Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-binaanak/413

e-BinaAnak edisi 413 (24-12-2008)

Kesaksian Natal

 

___e-BinaAnak (Milis Publikasi Elektronik untuk Para Pembina Anak)____

  DAFTAR ISI EDISI 413/DESEMBER/2008

  - SALAM DARI REDAKSI
  - ARTIKEL 1: Natal -- Selalu Penuh Rahasia
  - ARTIKEL 2: Orang Majus yang Unik
  - WARNET PENA: Nuansa Natal dalam SABDA Space
  - MUTIARA GURU

______________________________________________________________________
o/ SALAM DARI REDAKSI o/

  Salam kasih,

  Natal selalu memiliki kisah tersendiri di hati orang-orang yang 
  memaknainya dengan dalam. Kesaksian-kesaksian Natal bergema 
  menyuarakan Natal yang indah dan penuh berkat. Demikian pula dalam 
  edisi pamungkas e-BinaAnak untuk tahun 2008 ini. Natal yang penuh 
  makna, redaksi gaungkan melalui kesaksian-kesaksian indah nan 
  memberkati dalam edisi ini. Biarlah malam Natal yang indah ini penuh 
  dengan kedamaian dan sukacita yang sama seperti lebih dari 2000 
  tahun yang lalu. Dan biarlah pula kita menyongsong tahun yang baru 
  dengan penuh asa dan iman teguh dalam Kristus, Sang Natal itu.

  Dan akhirnya, tiba saatnya bagi kami, segenap Tim Redaksi
  e-BinaAnak, mengucapkan kepada Rekan-Rekan sekalian,

           "SELAMAT HARI NATAL 2008 dan TAHUN BARU 2009"

  Harapan kami, segala yang terjadi di tahun ini membawa kita semua 
  melihat bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk 
  mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang berserah dan percaya 
  kepada-Nya. Dan di tahun mendatang, kita tetap percaya bahwa bersama 
  Yesus kita dapat melakukan perkara-perkara yang lebih besar lagi, 
  untuk hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin!

  Sampai jumpa dalam edisi-edisi e-BinaAnak 2009.

  Tim Redaksi e-BinaAnak,
  Davida Welni Dana
  Kristina Dwi Lestari
  Christiana Ratri Yuliani

             "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat,
         yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud." (Lukas 2:11)
            < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Lukas+2:11 >

______________________________________________________________________
o/ ARTIKEL 1 o/

                   NATAL -- SELALU PENUH RAHASIA
                        Oleh: Doris Swehla

  Phyllis bukan anak yang mudah untuk dikasihani. Saya menginginkan 
  yang terbaik baginya dan saya berdoa supaya Tuhan memberkatinya, 
  tetapi kadang-kadang saya memang berharap ia tidak termasuk dalam 
  kelompok sekolah minggu yang saya ajar. Rambutnya berserabut, kuku 
  tangannya kotor, dan hidungnya beringus. Ia menjauhi anak-anak yang 
  lain dan ia biasa berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. 
  Selain itu, ia tidak pernah duduk dengan tenang, ia benci disentuh, 
  dan kalau berbicara ia selalu tak mau mengalah.

  Waktu itu saya berumur 20 tahun, dan tahun itu untuk pertama kalinya 
  saya mempersiapkan sandiwara di gereja tua yang besar, Gereja Baptis 
  Tabernakel di sebelah barat Chicago. Pada permulaan masa Adven, saya 
  memegang lembaran ketikan naskah sandiwara Natal sambil berdiri di 
  depan anak-anak yang berkumpul.

  "Siapa yang mau mendapat peran yang terlibat dalam percakapan, 
  angkat tangan," kata saya, dan hampir semua anak mengangkat 
  tangannya. Tetapi, tentu saja tidak termasuk Phyllis. Dan setelah 
  membagikan peran untuk setiap anak yang berminat, saya masih 
  memunyai beberapa peran.

  "Phyllis," kata saya, "maukah kamu mengucapkan sedikit kata-kata
  dalam sandiwara Natal?"

  "Siapa bilang saya mau ikut sandiwara?" katanya sambil menyilangkan 
  tangannya di depan dada dan duduk miring ke belakang sehingga 
  kursinya hanya bertumpu pada kedua kaki belakangnya. "Pada malam 
  yang sama mungkin saya pergi ke pesta," katanya dengan angkuh.

  Tuhan, saya berdoa dalam hati, tolonglah saya untuk mengasihi
  Phyllis.

