanaan menandakan persiapan yang matang. Namun pada akhirnya, saya melihat bahwa perencanaan manusia acap kali meleset. Ada yang sudah merencanakan untuk mempunyai anak, namun tidak memperolehnya; sebaliknya, ada yang belum merencanakan, namun mendapatkannya. Waktu Tuhan bukanlah waktu manusia. Oleh sebab itu, apa pun kondisinya, yang lebih penting adalah sewaktu Tuhan memberikan anak kepada kita, apakah kita bersikap menyambut atau menolaknya? Anak yang dinanti-nantikan akan disambut dengan sukacita dan penuh pengucapan syukur; sebaliknya, anak yang tidak dinantikan, akan ditatap dengan dingin dan penuh penyesalan. Relasi suami-istri cenderung menguat dan bertambah intim tatkala mereka mempunyai sikap menanti-nantikan kelahiran anak dengan penuh pengucapan syukur. Sebaliknya, relasi suami-istri cenderung memburuk bila mereka memelihara sikap tidak menanti-nantikan anak. Tidak jarang penyesalan akan kelahiran anak akhirnya dapat berbuntut penyesalan terhadap pasangan sendiri. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan orang tua menolak kehadiran anak. Misalnya, ketidaksiapan finansial atau emosional (alias belum siap jadi orang tua), sudah tidak ingin mempunyai anak lagi, hubungan suami-istri yang sedang tidak harmonis, atau kondisi tertentu pada anak yang membuat orang tua tidak menyukai anak itu, seperti penampilan fisik yang tidak sesuai harapan. Semua penyebab ini bermuara pada satu sikap, yakni tidak menyambut anak dengan pengucapan syukur. Kelahiran anak tidak lagi dipandang sebagai karya cipta Tuhan; sebaliknya, kelahiran anak dilihat sebagai suatu kesalahan yang malah menambahkan beban dalam hidup. Salah satu sifat dasar manusia yang telah kita bawa sejak Adam ialah kecenderungan menyalahkan orang lain. Kelahiran anak yang tidak dinantikan sering kali memunculkan sifat dasar ini. Kita belum bisa menyalahkan anak yang masih terlalu kecil, jadi sebagai gantinya kita melirik orang di sebelah kita, suami atau istri kita, dan menyalahkannya sebagai penyebab kemalangan ini. Mungkin kita berkata bahwa istri kitalah yang telah memanipulasi kita untuk mempunyai anak, atau sebaliknya istrilah yang menuduh suami telah berbuat curang. Kelahiran anak yang tidak dinantikan akhirnya melahirkan masalah tambahan pada suami-istri. Anak yang dilahirkan tidak akan mendapati dunia yang hangat dan orang tua yang penuh senyum; sebaliknya, ia akan menemui dunia yang dingin dan orang tua yang mengernyitkan dahi, bukannya tawa-canda melainkan caci-maki yang akan didengarnya. Apa yang harus kita lakukan apabila kita memang tidak siap untuk menyambut kelahiran anak? Firman Tuhan yang tertera di atas memberikan kita beberapa butir pelajaran yang dapat kita gunakan sebagai panduan. Pertama, ingatlah bahwa seperti menanam pohon, meski kita yang menabur, sesungguhnya Tuhanlah yang menumbuhkan. Tuhanlah yang menciptakan sebatang pohon dari sebuah benih, demikian juga Tuhanlah yang menciptakan seorang anak dari perpaduan suami dan istri. Tuhanlah yang "menenun aku dalam kandungan ibuku" (Mazmur 139:13b) dan Tuhanlah yang "mengeluarkan aku dari kandungan". Dengan kata lain, aku ada karena Tuhan menghendaki keberadaanku. Inilah prinsip kelahiran manusia yang hakiki. Berikutnya, karena Tuhanlah yang menenun dan mengeluarkan anak dari kandungan, kita pun harus menyambutnya dengan ketenteraman. Firman Tuhan mengingatkan, "Engkau membuat aku aman pada dada ibuku." Dada yang aman hanya dapat lahir dari hati yang aman; sebaliknya, hati yang penuh penyesalan tidak akan sanggup menyediakan dada yang tenang. Tuhan memakai orang tua untuk mengalaskan anak dengan dada yang penuh dengan kedamaian. Ketenteraman tidak selalu muncul dari situasi yang sempurna atau yang mendukung. Saya menyadari banyaknya