Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-doa/88

e-Doa edisi 88 (10-10-2013)

Doa Hana (1)

_________________________________e-Doa________________________________
                       (Sekolah Doa Elektronik)

BULETIN DOA -- Doa Hana (1)
Edisi Oktober 2013, Vol. 05 No. 88

Salam kasih,

Hana, istri Elkana, adalah ibu dari salah satu nabi besar bangsa Israel, Samuel. 
Kisahnya dicatat dalam Alkitab, bukan hanya karena ia menjadi ibu dari seorang 
nabi besar, tetapi juga karena kisah perjuangan imannya di balik kelahiran 
Samuel. Hana adalah seorang perempuan mandul, dan kondisi itu menjadi sebuah aib 
yang menyedihkan dalam budaya bangsa Israel. Dibanding terus merasakan 
kepahitan, Hana memilih untuk bergerak dalam iman dan berdoa menyampaikan segala 
permohonannya kepada Tuhan. Ia menyampaikan doa yang sederhana, dan Tuhan 
menjawabnya. Hana yang tadinya mandul, akhirnya dikaruniai seorang anak yang 
kelak akan menjadi seorang hakim besar bagi bangsanya. Bagaimana isi doa Hana? 
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak artikel kami dalam edisi kali ini.

Selamat membaca.

Pemimpin Redaksi e-Doa,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >
< http://doa.sabda.org >


ARTIKEL DOA: DOA HANA: DOA SEORANG PEREMPUAN MANDUL

"Tuhan semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu 
ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan 
kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada 
Tuhan untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya." (1 
Samuel 1:11)

Alkitab tidak memberi tahu kita apakah kata-kata itu diulang-ulang atau tidak 
sehingga hal itu membangkitkan perhatian Imam Eli. Tetapi, karena doa itu terus-
menerus disampaikan kepada Tuhan, akhirnya Eli gelisah dan menegur Hana dengan 
menanyakan mengapa ia komat-kamit di dekat tiang bait kudus itu. Imam Eli duduk 
tidak jauh dari tiang, dan terus memperhatikan perempuan itu. "Mabuk anggur?" 
tanyanya. "Tidak, Tuanku. Hatiku susah sekali. Aku tidak pernah minum anggur 
yang memabukkan. Aku sedang mengutarakan keluh kesah dan permohonanku kepada 
Tuhan. Aku juga bukan perempuan jahat."

Latar Belakang

Kita tinggalkan dahulu dialog antara Hana dengan Imam Eli. Mari kita mencoba 
menoleh ke belakang, menyiasati secara sepintas masalah apa yang sesungguhnya 
dihadapi oleh perempuan ini.

Suaminya bernama Elkana. Pria ini memiliki dua istri, yang pertama bernama Hana 
dan yang kedua bernama Penina. Kita katakan Hana sebagai istri pertama karena 
dialah yang pertama disebut dalam 1 Samuel 1:2. Menurut kebiasaan memang 
demikian. Sayangnya, Hana tidak memiliki keturunan, sedangkan madunya memiliki 
putra dan putri. Tradisi di kalangan Yahudi menganggap bahwa perempuan yang 
tidak memiliki anak atau mandul adalah sebuah aib yang menyedihkan. Barangkali, 
itulah yang membuat hati Hana sedih sekalipun suaminya tetap mengasihinya dan 
senantiasa mengikutkannya dalam kunjungan ke kota lain, untuk mengadakan korban 
persembahan kepada Tuhan. Ketiadaan anak ini pun sudah menyakitkan hati Hana dan 
ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ditambah lagi sikap Penina, madunya 
yang pahit itu, selalu menghina dan menyakiti hatinya.

Bolehlah kita membayangkan bagaimana Hana melihat anak-anak Penina bermain-main 
di halaman dan di rumah, sementara Hana hanya menyaksikan tanpa daya karena 
tidak ada anak tempat menumpahkan kasih sayangnya. Pada saat yang sama, Penina 
akan mencibir dan mengejeknya sebagai perempuan sial di tengah-tengah keluarga.

Hari demi hari dilalui Hana dengan hati sedih, pilu, kesepian, dan hinaan yang 
tidak tertahankan. Suaminya, Elkana, sering melakukan ibadah dan jarang ada di 
rumah sehingga tidak dapat menyelami perasaan hati Hana. Setiap tahun, mereka 
berangkat dari Rama menuju rumah Allah di Silo. Persembahan dan pemberian dari 
Elkana kepada kedua istrinya mungkin sama, tetapi karena Penina mempunyai 
beberapa anak, pembagian lebih banyak diberikan kepadanya. Mata Penina 
mengerling dan mulutnya mengejek Hana yang menerima hanya satu bagian saja. Ini 
memperdalam luka dalam hati perempuan itu. Ia mengadu kepada Elkana. Elkana 
membujuknya dan mengatakan kepadanya supaya tidak usah gelisah mengenai anak.