  "Tetapi kalau mau, saya masih memunyai beberapa peran."

  "Tidak akan," kata Phyllis, dan memang ia tidak mau.

  Pada waktu geladi bersih sore hari, anak-anak duduk di bagian depan 
  bangku gereja yang digelapkan. Mereka berbisik-bisik, sementara itu 
  orang-orang dewasa merapikan penutup kepala gembala-gembala yang 
  terbuat dari handuk mandi dan menyempurnakan letak lingkaran cahaya 
  yang terbuat dari perada di sekeliling kepala malaikat-malaikat.

  "Baiklah, ambil tempat masing-masing," teriak saya dari balik altar. 
  Pembawa cerita memulai: "Pada waktu itu, dikeluarkan suatu keputusan 
  ...." Saya merasakan desiran getaran halus. Sekali lagi saya terbawa 
  ke dalam cerita yang sudah lama terjadi.

  "Maria tidak kelihatan seperti mau melahirkan seorang bayi,"   
  tiba-tiba terdengar gumaman pelan yang serak di belakang saya. 
  Phyllis memang tidak mau ikut sandiwara, tetapi ia tidak mau 
  melewatkan acara geladi bersih!

  "Stttt!" bisik saya, sambil menepuk tangannya. Ia merenggut 
  tangannya dan berkata, "Iya, iya!"

  Di akhir adegan itu, lampu sorot hanya menyinari keluarga yang kudus 
  itu, dan anak-anak bersenandung menyanyikan lagu "Malam Kudus". 
  Bagus sekali -- tetapi siapa itu yang bergerak di depan palungan? 
  Phyllis! Anda tidak tahu di mana anak itu akan muncul. Sekarang ia 
  memasukkan tangannya ke dalam palungan, meremas tangan boneka yang 
  ada di dalamnya, dan menghilang di tengah kegelapan.

  "Phyllis," kata saya, "apa yang kaulakukan di sana?"

  "Saya hanya melihat-lihat," katanya. "Lagi pula di dalamnya bukan
  bayi. Hanya sebuah boneka. Saya menyentuhnya."

  Tuhan, tolonglah saya untuk mengasihi Phyllis.

  "Baiklah," kata saya kepada para pemain. "Setiap orang harus sudah
  ada di sini pada pukul setengah tujuh untuk berganti pakaian dan
  bersiap-siap supaya dapat dimulai tepat jam tujuh. Sampai nanti
  malam."

  Phyllis menghentakkan kakinya di sepanjang jalan di antara deretan 
  tempat duduk, bersama anak-anak yang mau pulang. Mudah-mudahan, 
  pikir saya, ia sudah puas melihatnya sore ini dan tidak kembali 
  malam nanti. Saya tahu pikiran seperti itu bukan suatu tanggapan 
  orang Kristen, tetapi saya benar-benar mengharapkan supaya sandiwara 
  itu berjalan dengan lancar.

  Sekitar pukul 18.45 suasana di balik panggung ramai dan sibuk. Para 
  malaikat saling membantu mengenakan jubah yang terbuat dari seprai. 
  Yusuf dan orang-orang majus mengatur kawat janggut yang dikaitkan di 
  belakang telinga mereka. Maria memandang ke cermin, mencoba untuk 
  menangkap ekspresi yang tepat sebagai ibu Juru Selamat. Saya 
  berjalan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain, membantu 
  sebisa mungkin. Phyllis tidak terlihat dan saya mulai tenang.

  Satu menit sebelum pukul tujuh, Ny. Wright masuk. Ia menggendong 
  bayinya yang mungil yang baru lahir. Bayinya terbungkus kain putih, 
  bayi ini akan mengganti boneka yang kami pakai dalam geladi bersih. 
  "Bayi ini baru disusui," katanya, "jadi ia akan tidur selama 
  sandiwara."

  "Anda dapat menaruhnya di palungan sesudah lampu dipadamkan," bisik
  saya.

  Ketika suara piano mulai terdengar, saya duduk di kursi saya, yang 
  disediakan untuk juru bisik di barisan depan bangku gereja. Diiringi 
  dengan alunan musik pembuka, "Penjaga, Beritakan kepada Kami", 
  palungan itu disoroti cahaya lampu dan pembawa cerita memulainya.

