Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-doa/106

e-Doa edisi 106 (11-12-2014)

Doa Kemanusiaan

_________________________________e-Doa________________________________
                       (Sekolah Doa Elektronik)

BULETIN DOA -- Doa Kemanusiaan
Edisi Desember 2014, Vol. 06 No. 106

Salam kasih,

Sudahkah Anda menyiapkan hadiah bagi Yesus pada Natal kali ini? 
Bagaimana dengan ide untuk menjadi pendoa syafaat bagi gereja, sesama, 
dan orang-orang yang membutuhkan Yesus dalam hidup mereka? Hanya 
dibutuhkan kemauan dan ketulusan dalam melakukannya serta belas kasih 
yang mendalam untuk memahami apa yang sesungguhnya perlu menjadi pokok 
doa sehingga dapat menjadi berkat bagi mereka yang membutuhkan.

Edisi e-Doa pada penghujung tahun ini menyajikan artikel tentang Doa 
bagi Kemanusiaan. Semoga Natal kali ini akan menjadi saat yang tepat 
bagi Anda untuk menjadi pendoa syafaat bagi gereja dan sesama. 
Akhirnya, seluruh staf redaksi e-Doa mengucapkan Selamat Natal 2014 
kepada pembaca e-Doa semua! Damai sejahtera dan karya kepedulian Allah 
kiranya mewarnai kehidupan Anda. Maranatha!

Pemimpin Redaksi e-Doa,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >
< http://doa.sabda.org >


              RENUNGAN: ADVEN: NEK KERIPUT ITU KRISTUS?
                     Diringkas oleh: N. Risanti

"Aku heran, akhir-akhir ini aku gampang ngantuk. Baru saja duduk dan 
mulai membaca, aku tertidur. Memang cuma beberapa menit, tetapi betul-
betul tertidur, bahkan bermimpi." Begitu kata Kek Martin kepada 
dirinya sendiri sambil memperbaiki kacamatanya yang sebentar-sebentar 
merosot di hidungnya.

Kakek ini bernama Martin Avdeich, tetapi semua orang di kota kecil ini 
menyebut dia Kek Martin. Demikian cerita Leo Tolstoy (1828 -- 1910) 
yang dalam bab ini dipotong dan diubah di sana-sini.

Martin adalah seorang tukang membetulkan sepatu sejak masa mudanya. 
Istrinya sudah lama meninggal, sedangkan anak-cucunya tinggal jauh di 
berbagai pelosok. Martin tinggal seorang diri di sebuah ruangan kecil 
di lantai bawah tanah yang hanya memiliki satu jendela. Jendela itu 
adalah dunianya. Dari jendela itu, ia sulit melihat wajah orang yang 
lewat. Yang bisa dilihatnya hanya kaki mereka. Akan tetapi, justru 
itulah yang terpenting. Hampir semua orang itu mengenakan sepatu yang 
pernah diperbaiki Martin. Martin mengenali sepatu mereka itu satu per 
satu. Dia bangga melihat hasil kerjanya.

Martin tidak pernah kekurangan pekerjaan. Selalu ada saja orang yang 
datang untuk meminta sepatunya diperbaiki. Apalagi, sekarang menjelang 
Natal. Tidak ada orang yang ingin memakai sepatu yang rusak pada hari 
Natal.

Malam itu, seperti biasa, Martin membaca Alkitab. Saat itu, yang 
dibacanya adalah cerita tentang Yesus yang diundang makan oleh seorang 
pemuka agama. Rupanya, tuan rumah itu menyambut Yesus hanya dengan 
setengah hati. Tiba-tiba, masuklah seorang perempuan yang langsung 
menangis sambil menciumi kaki Yesus, lalu meminyaki kepala Yesus. Tuan 
rumah itu mengusir perempuan itu. Namun, Yesus menegur tuan rumah itu. 
Kata-Nya, ".... Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan 
Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan 
air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, 
tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau 
tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku 
dengan minyak wangi." (Lukas 7:44-46)

Martin termangu membaca teguran Yesus itu. Tuan rumah itu kurang 
sungguh-sungguh menyambut. Jangan-jangan, aku juga begitu. Ah, tidak! 
Seandainya Yesus datang ke rumahku, Dia akan kusambut sungguh-sungguh.

