Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-doa/22

e-Doa edisi 22 (13-1-2011)

Teologi Doa 1

______________________________e-Doa___________________________________
                     (Sekolah Doa Elektronik)

Shalom,

Berdoa adalah salah satu jalan untuk mengerti isi hati Tuhan dan
menyampaikan maksud hati kita. Namun, kebanyakan dari kita masih egois
dalam berdoa. Kita sering memaksa Tuhan untuk mengikuti kehendak kita.
Lalu, bagaimanakah cara mengungkapkan doa secara benar di hadapan
Tuhan? e-Doa edisi 22 akan membahas teologi doa yang benar. Jangan
sampai Anda melewatkan sajian perdana kami. Tuhan memberkati!

Redaksi Tamu e-Doa,
Santi Titik Lestari
< http://doa.sabda.org >

                   ARTIKEL DOA: TEOLOGI DOA 1

Saya telah berbicara dengan beberapa orang, mengenai hidup doa orang
Kristen yang secara umum sangat mengecewakan. Doa yang merupakan
tindakan manusia terhadap Allah yang begitu serius, begitu hormat, dan
begitu indah maknanya, kebanyakan telah menjadi suatu pengutaraan
egoisme. Banyak orang mempergunakan doa untuk memenuhi egoisme mereka.
"Tuhan, saya mau, berikan kepada saya apa yang saya mau, inilah
kehendakku." Saya dengan tegas menentang dan dengan tegas pula saya
menjawabnya, "Bukan demikian."

Mari kita mulai memikirkan bagaimana seharusnya kita berdoa. Bukan
mengenai sikap tubuh harus bagaimana, bukan bahasa yang dipakai harus
seindah apa, bukan bagaimana cara melipat dan meletakkan tangan yang
indah agar kelihatan lebih saleh dan lebih beribadah, melainkan
mengenai teologi doa menurut Alkitab, -- apa arti berdoa dan bagaimana
cara berdoa sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan. Untuk memahami
hal ini, kita akan membaca beberapa ayat dalam Alkitab. Pertama,
Matius 5:10, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga."

Kerajaan Surga sudah dimiliki oleh mereka, tetapi raja di dalam
kerajaan itu membiarkan mereka dianiaya, dan mereka rela dianiaya
karena mereka tahu bagaimana memelihara kebenaran. Orang yang dianiaya
bukan orang yang malang, melainkan orang yang bertahan. Ini sangat
menarik perhatian, yaitu kaitan antara kedua hal ini: Dianiaya tetapi
tidak ditolak, hanya dijanjikan bahwa mereka memunyai kerajaan. Raja
mereka membiarkan mereka dianiaya di dalam kerajaan lain. Raja dunia,
raja manusia menganiaya mereka, tetapi mereka memunyai kerajaan lain.
Allah tidak menolong, tetapi malah membiarkan mereka. Kemudian Matius
6:31, "Sebab itu janganlah kamu khawatir dan berkata: Apakah yang akan
kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?
Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi
Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi
carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan
ditambahkan kepadamu." Sekali lagi muncul istilah kerajaan dan
kebenaran. Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, karena
merekalah yang memunyai kerajaan. Dan orang semacam itu mencari
kerajaan dan kebenaran Allah.

Kita membaca lagi dari 2 Petrus 3:10-13, "Tetapi hari Tuhan akan tiba
seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang
dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi
dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala
sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu
harus hidup, yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan
hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur
dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya,
kita menantikan langit dan bumi yang baru, di mana terdapat
kebenaran." Sekali lagi, kita menantikan langit dan bumi baru yang
akan tiba dan yang sekarang ini akan hancur, lenyap, hangus terbakar.
Dalam bahasa Yunani istilah "hangus dibakar" memunyai arti yang sama
seperti terjadinya penghangusan di dalam ledakan nuklir. Dunia akan
lenyap tetapi kita mengharapkan kerajaan yang akan datang, yang ada
kebenaran di dalamnya.

