ARTIKEL
Panggilan Pendidikan Agama Kristen terhadap Pendidikan di Indonesia (Bagian 1)
A. Pendahuluan
Judul tulisan ini "Panggilan PAK terhadap Pendidikan di Indonesia" bertitik tolak dari suatu asumsi dasar bahwa terdapat suatu relasi yang fungsionalitas antara agama dan kegiatan pendidikan: kegiatan pendidikan memerlukan agama. Dengan demikian, pendidikan agama patut diintegrasikan ke dalam proses pendidikan pada umumnya. Secara nasional, asumsi tersebut telah menjadi kesepakatan bersama dan memperoleh legitimasinya secara konstitusional di dalam GBHN dan REPELITA sebagai pessnjabaran dan usaha perwujudan dari Pancasila dan UUD 1945. Asumsi tersebut juga berlaku bagi agama Kristen. Oleh sebab itu, kegiatan PAK yang diselenggarakan di Indonesia harus mempunyai kena-mengena dan relevansi yang nyata dengan kegiatan pendidikan di Indonesia walaupun tentu saja PAK juga memiliki tujuan-tujuannya sendiri, yang tidak sama dan serupa saja dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional umumnya.
Untuk memahami kaitan antara PAK dan pendidikan nasional, kita perlu menelaah secara mendasar terlebih dahulu:
- Apa yang telah dirumuskan sebagai tujuan dari pendidikan nasional itu?
- Arti dan peranan agama, khususnya agama Kristen, di dalam dan bagi pelaksanaan pendidikan nasional.
Dengan diperolehnya kejelasan pemahaman mengenai kedua hal tersebut, maka akan dapat dirumuskan pula arti dan sumbangan PAK dalam keseluruhan kegiatan dan proses pendidikan di Indonesia.
B. Tujuan Pendidikan Nasional
Adalah sangat penting dan menarik untuk dicamkan bahwa Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan tentang "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu tujuan dari pembentukan pemerintah negara kita yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, salah satu cita-cita kemerdekaan yang hendak diwujudkan dengan pembentukan pemerintah negara kita itu ialah terwujudnya kehidupan bangsa Indonesia yang cerdas. Berdasarkan ini, kita memahami mengapa Pasal 31 ayat 1 dari UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berpengajaran atau istilahnya yang lebih lazim digunakan sekarang yang berpendidikan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban pemerintah sebagai abdi dan alat negara untuk mengupayakan agar setiap warga negara dapat memperoleh pengajaran/pendidikan yang menjadi haknya itu, demi terwujudnya suatu kehidupan bangsa yang cerdas, yang menjadi cita-cita kemerdekaan nasional kita.
Mengenai tujuan dari pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, GBHN merumuskannya sebagai berikut: "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian, pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa". Selanjutnya, GBHN menegaskan pula bahwa "Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia". (Bandingkan, GBHN, Bab IV, bagian Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya, 2. Pendidikan ayat a dan b.)
Rumusan GBHN mengenai tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai itu menurut hemat saya sudah cukup mengungkapkan berbagai aspek utama dari harkat dan martabat kemanusiaan, dan yang sekaligus juga merupakan kualitas manusia Indonesia yang dicita-citakan, secara 'komprehensif' dan mendasar. Melalui proses pendidikan, manusia Indonesia diharapkan mampu mengembangkan potensi-potensi kemanusiaannya yang menyangkut aspek-aspek religiusitas, moralitas, intelektualitas, profesionalitas, nasionalitas, dsb. itu secara lebih baik dan terarah.
Pendidikan nasional merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Di pihak lain, pendidikan nasional juga berfungsi untuk menjamin dan melestarikan keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, ada hubungan dialektis antara pendidikan nasional dan pembangunan nasional. Dengan perkataan lain, pendidikan nasional harus mampu mengantisipasi dan memengaruhi perkembangan dan arah pembangunan, sedangkan pembangunan harus mampu menjamin terlaksananya pendidikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan.