  Tetapi bukannya merasakan getaran seperti biasanya apabila saya 
  mendengar awal cerita Natal, saya malahan merasa sesuatu menghantam 
  dan mendorong lutut saya. "Geser," terdengar suara yang sudah saya 
  kenal betul. "Saya tidak jadi pergi ke pesta."

  Tanpa melepaskan pandangan dari sandiwara yang sedang berlangsung,
  saya bergeser dan menepuk lutut Phyllis. Tetapi ia menepiskan tangan
  saya kembali ke pangkuan saya.

  "Saya berusaha, ya Tuhan," kata saya.

  Para malaikat bernyanyi di depan para gembala. Para gembala kembali 
  ke Bethlehem dan mengambil anak domba untuk dipersembahkan kepada 
  bayi Yesus. Orang-orang majus menghadap Raja Herodes, lalu mereka 
  pergi ke palungan. Maria duduk di palungan "menyimpan segala perkara 
  itu di dalam hatinya dan merenungkannya". Bagus sekali. Phyllis 
  duduk dengan tenang sampai saya lupa ia berada di sebelah saya, 
  tetapi waktu saya menyadari ia sudah pergi, sudah terlambat.

  Ia menghentakkan kakinya menuju palungan seperti yang dilakukannya 
  pada waktu geladi bersih. Tetapi kali ini ia terkejut, terpesona, 
  lalu membalik, matanya terbelalak takjub, dan cepat-cepat kembali 
  menemui saya.

  "Dia hidup!" bisiknya dengan suara yang cukup keras.

  Dari barisan tempat duduk di seberang, seseorang bertanya, "Apa
  katanya?"

  "Katanya, `Dia hidup!`"

  Seperti riak air di kolam, kata-kata itu diteruskan dari barisan
  demi barisan sampai kembali lagi ke depan altar. "Dia hidup ...
  hidup ... hidup." Suasana menjadi gempar karena setiap orang
  merasakan hadirat Yesus.

  Dan itu adalah alasan sebenarnya dari apa yang kita rayakan. Dia
  hidup! Imanuel -- Tuhan beserta kita, Tuhan yang sudah menjelma
  menjadi manusia. Anak perempuan yang keras dan sukar dikendalikan
  sudah membawa kembali pesan Natal yang agung. Tuhan hidup!

  Lampu dinyalakan, dan waktu kami berdiri menyanyi "Kesukaan bagi
  Dunia", suara itu menggetarkan gereja kami yang besar dan tua, dan
  itu belum pernah terjadi sebelumnya.

  Saya menaruh lengan saya di sekeliling bahu Phyllis yang kecil dan 
  sempit. "Kamu adalah bagian yang terbaik dari sandiwara ini," bisik 
  saya, sambil menariknya ke arah saya.

  "Saya tidak ikut sandiwara ini," katanya. Tetapi kali ini ia tidak
  mendorong saya.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal
  Judul asli buku:  The New Guideposts Christmas Treasury
  Penulis: Doris Swehla
  Penerjemah: Ir. Ny. Christine Sujana
  Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1998
  Halaman: 84 -- 87

______________________________________________________________________
o/ ARTIKEL 2 o/

                        ORANG MAJUS YANG UNIK
                         Oleh: Tema Adiputra

  Perayaan Natal saat aku duduk di kelas 3 SD di Kebayoran Baru, 
  Jakarta, masih terekam kuat dalam benak dan hatiku. Terbukti dengan 
  tetap teringatnya nama guru sekolah mingguku, Ibu Anna, dan nama 
  pembina sekolah minggu, Ibu Wirakotan (istri Pdt. Wirakotan yang 
  melayani GKI Kebayoran Baru). Itulah Natal pertamaku dan juga tahun 
  pertamaku sebagai murid sekolah minggu di Jakarta, sejak aku datang 
  dari Sibolga, Tapanuli Tengah, dan merantau ke ibu kota negara RI 
  ini. Aku tinggal bersama abang tertuaku yang baru menikah dan ia 
  membiayaiku.