Pada ketiga ayat di atas, terdapat dua hal yang digabungkan yaitu
kerajaan Allah dan kebenaran. Ada dua istilah dalam bahasa Yunani yang
bersangkut-paut dengan istilah kebenaran. Yang pertama ialah
`Aletheia`, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai `Truth`. Yang
kedua ialah `Dikaiosune`, yaitu `kebenaran keadilan`. Semua ayat di
atas tidak memakai `Aletheia`, jadi bukan memakai `kebenaran` sebagai
`Truth` tetapi sebagai `kebenaran keadilan`. Carilah kerajaan dan
kebenaran Allah. Ini menjadi titik pusat doa kita. Ini berarti suatu
keadilan yang menjadi kebenaran, di mana kita ditebus dan diberi
keadilan serta dibenarkan. Allah yang adil pada waktu mengadili kita
telah memakai keadilan-Nya untuk menjadikan kita orang yang
dibenarkan. Dalam bahasa Yunani dipakai istilah yang khusus dalam
pengadilan, yaitu bahwa seseorang tidak lagi dianggap bersalah. Jadi
maksudnya, Allah tidak lagi menganggap orang itu berdosa. Allah
memperhitungkan orang itu sebagai orang yang tidak perlu dihukum.
Istilah ini merupakan istilah yang serius, di mana manusia memunyai
status yang baru, yaitu tidak lagi perlu dihakimi, tidak perlu
dihukum.

Apakah yang memungkinkan kita tidak dihukum, apakah yang memungkinkan
kita dianggap orang yang benar? Apakah yang memungkinkan kita menjadi
anak-anak Allah yang dihapus dosanya? Apakah karena kemarahan Allah
telah dikompromikan? Jawabannya, tentu saja, tidak. Tetapi karena
kemarahan dan tuntutan keadilan Allah yang tidak berkompromi itu sudah
digenapi dan dipuaskan melalui kematian Yesus Kristus di kayu salib.
Itulah alasannya mengapa kita dianggap tidak berdosa. Ini dari sisi
negatifnya. Dari sisi positif, kita diberi kebenaran oleh Yesus
Kristus sehingga kita menjadi anak-anak Allah. Ini adalah doktrin yang
sangat penting, yang ditemukan kembali oleh Martin Luther pada waktu
dia mengadakan reformasi: "Kita dibenarkan oleh iman." Roma 4 dan 5
berkata bahwa Dia diserahkan karena orang berdosa, maka dosa kita
diampuni. Dan karena kebangkitan-Nya kita sudah dibenarkan. Jadi, di
sini ada dua aspek penting: Kita tidak lagi dianggap orang berdosa,
kemudian kepada kita ditambahkan kebenaran yang ada pada Kristus.
Kristus adalah yang benar itu. Dialah satu-satunya yang suci,
satu-satunya yang benar, satu-satunya yang tidak berdosa. Dia dengan
kebenaran yang sudah dicapai melalui kebangkitan-Nya, membagikan
kebenaran itu kepada kita dan kita menjadi orang benar di hadapan
Tuhan.

Inilah arti kebenaran dalam ketiga ayat tersebut. Jadi siapa saja yang
berada di dalam Kerajaan Allah adalah mereka yang sudah dibenarkan.
Mereka yang belum dibenarkan tidak memiliki Kerajaan Allah. Siapakah
orang Kristen yang sejati? Siapakah orang Kristen yang berada di dalam
Kerajaan Allah? Yaitu mereka yang sudah dibenarkan. Jikalau Anda hanya
menjadi anggota gereja tetapi belum pernah bertobat, belum pernah
sungguh-sungguh menerima Kristus, belum pernah dilahirkan kembali,
Anda belum menjadi anggota Kerajaan Allah. Warga negara Kerajaan Allah
adalah mereka yang dibenarkan satu per satu oleh darah Kristus. Karena
kita berada dalam kerajaan ini dan berada dalam status kebenaran, maka
kita sekarang memikirkan kerajaan ini dan kebenaran ini. Kita bersalut
dengan kebenaran ini dan menyatakan, merefleksikan, serta menjadi
saksi dari kebenaran ini untuk Kerajaan Allah.

