Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-doa/45

e-Doa edisi 45 (22-12-2011)

Natal

______________________________e-Doa___________________________________
                     (Sekolah Doa Elektronik)

DAFTAR ISI:
KESAKSIAN NATAL: PADA HARI NATAL HATI KITA JUGA IKUT PULANG
ARTIKEL NATAL: RAYAKAN EPIFANIA

Shalom,

Perayaan Natal bukan sekadar perayaan tahunan belaka, lebih dari itu,
kita memperingati kelahiran Sang Pembawa Damai. Ada banyak cara yang
dilakukan umat percaya untuk merayakan Natal, salah satunya adalah
Epifania. Kami akan membahas Epifania pada bagian awal, setelah itu,
kami akan mengajak pembaca untuk melihat sebuah kisah seputar Natal.
Selamat membaca.

Akhirnya, dalam edisi pamungkas e-Doa tahun 2011, kami mengucapkan
pula "Selamat Natal 2011 dan Tahun Baru 2012. Kiranya Natal tahun
membawa kita kepada keintiman yang lebih mendalam lagi bersama Tuhan."

Redaksi Tamu e-Doa,
Rento Ari Nugroho
< http://doa.sabda.org >

              KESAKSIAN NATAL: PADA HARI NATAL HATI KITA
                         JUGA IKUT PULANG

Pada hari Natal, semua jalan padat dengan kendaraan yang menuju ke
rumah.

Pesawat terbang yang terisi penuh, kereta api yang penuh sesak, bis
yang berlimpah ruah yang dipadati dengan orang-orang yang memunyai
tujuan yang sama: pulang ke rumah. Meskipun harus berdesakan dan
saling mendorong, belum lagi kalau harus menunggu karena jadwal
keberangkatan ditunda, berada di tengah-tengah kekacauan, tetapi kita
tetap setia menggenggam bungkusan hadiah yang berwarna-warni karena
kita ingin sampai di rumah. Kita seperti burung yang digerakkan oleh
naluri yang hampir tidak kita pahami -- kerinduan untuk berkumpul
bersama kerabat dan sanak saudara.

Apabila kita sudah duduk nyaman di muka perapian, dikelilingi
anak-anak yang semakin besar, atau menantikan kedatangan anggota
keluarga yang lebih tua, barulah kita merasa tenang. Ingatan kita
kembali pada masa Natal yang sudah lama berlalu. Sekali lagi kita
terbuai pada suasana gembira setiap kali membuka kertas pembungkus
hadiah Natal, pemberian yang berharga dari orang tua kita yang
memiliki daya tarik tersendiri pada setiap malam Natal. Atau kita
mengenang peristiwa khusus pada hari Natal yang tidak mudah
terlupakan.

Satu ingatan Natal sungguh istimewa bagi saya -- Natal dalam masa
Depresi Ekonomi waktu ayah berhenti bekerja, sehingga kami berserakan
ke pelbagai tempat, berjuang supaya dapat melanjutkan sekolah atau
paling tidak tetap dapat bertahan hidup. Saudara perempuan saya, Gwen
dan suaminya, seorang guru yang pertama kali ditugaskan di negara
bagian lain, sedang menantikan kelahiran anak mereka yang pertama.
Saudara laki-laki saya, Harold, yang bercita-cita menjadi aktor,
sedang mengikuti pertunjukan keliling. Saya seorang karyawan yang
sudah lama bekerja di sebuah universitas kecil, yang jaraknya lima
ratus mil dari rumah. Atasan saya menawarkan lima puluh dolar --
betapa beruntungnya saya -- untuk menjaga supaya kantornya tetap buka
selama dua minggu sewaktu ia dan istrinya bepergian.

"Dan memang saya sedang memerlukan uang! Bu, saya tahu Ibu pasti
mengerti," tulis saya.

