ARTIKEL
Hidup Kristen dan Persekutuan
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki relasi persekutuan yang begitu sempurna. Sejak mulanya, ketiga pribadi Allah, yakni: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, sudah saling mengasihi dan memiliki persekutuan yang indah dan mesra. Inilah yang menjadi dasar bahwa manusia memerlukan hidup berkomunitas dan berelasi dengan orang lain. Karena manusia diciptakan sesuai dengan peta dan teladan Allah, maka sifat-sifat Allah juga turun kepada manusia, termasuk sifat untuk bersekutu. Di sisi lain, keunikan ketiga pribadi Allah tidak terhapus karena alasan aspek persekutuan ini. Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus adalah Allah, dan sekaligus tetap memiliki keunikan-Nya tersendiri. Manusia yang sudah jatuh dalam dosa justru sering kali merasa begitu tersendiri, kehilangan identitas, dan tidak menyadari keunikan diri ketika berada dalam momen-momen terlepas dari komunitas (contoh: teman-teman atau keluarga dekat). Padahal, manusia memiliki nilai dan keunikan sebagai individu dan memiliki sifat untuk bisa hidup mandiri. Inilah prinsip yang akhirnya menjadi suatu pernyataan/pengakuan yang begitu sering kita dengar di dalam buku-buku pelajaran sekolah, yakni manusia adalah makhluk individu, dan manusia adalah makhluk sosial.
Dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, maka secara natural manusia akan membentuk suatu komunitas. Sedikitnya ada tiga alasan mengapa manusia akan membentuk komunitas: (i) Keamanan. Bayangkan saja orang yang harus hidup di hamparan padang gurun di daerah Mongol. Tentunya peran komunitas sangat membantu, khususnya dalam menghadapi bahaya seperti binatang buas dan perubahan suhu gurun yang begitu drastis. Komunitas ini bisa membentuk suatu pemukiman yang temporal, mengatur persediaan makanan, dan dapat saling menjaga. Tanpa komunitas, dalam waktu kurang dari 24 jam seseorang bisa langsung meninggal ditelan ganasnya cengkeraman lingkungan gurun. (ii) Identitas. Manusia juga cenderung mengindentikan dirinya dalam suatu kelompok dan akhirnya memberikan sense of identity. Mulai dari anak muda yang begitu bangga ketika eksistensinya diakui oleh anggota-anggota kelompoknya, sampai dalam lingkup yang lebih makro, seperti kehidupan berbangsa dan bernegara. Ambil saja contoh, Sumpah Pemuda, ketika identitas bangsa Indonesia ditegakkan di atas dasar kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. (iii) Kebutuhan emosional. Manusia memiliki kebutuhan untuk saling berbagi rasa pengertian, kasih sayang, penghormatan, dan berbagai aspek emosional dengan orang lain. Aspek ini tidak bisa dipenuhi dari diri sendiri. Hal ini hanya dapat diperoleh melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan bermasyarakat.
Prinsip-Prinsip Persekutuan di dalam Alkitab
1. Abraham yang dipanggil keluar.
Kejadian 12:1, Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: ”Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu....”
Kisah Abraham yang dipanggil keluar dari rumah sanak saudara dan bapanya sebenarnya merupakan peristiwa yang begitu radikal dan melawan arus. Padahal, Abraham sudah hidup dengan begitu nyaman dan sejahtera di tengah lingkungan keluarganya. Kehormatan, kuasa, dan kekayaan yang dimilikinya bisa disejajarkan dengan seorang raja, bahkan ia memiliki pasukan tentaranya sendiri. Namun, apa yang terjadi? Tuhan justru memanggilnya keluar! Bukankah di luar mungkin saja banyak musuh dan tidak seaman tempat tinggalnya yang sekarang? Bukankah di tanah Haran ia bisa tinggal dengan anggota keluarga yang dapat lebih memenuhi kebutuhan emosionalnya? Di sini, kita belajar, mungkin saja ada satu momen dalam hidup kita di mana Tuhan memanggil kita keluar dari kelompok komunitas kita yang sekarang. Mungkin saja komunitas itu adalah komunitas yang kerap kali menghalangi kita untuk mengikuti pimpinan Tuhan, atau bahkan justru komunitas yang merusak hidup kita. Siapkah kita jika Tuhan memimpin kita untuk melangkah ke luar?
2. Musa yang lebih memilih menderita dengan bangsanya.
Ibrani 11:24-26, Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah.
Tujuan utama persekutuan bukanlah untuk sekadar berjejaring dan mencari keuntungan. Sebab, jika demikian, Musa pasti akan memilih terus tinggal di dalam lingkungan istana dengan status anak puteri Firaun dan memiliki sahabat-sahabat dari kalangan bangsawan. Mungkin saja karena persekutuan kita akhirnya merasa lebih "sulit" karena kita diajar untuk saling menanggung beban, saling menghibur, dan memahami kesulitan orang lain. Mungkin saja kita merasa "sakit" karena ada teman-teman yang peduli dan menegur borok kesalahan kita. Dan, terlebih lagi, persekutuan Kristen begitu berharga karena kehadiran Kristus, yang adalah harta terbesar bagi kita. Yang oleh-Nya, kita rela menanggung penghinaan karena kita telah mendapatkan identitas sejati sebagai keluarga Kerajaan Allah.