Tiba-tiba Martin mendengar seseorang memanggil, "Martin!" Martin 
bertanya, "Siapa itu?" Lalu, suara itu berkata lagi, "Martin, besok 
lihat ke jalan. Aku akan datang!"

Martin terbangun bingung. "Suara siapa itu? Itu mirip suara Yesus. 
Akan tetapi, masakan Yesus akan datang ke rumahku? Besok? Ah, itu cuma 
mimpi. Namun, siapa tahu itu betul?

Keesokan harinya sebelum terang, Martin sudah bangun. Ia membereskan 
rumah. Lalu, memasak sup kubis dan bubur jelai. Sementara itu, salju 
turun lebat.

Lalu, Martin mulai mengerjakan sepatu sambil sebentar-sebentar melirik 
keluar jendela. Hampir setiap orang yang lewat bisa ia kenali 
sepatunya. Mereka pelanggannya. "Namun, bagaimana aku bisa mengenali 
Yesus? Sepatu macam apa yang dipakai oleh Yesus?"

Tiba-tiba, seorang lelaki mendekati jendela. "Apakah itu Yesus? Ah, 
bukan! Itu cuma si Stepan, tukang sapu salju!" Melihat Stepan 
menggigil kedinginan, Martin memanggil, "Stepan, mari masuk sebentar. 
Hangatkan badanmu. Kebetulan samovar (teko teh -- Red.) sudah 
mendidih." Dengan rasa canggung, Stepan duduk dan menyeruput teh 
panas. Ia juga melahap roti yang tersaji.

Lalu, Stepan bertanya, "Mengapa kamu sebentar-sebentar menoleh ke 
jendela? Apa kamu sedang menunggu tamu?" Jawab Martin, "Tidak ... eh, 
tetapi sebetulnya ya." Lalu, Martin menceritakan apa yang dialaminya 
semalam. Mulut Stepan ternganga keheranan, lalu berkata, "Aku buta 
huruf. Aku tidak mengerti. Namun, semoga saja Yesus betul mengunjungi 
kamu."

Setelah Stepan pergi, Martin bekerja lagi sambil sebentar-sebentar 
melirik ke jendela. Tidak banyak orang lewat. Menjelang siang, ia 
melihat seorang ibu bersandar di tembok sambil menggendong bayinya 
yang menangis. Aneh, ibu itu tidak memakai baju hangat. Martin keluar 
dan bertanya, "Apa kamu sedang menunggu seseorang di sini?" Jawabnya, 
"Maaf, aku cuma beristirahat sebentar." Langsung, Martin mengajak dia 
masuk dan menyuruh dia duduk dekat tungku api. Lalu, segera ia 
menyajikan sup kubis dan bubur jelai. Ibu ini terheran-heran melihat 
kebaikan Martin. Dengan kepala menunduk malu-malu, ia melahap santapan 
itu.

Seusai makan, ibu ini bercerita, "Suamiku tentara di perbatasan. Sudah 
8 bulan ia belum memberi kabar. Tadi, aku menghadap calon majikanku, 
tetapi ia menyuruh aku kembali minggu depan. Sekarang, aku dalam 
perjalanan pulang." Martin prihatin dan bertanya, "Mengapa kamu tidak 
memakai baju hangat?" Jawabnya, "Kemarin, aku menggadaikannya."

Martin pergi ke lemari. Katanya, "Bawalah mantel ini. Sudah usang, 
tetapi lumayan untuk menghangatkan badan." Mata ibu ini berlinang 
haru. Ketika ibu ini akan pulang, Martin berkata, "Ini sedikit uang 
untuk menebus baju hangatmu." Sambil mengucapkan terima kasih berkali-
kali, ia berjalan keluar mendekap bayinya.

