BIMBINGAN ALKITABIAH
Menyikapi Bunuh Diri, Diiringi Simpati
Akhir-akhir ini, jumlah peristiwa bunuh diri semakin meningkat. Dari yang dilakukan oleh orang yang tidak tahan terus-menerus diimpit kemelaratan, sampai pada yang dilakukan oleh orang yang kaya raya. Ingat konglomerat yang terjun bebas dari tingkat 56 sebuah hotel? Dari yang dilakukan oleh orang dewasa, sampai yang dilakukan oleh seorang yang masih belia. Ingat anak 12 tahun yang gantung diri lantaran keluarganya tidak mampu menyediakan uang Rp2.500,00? Dan, jangan lupa untuk menyebutkan semakin populernya metode terorisme dengan "bom bunuh diri"!
Alkitab, baik PL maupun PB, menyebutkan beberapa kasus bunuh diri. Ada yang melakukannya karena harga diri, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahitofel (2 Samuel 17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), dan Saul (1 Samuel 31:4-5). Agaknya mereka berprinsip, "Lebih baik mati berkubur debu daripada hidup berkalung malu". Namun, ada pula yang melakukannya dengan prinsip yang lain, yaitu prinsip "kurelakan tubuhku hancur lebur, asal sama-sama menjadi bubur". Inilah yang melatarbelakangi tindakan nekat Simson (Hakim-Hakim 16:23-31) dan Zimri (1 Raja-Raja 16:18).
Bagaimana dengan Yudas, si orang Iskariot itu? O, dia lain lagi. Ia menggantung diri, membawa penyesalan yang menurut perasaannya tak mungkin terobati, akibat kesalahan yang dianggap tak mungkin terampuni (Matius 27:3-5). Alasan yang masuk akal juga. Adakah yang lebih menjijikkan daripada mengkhianati cinta?
Sebenarnya, bagaimana sikap Alkitab? Sangat jelas dan amat tegas! Alkitab menolak dan mengutuk keras hal ini. Sebagaimana kita ketahui, Alkitab mengutuk setiap bentuk "pembunuhan".
Sabda Allah melalui Nuh, "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya. Sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya sendiri" (Kejadian 9:5-6). Karena itu, walau terhempas ke dasar penderitaan yang terdalam sekalipun, seorang anak Tuhan seperti Ayub tetap menolak dengan tegas anjuran untuk bunuh diri (Ayub 2:9-10).
Di mata orang Yahudi, "bunuh diri" adalah "suatu tindakan yang sengaja dilakukan dengan tujuan menghancurkan diri sendiri". Jadi, sepenuhnya negatif! Sepenuhnya destruktif! Karena itu, dalam adat mereka mayat orang yang meninggal karena bunuh diri harus dipertontonkan secara terbuka; tak boleh ada perkabungan baginya dan pantang dikuburkan sampai matahari terbenam. Mayatnya pun mesti dikuburkan terpisah dari yang lain.
Hebatnya, toh di sela-sela keketatan dalam menaati hukum yang sangat termasyhur itu, mereka juga cukup realistis. Mereka menyadari bahwa dalam kehidupan nyata bisa saja muncul kasus-kasus ekstrem yang justru memerlukan tindakan bunuh diri tersebut.
Penulis sejarah, Yosefus, mencatat peristiwa yang mengerikan sekaligus mengesankan sehubungan dengan itu. Ketika benteng Masada diserang musuh dan segala harapan mempertahankannya telah punah, Eliezer, sang panglima, memerintahkan pasukannya membantai semua orang Israel yang ada, setelah itu membunuh diri mereka sendiri!
"Kita masih punya pilihan bebas, yaitu untuk mati secara terhormat," demikian ia berseru, "Biarlah perempuan-perempuan kita mati ketimbang dicemari dan laki-laki kita membuktikan bahwa mati lebih baik daripada menjadi budak. Kematian membawa kemerdekaan bagi jiwa. Karena itu, jangan sudi diperhamba! Marilah untuk setidaknya mati sebagai orang-orang merdeka!" Heroik sekali. Hari itu, Yosefus mencatat ada 960 orang membunuh diri mereka sendiri.
Namun, Yosefus juga mencatat sisi yang lain dari persoalan kita. Dalam hal ini, ia malah ikut langsung terlibat. Dalam insiden Yotapata, ia mengimbau dengan sangat agar orang-orang Yahudi tidak bunuh diri. Dalam imbauannya itu ia berkata, antara lain, "Mengapa kalian menyia-nyiakan kesatuan yang begitu indah antara tubuh dan jiwa sehingga ingin menceraikannya? Takut mati bagi seseorang yang mesti mati adalah sama pengecutnya dengan orang yang ingin mati ketika ia belum seharusnya mati. Ketahuilah bahwa tak ada kepengecutan yang lebih besar daripada tindakan seorang nakhoda yang lantaran takut pada badai yang akan datang, lalu menenggelamkan seluruh kapal bahkan sebelum prahara itu benar-benar tiba. Sesungguhnya, bunuh diri adalah tindakan melawan kodrat dan sekaligus tindakan melecehkan Tuhan. Mereka yang mati terhormat memenangkan kemuliaan, tetapi yang mati karena bunuh diri mewarisi kekelaman."