Gusar dari Tahun ke Tahun

Ada pepatah yang berkata, "Dua orang perempuan di bawah satu atap tidak akan 
pernah rukun." Pepatah ini juga berlaku dalam keluarga Elkana. Penina selalu 
mencari kesempatan dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan perasaan Hana. 
Hana sendiri merasa tidak mampu lagi menanggung penghinaan itu. Apa daya seorang 
perempuan yang rahimnya mandul? Tidak ada seorang pun yang akan dapat menghibur 
dan menaruh simpati kepadanya. Pedih benar perasaannya.

Suatu hari, Hana menangis dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Ia 
menangisi nasib dan kandungannya yang kosong dari tahun ke tahun. Bahkan, ada 
kalanya seharian ia tidak mau makan. Suaminya menghibur dan membujuknya, tetapi 
tidak berhasil sama sekali.

Di Rumah Tuhan di Silo

Derita yang dirasakan Hana adalah derita yang merasuk sampai ke tulang 
sumsumnya. Ia merasakan kepedihan penghinaan dari ubun-ubun sampai ke ujung-
ujung kakinya. Buktinya, dalam kunjungan ibadah tahunan ke Silo, Hana menangis 
lagi dan tidak mau makan. Suaminya menjadi kebingungan. Bagaimana ia bisa 
berjalan pulang ke rumah kalau tubuhnya lemah karena tidak mau makan? Bukankah 
hal itu justru akan menambah derita dirinya sendiri dan menggembirakan 
saingannya, Penina?

Akhirnya, Hana sendiri menyadari situasinya. Ia tidak dapat terus larut dalam 
duka yang tidak berakhir. Ia mengambil sebuah tekad yang tidak pernah 
dipikirkannya selama ini. Dalam duka dan sesenggukan tangis, ia mencoba tegak 
lagi, membasuh wajahnya, memakan makanan untuk menguatkan tubuhnya, dan berjalan 
ke rumah Tuhan. Ia menangis tersedu-sedu. Kadang-kadang, ia diam dan mulutnya 
komat-kamit karena ia berdoa dalam hati. Tidak ada jalan lain, selain berdoa 
kepada Tuhan. Tidak! Tekadnya sudah bulat. Biarlah! Pikirnya. Aku mengadukan 
segala keluhan dan derita batinku kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang dapat merasakan 
suara batinku dan mendengar doaku betapa pun jauhnya Ia di surga sana. Ia 
senantiasa dekat kepada orang yang berseru kepadanya. Dalam doa sendirian, 
dengan tangis yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam, ia menghadap 
hadirat Tuhan.

Tidak ada yang mendengar doa dalam hatinya. Tidak ada orang yang mengerti 
perasaannya yang paling dalam. Tidak juga suaminya, apalagi madunya yang pahit 
itu. Dalam tangis, dalam doa, dalam suasana komat-kamit itu, ia mengeluarkan 
segala unek-unek hatinya. Tidak jauh dari tempatnya berdoa dan menangis, 
duduklah Imam Eli yang sudah tua di kursinya.

Narasi dalam Doa

Doa Hana sebenarnya singkat. Tetapi, isi doanya sangat padat dengan masalah dan 
keluh kesah. Dalam doanya, ia bertutur sebagai berikut:

"Tuhan semesta alam."

Hal ini perlu kita perhatikan dengan saksama. Doa Hana adalah pengakuan bahwa 
Tuhan berkuasa atas alam semesta ini. Dialah yang menjadikan langit dan bumi 
serta planet-planet lain dan benda-benda alam yang terdapat di angkasa. Tidak 
ada yang mustahil bagi-Nya. Lalu, Hana "menuntut" kepada Tuhan yang selalu 
disembah dalam kunjungan kebaktian yang dilakukannya setiap tahun. Allah memberi 
mandat kepadanya bahwa ia dapat mengajukan permintaan dengan sungguh-sungguh 
kepada Tuhan.

Doanya dilanjutkan sebagai berikut:

"Jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat 
kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini ...."

Hana meminta perhatian dari Tuhan, yang diakuinya benar-benar ada dan berharap 
kepada-Nya dengan sepenuh hati, pastilah Tuhan mengetahui keadaan rahimnya. Ia 
mengadu kepada Tuhan agar Tuhan menghilangkan aib ini dari catatan hidupnya. 
Hana memiliki keyakinan yang pasti bahwa "sengsaranya" akan diperhatikan Tuhan 
dan ia tidak akan dilupakan dalam lembah kesengsaraan dan penghinaan. Suara 
hatinya yang terdalam dicurahkan dengan sungguh-sungguh, ia meminta rahimnya 
diperhatikan oleh Tuhan. Tuhan mampu mengadakan sesuatu yang mustahil menurut 
pemikiran manusia. Oleh karena itu, dengan sangat tulus, ia melanjutkan 
permohonannya dengan permintaan yang lebih spesifik:

"... tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki ...."

Doa memang harus spesifik, tidak mengambang dan muluk-muluk. Sampaikan doa Anda 
dengan terus terang, apa keperluan Anda, maka Tuhan akan memberikan sesuai 
dengan keperluanmu. Hana tidak menyampaikan doa yang panjang, indah, dan enak 
didengar di telinga. Ia memerlukan seorang anak untuk mengukir kehidupannya yang 
berharga di dunia ini. Ia tidak mau dipermalukan karena Tuhannya pastilah 
menjawab doanya. Itulah pengharapan Hana. Ia menuntut, ia meminta seorang putra, 
untuk melengkapi kehadirannya di tengah-tengah keluarganya, di tengah-tengah 
masyarakat sekitarnya yang senantiasa memandangnya dengan sebelah mata, dengan 
mulut yang mencibir.