Arti Berdoa?

Apakah artinya berdoa? Yesus Kristus mengatakan bahwa carilah kerajaan
dan kebenaran Allah. Ini berarti kita harus berusaha di dalam kegiatan
kita untuk menemukan, mengejar, menuntut dengan sepenuh hati,
sungguh-sungguh, untuk kerajaan dan keadilan Allah. Di dalam dunia di
mana tidak ada kuasa Allah yang menonjol, di mana manusia selalu
menolak Kerajaan Allah, di situlah kita akan melebarkan kerajaan-Nya
di dunia ini. Di dalam dunia ini tidak terlihat nyata keadilan Allah.
Dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan inilah kita berusaha
menuntut keadilan yang dinyatakan oleh Kristus di atas kayu salib.
Carilah kerajaan dan kebenaran Allah. Ini menjadi titik pusat doa
kita. Saya tidak tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini: Apakah
sikap tubuh manusia yang paling indah, yang paling menyatakan suatu
relasi yang paling indah di hadapan Allah? Itulah sikap pada waktu
engkau berdoa! Waktu seorang anak kecil berdoa ia berlutut dengan mata
tertutup, tangan terlipat, lalu ia berkata-kata kepada Allah yang
tidak ia lihat. Di situ nyata hubungan antara kita yang bertubuh alami
dengan suatu dunia supraalami; melalui iman kita menerobos ke dalam
dunia supraalami itu.

Manusia menaikkan doa karena dia perlu. Dia bukan hanya berada dalam
dunia yang kelihatan, melainkan dia memunyai aspek keadaan yang tidak
kelihatan. Dia mau menerobos limitasi -- itu artinya doa. Anda perlu
doa. Dalam bahasa Ibrani istilah menyembah adalah `Tupentau` -- engkau
bertelut atau sedang membengkokkan diri. Di hadapan Allah engkau harus
merebahkan diri, merendahkan diri. Di hadapan Allah engkau menyatakan
dirimu adalah orang yang rendah dan memerlukan Dia. Dari aspek lain
kita melihat, pada waktu seseorang berdoa, ia berkata-kata kepada
Tuhan, pada waktu itu ia sedang menyatakan sifat relativitas di dalam
eksistensinya. Sifat relativitas di dalam eksistensi manusia, berarti
manusia berada, bukan di dalam keberadaannya yang mutlak, bergantung
pada dirinya sendiri -- tidak! Melainkan kita berada di dalam
keberadaan yang mau tidak mau, memerlukan relasi dengan yang
mengadakan keberadaan itu.

Jadi Allah yang mengakibatkan saya ada, adalah sumber keberadaan.
Sumber keberadaan yang menciptakan saya sehingga saya ada. Keberadaan
saya lain dengan keberadaan Allah. Keberadaan Allah adalah keberadaan
yang bergantung kepada diri sendiri, yang cukup di dalam diri, dan
tidak bergantung kepada siapa pun. Itulah Allah. Tetapi saya
diciptakan oleh Allah, bergantung kepada Allah yang menciptakan,
bergantung kepada Allah yang mengakibatkan saya ada, Dia adalah
sumbernya ada. Karena Dia adalah sumbernya ada, maka saya ada
menghadap kepada Dia: orientasi saya, arah saya, pengutaraan saya
harus menuju kepada Allah. Di sini kita melihat eksistensi manusia
yang ada, sedang menghadap kepada Sumber keberadaan. Itulah doa.