Hari makin petang. Martin terus menatap ke jalan. Yesus belum juga 
datang. Yang datang malah seorang nenek memegang keranjang apel 
dagangannya sambil memikul ranting-ranting kayu bakar. Ia berhenti dan 
meletakkan keranjangnya untuk menggeser letak pikulannya. Tiba-tiba, 
secepat kilat, seorang bocah menyambar sebutir apel. Namun, si nenek 
dengan gesit mencekal tangan bocah itu yang meronta hendak melarikan 
diri. Lalu, si nenek menjambak rambut si bocah yang mengaduh 
kesakitan. Langsung, Martin lari keluar. Teriaknya, "Nek! Nek! 
Jangan!" Kini, Martin menatap wajah si nenek dari dekat. Wajahnya 
penuh keriput dan sedang penuh amarah. Katanya, "Calon maling ini 
harus dihajar babak belur!" Martin memohon, "Nek, sudahlah." Akhirnya, 
nenek itu melepaskan si bocah yang langsung kabur. Kini, giliran 
Martin yang mencekal tangan si bocah. Bentak Martin, "Kamu harus minta 
maaf dulu!" Bocah itu menangis dan meminta ampun.

Wajah nenek itu langsung damai. Amarahnya reda. Keriputnya tampak 
lembut. Ia tersenyum manis. "Baiklah. Sekarang sudah gelap. Aku 
pulang." Ia hendak mengangkat pikulannya. Namun, si bocah berkata, 
"Nek, biar aku yang pikul." Lalu, berjalanlah mereka berpegangan 
tangan. Dengan hati lega, Martin melihat mereka pergi.

Menjelang tidur, Martin merasa kecewa. Ternyata, Yesus tidak jadi 
datang. Lalu, dengan kacamata yang merosot, ia bersiap membaca 
Alkitab. Ia membuka Injil Matius 25. Kepalanya pun mulai manggut-
manggut ngantuk.

Tiba-tiba, Martin mendengar suara memanggil, "Martin! Apakah kamu 
tidak mengenali Aku?"

"Siapa itu?" tanya Martin.

Suara itu menjawab, "Lihat, inilah Aku!" Lalu, tampaklah Stepan 
tersenyum melambaikan tangan. Suara itu berkata lagi, "Inilah Aku!" 
Lalu, tampaklah ibu muda dengan bayi itu menunduk malu. Sekali lagi, 
suara itu berkata, "Lihat, inilah Aku!" Lalu, tampaklah nenek keriput 
itu. Martin terbangun. Alkitabnya masih terbuka. Dengan mata 
berkunang-kunang, ia membaca, "Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku 
makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang 
asing, kamu memberi Aku tumpangan ... Segala sesuatu yang kamu lakukan 
untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah 
melakukannya untuk Aku."

Jadi, apakah tadi Kristus sudah datang? Betulkah? Kristus itu Nek 
Keriput? Nek Keriput itu Kristus?

Sumber asli:
Judul buku: Selamat Sehati
Judul bab: Adven: Nek Keriput Itu Kristus?
Penulis: Andar Ismail
Penerbit: PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2013
Halaman: 93 -- 97

Diambil dari:
Nama situs: Natal
Alamat URL: http://natal.sabda.org/adven_nek_keriput_itu_kristus
Penulis artikel: Andar Ismail
Tanggal akses: 19 Maret 2014


           ARTIKEL: MENGIKUTI PIMPINAN TUHAN DALAM DOA KITA
                      Diringkas oleh: N.Risanti

Saya mengagumi ukiran salib kecil, yang dibuat dengan saksama sebagai 
pembatas halaman di Alkitab saya. Mantombi, nama yang indah, tertulis 
pada kartu yang dilekatkan di salib dengan pita emas tipis. Mantombi. 
Wajah wanita tua kekar yang gelap, keriput, melintas di pikiran saya.

"Apa yang harus kudoakan untukmu?" saya berbisik.

Sehari sebelumnya, di gereja, saya tergerak ketika mendengarkan 
pemimpin pelayanan perempuan kami menggambarkan pengalaman mereka 
mengunjungi dan melayani orang-orang di KwaZulu Natal, Afrika Selatan. 
Saya melihat foto nenek-nenek yang sedang merangkai manik-manik di 
sebuah gereja kecil. Melalui sumbangan dana, mereka membuat salib dan 
malaikat untuk mendukung sejumlah besar anak yang telah kehilangan 
segalanya -- termasuk ayah dan ibu mereka akibat AIDS. Ketika melihat 
dan mendengarkannya, saya merasa Tuhan menggerakkan saya untuk 
terlibat. Akan tetapi, bagaimana? Apa yang dapat saya lakukan --
sebagai seorang wanita Amerika -- untuk membuat perbedaan dalam 
kehidupan orang-orang di sisi lain dunia?