pasangan yang sedang digelayuti oleh sejumlah masalah yang tidak habis-habisnya dan bagi mereka, kelahiran anak benar-benar tidak pas waktunya. Mereka mungkin bertanya, bagaimanakah kami sanggup menyediakan dada yang aman kepada anak kami sementara hati kami sendiri sedang carut- marut. Jawaban saya ialah, fokuskan mata kita hanya pada dua obyek: Tuhan dan anak itu. Pisahkan anak itu dari problem kita dan curahkanlah kedamaian ke dalam sanubarinya. Berkati anak itu dengan kasih dan bersyukurlah senantiasa bahwa Tuhan telah memercayakan anak itu kepada kita. Anak itu lahir dalam rencana Tuhan bukan di luar rencana Tuhan dan kita adalah bagian terkait dari rencana Tuhan itu. Jika Ia yang memberikan, Ia pun akan mengaruniakan kekuatan kepada kita untuk membesarkannya. Masa depan bukan berada dalam genggaman tangan pasangan kita atau tangan kita sendiri maupun kondisi ekonomi kita; masa depan anak itu ada di dalam tangan Tuhan yang penuh kuasa dan kasih. Mujizat kadang terjadi sewaktu dua pasang mata dari suami-istri memandang ke arah Tuhan dan anak itu. Perlahan-lahan kebencian dan panasnya amarah mulai meleleh digantikan dengan butiran air mata pengucapan syukur dan kedekatan. Tidak jarang Tuhan justru memakai kehadiran si bayi mungil itu untuk merajut cabikan besar yang terjadi pada hubungan antara suami dan istri. Terakhir, apa pun kondisi yang mendahului kelahiran anak sejak awal kehamilan, serahkan anak itu kepada Tuhan dan berdoalah baginya agar Tuhan Yesus menjadi Tuhan Allahnya pula. "Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku." Saya percaya, orang tua yang berdoa bagi anaknya sejak dalam kandungan akan memetik buah doanya suatu hari kelak. Tuhan mendengarkan doa yang kita panjatkan untuk anak kita. Lebih lanjut, kedua hati orang tua yang berdoa bersama untuk anak yang dalam kandungan akan bertaut pada hadirat Tuhan sendiri. Pada akhirnya, kita pun akan menerima berkat kebersamaan dan keintiman dalam doa- doa bersama itu. Sekeras apa pun hati kita, tatkala berdoa bersama niscaya akan mulai melunak. Kita pun akan mendapatkan kedamaian dan iman sewaktu berdoa bersama. Kelahiran anak berpotensi membawa persatuan dan perpecahan pada pernikahan kita. Apa pun kondisi kita, masih ada sesuatu yang dapat kita lakukan: memilih sikap yang tepat. Ternyata sikap yang tepat adalah sikap yang menanti-nantikan si anak sebagai berkat dari Tuhan untuk kita. Sumber diambil dan diedit dari: Buletin Eunike yang ditampilkan di Situs TELAGA http://www.telaga.org/artikel.php?menantikan_kelahiran_anak.htm Penulis: Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D ========== TIPS ========== JIKA TIDAK MEMPUNYAI ANAK Salah satu alasan yang paling sering disebut oleh banyak orang mengenai mengapa seseorang harus (atau sebaiknya) menikah adalah untuk meneruskan keturunan mereka. Merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi seorang suami bila ia dapat memiliki seorang anak. Demikian pula dengan seorang isteri jika dia dapat memberikan seorang anak kepada suaminya. Tetapi, jika hal itu masih belum juga terwujud di dalam pernikahan, bagaimana sikap para suami isteri dalam menghadapi realita itu? Siang itu, saya sedang berbincang dengan seorang hamba Tuhan. Ketika beliau tahu bahwa belum ada seorang anak pun pada usia pernikahan kami yang telah memasuki tahun kelima, beliau bertanya kepada saya, "Apakah tidak ada masalah yang terjadi?" (Maksudnya, apakah dengan tidak mempunyai anak, maka hubungan pernikahan kami baik-baik saja). Mendengar pertanyaan itu, saya menjawab, "Oh, tidak! Sebab, kami telah membicarakan hal itu sebelum kami menikah. Tetapi bukan berarti kami tidak merindukan seorang anak. Kami belajar memahami, jika sampai hari ini kami masih belum diberikan seorang