Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-doa/65

e-Doa edisi 65 (25-10-2012)

Doa Meditatif 2

_________________________________e-Doa________________________________
                       (Sekolah Doa Elektronik)

BULETIN DOA -- Doa Meditatif 2
Edisi Oktober 2012, Vol.04 No.65

DAFTAR ISI
ARTIKEL DOA: DOA MEDITATIF 2
STOP PRESS: DAPATKAN KUMPULAN BAHAN NATAL DI NATAL.SABDA.ORG

Shalom,

Pada e-Doa 64 yang lalu, kita sudah belajar tujuan dan prinsip-prinsip
doa meditatif. Saat ini kita akan melihat langkah-langkah menuju doa
meditatif. Semoga dengan menyimak artikel ini, Anda semakin terdorong
untuk bergaul akrab dengan Allah, serta semakin teguh dalam kehidupan
doa Anda. Selamat membaca dan bertumbuh di dalam Dia. Tuhan Yesus
memberkati!

Redaksi Tamu e-Doa,
Yosua Setyo Yudo
< http://doa.sabda.org >

                     ARTIKEL DOA: DOA MEDITATIF 2

Langkah-Langkah Menuju Doa Meditatif

Pada zaman Alkitab, orang mengerti bagaimana cara bermeditasi. Namun
saat ini, terdapat ketidaktahuan yang teramat parah, bahkan pada
elemen-elemen yang paling dasar. Berikut tiga langkah dasar menuju doa
meditatif.

1. Pemusatan

Langkah pertama adalah `pemusatan`. Banyak orang telah menggunakan
istilah `rekoleksi`, yaitu suatu pengumpulan kembali diri kita sampai
kita menyatu secara keseluruhan. Idenya adalah membiarkan pergi semua
gangguan yang saling bersaing, sampai kita sepenuhnya terpusat --
benar-benar ada di mana kita berada.

Mulailah duduk dengan nyaman. Secara perlahan biarkan semua ketegangan
dan kecemasan pergi menjauh. Sadarilah hadirat Allah dalam ruangan
Anda. Dalam imajinasi, Anda mungkin ingin membayangkan Kristus duduk
di kursi di depan Anda karena Dia memang sungguh hadir. Jika perasaan
frustrasi atau gangguan semakin bermunculan, Anda mungkin akan
membawanya ke dalam pelukan Bapa dan membiarkan Dia menanganinya. Hal
ini bukan sekadar menekan kekacauan batiniah kita, namun membuangnya.
Penekanan menyiratkan sebuah tindakan menekan -- menjaganya tetap
tertekan, sementara dalam memusatkan, kita membuangnya --
melepaskannya. Itu lebih dari sekadar relaksasi psikologis yang
netral. Itu adalah berserah secara aktif, menggunakan istilah
Jean-Pierre de Caussade: "Sebuah penyangkalan diri pada kekuasaan
ilahi".

Justru karena Allah hadir bersama kita, kita dapat bersantai dan
membiarkan segala sesuatu pergi karena dalam hadirat-Nya tidak ada
yang berarti, kecuali datang kepada-Nya. Kita membiarkan gangguan dan
rasa frustrasi diri meluruh di depan Dia, bagaikan salju di bawah
matahari. Kita mengizinkan Dia meredakan badai yang mengamuk di dalam
diri kita. Kita mengizinkan keheningan-Nya yang luar biasa untuk
meredakan hati kita yang berisik.