  Sebagai anak "ingusan" yang berasal dari daerah, tentu saja ada 
  sedikit perasaan minder saat bergaul dengan teman-teman sekolah 
  minggu itu. Bayangkan, bergaul dengan anak-anak Jakarta, yang 
  tinggal di Kebayoran Baru pula -- bagian kota Jakarta yang dihuni 
  oleh sebagian besar orang-orang kaya. Sekalipun rumah abangku 
  terletak di jalan Panglima Polim, itu hanyalah sebuah paviliun yang 
  dikontrak. Nah, pada Natal tahun 1970 itu, gereja mendapat kado 
  istimewa dari TVRI -- satu-satunya siaran televisi waktu itu, dan 
  masih berlayar hitam putih -- berupa undangan bagi sekolah minggu 
  untuk mengisi acara Natal di TVRI. Wah ..., betapa senangnya kami. 
  Apalagi aku, orang kampung ini, baru setahun di Jakarta, sudah 
  berkesempatan masuk televisi, dan siaran langsung pula! "Wah ... wah 
  ..., terkenallah nanti awak ini," demikian gumamku dalam hati. Maka, 
  kami sibuk latihan drama Natal secara intensif. Aku mendapat peran 
  sebagai salah satu dari orang majus yang datang memberikan 
  persembahan untuk Bayi Yesus.

  Kami berlatih di gereja. Dari sore sampai malam. Sepulang latihan, 
  teman-temanku banyak yang dijemput oleh orang tuanya dengan mobil, 
  sementara aku pulang berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja 
  hanya sekitar 10 menit. Bagiku, latihan-latihan itu cukup menguras 
  tenaga. Sekalipun aku masih duduk di kelas 3 SD, sejak pagi tenagaku 
  sudah cukup terkuras. Aku harus mengepel dan membersihkan rumah, 
  menyetrika, juga berbelanja ke pasar, yang jaraknya sekitar 20 menit 
  dari rumah (pasar ini dekat sekolahku). Kemudian memasak nasi dan 
  sayur, bergantian dengan abangku yang satunya. Setelah semua 
  selesai, baru pergi ke sekolah. Ada tugas tambahan mengasuh anak 
  pertama abang tertuaku. Dan, yang tidak boleh tertinggal ialah 
  mengerjakan PR! Dalam suasana seperti inilah aku "menikmati" sekolah 
  minggu dan persiapan tampil di TVRI itu untuk bermain drama Natal.

  Hari untuk pentas di TVRI sudah semakin dekat. Kami semakin 
  bedebar-debar. Segala persiapan teknis terus dilakukan, terutama 
  kostum. Aku dan teman-teman yang berperan sebagai orang majus pun 
  mulai sibuk. Kami diberi pengarahan mengenai kostum orang majus itu 
  untuk diberitahukan kepada orang tua masing-masing. Ya, pada 
  prinsipnva kostumnya seperti yang biasa dipakai para pemain drama 
  Natal di mana pun. Berbentuk jubah! Aku pun memberitahukan hal ini 
  kepada kakak iparku (karena dialah pengganti Ibu selama ini). Aku 
  mengatakan bahwa perlu menjahit jubah dari bahan kain panjang. Dan, 
  harus segera dibuat karena waktu pentas di TVRI semakin dekat. Hmm 
  ..., aku membayangkan apa yang kuminta itu tentu tidak akan 
  bermasalah. Namun ternyata, kostum orang majus yang akan kupakai 
  nanti tidak berbentuk jubah, tetapi kimono yang akan dipinjamkan 
  dari Tante -- kakak dari kakak iparku! Duhhh ..., betapa terkejutnya 
  aku, betapa sedih hatiku, betapa malunya aku terhadap dua orang 
  temanku yang memerankan orang majus dalam drama itu. Wah ..., 
  bagaimana, nih? Selayaknya anak kecil, tentu saja kucoba lagi 
  meminta kepada kakak iparku untuk menyediakan jubah, namun tetap 
  saja kimono yang akan disediakan karena untuk menghemat biaya! Yah, 
  aku pun tak berkutik. Dengan sedikit malu dan juga sedih, aku 
  berusaha tampil sebaik mungkin dalam drama Natal di TVRI. Syukurlah, 
  waktu itu, warna televisi masih hitam putih. Karena kalau tidak, 
  warna merah menyala kimono milik Tante itu dapat menyilaukan mata 
  pemirsa!

  Ya, begitulah ... dalam sorotan lampu yang terang di studio TVRI, 
  dalam acara "live" drama Natal anak-anak Sekolah Minggu GKI 
  Kebayoran Baru, orang majus memberikan persembahan untuk Bayi Yesus 
  di palungan. Kalau diperhatikan, salah satu dari orang Majus yang 
  mempersembahkan mur itu mengenakan jubah yang berbeda, he he he. 
  Semoga waktu itu, pemirsa tidak berkata, "Ada orang Jepang kesasar 
  di Bethlehem!" Dan bersyukur pula, orang majus yang berkimono itu 
  tak langsung tidur malam di studio TVRI usai bermain drama! Ia masih 
  ingat pulang ke rumah!