Saya tidak siap menerima jawaban ibu dalam suratnya yang menunjukkan
keprihatinan. Anak-anak yang lain juga tidak bisa datang! Kalau tidak
ada Barney, anak saudara saya yang laki-laki, ibu dan ayah hanya
berdua saja. "Rumah ini akan terasa sepi, tetapi tidak usah cemas.
Ayah dan Ibu baik-baik saja."

Saya sungguh-sungguh khawatir. Baru pertama kali ini kami tidak
berkumpul pada hari Natal! Kesedihan saya bertambah dalam ketika
mendengar lagu-lagu Natal berkumandang dari ruang atas, ketika
mendengar lorong ramai dengan suara tawa dan celoteh gadis-gadis lain
yang berkemas-kemas pulang ke rumah.

Pada suatu malam, waktu asrama sudah hampir kosong, saya menerima
telepon interlokal. "Gwen!" seru saya terkejut. "Ada apa?" (Pada waktu
itu telepon interlokal biasanya berarti harus pulang karena keadaan
darurat).

"Leon mendapat generator baru dan kami rasa mobil tua itu dapat
dikendarai sampai ke rumah. Saya sudah mengirim telegram kepada Harold
-- kalau ia bisa bertemu dengan kami di tengah jalan, ia bisa pulang
bersama kami. Tetapi jangan memberitahu ayah dan ibu dahulu; kami
ingin memberi kejutan. Marj, kamu juga harus datang."

"Tetapi saya tidak punya uang sedikit pun untuk membeli hadiah!"

"Kami juga tidak punya. Gunting sebuah katalog dan bawa gambar
barang-barang yang akan kamu beli, seandainya kamu bisa dan akan
membelinya nanti!"

"Itu bisa saya lakukan, Gwen. Tetapi saya tidak dapat meninggalkan
tempat ini sekarang."

Setelah pembicaraan kami selesai, saya mengambil gunting. Mantel yang
terbuat dari bulu binatang, parfum, arloji, pakaian, mobil -- oh,
betapa inginnya kami memberikan barang-barang mewah itu untuk
orang-orang yang kami sayangi. Yah, setidaknya saya dapat mengirimkan
guntingan hadiah itu ke rumah -- disertai tulisan "Saya berutang
kepada kalian".

Saya masih melamunkan "daftar hadiah" tersebut sewaktu dipanggil lagi
karena ada telepon. Atasan saya akhirnya memutuskan untuk meliburkan
kantornya. Hati saya melonjak gembira karena belum terlambat ke Fort
Dodge, dengan menumpang mobil gadis yang kamarnya terletak di dekat
aula bawah! Saya berlari, mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.

Mobil mereka sudah penuh katanya -- kecuali kalau saya mau duduk di
pangkuan seseorang. Ayahnya sedang menunggu di bawah. Saya melemparkan
barang-barang ke dalam koper, lalu cepat-cepat memakai jaket yang
lapisan kerahnya sudah sobek, sampai lapisan itu terjulur ke luar
seperti sarung tangan, sehingga saya harus memakainya kembali dengan
lebih berhati-hati.

Salju sedang turun waktu kami masuk ke dalam mobil yang tidak ada
pemanasnya. Kami berkendaraan sepanjang malam diiringi suara kelepak
gorden jendela samping, kami menyanyi dan saling berpelukan supaya
tetap hangat. Kami sama sekali tidak keberatan -- kami mau menjalani
semua itu karena kami akan pulang ke rumah!

"Marj!" Ibu berdiri di pintu, merapatkan mantel ke sekeliling
tubuhnya. Rambutnya yang hitam keperakan tergerai di punggung, matanya
terbelalak karena khawatir. Lalu ia berseru dengan penuh kegembiraan
bercampur rasa tidak percaya, "Oh ... Marj."