Keberpusatan ini tidak datang dengan mudah atau cepat pada awalnya.
Kebanyakan dari kita hidup dalam kehidupan yang terpisah dan
terbagi-bagi, sehingga pengumpulan merupakan sesuatu yang sangat
asing bagi kita. Momen ketika kita benar-benar mencoba menjadi
terpusat, menjadikan kita sadar bahwa secara menyakitkan kita akan
terganggu. Romano Guardini mencatat, "Ketika kita mencoba menenangkan
diri, kekacauan semakin berlipatganda dengan hebatnya, tidak seperti
pada malam hari ketika kita mencoba tidur. Kepedulian atau keinginan
menyerang kita dengan sebuah kekuatan yang tidak mereka miliki
sepanjang siang." Namun, kita seharusnya tidak menjadi takut dengan
hal ini. Kita harus siap untuk mencurahkan seluruh waktu meditasi pada
keberpusatan ini, tanpa sedikit pun memikirkan hasil atau imbal
baliknya. Kita bersedia "membuang waktu kita", dalam hal ini sebagai
sebuah kasih yang berlimpah-limpah, yang kita persembahkan kepada
Allah karena Allah menerima apa yang terlihat sebagai sampah yang
bodoh, dan menggunakannya untuk membawa kita lebih dekat pada
kekudusan. Dengan tajam Guardini berkomentar, "Jika pada awalnya kita
memperoleh tidak lebih dari pemahaman akan betapa sedikitnya yang kita
ketahui dalam penyatuan dalam diri, sesuatu akan diperoleh karena
dalam beberapa cara kita akan memiliki hubungan dengan pusat yang
tidak mengenal gangguan apa pun."

Banyak hal terjadi dalam proses pemusatan. Pertama, terdapat sebuah
penyerahan yang menyenangkan kepada Dia, "yang ada dan yang telah ada
dan yang akan datang, Yang Maha Kuasa". (Wahyu 1:8) Kita menyerahkan
kendali atas hidup dan tujuan kita. Di dalam tindakan yang disengaja,
kita memutuskan untuk melakukannya bukan menurut cara kita, melainkan
menurut cara Allah. Bahkan, kita mungkin ingin membayangkan tubuh kita
diangkat ke dalam terang yang dalam dari kehadiran Allah, sehingga Dia
mungkin bekerja bersama kita karena hal itu menyenangkan-Nya.

Kita menyerahkan segala milik kita dan mengundang Dia untuk memiliki
kita dalam sebuah cara tertentu, sehingga kita benar-benar tersalib
bersama Kristus dan sungguh-sungguh hidup melalui hidup-Nya. (Galatia
2:20) 
Ambisi untuk menguasai, kita serahkan ke dalam tangan Allah,
supaya kita menjadi semakin hebat dan dikagumi, semakin kaya dan kuat,
bahkan untuk menjadi semakin suci dan berpengaruh.

Kita menyerahkan kepedulian dan kekhawatiran kita kepada-Nya.
"Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara
kamu." (1 Petrus 5:7) Kita dapat menyerahkan "keinginan untuk menjadi
nomor satu" karena kita memiliki Pribadi yang mengawasi kita. Saya
kadang-kadang suka menggambar sebuah kotak, di mana saya bisa
meletakkan setiap kekhawatiran dan kepedulian. Ketika kotak itu penuh,
saya membungkusnya, memberinya simpul yang besar di atasnya, dan
memberikannya kepada Bapa sebagai hadiah. Dia menerimanya dan saya
tahu bahwa saya seharusnya tidak mengambilnya kembali, karena
mengambil kembali hadiah yang telah diberikan sangatlah tidak sopan.

Kita menyerahkan tujuan-tujuan baik dan ketegaran hati kita karena
hal-hal ini dapat menjadi tanah gembur bagi benih harga diri dan
arogansi. Bunda Teresa dari Kalkuta berkata, "Berdoalah untuk saya,
agar saya tidak mengendorkan pegangan saya pada tangan Yesus bahkan di
bawah samaran pelayanan kaum miskin." Karena jika kita "mengendorkan
pegangan kita pada tangan Yesus," kita telah kehilangan segalanya.
Kita seharusnya menyerahkan semua gangguan -- bahkan gangguan yang
baik -- sampai kita terbawa pada sang Intisari.