  Apakah aku "ditakdirkan" untuk berperan sebagai orang majus di acara 
  drama Natal? Wah, mana kutahu, bah! Sebagai pengikut Kristus, tentu 
  aku tidak boleh percaya pada "takdir-takdiran". Namun, ternyata 
  pada saat duduk di bangku kuliah di kampus Rawamangun, sesuatu 
  terulang lagi dalam kehidupanku. Kala itu aku sudah pindah rumah ke 
  daerah di dekat Menteng, Jakarta Pusat (mengikuti keluarga abang 
  tertuaku). SMA-ku pun berlokasi di dekat stasiun kereta api Gambir. 
  Oleh sebab itu, aku bergereja di GKI Kwitang, Jakarta Pusat. Di 
  gereja inilah aku aktif di persekutuan pemuda-remaja. Dan, di gereja 
  ini juga, aku memperoleh baptis sidi yang dilayani oleh Pdt. Sam 
  Gosana.

  Suatu saat, saudaraku, guru sekolah minggu di gereja itu, mengajakku 
  ikut bergabung dalam drama Natal yang akan dipentaskan di gedung 
  pertemuan Granada Semanggi (kami suka menyebutnya gedung Piring 
  Terbang). Memang, waktu itu GKI Kwitang memusatkan perayaan Natal di 
  gedung besar itu untuk menghindari perayaan Natal yang harus 
  dilakukan berkali-kali karena gedung gereja tidak sanggup menampung 
  jumlah jemaat yang ada. Dan, aku mau menerima tawaran itu, karena 
  memang drama Natal ini terbuka untuk seluruh jemaat. Nah, saat 
  dilakukan "casting" ... aku terpilih lagi sebagai salah satu dari 
  orang majus itu! Yah ..., kunikmati sajalah!

  Mulailah kami berlatih. Sutradara drama Natal ini adalah Bapak 
  Montolalu. Beliau sangat demokratis dan sangat memerhatikan talenta 
  orang-orang yang dilatihnya. Bahkan, "setting" drama Natal ini pun 
  tidak bernuansa Timur Tengah, tetapi bernuansa orang-orang desa di 
  Indonesia. Ini satu pengalaman manis untukku saat mengikuti drama 
  Natal tersebut. Waktu itu, aku bisa memainkan beberapa alat musik 
  sebagai "bakat alam", tidak sampai mahir betul. Salah satunya 
  memainkan harmonika. Aku mengusulkan kepada saudaraku, guru sekolah 
  minggu itu, untuk memakai musik-musik agar drama Natal tersebut 
  lebih menarik. Usulanku disampaikannya pada Bapak Montolalu. Setelah 
  diuji waktu latihan, akhirnya aku ditunjuk menjadi penanggung jawab 
  musik drama Natal itu. Dan, semua pemain pun memberi dukungan, maka 
  dengan senang hati aku melakukan tugas tambahan tersebut. Aku sibuk 
  mencari musik di kaset-kaset, sampai merekam permainan musik 
  harmonikaku di rumah seorang jemaat. Semua kujalani dengan "enteng" 
  karena memang hobi.

  Kemasan drama Natal ini memang lain dari biasanya. Selain 
  menggunakan kostum pedesaan, juga turut serta seekor burung kakaktua 
  sebagai pelengkap. Nah, bagaimana dengan kostum orang-orang majus? 
  Kali ini kostum utamanya berupa kain sarung yang digantung di 
  pundak, memakai celana panjang petani, dan berkaus oblong! 
  Persembahan yang dibawa untuk Bayi Yesus pun bukan emas, kemenyan, 
  dan mur, melainkan berupa hasil ladang! Pokoknya, semua pemain 
  tampil dengan kostum warna-warni khas orang pedesaan. Kecuali Raja 
  Herodes dan timnya, tampil dengan kostum lebih semarak.