Jawabannya kemudian saya dapatkan pada akhir ibadah. Kelompok 
pelayanan perempuan membagikan salib kecil dan meminta kami untuk 
berdoa bagi pelayanan Phakamisa, dan untuk nenek yang membuat salib 
kami, yang bekerja untuk anak yatim korban penyakit AIDS.

Saya dapat berdoa. Karena itu, saya pun menambahkan Mantombi ke daftar 
doa saya. Apa yang saya tidak sadari adalah bahwa melalui doa-doa 
saya, Tuhan akan mengajari saya sesuatu tentang kehidupan saya 
sendiri.

"Apa yang Anda Butuhkan?"

Dengan lembut, saya memegang salib di tangan saya. Apa yang harus saya 
doakan untukmu? Saya bertanya-tanya lagi. "Tuhan, tolong ajari saya 
bagaimana untuk berdoa bagi seseorang yang saya tidak kenal atau 
mengerti. Hidup kami tampak begitu berbeda," saya berseru. "Aku belum 
pernah bertemu dengannya dan aku belum pernah mengunjungi pelayanan 
Phakamisa di Afrika Selatan, tetapi aku tahu bahwa anak yatim yang 
disebabkan karena AIDS adalah beberapa dari anak-anak-Mu." Saya 
memikirkan kata-kata Yesus dalam Matius 25:40: "Aku berkata kepadamu, 
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari 
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku!"

"Aku tahu mereka membutuhkan doa yang biasa, yaitu untuk uang, 
penjualan produk, persediaan, dan masalah personel relawan. Apakah ini 
yang Engkau inginkan agar kudoakan bagi Mantombi sehingga ia bisa 
terus merawat anak-anak yatim tersebut?"

Saya menunggu untuk mendengar jawaban Allah, yakin bahwa Dia ingin 
saya melakukan lebih daripada hanya sebuah daftar doa. "Roh Kudus, aku 
merasakan tarikan lembut cinta dan kasih sayang untuk wanita itu yang 
hanya berasal dari Engkau." Saya mendesak, tidak mau menyerah sampai 
saya merasakan arahan.

Berusaha mendapat lebih banyak pengertian, akhirnya saya mengunjungi 
situs pelayanan Phakamisa. Saya melihat foto anak-anak bermain dengan 
setir di atas traktor tua, atau duduk dengan kaki menggantung di 
sisinya, ada tawa di wajah mereka. Wajah ini bisa saja saya atau anak-
anak saya. Bagaimana mereka bisa menjadi anak yatim akibat penyakit 
AIDS? Mereka tampak terawat dan bahagia.

Ada juga foto-foto wanita membungkuk di atas tanaman panen dan 
penyiangan, dan seorang wanita menggendong seorang anak yang ceria di 
pinggulnya. Bisa saja saya yang ada di dalam foto-foto itu, saat saya 
berpikir kembali ke masa kecil saya sendiri. Saya dibesarkan di sebuah 
peternakan. Saya berkebun, menyiangi, memerah sapi, dan membantu 
saudara-saudara saya memelihara ayam. Saya mengasuh adik bungsu saya, 
menggendong dia dengan cara yang sama di pinggang saya.

Foto-foto yang bagus, tetapi tidak memberi saya inspirasi untuk berdoa 
syafaat -- semua tampak baik-baik saja. Apa yang mereka butuhkan? Saya 
malah merasa lebih bingung.

Saya menatap salib manik-manik yang ada di jari telunjuk saya, simbol 
kebangkitan Yesus. Tuhan, apakah saya bahkan telah menyebutkan namanya 
dengan benar?

"Berapa jam dalam sehari kau bekerja dengan manik-manikmu, Mantombi?" 
Saya berharap dia bisa duduk dan mengobrol dengan saya, 
mengekspresikan keinginannya, dan saya akan mengerti apa yang dia 
butuhkan sebagai wanita Allah. "Saya kagum padamu dan nenek-nenek lain 
sepertimu yang dapat mendukung pelayanan dengan menjual kreasi manik-
manik," kata saya keras-keras, di dalam hati.