Hal kedua yang terjadi pada kita ketika kita belajar untuk memusatkan
adalah munculnya sebuah semangat akan pertobatan dan pengakuan.
Tiba-tiba saja kita menjadi sadar -- sangat menyadari -- akan
kekurangan dan banyaknya dosa kita. Semua pengecualian terhapus, semua
pembenaran diri terbungkam. Sebuah penyesalan yang mendalam dan
rohani, yang tertanam dalam dosa yang disengaja dan yang tidak
disengaja. Perbuatan atau pemikiran apa pun yang tidak dapat bertahan
dalam terang Kristus, yang menerangi segala sesuatu menjadi
menjijikkan, tidak hanya bagi Allah tetapi juga bagi manusia.
Demikianlah kita merendahkan diri di bawah salib, kita mengakui
kebutuhan kita dan menerima firman pengampunan-Nya yang agung.

Kita mungkin ingin menggambarkan sebuah jejak yang dipenuhi oleh
bebatuan. Batu-batu itu ada yang berupa kerikil, batu-batu yang cukup
besar, dan ada beberapa batu yang tidak kita ketahui ukurannya karena
tertutup oleh batu-batu lain. Dengan penyesalan dari hati, kita
mengundang Allah untuk membuang setiap batu karena batu-batu tersebut
menggambarkan banyaknya dosa yang mengotori hidup kita. Satu demi satu
Allah mengambil dosa-dosa itu, menunjukkan kepada kita karakter dan
sifat dosa itu yang sesungguhnya. Bagi mata kita, beberapa terlihat
besar dan yang lainnya kecil, namun Allah menolong kita untuk memahami
bahwa mengangkat kerikil terkecil sekalipun, memiliki pengaruh yang
sama dengan mengangkat bongkahan batu yang besar. Beberapa batu harus
digali dari tanah dan hal ini terasa menyakitkan, namun hal itu
membawa kesembuhan. Ketika kita melihat jejak yang seluruhnya bersih,
kita bersukacita dalam karya Allah yang agung ini.

Saat kita semakin terpusat, realitas ketiga yang dapat diterapkan di
dalam hati kita adalah penerimaan terhadap cara-cara Allah bagi
manusia. Kita sangat menyadari bahwa jalan Allah bukanlah jalan kita,
dan pikiran-Nya bukanlah pikiran kita (Yesaya 55:8). Dengan
pengetahuan batin yang lahir di luar persekutuan kita, kita melihat
bahwa seluruh rencana-Nya adalah baik. Ketidaksabaran, pemberontakan,
dan penolakan kita membuka jalan menuju penerimaan yang rela terhadap
kehendak ilahi. Hal ini bukanlah penyerahan diri dengan sangat tabah
pada "kehendak Allah". Namun, ini merupakan sebuah langkah masuk dalam
ritme Roh. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa perintah-perintah-Nya
adalah "selalu untuk kebaikan kita". (Ulangan 6:24) Ini berbicara
tentang keluar dari jalan kita dan berkata, "Ya" pada jalan Allah, dan
tidak melakukan itu dengan terpaksa karena kita tahu bahwa jalan itu
adalah jalan yang lebih baik.

Kita mungkin ingin membayangkan diri kita sedang berada di suatu
pantai yang indah di suatu tempat, dengan mengamati jejak kaki Allah
di pasir. Perlahan kita mulai meletakkan kaki kita ke dalam jejak
tersebut. Pada beberapa tempat, jejak langkah tersebut terlihat
terlalu jauh untuk pandangan kita yang terbatas; di tempat yang lain
jejak langkah tersebut terlihat begitu pendek, sehingga terlihat
kekanak-kanakan. Dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Allah
sedang merentangkan kita ke mana kita harus berada pada akhir
perjalanan, menahan kita di suatu tempat di mana kita harus memberikan
perhatian yang lebih besar kepada-Nya. Ketika kita mengikuti
pimpinan-Nya, kita semakin masuk ke dalam langkah-langkah-Nya,
berbelok ke mana Dia berbelok, menerima jalan-jalan-Nya, dan menemukan
bahwa semuanya itu baik.