anak, pasti ada maksud Allah di balik semua ini. Termasuk apabila Allah memang menghendaki kami untuk tidak memiliki seorang anak." Mendengar jawaban saya, beliau tampak lega sekali. Katanya, "Puji Tuhan, kalau kamu memiliki pemikiran seperti itu. Sebab tidak semua pasangan suami isteri dapat menerima kenyataan bahwa mereka tidak dapat mempunyai anak." Sebenarnya, saya telah berulang kali mendengar pertanyaan-pertanyaan yang senada (lengkap dengan nasihatnya) dari beberapa orang. Saya juga dengar pernyataan-pernyataan bernada sindiran (yang kadang- kadang terasa menyakitkan), mengapa saya dan isteri saya masih belum juga mempunyai seorang anak sampai saat ini. Tetapi, kami - saya dan isteri saya - sungguh bersyukur. Jauh sebelumnya kami telah mempersiapkan diri terhadap realita ini dan juga terhadap pertanyaan dan sindiran dari orang-orang di sekitar kami. Sebab itu, hati kami tidak pernah sampai terganggu oleh semuanya itu. Saya tahu semua itu terjadi karena pekerjaan Roh Allah yang menopang hidup kami berdua selama ini. Apakah ini berarti bahwa kami tidak lagi menginginkan anak di dalam pernikahan kami? Atau kami telah pasrah dengan keadaan ini dan tidak lagi melakukan satu usaha pun untuk memperoleh seorang anak? Atau, kami tidak lagi memiliki pengharapan kepada Tuhan agar Ia memberikan seorang anak kepada kami? Tentu saja tidak! Kami masih tetap merindukan seorang anak dan kami akan tetap terus berharap dan berusaha. Tetapi, kami tidak mau terobsesi oleh keinginan ini agar hal ini jangan mengganggu hubungan kami serta bertindak menurut pengertian kami sendiri dan tidak lagi bersandar kepada Tuhan. Sebaliknya, kami belajar menyerahkan keinginan kami kepada Tuhan sebagai Penguasa atas kehidupan kami, serta memahami bahwa Ia mengetahui akan rancangan-rancangan yang ada pada-Nya mengenai pernikahan kami. Ada beberapa aspek pemahaman yang ingin kami bagikan kepada para pasangan suami isteri perihal mengapa kami tidak kebingungan sama sekali ketika Tuhan masih belum juga menganugerahi kami seorang anak pun sampai dengan hari ini. Pertama, Tuhan mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Nya mengenai pernikahan kita, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan (Yeremia 29:11). Kesadaran bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu, termasuk di dalam pernikahan kita akan memberikan satu pemahaman penting. Apabila sampai hari ini kita masih belum (atau tidak) mempunyai anak, hal itu sepenuhnya berada di dalam pengaturan kedaulatan Allah (Roma 8:28). Kita boleh merasa aman sebab kita tahu rancangan Allah atas penikahan kita adalah rancangan damai sejahtera, yaitu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita dan bukan rancangan kecelakaan. Sebab itu, jangan memiliki pemikiran yang suram, ketika kita menghadapi kenyataan ini. Realita ini tidak membuat dunia pernikahan kita kiamat karena di balik semua itu ada maksud Allah, untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Kedua, Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan-Nya dari awal sampai akhir (Pengkhotbah 3:11). Kesadaran ini memberikan satu pemahaman penting bahwa belum (atau tidak) punya anak bukan berarti pertanda buruk bagi pernikahan kita. Memang secara manusia, kita tidak dapat memahami pekerjaan yang akan dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Tetapi satu hal yang kita tahu pasti. Allah akan membuat realita yang tampaknya buruk ini menjadi indah pada waktunya. Ketiga, Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing (Amsal 16:4). Apabila sampai dengan hari ini masih belum (atau tidak) mempunyai anak, hal itu bukan terjadi tanpa satu tujuan tertentu dan yang tidak penting. Karena itu, kita boleh merasa yakin sekarang bahwa realita `masih belum (tidak) mempunyai anak` yang (mungkin) sedang kita alami saat ini tidak terjadi dengan sia-sia, tetapi ada satu tujuan Allah yang tertentu bagi kepentingan Allah dan pernikahan kita sendiri. Keempat, bahwa menjadikan pernikahan hanya sebagai sarana penerus keturunan merupakan satu pemikiran yang sempit. Tujuan utama Allah dengan mempersatukan kita - para suami isteri - di dalam pernikahan (Kejadian 2:18) dan menganugerahkan anak-anak kepada kita (Kejadian 1:28) adalah supaya kita menggenapi rencana-Nya secara maksimal di dalam hidup kita. Jadi sebenarnya, punya anak atau tidak bukan persoalan yang hakiki dari sebuah pernikahan. Perkara yang utama di hadapan Allah adalah bagaimana pernikahan kita boleh memuliakan-Nya. Sebab itu, pemikiran bahwa pernikahan hanya sebagai sarana penerus keturunan merupakan pemikiran yang sempit dan merendahkan makna sesungguhnya dari tujuan pernikahan itu sendiri. Kelima, jangan pernah berhenti berharap kepada Tuhan supaya Ia boleh menganugerahi anak dalam pernikahan kita. Bila sampai hari ini kita belum (atau tidak) mempunyai anak, bukan berarti kita berhenti berharap kepada Allah dan berusaha sesuai dengan prinsip firman Allah. Tetapi sebaliknya, kita harus tetap memiliki pengharapan kepada Allah dan melakukan apa yang harus kita lakukan. Akhirnya, jangan bersungut-sungut apabila sampai hari ini kita masih belum (atau tidak) mempunyai anak. Tetapi naikkanlah syukur kepada Tuhan! Pada satu sisi, kita perlu belajar untuk menyerah di dalam kedaulatan kehendak-Nya, tetapi pada sisi yang lain kita harus tetap berharap kepada-Nya sampai Ia memberikan apa yang menjadi keinginan kita. Tuhan memberkati! Sumber diambil dan diedit dari: Milis Ayah Bunda yang ditampilkan di Situs C3I Sumber: Rosaline F. http://www.sabda.org/c3i/artikel/isi/?id=22&mulai=165 ========== TANYA JAWAB KONSELING ========== MAKNA KEHADIRAN ANAK Dialog: Hermanto dan Solaiman ------ T : Sebenarnya apa makna kehadiran anak dalam perkawinan? J : Dalam sebuah rumah tangga, sejak awal sejarah manusia sampai sekarang, kehadiran anak adalah berkat istimewa. Kehadiran anak- anak dalam keluarga merupakan sarana pelengkap kepribadian ayah dan ibu (suami-istri) dalam unit keluarga mereka. Jadi, tidak perlu heran kalau rumah tangga yang tidak (belum) mempunyai anak terasa agak sepi. ------ T : Kalau zaman Adam dan Hawa dulu memang relevan karena manusia lain saat itu belum ada, yang ada di sekeliling mereka adalah berbagai jenis hewan. Akan tetapi zaman kita ini rasanya suami istri yang tidak mempunyai anak pun tidak dapat dikatakan kesepian. Bagaimana sebenarnya? J : Dalam unit keluarga tetap saja merasa kesepian sebab jumlah penduduk di bumi ini tidak dapat menggantikan kehadiran anak dalam keluarga. Kembali pada sejarah manusia di Taman Eden, Kitab Suci memberitahu kita bahwa Allah telah memberikan Hawa kepada Adam sebagai teman yang sejodoh (sepadan). Mereka hidup bersama dalam wadah pernikahan yang suci sehingga dapat berkembang biak. Jadi, kalau dikatakan bahwa anak merupakan berkat istimewa, itu memang sesuai dengan apa yang dikatakan Alkitab di Kejadian 1:28, "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Jelaslah bahwa Allah memberkati perkawinan sepasang manusia pertama di Taman Eden, dan kemudian memerintahkan mereka agar berkembang biak untuk memenuhi bumi. Keturunan itu bagian dari berkat Allah. ------ T : Tugas dan kewajiban mulia bagi orang tua dalam keluarga ialah mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sifat atau sikap apa yang diperlukan untuk menjalankan kewajiban tersebut? J : Dibutuhkan sifat seperti kasih sayang, kesabaran, ketabahan menanggung sesuatu, belas kasihan, dan pengertian yang mendalam. Hal ini memerlukan proses serta latihan yang mungkin sampai