Salam damai, Kita harus mengucap syukur dalam segala hal, demikianlah yang disebutkan dalam Alkitab. Sayangnya, dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, ucapan syukur kita masih sering dipengaruhi oleh keadaan atau situasi yang terjadi. Jika situasi hidup berjalan dengan baik, nyaman, tenang, dan lancar, mudah bagi kita untuk mengucap syukur. Sebaliknya, jika situasi hidup kita penuh dengan penderitaan, kesulitan, masalah, kita sulit mengucap syukur. Ayub pernah mengatakan kepada istrinya bahwa apakah kita hanya mau menerima yang baik dari Tuhan dan tidak yang buruk. Perkataan ini seharusnya menempelak kita agar selalu ingat untuk bersyukur. Dalam edisi ini, kita diajak untuk meneladani sikap Paulus yang selalu mengucap syukur dalam segala keadaan. Sebagai umat kepunyaan Tuhan Allah, kita tidak pernah ditinggalkan dan dibiarkan sendiri. Tuhan Yesus mencurahkan berkat dan pertolongan-Nya dari dulu, kini, dan selamanya. Lalu, masihkah ada alasan untuk kita tidak bersyukur kepada-Nya?
|
RENUNGAN: MENGHITUNG BERKAT
Ditulis oleh: N. Risanti
Dalam sebuah lagu berbahasa Inggris berjudul "Count Your Blessings", terdapat lirik sebagai berikut: "If I am weary, I can't sleep, I count my blessings instead of sheep ... and I'll fall asleep, counting my blessings." (Jika saya khawatir dan tidak dapat tidur, saya menghitung berkat saya dan bukan menghitung domba, lalu saya akan tertidur ketika menghitung berkat saya - Red.). Yah, lebih sering kita memikirkan hal-hal yang lain: hal-hal yang tidak atau belum dapat kita raih, hal-hal duniawi, berbagai keinginan atau hasrat untuk kepuasan diri, atau hanya terjebak memikirkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Jika saja setiap hari kita mau menghitung apa saja yang sudah Tuhan berikan kepada kita atau mengingat semua anugerah-Nya di sepanjang perjalanan hidup kita, pastilah hidup dan pikiran kita akan dikuasai damai sejahtera dan sukacita, bukannya kepahitan atau keluhan demi keluhan.
Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Israel ketika mereka telah berhasil keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Dibanding bersyukur kepada Tuhan atas pertolongan demi pertolongan yang telah diberikan-Nya, mereka malah bersungut-sungut dan menyesali keadaan yang terjadi. Ada banyak sekali ayat yang menyatakan keluh kesah bangsa Israel selama perjalanan menuju ke tanah perjanjian dalam kitab Keluaran dan Bilangan. Lalu, apa yang terjadi sebagai akibat perilaku mereka yang kurang percaya tersebut? Amarah Tuhan bangkit karena sungut-sungut mereka, bahkan hanya beberapa saja yang akhirnya dapat memasuki tanah perjanjian, yaitu mereka yang setia dan percaya akan janji dan kebaikan-Nya (Bilangan 11:1; Bilangan 14:27-35). Sungut-sungut atau berkeluh kesah seperti yang ditunjukkan oleh bangsa Israel, bahkan orang Farisi pada masa Perjanjian Baru menjadi bukti dari kedegilan hati pribadi yang tidak mau memercayai Tuhan dengan sepenuh hati. Mereka tidak mampu melihat karya-karya Tuhan dan senantiasa mengandalkan pemikiran mereka sendiri yang sesungguhnya sangat sempit. Tak heran, jika akhirnya kebaikan Tuhan tidak dapat terpancar dari kehidupan orang-orang yang sulit bersyukur karena jika diri mereka sendiri saja tidak mampu merasakan kebaikan dan anugerah Tuhan, bagaimana mungkin mereka dapat menjadi jalan berkat bagi orang lain?
Yesus berkata, "... janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah" (Lukas 12:39-40). Dan, Ia benar. Kita yang mengenal Allah mengetahui bahwa bahkan yang terbaik dari diri-Nya pun sudah diberikan kepada kita 2000 tahun yang lalu. Jadi, mengapa kita begitu khawatir akan segala perkara yang sedang kita alami saat ini jika kita menyadari bahwa anugerah yang terbesar pun sudah diberikan-Nya kepada kita? Apa lagi yang dapat mengalahkan kekhawatiran kita dibanding dengan ancaman kebinasaan jiwa? Jadi, mari kita mulai menghitung berkat-berkat Tuhan mulai dari sekarang untuk dapat memancarkan kehidupan yang memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Amin.