2. Mengamati Allah

Ketika kita belajar untuk terpusat, kita mulai bergerak menuju langkah
kedua dalam doa meditatif, yaitu "mengamati Allah". Apa maksudnya?
Maksudnya adalah tatapan batin yang berasal dari hati pada titik pusat
keilahian. Kita bersukacita dalam kehangatan hadirat-Nya karena
penyembahan dan pengagungan, pujian dan ucapan syukur, bersumber dari
tempat kudus-Nya dalam jiwa. Mistikus abad ke-14, Richard Rolle,
bersaksi bahwa ketika dia belajar melihat dengan hati, dia mengalami
kehangatan nyata di dalam hatinya, seakan-akan berada di dalam api.
Dia sangat terkejut dengan fenomena ini, sehingga dia harus meraba
dadanya untuk memastikan tidak ada alasan fisik dalam hal ini.
Alih-alih takut, seperti yang mungkin kita duga, perasaan yang tidak
biasa ini memberikannya "kenyamanan yang luar biasa dan tak terduga".
Bersyukurlah kita karena dia telah mencatat pengalaman mereka yang
mengalaminya dalam "The Fire of Love".

Sangat sedikit dari kita yang memiliki sensasi fisik seperti yang
dialami oleh Rolle. Namun, kita semua dapat belajar melihat dengan
hati. Ada sebuah lagu sederhana yang sangat terkenal. Baris pertamanya
berkata, "Bebaskan rohku agar aku bisa menyembah-Mu." Inilah kerinduan
hati kita ketika kita berpegang pada Allah. Kita mengasihi-Nya, kita
menyembah-Nya, kita memuji-Nya. Terdapat sebuah bisikan di dalam
pengabdian dan ucapan syukur, dan mungkin juga seruan pujian dan
syukur.

Sering kali, musik terlihat sebagai bahasa yang terlihat. "Dan
berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung
puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Allah
dengan segenap hati" adalah cara Rasul Paulus menggambarkannya.
(Efesus 5:19) Siapakah yang dapat mencegah pujian dan pengagungan yang
keluar secara spontan? Himne-himne besar gereja menolong kita dalam
pengamatan kita, karena dalam sebuah hal tertentu, himne-himne
tersebut merangkum pengamatan akan orang-orang Kristen yang setia
sepanjang abad. Ketika menyanyikan himne-himne besar tersebut, kita
memasuki persekutuan dengan orang-orang kudus.

Kerap kali kita masuk ke dalam berbagai pengalaman pengamatan yang
berjalan lebih dalam dari yang dapat diungkapkan dengan kata-kata
manusia. Rasul Paulus mengatakan bahwa Roh Kudus tidak berhenti berdoa
bagi kita "dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan". (Roma 8:26)
Sering kali, ada kerinduan dan keinginan batin yang tidak dapat
ditangkap dengan bahasa manusia. Hari pencurahan Roh Kudus menjadi
sebuah saluran di mana roh bisa melihat Yang Kudus, Allah Israel. Pada
waktu yang berlainan, seseorang mengalami apa yang disebut oleh St.
Teresa dari Avila sebagai "doa yang hening", di mana semua kata
menjadi tidak berguna. Dalam keheningan, kita melihat Allah karena
kata-kata tidak diperlukan dalam persekutuan ini.

Sering kali, sebuah pesan pendek dari Kitab Suci akan menolong kita
untuk mengamati. Kita mungkin terbawa pada penglihatan luar biasa dari
Allah yang Mahatinggi dan ditinggikan, yang tercatat dalam
Yesaya 6:1-8. Atau, kita mungkin ingin merenungkan penglihatan
Yohanes mengenai Kristus yang bertakhta. (Wahyu 1:12-18, 19:11-16)
Kita mungkin diarahkan untuk melihat Sang Juru Selamat yang terbaring
di palungan atau yang menderita di atas kayu salib.