beberapa tahun, sampai dapat menghaluskan dan meninggikan martabat hidup ibu dan ayah, sekaligus mengikis sifat-sifat yang tidak baik yang sudah ada sebelum mereka menikah atau sebelum keduanya punya anak. ------ T : Melalui proses waktu yang lama semacam itu, apakah ada contoh dari Alkitab? J : Dalam Alkitab ada banyak. Satu contoh, Henokh yang tercantum dalam kitab Kejadian pasal 5. Ketika anak pertama lahir, ia memperoleh pengalaman yang lebih agung. Ia mengalami hubungan yang manis dan agung dengan anaknya. Bahkan ia menyadari bagaimana menjalankan tanggung jawab selaku anak-anak Allah. Ketika Henokh menyaksikan cinta dan kasih anak-anaknya kepada dia sebagai ayah, Henokh memperoleh suatu pelajaran yang sangat indah tentang kasih dan cinta Allah kepada manusia. Ia hidup bergaul dengan Allah dan akhirnya diangkat ke surga tanpa pernah mengalami kematian secara jasmani. ------ T : Bukan hanya di kalangan Kristen saja, kita sering mendengar bahwa anak-anak itu adalah "titipan Tuhan", apa maksud ungkapan itu? J : Intinya ialah anak (berapa pun jumlahnya) adalah karunia Tuhan kepada pasutri yang bersatu dalam wadah perkawinan. Tuhan menitipkan anak kepada kita selaku orang tua, namun anak itu sendiri adalah milik Tuhan. Sebab Dialah yang menciptakan kita manusia, termasuk anak-anak kita. Jika kita menyadari bahwa anak adalah milik Allah dan berasal dari Dia yang dititipkan dalam rumah tangga kita (bagi yang punya anak), tanggung jawab kita juga berat. Pasangan yang tidak mempunyai anak, dilihat dari sisi tanggung jawab, sebenarnya tidak seberat pasangan yang memiliki anak. ------ T : Kalau begitu dapat diartikan bahwa tanggung jawab kita selaku ibu dan ayah untuk mendidik anak-anak kita adalah amanat langsung dari Allah yang menitipkan anak-anak kepada kita? J : Ya, memang betul. Merawat dan mendidik anak harus dianggap sebagai suatu kewajiban serta tanggung jawab yang mulia dan agung. Sebagai orang tua, hendaknya kita menerima kedudukan kita sebagai suatu panggilan suci. Allah sangat mengasihi manusia, termasuk anak-anak. Oleh sebab itu, Ia mengimbau kepada para orang tua (yang mempunyai anak khususnya), untuk bekerja sama dengan Dia membentuk karakter dalam pribadi anak-anak kita. ------ T : Mengapa tanggung jawab orang tua mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak itu harus diterima sebagai suatu panggilan? J : Perlu kita sadari bahwa anak-anak sekarang adalah orang dewasa di masa depan. Mereka adalah harapan bangsa pada masa mendatang. Selaku orang tua kita harus mengasuh mereka dengan benar. Berikan kepada mereka peraturan dan disiplin yang dipadukan dengan cinta dan kasih sayang yang mendalam, penuh pengertian, dan dilakukan dengan sabar. Dengan demikian, anak-anak kita sejak kecil sampai dewasa nanti hidup dalam jalan Tuhan dan berguna bagi sesama manusia. Seorang raja Yahudi yang bijaksana berkata bahwa anak-anak itu harus diajar sejak dini. Agar jelas, silakan baca Amsal 22:6, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu." Dari semua pelajaran yang dipelajari anak-anak, ketaatan merupakan faktor yang paling utama. Ketika seorang ibu mendidik anaknya, hendaknya jangan lupa melatih cara hidup yang bersifat menyembah dan memuja Allah. Anak harus dilatih untuk beribadah kepada Allah sejak dini. Pekerjaan utama ibu ialah mengasuh anak. Mengasuh berarti bahwa seorang ibu harus mengendalikan kemauan dan tingkah laku anak, dengan tujuan utama agar anak menjadi manusia yang taat. Pengasuhan itu harus dilakukan dengan sikap tenang dan sabar. Jika kita selaku orang tua memerintah dengan kasar, anak-anak mungkin saja kelihatan taat, namun ketaatan seperti itu karena ketakutan atau keterpaksaan, bukan taat karena sukarela. Cara seperti itu bukanlah arahan