Saya tidak akan melupakan tatapan matanya atau pelukannya yang begitu
lembut dan hangat setelah merasakan dingin yang menusuk. Perjalanan
semalaman itu membuat kaki saya kaku kedinginan, tetapi mulai hangat
lagi setelah orang tua saya memberi makanan dan mengantar saya tidur.
Beberapa jam kemudian saya terbangun karena suara gemerincing hiasan
kereta salju yang digantung ayah setiap tahun di pintu. Dan karena
suara-suara yang sudah tidak asing lagi. Keponakan saya berteriak,
"Harold! Gwen!" Berhamburanlah pekikan tidak percaya, gelak tawa,
ciuman, dan pertanyaan yang bertubi-tubi. Kami semua berkumpul
mengelilingi meja dapur seperti yang biasa kami lakukan, menceritakan
pengalaman-pengalaman kami.

"Saya harus menumpang sampai di Peoria," teriak kakak laki-laki saya
dengan gembira. "Bayangkan, saya, orang penting ... memakai ini!" Ia
mengangkat sepatunya yang indah, tetapi lidah solnya megap-megap
terbuka.

"Astaga, untung kamu sampai juga di sini." Muka ayah yang penuh
berseri-seri. Dan tiba-tiba ia menangis terharu -- padahal ayah tidak
pernah menangis. "Kita semua berkumpul bersama."

Berkumpul bersama. Kami menyadari bahwa pertemuan ini merupakan hadiah
terbaik yang dapat kami berikan satu sama lain. Kami semua berkumpul
di rumah lama, tempat kami biasa merayakan Natal. Tidak ada hadiah
lain, termasuk yang ada dalam daftar barang-barang mewah meskipun bisa
dibeli, yang dapat menggantikannya.

Hampir pada setiap hari Natal setelah itu kami selalu beruntung.
Bertahun-tahun sewaktu anak-anak bertumbuh semakin besar, kami selalu
berkumpul. Sampai akhirnya, tidak disangka-sangka sejarah terulang
kembali. Karena ada keperluan yang mendesak, tidak ada seorang anak
pun yang bisa pulang ke rumah. Yang lebih buruk lagi, suami saya harus
ke Florida untuk dioperasi. Suami saya orang yang berani dan angkuh,
ia tetap bersikeras tidak perlu kami temani "hanya karena itu adalah
hari Natal", sedangkan ia akan kembali minggu berikutnya.

Seperti ibu saya yang waktu itu hanya ditemani salah seorang cucunya,
saya juga hanya ditemani salah seorang anak saya, Melanie, yang
berumur empat belas tahun. "Keadaan kita akan baik-baik saja,"
katanya, berusaha menghibur saya.

Kami membuat perapian yang besar setiap malam, pergi ke gereja,
membungkus hadiah, mencoba bersikap biasa-biasa saja. Tetapi kesedihan
yang kami rasakan semakin menggigit. Dan, sehari sebelum Natal,
tangisan kami meledak. "Bu, kasihan ayah sendirian di sana!"

"Ibu tahu." Sambil berdoa mengharapkan adanya keajaiban, saya berlari
mendekati telepon. Pesawat terbang sudah penuh, tetapi masih ada satu
kabin tidur di kereta api terakhir yang menuju Miami. Hampir histeris
karena lega dan gembira, kami memasukkan barang-barang ke dalam tas.

Dan sungguh malam Natal yang meriah! Seperti anggota komplotan yang
kompak, kami berbaring berdekatan dalam kabin yang nyaman. Melanie
menggantung hiasan Natal yang mungil di jendela. Kami tak
henti-hentinya memandangi kilatan cahaya diiringi irama gerakan
kereta desa-desa kecil dan jalan-jalan di kota -- semuanya bertaburan
dengan cahaya, hiasan, dan pohon Natal yang gemerlapan. Mobil-mobil,
daerah pinggiran kota yang bersalju, dan orang-orang -- semua orang.
Setiap orang sedang dalam perjalanan karena terdorong oleh kasih dan
karena ingin bersama-sama merayakan malam yang berharga.