Kebanyakan dari kita merasakan kedekatan dan kasih-Nya. Father James
Borst berkata, "Dia lebih dekat pada diri saya yang sebenarnya
daripada pada diri saya sendiri. Dia jauh lebih mengenal saya daripada
saya mengenal diri saya sendiri. Dia mengasihi saya lebih dari saya
mengasihi diri saya sendiri. Dia adalah `Abba`, Bapa, bagi saya. Saya
adalah saya karena DIA ADALAH DIA."

Apakah semua hal yang tinggi tentang persekutuan dengan Allah ini
membuat Anda berkecil hati? Apakah Anda merasa sangat jauh dari
pengalaman-pengalaman seperti itu? Jika "ya", jangan berkecil hati.
Sering kali, kita jatuh ke dalam kegagalan tanpa mencapai tujuan.
Meditasi kita tidak pernah bisa melampaui perasaan frustrasi kita
karena piring kotor yang menumpuk di tempat cucian dan ujian kimia
minggu depan. Namun, paling tidak pengalaman yang kita miliki
mengingatkan kita bahwa di dalam hati Allah, terdapat kerinduan untuk
memberi dan mengampuni. Dan, kita didorong untuk semakin dalam dan
semakin tinggi di dalam Dia.

3. Doa yang Mendengarkan

Ketika kita mengalami anugerah yang mempersatukan dari pemusatan dan
anugerah yang membebaskan untuk melihat Allah, kita diarahkan menuju
langkah ketiga dalam doa meditatif, yaitu doa yang mendengarkan. Kita
telah membuang semua penghalang di dalam hati, semua pola pikir, semua
keinginan yang terus berubah. Anugerah ilahi, yaitu kasih dan cinta
yang mendalam, membasuh kita seperti ombak lautan. Ketika ini terjadi,
kita mengalami sebuah perhatian mendalam pada gerak ilahi. Di pusat
keberadaan kita, kita berdiam. Pengalaman yang kita rasakan lebih
dalam daripada sekadar keheningan atau pengurangan kata-kata. Tentu
saja ada keheningan, namun itu adalah keheningan yang mendengarkan.
Kita merasa lebih hidup, lebih aktif, daripada yang pernah kita
lakukan ketika pikiran kita dipenuhi oleh banyak hal. Sesuatu yang
jauh di dalam telah terbangun dan menjadi perhatian kita. Roh kita
berjingkat, waspada, dan mendengarkan.

Pada Gunung Transfigurasi, perkataan Allah keluar dari awan yang
menaungi dengan berkata, "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku
berkenan, dengarkanlah Dia." (Matius 17:5) Kita tidak melakukan
kekerasan terhadap kemampuan rasional kita, namun kita mendengarkan
lebih dari pikiran mendengarkan. Kita membawa pikiran kita ke hati,
sehingga kita dapat mendengarkan dengan seluruh keberadaan kita.

François Fénelone berkata, "Diam dan dengarkanlah Allah. Biarlah
hatimu dalam keadaan siap, sehingga Roh-Nya akan mengingatkanmu pada
hal-hal yang menyenangkan-Nya. Biarkan semua yang ada padamu
mendengarkan Dia. Keheningan dari semua hal yang berasal dari luar dan
cinta duniawi, serta pemikiran-pemikiran manusia yang ada di dalam
kita sangatlah penting jika kita akan mendengarkan suara-Nya."
Tindakan mendengarkan ini tentu saja memerlukan keheningan dari semua
"kasih yang berasal dari luar dan dari dunia". St. Yohanes dari Salib
menggunakan frasa grafis, "Rumah saya seluruhnya hening". Dalam baris
tunggal tersebut, dia menolong kita untuk melihat pentingnya berdiam
dalam semua aspek fisik, emosi, dan psikologi.