3. Persahabatan antara Daud dan Yonatan.
1 Samuel 18:1, Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri.
Dalam Alkitab, inilah salah satu kisah persahabatan yang paling menggugah hati. Suatu ikatan persahabatan yang begitu kuat dan murni. Kisah persahabatan yang tidak lagi mempersoalkan masalah status. Yonatan yang adalah seorang pangeran bisa bersahabat dengan begitu erat dengan Daud yang saat itu hanyalah seorang pegawai raja. Yonatan rela memberikan harta bendanya yang sangat berharga yang mewakili statusnya sebagai pangeran kepada Daud, yakni: jubah, baju perang, pedang, panah, dan sampai ikat pinggangnya. Inilah suatu ikatan persahabatan yang rela berkorban dan mati bagi sahabatnya, yang bahkan tetap menjaga ikatan persahabatan tersebut meskipun orang yang dikasihinya sudah meninggal. Dalam 1 Samuel 20, kita dapat melihat bahwa Saul hampir saja membunuh Yonatan karena Yonatan begitu bersikeras membela Daud. Di bagian lain, setelah Yonatan meninggal dan Daud sudah menjadi raja, Daud tetap mengingat persahabatan dan janjinya kepada Yonatan. Daud menunjukkan kasih setianya kepada satu-satunya anak laki-laki Yonatan yang bernama Mefiboset, seorang yang cacat kakinya. Kepada Mefiboset, Daud mengembalikan seluruh ladang Saul dan memperbolehkannya makan sehidangan dengan Raja Daud. Kristus melukiskan kasih terbesar antara sahabat dalam Yohanes 15:13 yang berbunyi, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Dan, implikasinya bagi kita tercatat dalam 1 Yohanes 3:16 yang berbunyi, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”
Lapisan-Lapisan Murid Yesus
Lukas 10:1, Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya.
Matius 10:1, Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan.
Matius 17:1, Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ, mereka sendiri saja.
Manusia diciptakan dalam batasan ruang dan waktu. Maka dari itu, adalah sesuatu yang mustahil untuk mengenal semua orang dengan kedekatan dan kedalaman yang sama. Bahkan, Kristus-pun memiliki lapisan-lapisan kedekatan yang berbeda dengan murid-murid-Nya. Dari tiga ayat di atas, kita dapat melihat beberapa lapisan tersebut. Lapisan pertama adalah yang lebih general, yang terdiri dari tujuh puluh murid yang Ia utus ke tiap kota. Lapisan yang lebih dalam adalah lapisan kedua belas murid. Inilah dua belas orang yang Yesus doakan semalam-malaman, Ia pilih, dan terus bersama-sama dalam tiga setengah tahun pelayanan-Nya. Kemudian, lapisan yang lebih inti adalah lapisan yang terdiri dari tiga orang, yakni: Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Hanya mereka bertigalah yang hadir ketika Yesus membangkitkan anak kepala rumah ibadat, ketika peristiwa transfigurasi Kristus, ketika Yesus sedang sendirian, dan ketiga orang itu bertanya secara pribadi mengenai tanda dan kesudahan zaman, dan sampai ketika Kristus meminta mereka bertiga untuk menemani-Nya berdoa di taman Getsemani. Khususnya dalam fenomena gereja besar, hal ini perlu dipikirkan dengan lebih serius. Sebab, tidak mungkin seseorang mengenal dengan dalam seluruh jemaat yang jumlahnya ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Untuk konteks ini, suatu persekutuan yang lebih kecil di mana jemaat bisa lebih bertumbuh dalam Firman, saling memperhatikan dan mengenal secara mendalam akan menjadi tulang punggung yang penting dalam hidup bergereja.
Sumber Kasih, Persekutuan Terang, dan Tubuh Kristus
1 Yohanes 4:10-11, Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi.
1 Yohanes 1:7, Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.
1 Korintus 12:12-13, Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.
Dalam beberapa kasus, ada orang-orang yang berpendapat bahwa lebih baik tidak usah bersekutu dan mengenal orang lain secara lebih mendalam. Sebab, semakin kita mengenal, akan semakin rentan untuk saling mengetahui kelemahan, dan secara otomatis akan semakin rentan untuk saling menyakiti. Maka dari itu, mereka akan berusaha menjaga “jarak aman” dengan orang lain. Di satu sisi, memang benar bahwa kita adalah orang berdosa dan memiliki kelemahan. Akan tetapi, meskipun demikian, Allah tetap rela mengasihi kita ketika kita masih dalam status memberontak terhadap-Nya! Inilah sumber kasih yang sejati, kasih yang dari Allah. Relasi vertikal kita dengan Allah akan menjadi landasan bagi relasi horizontal kita dengan sesama. Mengasihi berarti membuka diri untuk disakiti dan sekaligus dengan hati yang lebar rela mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Hanya karena kasih dari Allah-lah, maka kita masih memiliki kekuatan untuk mengasihi meskipun sudah disakiti.
Selengkapnya baca di: http://remaja.sabda.org/hidup_kristen_dan_persekutuan
Unduh Audio
|