Akhirnya, kami tertidur. Tetapi beberapa jam kemudian saya terbangun
karena merasa heran, suasana tiba-tiba menjadi hening. Kereta api
berhenti. Bayangan yang semula samar-samar kini tampak jelas, saya
melihat sebuah kota kecil yang sunyi, terpencil, dan hanya sedikit
lampu yang masih menyala. Di bawah pohon yang ranting-rantingnya tidak
berdaun, seorang pria melangkahkan kakinya di sepanjang jalan yang
sepi. Ia masih muda, berpakaian kelasi berwarna biru, kepalanya
menunduk, badannya terbungkuk memikul kantong terpal yang berat di
bahunya. Dan saya berpikir, Pulang! Kasihan pemuda itu, ia tampak
sedih, padahal ia hampir tiba di rumah. Saya ingin tahu apakah ada
yang masih terjaga menantikannya; atau apakah ada yang tahu ia akan
datang. Hati saya meratapinya, karena ia tiba-tiba menjadi anak
laki-laki saya -- itulah jiwa dan roh saya -- terbuai, terbawa oleh
arus yang memanggil setiap tahun, "Pulanglah!"

Pulang untuk merayakan Natal. Pasti ada alasan psikologis mengapa kita
begitu ingin pulang ke rumah pada waktu yang istimewa ini. Mungkin
tanpa sadar kita sudah bertindak seperti sepasang pria dan wanita yang
menantikan kelahiran anak mereka bertahun-tahun yang lalu, berjalan
perlahan-lahan menunggang keledai ke tempat yang dituju. Yusuf,
ayah-Nya di dunia, harus pulang untuk mendaftarkan diri. Setiap pria
harus pulang ke kota kelahirannya.

Kelahiran. Mukjizat kelahiran yang luar biasa memancar melalui langkah
dan kata dalam cerita Alkitab. Perjalanan panjang dan sukar melintasi
pegunungan di Galilea dan Yudea, juga merupakan bagian dari perjalanan
kehidupan menjelang peristiwa kelahiran. Ketika mereka tiba di
Betlehem, sudah waktunya bagi Maria untuk melahirkan. Waktunya semakin
dekat dan mereka semakin putus asa karena semua penginapan sudah
terisi. Oleh sebab itu, suaminya menerima tempat yang ada, kandang
hewan yang sederhana.

Anak yang lahir pada hari Natal pertama itu bertumbuh menjadi seorang
pria, Yesus. Ia menyembuhkan banyak orang, mengajarkan kita banyak hal
yang penting. Tetapi berita yang meninggalkan pengaruh yang paling
lestari; yang memberikan harapan dan hiburan yang paling besar ialah:
bahwa kita memiliki sebuah rumah yang akan dituju dan pada suatu saat
kelak -- semua orang percaya akan pulang ke sana. Suatu tempat di mana
kita akan berkumpul kembali dengan orang-orang yang kita kasihi.

Itu gambaran saya tentang surga. Di sana ibu berdiri di pintu, mungkin
sedang memberi pengarahan kepada ayah tentang cara menyembelih kalkun
atau menghias pohon Natal, dan ayah benar-benar menikmati saat-saat
seperti itu. Teman-teman lama dan para tetangga berderet masuk dan
keluar. Suasana perayaan yang penuh kasih dan sukacita ini akan
berlangsung selama-lamanya.

Di sana setiap hari adalah hari Natal dan semua orang berkumpul
bersama. Di rumah.

Diambil dari:
Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal
Judul artikel: Pada Hari Natal Hati Kita Juga Ikut Pulang
Penulis artikel: Marjorie Holmes
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman: 35 -- 40

                     ARTIKEL NATAL: RAYAKAN EPIFANIA

Bahwa kami bisa menjadi seperti-Mu
Pada epifania besar Mu;
Dan dapat memuji-Mu, selamanya,
Allah dalam manusia menjelma. -- Wordsworth

Epifania jatuh pada tanggal 6 Januari, malam kedua belas dari dua
belas hari masa perayaan Natal. Bahkan, Epifania kadang-kadang disebut
Malam Kedua belas.