Ketika kita berdiam di hadapan Allah dengan penuh keanggunan, kita
diberikan suatu roh yang dapat diajar. Saya mengatakan "dengan penuh
keagungan" karena tanpa suatu roh yang dapat diajar, perkataan apa pun
dari Allah yang mungkin datang untuk memandu kita menuju kebenaran,
hanya akan membuat hati kita mengeras. Kita akan menolak setiap dan
semua perintah, kecuali jika kita taat. Namun, jika kita benar-benar
bersedia dan taat, pengajaran Allah adalah terang dan hidup.

Tujuannya adalah membawa sikap doa yang mendengarkan ini ke dalam
ranah kehidupan sehari-hari. Melalui semua gerak kehidupan --
menyeimbangkan buku cek, membersihkan debu dalam ruangan dengan
"penyedot debu," mengunjungi tetangga ataupun rekan bisnis -- akan
selalu terdapat ketertarikan batin pada bisikan ilahi. Hal ini
tergambar dengan sangat baik dalam kata-kata yang terkenal dari
Brother Lawrence, "Masa-masa sibuk tidak membuat saya berbeda dari
masa-masa berdoa; dan dalam kebisingan bunyi dapur saya, sementara
banyak orang pada saat yang bersamaan menyebut hal-hal yang berbeda,
saya memiliki Allah dalam rasa tenang yang luar biasa seakan-akan saya
sedang berlutut pada sebuah sakramen pemberkatan." Kita membawa
ruangan pribadi Allah di dalam hati kita menuju kehidupan sehari-hari.

Allah adalah Sang pencipta dari berbagai hal. Dia mungkin mengubah
langkah-langkah kecil kita menjadi sebuah langkah besar atau mengajar
kita untuk melewati, melompat, berlari, atau bahkan berdiam diri.
Dalam segala hal dan dalam segala keadaan, kita harus menaati Dia.
(tRento)

Diterjemahkan dari:
Judul traktat: Meditative Prayer
Judul asli artikel: Steps into Meditative Prayer
Penulis: Richard J. Foster
Penerbit: InterVarsity Press, Illinois 1973
Halaman: 12 -- 23

              STOP PRESS: DAPATKAN KUMPULAN BAHAN NATAL
                        DI NATAL.SABDA.ORG

Kami yakin Anda yang aktif di pelayanan pasti sudah mulai berpikir
untuk mempersiapkan Natal, bukan? Nah, dengan gembira kami
menginformasikan bahwa Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) telah menyediakan
wadah di situs "natal.sabda.org" bagi setiap pelayan Tuhan agar bisa
saling berbagi bahan-bahan Natal dalam bahasa Indonesia. Ada banyak
bahan yang bisa didapatkan, seperti Renungan Natal, Artikel Natal,
Cerita/Kesaksian Natal, Drama Natal, Puisi Natal, Tips Natal, Bahan
Mengajar Natal, Blog Natal, Resensi Buku Natal, Review Situs Natal,
e-Cards Natal, Gambar/Desain Natal, Lagu Natal, dan bahkan sarana
diskusi tentang topik Natal.

Yang istimewa adalah situs "natal.sabda.org" dirancang sebagai situs
yang interaktif, sehingga pengunjung dapat mendaftarkan diri untuk
berpartisipasi aktif dengan mengirimkan tulisan, menulis blog,
memberikan komentar, dan mengucapkan selamat Natal kepada rekan
pengunjung lain. Jadi, tunggu apa lagi? Segera kunjungi situs
"natal.sabda.org". Mari berbagi berkat pada perayaan hari kedatangan
Kristus ke dunia 2000 tahun yang lalu ini dengan menjadi berkat bagi
kemuliaan nama-Nya.

==> http://natal.sabda.org/

Kontak: < doa(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan
         Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/doa >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org