Begitulah bagi orang Yahudi, bunuh diri adalah dosa. Walaupun kadang-kadang, bisa saja seseorang dibenarkan merelakan nyawa karena iman, demi keyakinan dan Allahnya.
Yesus berkata, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal." (Yohanes 12:25)
Namun, dalam kenyataan, kita tahu bahwa iman bukan satu-satunya motif orang mencabut nyawa sendiri. Malah boleh dikatakan, yang begini termasuk jarang sekali. Yang lebih sering terjadi adalah orang melakukannya karena "mentok". Sebab, semua jalannya seolah-olah membentur tembok sehingga ia tak mungkin ke mana-mana lagi. Ia tak punya pilihan apa-apa lagi. Orang melakukannya karena merasa tidak sanggup lagi memikul beratnya beban kehidupan. Tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan karena tenaganya terkuras habis. Semangatnya telah padam. Dan, yang ia rasakan sekarang hanyalah kesakitan dan kepenatan semata-mata, sedangkan di depan ia tak melihat secercah pun cahaya pengharapan atau kemungkinan perbaikan. Karena itu, mengapa memperpanjang derita?
Masalah bunuh diri, saya akui, adalah masalah etis. Namun, mengingat sifat permasalahannya, penting sekali saya tekankan bahwa "masalah etis" ini wajib kita bahas dengan "sikap etis" pula! Ini perlu saya tekankan karena -- sebagaimana berulang-ulang saya kemukakan -- betapa sering orang membusungkan dada mengatakan hendak menegakkan moral, tetapi praktik dan cara-caranya sama sekali tidak bermoral.
"Sikap etis" yang saya maksud adalah sikap bersedia menempatkan diri dalam posisi dan situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar dengan jelas rintihannya yang tak terucapkan.
Maksud saya, kita tidak datang sebagai seorang guru yang mau mengajari atau sebagai seorang pengkhotbah yang mau mencerca atau sebagai seorang penasihat yang berpretensi bijak dan tahu semua, tetapi semata-mata datang sebagai sahabat. Bukan dengan menyandang kaidah-kaidah moral atau dengan mulut mencibir, melainkan datang membawa empati dan simpati yang memancar langsung dari hati. Tidak asal membenarkan, sebab kita mesti membuat penilaian dari dalam situasi si penderita. Penilaian yang memahami sepenuhnya pilihan-pilihan yang konkret, sulit, dan pelik yang dihadapi saudara kita.
Dengan berbekal sikap seperti itu, maka yang pertama-tama harus kita katakan adalah bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan justru dengan sengaja menghilangkannya.
Karena itu, dalam situasi normal, jelas sekali bunuh diri adalah sesuatu yang absurd, tidak dapat dibenarkan. Ia melawan naluri kehidupan. Sekiranya semua berjalan normal, hampir tak mungkin orang bunuh diri karena terpaksa.
Sebenarnya, tak seorang pun perlu mengatakan bahwa "bunuh diri itu salah". Sebab, kalau cuma itu, siapa yang belum tahu? Semua sudah mengetahuinya. Lagi pula tak seorang pun menginginkannya.
Mungkin yang belum banyak diketahui adalah bahwa kitalah yang tidak normal. Sebab, dalam situasi yang tidak normal, kita mau memaksakan ukuran-ukuran yang normal.
Hal terpenting dalam permasalahan ini sebenarnya bukan soal benar tidaknya atau boleh tidaknya bunuh diri. Sekali lagi, ini telah jelas bagi semua. Hal yang jauh lebih penting untuk dinyatakan dan ditanyakan adalah bagaimana sikap kita ketika mengatakannya? Apakah dengan cemooh? Atau, dengan simpati?
O, Saudaraku, dengarkanlah apa yang saya katakan ini! Tak ada kesempatan lain, ketika kasih dan sikap kristiani sejati begitu dibutuhkan daripada ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri.
Sayang sekali, yang lebih sering terjadi adalah mereka sendirian. Sendiri, tanpa teman sepenanggungan. Persis seperti ketika pada senja itu, di Taman Getsemani, Yesus hanya membutuhkan teman berjaga, tetapi mesti kecewa.
|