Doa bukan hanya berlutut di situ, bersungut-sungut, memaki-maki orang
lain. Ada orang berdoa, "Oh Tuhan, orang seperti ini kok bisa hidup,
matikan saja, dia itu kurang ajar." Apakah itu doa? Doa juga bukan
pengumuman. Ada seorang pendeta di Amerika yang lupa mengumumkan bahwa
esok harinya seorang anggota yang meninggal akan dikuburkan. Lalu ia
memakai doa untuk mengumumkan, "Tuhan, Engkau tahu besok pukul 8 kami
akan menghantar jenazah. Kiranya Tuhan mengingatkan Saudara-saudara
yang lain." Doa bukan pula permainan kata, doa bukan suatu pemasyuran
keagamaan kita. Doa adalah suatu pengakuan relativitas eksistensi.
Kita sedang menghubungkan diri kita kepada Allah dan Allah adalah
Sumber Eksistensi itu. Saya datang kepada Tuhan, Sumber yang
mengadakan keberadaan. Saya berada di bawah kaki-Nya. Saya berdoa.
Lalu tinggal keinginan kita di dalam doa kita kepada Dia.

Dalam kata-kata yang mencetuskan suatu hasrat yang sedalam-dalamnya,
yang keluar dari sanubari kita, kita harus mencari satu titik pusat.
Titik pusat itu di mana? Titik pusat itu akan memengaruhi segala
kegiatan kita, baik jasmani maupun rohani. Titik pusat itu akan
mengakibatkan kita mendapatkan sesuatu setimpal dengan apa yang kita
minta. Titik pusat itu seharusnya adalah: mengerti apakah sebabnya
kita berdoa, bagaimana seharusnya kita berdoa, dan kita berdoa tentang
apa. Pada waktu murid-murid Tuhan Yesus berkata kepada Yesus, "Guru,
ajarlah kami berdoa," Yesus langsung mengajarkan kalimat-kalimat yang
terindah yang pernah muncul dalam sejarah tentang bagaimana isi doa
manusia kepada Tuhan. Dalam kalimat pertama dari doa yang diuraikan
oleh Tuhan Yesus, langsung muncul relasi rohani -- relasi Kerajaan
Surga: "Bapa kami yang di surga". Itu bukan sekadar relasi saat ini
yang sedang menghadap, sedang berbicara. Bukan sekadar relativitas
eksistensi yang dinyatakan, tetapi juga relasi intim antara Bapa
dengan anak.

Ini doktrin yang penting, ini teologi yang benar. Pada waktu engkau
berdoa, engkau sedang memakai hak istimewa sebagai anak. Allah sebagai
Bapa, saya sebagai anak, saya datang kepada Bapa, saya berbicara
dengan ayahku. Betapa besar hak istimewa ini. Kalau hak istimewa ini
demikian besar dan kita tidak suka berdoa dan tidak mengerti doktrin
doa, kita adalah orang yang terlalu menyia-nyiakan anugerah Tuhan.
Jangan mempermainkan doa, jangan memutar-balikkan arti doa. Doa bukan
memaksa Tuhan menjalankan kehendakku. Doa adalah berusaha memaksa
diriku supaya sesuai dengan kehendak-Nya. Doa tidak berusaha mengubah
kehendak Tuhan. Doa berusaha mengubah diriku supaya sesuai dengan
kehendak Tuhan. Anda mungkin sering membaca sebuah ungkapan, "Doa bisa
mengubah segalanya." Dari satu sisi, fenomena ini ada benarnya. Tetapi
dari seluruh doktrin Alkitab kita harus lebih kritis. Saya lebih suka
mengatakan, "Doa bisa mengubah dirimu sendiri." Engkau mengubah dirimu
sendiri agar sesuai dengan kehendak Allah. Pada waktu engkau berdoa,
engkau sedang memakai hak istimewamu sebagai anak. Allah sebagai Bapa,
saya sebagai anak, saya datang kepada Bapa, saya berbicara dengan
ayahku. Betapa besarnya hak istimewa ini.

Diambil dari:
Judul buletin: Surat Doa No.1 Januari -- Februari 1988
Judul artikel: Teologi Doa 1
Penulis: Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta

Kontak: < doa(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Fitri Nurhana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/doa >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org