Doa ini tidak berhenti pada permintaan untuk menghilangkan aibnya secara 
pribadi, tidak. Hana tampaknya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia juga 
kagum kepada anak-anak yang bekerja di bait kudus, mereka yang dengan sukarela 
mengabdikan hidupnya kepada Tuhan. Bukan hanya kepentingan dirinya saja yang 
didahulukan. Ia meminta dan menuntut, untuk menyerahkannya kembali kepada Tuhan 
dan mengabdikannya kepada-Nya seumur hidup anak yang dijanjikan itu.

"... maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya ...."

Sebuah janji yang luar biasa. Pokoknya, ia diberi anak, cukuplah sudah. Dan, 
anak itu akan dipeliharanya dan kalau sudah disapih, anak itu akan diserahkan ke 
bait suci untuk menjadi penolong di bait kudus itu. Bukan untuk bilangan tahun, 
melainkan untuk seumur hidupnya. Tekad seorang perempuan yang merindukan anak.

"... dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya."

Ini tidak lazim. Seorang ibu yang mengharapkan anak dari rahim yang mandul, akan 
memperoleh anak atas kehendak Tuhan (dan itu sangat diyakininya), dengan sebuah 
nazar yang harus dipenuhi, juga disampaikan oleh Hana. Sebuah tanda diberikannya 
bahwa anak itu tidak akan dipangkas rambutnya. Bagi orang Israel, rambut adalah 
lambang kehormatan.

Doa yang Hampir Dijawab

Dialog antara Hana dan Imam Eli pada awal tulisan ini kita lanjutkan.

"Aku mencurahkan isi hatiku di hadapan Tuhan ... sebab karena besarnya cemas dan 
sakit hati aku berbicara demikian lama," jawab Hana kepada Imam Eli ketika Eli 
merasa heran karena Hana berkomat-kamit.

Lalu, Eli menjawab, "Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan 
kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya."

Sebuah jawaban yang serta merta. Hati Hana merasa lega.

"Biarlah hambamu ini mendapat belas kasihan dari padamu," jawabnya.

Siapa yang tidak merasa gembira bahwa doanya akan dijawab? Sang imam telah 
memberikan ketegasan kepadanya bahwa Allah orang Israel akan menjawab doanya. 
Hana tidak mendengarkan suara Tuhan dari surga sebagai jawaban doanya. Tetapi, 
Tuhan berbicara kepadanya melalui Imam Eli yang sudah tua itu. Imam itu juga 
berdoa kepada Tuhan agar permohonannya dikabulkan, dan memberikan jawaban yang 
pasti bahwa permohonan perempuan yang tulus itu akan digenapi dalam tahun itu 
juga.

Doa Menjadi Kenyataan

Hana yang pulang ke rumah tidak lagi bermuka murung. Ia makan dengan senang 
hati. Ia tidak peduli lagi dengan hinaan dan cemoohan Penina, sang madu yang 
pahit, dan tidak menunjukkan kerisauan dalam kehidupan sehari-hari. Setahun 
kemudian, ia melahirkan seorang putra yang diberi nama Samuel. Setelah disapih, 
anak itu kemudian dibawa ke Silo, ke rumah Tuhan untuk diserahkan kepada Imam 
Eli. Hana memberi tahu Eli bahwa anak yang dibawanya itu adalah anak yang 
dimintanya setahun yang lalu ketika ia berdoa di dekat tiang, dan disangka 
seorang perempuan yang sedang mabuk atau perempuan dursila.

Ada kebanggaan dalam diri perempuan itu. Doanya telah dijawab oleh Tuhan. Ia 
hendak menyerahkan anak yang dikasihinya, anak perjanjian itu kepada Tuhan yang 
mengaruniakannya. Hana menghendaki anak itu akan berbakti kepada Tuhan dan 
melakukan yang terbaik kepada-Nya, sebagaimana ia telah memberikan anak yang 
paling berharga kepada Tuhannya.

Segenap jiwa dan hatinya bersama anak itu di bait kudus. Setahun sekali, Hana 
dapat menemuinya dan menyaksikan perkembangannya di rumah Tuhan. Ia merasa 
gembira karena anak itu bertumbuh dalam kerohanian di bait kudus, tidak 
merengek-rengek untuk pulang ke rumah ayah bundanya.

Sebuah kalimat penyerahan anak masih mendengung sampai kini:

"Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa 
yang kuminta dari pada-Nya" (ayat 27). (t/Wina)

Diambil dan disunting dari:
Judul buletin: Sahabat Gembala, Edisi Mei 2005
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2005
Halaman: 37 -- 43


Kontak: doa(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti, Ryan, Sigit, dan Novita Yuniarti
Berlangganan: subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Arsip: sabda.org/publikasi/e-doa/
BCA Pasar Legi Solo, No.0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org