  Tiba saatnya kami "manggung" di gedung Granada kebanggaan orang 
  Jakarta ini. Jemaat yang hadir dalam perayaan Natal tersebut hampir 
  memenuhi semua bangku yang ada. Kami yang berada di "floor" bersiap 
  tampil di pangung. Pembawa acara pun memberi tanda bahwa drama Natal 
  dimulai! Satu per satu pemain pun bergaya di pangung. Sampai 
  kemudian, orang majus pun mendapat giliran memberikan persembahan 
  kepada Bayi Yesus. Ketika giliranku, inilah kata-kata yang terucap 
  dengan tenang dan polos: "Oh, Mesias ... terimalah persembahanku 
  ini, yang hanya berupa sayur-mayur, ubi, dan singkong!" (Dan ..., 
  gerrrrrrrr ... aku mendengar jemaat tertawa!) Hmm ..., sungguh drama 
  tersebut sangat berkesan bagiku, sampai sekarang terus teringat.

  Perayaan Natal yang kita nikmati dan kita lakoni masih berlangsung
  sampai sekarang. Bahkan, drama Natal dari tahun ke tahun tetap sama,
  dan kita masih senang menontonnya. Apakah hal ini karena hanya
  ditampilkan setahun sekali? Ataukah memang ada sisi melankolik yang
  menyentuh emosi dan mata rohani kita di penghujung tahun? Sebuah
  sentuhan perenungan hidup setelah hampir 12 bulan bekerja keras
  mempertahankan dan mengembangkan kehidupan kita pribadi maupun
  keluarga kita? Tentu, setiap orang akan memiliki pandangannya
  masing-masing.

  Bagiku, perayaan Natal yang kualami saat kelas 3 SD itu telah 
  menghadirkan sesuatu yang sangat berkesan dan sangat dalam. Jelas, 
  sebagai orang udik yang baru mengecap atmosfer kota Jakarta, 
  keikutsertaanku dalam drama Natal di sekolah minggu itu merupakan 
  lompatan budaya sekaligus sebagai lompatan kehidupan rohani. Tak 
  sedikit "peperangan batin" kualami manakala mulai beradaptasi dalam 
  pergaulan dengan teman-teman di sekolah minggu, sampai akhirnya 
  puncaknya adalah kerja sama dalam bermain drama Natal di TVRI! Tentu 
  saja aku sangat berterima kasih pada abang tertuaku dan istrinya. 
  Mereka telah menunjukkan tanggung jawabnya pada seorang "anak" dan 
  juga pada Tuhan. Mereka tidak ingin aku -- yang dipercayakan kepada 
  mereka -- menjadi orang yang "semau gue", boros, manja, dan tidak 
  takut akan Tuhan! Hmm ..., tentu pada waktu itu -- sebagai anak 
  kecil -- aku masih ingat saat di mana aku menangis meraung-raung 
  karena dimarahi. Aku menangis meraung-raung di lantai sampai masuk 
  ke kolong sofa panjang di ruang tamu. Aku memanggil-manggil Ibu! 
  Yah, itu telah menjadi secuil bagian sejarah hidupku.

  Drama Natal tersebut juga telah menjadi sebuah batu loncatan, yang 
  mungkin tidak kusadari. Dan, aku telah melihat dampaknya saat ini. 
  Tuhan telah meletakkan bakat seni dalam diriku (kami sekeluarga 
  senang bernyanyi dan bermain musik). Dan, bakat seni itu terus 
  berkembang sampai sekarang. Siapa yang menyangka, ketika aku aktif 
  di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, salah satu bakatku 
  yang tersalurkan adalah membuat naskah-naskah drama Natal dan 
  Paskah, sekaligus menyutradarainya? Bahkan, drama Natal yang kubuat 
  di akhir perkuliahanku dipesan untuk manggung di perayaan Natal 
  sebuah gereja di aula Kelapa Gading Sport Club. Juga, pada saat aku 
  merangkap profesi sebagai guru dan penyiar radio, di SMA tempat aku 
  mengajar, dengan senang hati aku membuatkan naskah drama Natal 
  sekaligus menyutradarainya. Puji Tuhan, naskah-naskah ini pun 
  diizinkan Tuhan untuk dipentaskan oleh sekolah lain dan gereja 
  tertentu.

  Peran sebagai salah "seorang" dari orang majus yang memberi 
  persembahan kepada Bayi Yesus, telah memberi pesan khusus kepadaku. 
  Dua kali aku melakoni peran itu. Dan, persembahan yang diberikan pun 
  berbeda. Bagiku, hal ini bermakna ketulusan hati dalam memberi 
  persembahan kepada Tuhan, apa pun bentuknya. Ketika ketulusan 
  melingkupi hati kita, sejauh apa pun jaraknya, tetap kita tempuh. 
  Seberat apa pun tantangan yang menghadang, tetap kita hadapi dan 
  singkirkan, demi memberikan persembahan kepada Pribadi yang kita 
  kasihi, kita hormati, dan kita agungkan!