C. Arti dan Peranan Agama di Dalam Pendidikan Nasional
Menurut Ilmu Sosiologi Agama, yaitu ilmu yang mempelajari agama dari sudut Ilmu Sosiologi, terdapat hubungan yang fungsional antara agama dan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, agama memainkan sejumlah fungsi-fungsi tertentu sehingga turut memengaruhi dan menentukan keadaan dan arah perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, agama dapat disebut sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat. Sebagai unsur pembentuk masyarakat, peranan agama dapat bersifat positif atau negatif. Positif, artinya menunjang atau mengukuhkan keadaan dan perkembangan masyarakat, sedangkan yang dimaksudkan dengan negatif ialah fungsinya sebagai penjaga dan pengkritik keadaan serta perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, yang tidak sesuai dengan, atau tidak dapat dibenarkan oleh kaidah-kaidah keagamaan yang dianut. Peran positif atau negatif yang disebutkan di atas terutama menyangkut sikap atau reaksi agama terhadap masyarakatnya. Positif, kalau menunjang dan mengukuhkan; negatif, kalau melawan atau menghambat. Dalam hubungan ini, perlu kita sadari bahwa sebenarnya yang positif itu belum berarti selalu yang baik, sedang sebaliknya yang negatif itu juga tidak selalu berarti buruk. Yang positif bisa justru yang tidak baik, sedangkan yang negatif itulah justru yang baik. Untuk jelasnya, baiklah kita ambil contoh keadaan masyarakat dan pemerintahan Hitler di Jerman sebelum dan selama Perang Dunia Kedua. Gereja-gereja di Jerman pada waktu itu terpecah menjadi dua. Golongan pertama, yang merupakan mayoritas, sikapnya mendukung dan membenarkan Hitler dan suasana kebangsaan Jerman pada saat itu. Jadi, positif. Sedangkan golongan kedua tidak dapat dan tidak mau mengikuti Hitler dan mayoritas penduduk yang memuja-muja paham Naziisme, bahkan melawannya dengan membentuk gerakan-gerakan bawah tanah untuk menumbangkan Hitler. Jadi, sikapnya negatif. Dalam hal ini jelas, bahwa yang negatif itu justru yang baik, sedang yang positif justru yang buruk. Contoh lain yang dewasa ini masih sangat aktual ialah situasi keagamaan di Afrika Selatan. Gereja Gereformeerd Kulit Putih di sana sikapnya positif terhadap pemerintahan Apartheid yang rasialis. Gereja itu tidak hanya mendukung, tetapi bahkan juga menjadi pembelanya yang gigih. Di sini, kepositifan gereja itu jelas justru tidak baik dan tidak dapat dibenarkan.
Contoh-contoh yang dikemukakan mengenai Jerman dan Afrika Selatan di atas kiranya menyadarkan kita agar kita bersikap kritis, baik terhadap keadaan dan perkembangan masyarakat kita maupun terhadap ajaran-ajaran keagamaan kita sendiri. Sebagai umat beragama, tentu saja sikap positif atau negatif kita terhadap keadaan dan perkembangan masyarakat harus didasarkan pada keyakinan dan ajaran keagamaan yang kita anut. Namun, kita juga harus bersikap kritis, apakah ajaran-ajaran keagamaan kita itu memang sudah benar dan tepat dinilai dari tuntutan-tuntutan kebenaran dan keadilan berdasarkan iman? Selanjutnya, sebagaimana di depan telah disinggung, tujuan pendidikan nasional kita secara ringkas dan padat dapat dirumuskan sebagai upaya untuk "meningkatkan harkat dan martabat manusia", sehingga manusia-manusia Indonesia itu akan memiliki kualitas-kualitas kemanusiaan yang religius, berpendidikan dan berkeahlian profesional untuk menunjang dan mengembangkan kehidupannya, berperikemanusiaan dan berkesadaran sosial yang tinggi, dsb. Kualitas-kualitas tersebut, yang dipahami sebagai pancaran dan aspek-aspek dari harkat dan martabat kemanusiaan yang ingin diwujudkan, kiranya sejalan dengan pemahaman iman kita mengenai manusia sebagai citra Allah seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab. Dalam hubungan ini, kita dapat mengacu khususnya kitab Kejadian 1 dan 2. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia harus menghormati dan bertakwa kepada Sang Penciptanya. Sebagai pengemban mandat Allah untuk menguasai, mengembangkan, dan mengelola bumi beserta segala isinya, ia dikaruniai potensi akal budi dan keluhuran jiwa yang harus dikembangkan dan digunakannya dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Karena setiap dan semua manusia adalah citra Allah sendiri, maka di dalam kehidupannya manusia harus saling menghormati dan mengasihi, melalui solidaritas dan perikemanusiaan yang dijunjung tinggi. Alkitab juga mengajarkan kepada kita tentang hakikat manusia sebagai makhluk. Oleh kemakhlukannya itu, manusia harus menyadari akan keterbatasan-keterbatasannya dan kelemahan-kelemahannya. Tidak hanya itu, Alkitab juga mengajarkan tentang kenyataan manusia yang berada di bawah ancaman dan cengkeraman kuasa dosa. Oleh sebab itu, manusia juga dapat dan memang sering salah dan keliru, melawan dan memberontak terhadap tuntutan kebenaran dan keadilan Sang Pencipta. Itulah sebabnya, manusia harus kritis terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Dengan segala potensi yang dimilikinya, manusia tidak hanya dapat membangun dirinya sendiri dan sesamanya, tetapi juga merusak dan menghancurkannya. Syukur, bahwa Alkitab tidak hanya berhenti sampai di situ. Alkitab juga mengajarkan kepada kita bahwa Allah, berdasarkan kasih-Nya kepada manusia, berkenan menyelamatkan dan melindungi manusia, asal manusia mau mendengarkan dan menaati petunjuk-petunjuk-Nya, serta percaya dan hidup di dalam karya penyelamatan-Nya. Itulah sebabnya, bagi orang-orang beriman, hidup ini selain penuh dengan perjuangan dan kesulitan, juga selalu masih tetap mengandung pengharapan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk mengupayakan dan mencapai sesuatu yang lebih baik.
Bersambung ke edisi e-BinaSiswa 76/Mei/II/2017....
|