|
ARTIKEL: BERSYUKUR KEPADA BAPA
"... mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang. Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa." (Kolose 1:12-14)
Doa Paulus adalah model atau pola untuk diikuti bagi semua orang percaya. Seperti doanya di atas dan di dalam bagian-bagian kitab lainnya, doa-doa kita seharusnya mengikutsertakan pujian selain permohonan. Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." (Filipi 4:6) Dalam 1 Timotius 2:1, ia menasihatkan, "Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang." Kemudian, ia berkata kepada jemaat di Kolose untuk, "Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." (Kolose 4:2) Paulus secara konsisten mengucap syukur di dalam doa-doanya (Kisah Para Rasul 27:35; Roma 1:8; 1 Timotius 1:12)
Mengucap syukur terlalu sering diturunkan ke tempat sekunder dalam doa pengikut Kristus. Sikap kita dalam mendekati Allah sering kali mengingatkan kepada anak-anak perempuan lintah: "Untukku!" dan "Untukku!" (Amsal 30:15). Kita memang cepat untuk membuat permintaan, tetapi lambat untuk bersyukur kepada Tuhan atas jawaban-Nya. Karena Tuhan begitu sering menjawab doa-doa kita, kita datang untuk mengharapkan itu. Kita lupa bahwa hanya karena kasih karunia-Nya, kita dapat menerima segala sesuatu dari-Nya.
Alkitab berkali-kali menekankan pentingnya mengucap syukur.
- "Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi!" (Mazmur 50:14)
- "Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia. Biarlah mereka mempersembahkan korban syukur, dan menceritakan pekerjaan-pekerjaan-Nya dengan sorak-sorai!" (Mazmur 107:21-22)
- "Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada TUHAN, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya Yang Mahatinggi." (Mazmur 92:1)
- "Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita." (Efesus 5:20)
- "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose 3:17)
- "Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya."
Ucapan syukur harus selalu menembus dalam ucapan kita, pujian kita, dan doa-doa kita.
Tuhan kita mengetahui pentingnya arti mengucap syukur. Dalam Matius 11:25, Ia berkata, "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil." Sebelum memberi makan lima ribu orang, Yesus berkata, "Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ." Sebelum membangkitkan Lazarus dari kematian, "Yesus menengadah ke atas dan berkata: 'Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku.'" (Yohanes 11:41)
Wahyu 7:11-12 mengatakan kepada kita bahwa para malaikat mengucap syukur: "Dan semua malaikat berdiri mengelilingi takhta dan tua-tua dan keempat makhluk itu; mereka tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah, sambil berkata: "Amin! puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!"
Daud (2 Samuel 22:50; Mazmur 28:7), orang-orang Lewi (1 Tawarikh 16:4; Nehemia 12:24). Asaf dan keluarganya (1 Tawarikh 16:7), Daniel (Daniel 6:10), para imam dan orang-orang Lewi serta keturunan Asaf (Ezra 3:10-11) juga mengucap syukur kepada Allah.
Selain contoh-contoh positif tersebut, Alkitab juga mengajarkan bahwa gagal untuk mengucap syukur merupakan ciri orang fasik. Salah satu dakwaan dari orang-orang kafir adalah bahwa "Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya" (Roma 1:21). Orang jahat ditandai oleh ketiadaan rasa berterima kasih (Lukas 6:35; 2 Timotius 3:2).
Alkitab memerintahkan kita untuk bersyukur kepada Tuhan untuk banyak hal. Kita mengucap syukur kepada-Nya karena siapa Dia. Mazmur 30:4 mengatakan, "Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya, dan persembahkanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!" (lihat Mazmur 97:12) Kita juga harus bersyukur kepada Allah atas kedekatan-Nya. "Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, kami bersyukur, dan orang-orang yang menyerukan nama-Mu menceritakan perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib." (Mazmur 75:1) Paulus bersyukur kepada Allah untuk keselamatan dan kesempatan untuk melayani-Nya: "Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku -- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman" (1 Timotius 1:12-13).
Para Rasul juga mengucap syukur untuk pertumbuhan rohani orang lain: "Kami wajib selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara. Dan memang patutlah demikian, karena imanmu makin bertambah dan kasihmu seorang akan yang lain makin kuat di antara kamu" (2 Tesalonika 1:3).
Bahkan, hal-hal duniawi seperti makanan merupakan panggilan untuk mengucap syukur (1 Timotius 4:3-4). Dalam 1 Tesalonika 5:18 dirangkumkan, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."
Apa yang membuat orang Kristen paling bersyukur adalah karya Kristus. Dalam 2 Korintus 9:15, Paulus berseru, "Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!" Dia memberi terima kasih untuk hasil karya Kristus, yang adalah keselamatan kita (lihat 1 Korintus 1:4). Itulah tema dalam Kolose 1:12-14. Paulus meringkas doktrin keselamatan dalam tiga kebenaran besar: warisan, pembebasan, dan perpindahan (status). Itu semua merupakan gambaran dari keselamatan dan sebuah alasan untuk mengucap syukur. Paulus secara spesifik membungkus rasa syukurnya dalam ayat-ayat tersebut.
|