  Orang-orang majus itu datang dari Timur ke Yerusalem. Kemudian 
  bintang yang mereka lihat di Timur itu menuntun mereka menuju tempat 
  Sang Bayi dilahirkan, di Bethlehem. Maka, masuklah mereka ke rumah 
  itu, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta 
  bendanya dan menyerahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, 
  kemenyan, dan mur.

  Orang-orang majus telah membuktikan kasih mereka kepada-Nya. Akankah 
  kita selalu ingat bukan sekadar pada orang-orang majus itu? Ada 
  kasih yang melebihi kasih orang-orang majus itu! Dalam sebuah peran 
  lain ketika bermain drama Natal, juga saat aku masih di sekolah 
  minggu -- kami berlima tampil ke depan panggung. Di leher kami 
  tergantung tali yang mengikat kertas besar terjurai sampai perut. 
  Kertas itu terbalik, padahal berisi sebuah huruf. Aku, sebagai orang 
  pertama, membalikkan kertas itu, maka muncullah huruf "K". Dan 
  selanjutnya, keempat temanku pun membalikkan kertasnya sehingga 
  berurutanlah huruf itu menjadi: K-A-S-I-H. Yang paling kuingat 
  adalah huruf "K" milikku itu. Aku pun meneriakkannya dengan suara 
  nyaring agar didengar seluruh hadirin: "K ... `Karena Allah begitu 
  mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang 
  tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, 
  melainkan beroleh hidup yang kekal`" (Yohanes 3:16).

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: My Favourite Christmas
  Penulis: Tim Penulis GCM
  Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
  Halaman: 93 -- 104

______________________________________________________________________
o/ WARNET PENA o/

                 NUANSA NATAL DALAM SABDA SPACE
            http://www.sabdaspace.org/kategori/natal/
        http://www.sabdaspace.org/kategori/renungan_natal/

  Berbagai cara dapat dilakukan untuk merayakan maupun memaknai Natal. 
  Beberapa blogger Kristen sepakat untuk menuliskan hal-hal seputar 
  Natal dari kacamata mereka melalui komunitas blogger kristiani, 
  SABDA Space. Berbagai renungan, refleksi, kesaksian, maupun ide-ide 
  seputar Natal dituangkan dalam komunitas ini. Apakah Anda ingin 
  berbagian juga bersama dengan mereka? Silakan kunjungi URL di atas. 
  Berikut beberapa tulisan seputar Natal yang dapat Anda jumpai dalam 
  SABDA Space.

  1. Christmas Wish (Purnawan Kristanto)
     http://www.sabdaspace.org/christmas_wish/

  2. Tangisan Yesus di Hari Natal (ayubw)
     http://www.sabdaspace.org/tangisan_yesus_di_hari_natal/

  3. Natal Pertama (hai hai)
     http://www.sabdaspace.org/natal_pertama_0/

  Selamat berkunjung.

  Oleh: Davida (Redaksi)

______________________________________________________________________
o/ MUTIARA GURU o/

                 Natal bukanlah sekadar suatu hari,
                   suatu peristiwa yang dirayakan
                dan kemudian dengan segera dilupakan.
               Natal adalah semangat yang semestinya
               mewarnai setiap bagian kehidupan kita.
                         - William Parks -

______________________________________________________________________
Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan ke redaksi:
<binaanak(at)sabda.org> atau <owner-i-kan-binaanak(at)hub.xc.org>
______________________________________________________________________
Pemimpin Redaksi: Davida Welni Dana
Staf Redaksi: Kristina Dwi Lestari dan Christiana Ratri Yuliani
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) e-BinaAnak 2008 -- YLSA
http://www.ylsa.org/ ~~ http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________
Anda terdaftar dengan alamat email: $subst(`Recip.EmailAddr`)
Alamat berlangganan: <subscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org>
Alamat berhenti: <unsubscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org>
Arsip e-BinaAnak: http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/
Pusat Elektronik Pelayanan Anak Kristen: http://pepak.sabda.org/

Bergabunglah dalam Network Anak di Situs In-Christ.Net:
http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_anak

______________PUBLIKASI ELEKTRONIK UNTUK PEMBINAAN GURU_______________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org