Manifestasi

Epifania secara harafiah berarti "manifestasi" atau "menjadi jelas."
Ini adalah saat yang dipakai oleh gereja-gereja barat, untuk merayakan
kedatangan orang-orang Majus, yang mengikuti pertanda yang mereka
lihat sebagai bintang terang di sebelah timur. Peristiwa ini dianggap
sebagai pernyataan Kristus pada dunia di luar Yahudi. Dalam lingkaran
Ortodoks, hari ini juga digunakan untuk memperingati:

1. Pembaptisan Yesus (termasuk manifestasi Allah Bapa dengan merpati
yang turun di atas Putra-Nya yang dikasihi) seperti yang dicatat dalam
Lukas 3:21-22.

2. Yesus dipersembahkan di Bait Allah saat masih bayi (sebagai
manifestasi kelahiran Mesias pada orang Yahudi yang diwakili oleh
Simeon dan Hanna) seperti diceritakan di Lukas 2:22-38.

3. Perubahan air menjadi anggur di pesta pernikahan di Kana (mukjizat
pertama Yesus dan manifestasi kekuasaan supernatural-Nya) seperti
diceritakan dalam Yohanes 2:1-12.

Epifania adalah hari yang tepat untuk mengalihkan pikiran perenungan
Anda pada kehadiran Tuhan dalam kehidupan pribadi Anda.

Epifania juga merupakan hari untuk mengingat kembali hadiah atau
persembahan yang dibawa orang-orang Majus pada Yesus, yang mereka
anggap sebagai raja baru. Mereka mempersembahkan emas, simbol kerajaan
bagi Yesus; kemenyan, dupa yang menjadi simbol keimaman Yesus; dan
mur, rempah-rempah untuk membalsam, yang menjadi simbol kematian-Nya
sebagai nabi yang dibunuh.

Pemberian Hadiah pada Epifania

Epifania adalah hari yang ideal untuk memberi hadiah istimewa pada
seseorang yang sangat kita sayangi. Nyatakan kasih Anda. Di banyak
negara Amerika Latin, hadiah tidak diberikan sampai Epifania. Mungkin
Anda merasa tidak nyaman melakukan itu di keluarga Anda, tapi mungkin
Anda ingin menunda membuka sebuah hadiah sampai hari Epifania. Bisa
merupakan hadiah yang bersifat rohani seperti Alkitab baru, buku doa,
buku nyanyian rohani, buku atau catatan harian rohani, atau perhiasan
atau karya seni dengan simbol religius.

Mungkin Anda ingin menjadikan Epifania saat untuk mengingat pendeta di
gereja Anda dengan sebuah hadiah. Ucapkan terima kasih karena telah
menjadi "nabi, imam, dan raja" -- mereka yang memberitakan firman,
berdoa bagi jemaat dan membimbing mereka, dan memunyai otoritas
spiritual -- dalam kehidupan Anda dan gereja Anda.

Epifania juga saat yang tepat untuk bepergian mengunjungi seseorang
yang sudah lama tidak Anda temui. Bawalah kabar kesukaan. Jadikan
kehadiran Anda sebagai hadiah pada seorang teman, kerabat, atau
anggota gereja Anda.

Epifania mengandung banyak aspek indah dan konkret dalam perayaannya.
Jangan melewatkannya dengan mengakhiri masa Natal Anda terlalu cepat!

Diambil dari:
Judul asli buku: 52 Simple Ways to Make Christmas Special
Judul buku terjemahan: 52 Cara Sederhana Membuat Natal Menjadi Istimewa
Penulis: Jan Dargatz
Penerjemah: Esther S. Mandjani
Penerbit: Inter Aksara
Halaman: 127 -- 129

Kontak: < doa(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Fitri Nurhana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/doa >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org