Semakin saya mencoba untuk mengumpulkan fakta tentang Mantombi, 
semakin dia menghindari saya. Tidak ada pikiran tentang pokok doa 
syafaat yang muncul baginya secara pribadi. Tetapi, saya merasa harus 
berdoa untuk Mantombi secara khusus. Saya rasa itulah doa syafaat --
melanjutkan sampai pesan yang jelas dari Roh Kudus tertanam di pikiran 
saya.

Mendorong Lebih Dalam

Menggali lebih dalam pada misteri ini, saya bertanya kepada diri 
sendiri, "Bagaimana aku mendapatkan kekuatan emosional untuk merawat 
anak-anak yang akan segera mati karena AIDS? Anak yatim piatu yang 
telah kehilangan orang tua mereka karena AIDS, yang tidak memiliki 
obat-obatan atau perawatan kesehatan yang baik, tetapi masih memiliki 
aku, seorang nenek, untuk mengasihi mereka?"

Saya bergidik dan berbisik, "Hanya memikirkan tentang apa yang engkau 
lakukan membuatku takut, Mantombi. Bagaimana Engkau bisa bangun setiap 
hari untuk memenuhi kebutuhan mereka, mengetahui engkau tidak lama 
lagi akan mengucapkan selamat tinggal kepada cucumu? Engkau sudah 
mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua mereka, mati-matian 
berdoa agar mereka berada di surga, supaya engkau akan melihat mereka 
lagi suatu hari nanti."

Segera, sebuah ayat Alkitab, yang saya doakan ketika tengah bergumul, 
melayang ke pikiran saya: "sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap 
imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu 
memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan 
tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3-4)

"Itu dia, Tuhan!" saya berteriak. "Tanpa ketekunan, Mantombi, engkau 
akan hancur oleh kesedihan. Begitu banyak kematian mengelilingimu, 
dengan akhir yang tidak terlihat. Aku akan berdoa demi ketekunanmu dan 
kawan-kawanmu yang lain."

"Terima kasih, Tuhan. Engkau membawaku untuk memahami beberapa 
kebutuhan, serta mengingatkanku tentang ayat Alkitab yang tersembunyi 
di hatiku. Engkau juga telah memberiku ketekunan untuk menantikan-Mu."

Saya merasa lega, tetapi bertanya-tanya apakah saya sudah selesai 
dengan doa saya untuk wanita Afrika ini. Di pangkuan saya, Alkitab 
masih terbuka di mana ada salib Mantombi. Kata-kata ini melompat 
keluar dari halaman. "Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis 
dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua 
orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang 
ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan 
Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada 
loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:2-3)

Tuhan dengan sabar menunggu saya untuk dengan sabar menantikan Dia. 
Dan, Dia menjawab doa saya menggunakan ayat Kitab Suci dan manik-manik 
mutiara putih.

Jika saya bergegas melewatkan waktu doa saya dengan kalimat sederhana, 
"Tuhan berkatilah Mantombi dan pekerjaannya dengan anak yatim korban 
AIDS. Engkau tahu apa yang mereka butuhkan," saya akan kehilangan 
berkat dalam doa yang tekun, dan untuk benar-benar belajar 
mendengarkan apa yang menjadi kepedulian Allah. Saya tahu pergumulan 
saya dalam doa membuat saya menjadi seorang pendoa yang kuat, dan 
membuat doa-doa saya lebih berkuasa dan berguna untuk Kerajaan Allah.

Saya akan terus berdoa bagi upaya Mantombi dan kesejahteraan rohani 
serta anak-anak yang ada di dalam perawatannya. Melalui Mantombi, 
Tuhan mengajarkan saya untuk terus berdoa sampai saya mengerti dengan 
jelas apa yang Dia inginkan untuk didoakan. Syafaat merupakan 
tantangan dan kerja keras, tetapi sesuatu yang Tuhan inginkan dan 
perkenan jika kita mengikuti pimpinan-Nya. (t/Jing Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Today`s Christian Woman
Alamat URL: http://www.todayschristianwoman.com/articles/2012/january/godsleadprayers.html
Judul asli artikel: Praying for Others Taught Me a Lesson About My Own Life.
Penulis artikel: Jan Lazo-Davis
Tanggal Akses: 30 Mei 2013


Kontak: doa(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti dan Amidya
Berlangganan: subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-doa/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org