yang benar. Sebagai orang tua, kita harus tetap menjaga nada dan irama suara agar terdengar lembut pada saat menyuruh anak mengerjakan sesuatu. Dengan demikian kita sebenarnya mencegah anak dari sikap yang kasar, setelah dewasa pun anak tidak bersikap melawan dan memberontak. ------ T : Bagaimana dengan pasangan yang tidak dikaruniai anak, apa yang sebaiknya dilakukan pasangan itu? J : Selaku pasangan yang tidak punya anak, kita pun perlu mensyukurinya sebab di balik itu pasti ada maksud terbaik Tuhan bagi rumah tangga kita. Walaupun tidak punya anak, namun keduanya terpanggil untuk mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak, kerinduan itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan, yaitu dengan cara mengadopsi anak. Mungkin hal ini merupakan bagian dari rencana Tuhan untuk mengangkat anak yang orang tuanya kurang mampu secara ekonomi misalnya, sehingga tanggung jawab dan biaya pendidikan formal dapat diambil alih oleh pasangan yang menjadi orang tua angkat itu. Cara itu pun termasuk panggilan pelayanan. Perlu diingat, sebelum mengambil keputusan untuk menjadi orang tua yang mengadopsi anak, suami dan istri harus kompak dan memiliki misi yang sama, yaitu siap berkorban dalam mengemban tanggung jawab sebagai orang tua angkat yang terpanggil. Sumber diedit dari: Judul majalah: Kalam Hidup, Edisi Nopember 2003 Penerbit : Kalam Hidup, Bandung Halaman : 12 - 19 ========== SURAT ANDA ========== Dari: Steffen <steffen(at)> >Salam Sejahtera dalam Kasih Tuhan Yesus. >Bagaimana kabarnya Crew Sabda semua, semoga baik dan sejahtera. >Saya tetap mendukung dalam doa. ------- cut ------- >Saya senang dengan artikel-artikel yang dimuat oleh situs Sabda >dan C3I. Lewat artikel yang ada, maka telah dicantumkan bahwa >jikalau ada yang menginginkan kaset Perjodohan atau transkip >lengkapnya, maka silahkan menghubungi lewat email TELAGA, Sabda. >Untuk itu, saya memhon agar Bapak, Ibu, Saudara-Saudari sudi >berkenan memberikan kepada saya kaset-kaset tentang Remaja dan >Pemuda. Semuanya ini bertujuan untuk pelayanan kita bersama bagi >kaum muda agar mereka semakin banyak bertumbuh dalam Tuhan dan >dapat percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru selamat. Atas bantuan >dan perhatiannya, saya mengucapkan terima kasih. Tuhan berkati >Teriring Kasih Dan Doa Redaksi: Puji Tuhan atas surat dan dukungan doa Anda. Tuhan masih memberi kami kekuatan untuk terus melayani Dia melalui situs-situs dan artikel-artikel yang dimuat. Mengucap syukur juga karena situs kami dan artikel-artikel yang kami muat di dalamnya dapat menjadi berkat bagi Anda, terlebih lagi dapat membantu pelayanan Anda. Untuk mendapatkan kaset-kaset TELAGA, silakan memesannya terlebih dulu melalui Situs TELAGA di: http://www.telaga.org Silakan Anda klik menu Pesan Kaset/CD dan masukkan daftar diri Anda di kolom yang sudah disediakan. Setelah itu klik OK dan daftar diri Anda sudah masuk ke daftar pemesan kaset TELAGA. Anda juga bisa memesannya secara langsung ke: Jl. Cimanuk 58 Malang 65122 Telp. (0341) 493645 atau bisa juga melalui email dengan alamat: <pesan(at)telaga.org> Untuk saat ini kami hanya bisa mengirimkan transkripnya saja. Jika Anda menghendaki akan kami kirimkan secara terpisah. Sekian jawaban dari kami. Selamat melayani, Tuhan memberkati. ============================== e-KONSEL ============================== STAF REDAKSI e-Konsel Ratri, Evie, Raka PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2006 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? masalah-konsel(at)sabda.org Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: owner-i-kan-konsel(at)xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://www.sabda.org/c3i/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |