Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/bio-kristi/157 |
|
Bio-Kristi edisi 157 (8-3-2016)
|
|
Buletin Elektronik BIO-KRISTI (Biografi Kristiani) _________________________Edisi 157/Maret 2016_________________________ Bio-Kristi -- Dwight L. Moody Edisi 157/Maret 2016 Salam damai dalam Kristus, Kematian Kristus di kayu salib menjadi pesan yang menggema jelas dalam sejarah manusia bahwa Allah begitu mengasihi manusia. Yohanes 3:16 dengan jelas menyatakannya kepada kita, dan kisah hidup Yesus menjadi pembuktiannya. Pesan Paskah di setiap gereja di segala abad dan tempat juga selalu mendengungkannya. Lalu apa? Kasih Allah tidak perlu lagi dibuktikan dan kisah kematian-Nya sudah terlalu jelas bagi kita. Kita tidak perlu lagi merasakan euforia yang sama setiap kali masa Paskah berlangsung, melainkan respons kita untuk menanggapi kasih Allah yang demikian besar itu. Bagaimana kita akan menanggapi kasih-Nya di dalam hidup kita? Edisi Paskah publikasi Bio-Kristi kali ini akan menyajikan renungan mengenai memberi diri untuk dapat dipakai demi kemuliaan nama-Nya, serta artikel mengenai riwayat dari pengkhotbah besar, Dwight L. Moody, yang memberikan hidupnya bagi Tuhan dengan melakukan penginjilan di Amerika dan Eropa. Kiranya kedua artikel tersebut akan menginspirasi kita semua untuk melakukan apa yang menjadi rencana dan kehendak Tuhan di dalam hidup kita. Segenap redaksi publikasi Bio-Kristi mengucapkan selamat Paskah kepada pembaca Bio-Kristi semua. Kasih Allah di dalam Yesus Kristus kiranya senantiasa terpancar dalam diri dan kehidupan kita. Hossiana! -- Tetapi bukan aku lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalamku -- Pemimpin Redaksi Bio-Kristi, N. Risanti < okti(at)in-christ.net > < http://biokristi.sabda.org/ > RENUNGAN PASKAH: MEMBERI DIRI Melalui salah satu renungannya di dalam buku "My Utmost for His Highest", Oswald Chambers berkata, "Hidup-Nya (Yesus) merupakan kegagalan mutlak dilihat dari setiap sudut pandang. Namun, hal yang tampaknya berupa kegagalan dari sudut pandang manusia justru merupakan kemenangan dari sudut pandang Allah karena maksud Allah tidak pernah sama dengan maksud manusia." Bagi dunia yang sangat menjunjung tinggi kesuksesan materi, popularitas, kemampuan dan kekuatan diri, serta pencapaian prestasi, tentu saja kisah kehidupan Yesus tidak akan menjadi sebuah referensi dari sebuah kehidupan yang berhasil. Ia hanya seorang guru yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain, memiliki beberapa murid yang tidak bisa dibilang terpandang reputasinya, tidak populer di kalangan penguasa dan golongan berpengaruh kaum Yahudi, tidak mempunyai rumah atau daftar investasi yang panjang, ditolak di tempat asal-Nya sendiri, bahkan tidak mampu untuk membela diri-Nya sendiri. Kematian-Nya yang tragis di kayu salib kian menambah daftar kegagalan-Nya, yang bagi manusia pada zaman ini justru merupakan suatu bukti nyata akan ketidakberdayaan. Namun, ada yang dilupakan oleh dunia. Yesus memang tidak memiliki semua ukuran yang kita sebut sebagai kesuksesan itu, tetapi Dia memberi diri-Nya. Yah, memberi diri, sebuah esensi yang tidak kita miliki, yang justru menampakkan betapa miskin, lemah, dan tidak berdayanya kita. Kejatuhan manusia di dalam dosa membuat manusia terpuruk dan berusaha untuk mengatasi kekosongan dan ketidakberdayaan di dalam dirinya dengan hal-hal yang hampa dan bersifat fana. Namun, uang, kuasa, kekuatan, pengakuan, dan segala pencapaian manusia tidak akan pernah mampu mengisi kekosongan dan kerinduan manusia yang terdalam. Kita membutuhkan Allah, dan hanya Yesus yang mampu menyediakannya. "Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah." (Yesaya 53:4) Dengan memberi diri, Yesus sesungguhnya tidak hanya menyatakan betapa berkuasa dan berdaya diri-Nya. Kematian-Nya di kayu salib menjadi sebuah epic yang menunjukkan kepada manusia bahwa kasih Allah merupakan hal paling berharga di dalam kehidupan ini. Kasih, dalam bentuk pemberian diri, adalah pencapaian tertinggi yang pernah dilakukan oleh seorang manusia di dalam diri Yesus. Stefanus, Petrus, Paulus, Lukas, Martin Luther, John Huss, dan Dietrich Bonhoeffer hanyalah sebagian kecil dari pengikut-Nya yang kemudian hidup dengan meneladani diri-Nya dalam menyangkal diri, memikul salib, dan memberi diri. Mereka sesungguhnya juga miskin seperti kita dan sangat membutuhkan anugerah Allah. Namun, dibanding tergiur untuk mengisi kemiskinan dan kegagalan jiwa mereka dengan menggapai apa yang dunia tawarkan, mereka justru mengambil langkah sebaliknya. Mereka memberi hidup dan diri mereka agar dapat dipakai untuk melaksanakan rencana Allah meski akhirnya harus menuai risiko pedih, kematian. Sama seperti Kristus, hidup mereka akhirnya menjadi persembahan yang harum di hadapan Allah, yang memuliakan dan merefleksikan kehadiran Allah dengan menggemakan pesan, "Kristus hidup di dalamku!" Dalam dunia yang suram, egois, dan hanya berpikir bagi dirinya sendiri seperti saat ini, akankah kita menanggapi panggilan Allah untuk mengikuti-Nya dan memberi diri bagi-Nya? Kita tidak selalu harus menjadi martir atau mempertaruhkan nyawa dalam menyediakan diri bagi- Nya. Menjadi garam dan terang di mana kita ditempatkan, mengabarkan Injil kepada mereka yang membutuhkan, merefleksikan kasih Kristus di dalam kehidupan sehari-hari, atau berbagi hidup dengan sesama dan mereka yang membutuhkan merupakan sebagian hal yang dapat kita lakukan untuk mempersembahkan hidup kepada-Nya. Pertanyaannya sekarang menjadi, maukah kita? Kiranya kasih Kristus yang melampaui segala akal akan memampukan kita untuk memberikan hidup yang sungguh membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Amin. Diambil dari: Nama situs: Paskah Alamat URL: http://paskah.sabda.org/memberi_diri Penulis renungan: N. Risanti Tanggal akses: 12 Februari 2016 RIWAYAT: DWIGHT L. MOODY (1837 -- 1899) "Apabila dunia ini ingin dijangkau, saya yakin bahwa hal itu harus dilakukan oleh para pria dan wanita dengan talenta rata-rata." Dengan energi fisik yang tidak terbatas, kelihaian alami, kepercayaan diri, dan optimismenya yang abadi, Dwight Lyman Moody bisa saja menjadi raksasa industri pada masa Gilded Age seperti John D. Rockfeller atau Jay Gould. Sebaliknya, ia malah menjadi salah satu evangelis terbesar pada abad ke-19. Perjalanan ke YMCA Ia lahir di Northfield, Massachusetts, dalam sebuah keluarga tukang tembok Unitaris. Ayahnya meninggal ketika Moody berusia empat tahun, meninggalkan sembilan anak untuk dibesarkan oleh Betsey, ibunya. Ibunya tidak pernah mendorong Dwight untuk membaca Alkitab, dan ia hanya mendapatkan pendidikan yang setara dengan kelas 5 sekolah dasar. Ia berjuang sendiri pada usia 17 tahun dan menjual sepatu di toko di kota Boston milik pamannya. Ia juga pergi ke kelas-kelas di YMCA (The Young Men`s Christian Association -- sebuah organisasi untuk para pemuda kristiani - Red.) dan sekolah minggu, di mana ia menjadi seorang Kristen pada usia 18 tahun. Tidak lama setelah itu, ia pindah ke Chicago untuk menjual sepatu dan bekerja demi mencapai tujuannya yaitu mengumpulkan uang sebesar 100.000 dolar. Perlahan-lahan menjadi jelas bagi Moody bahwa dalam terang kepercayaannya yang baru, hidupnya tidak seharusnya dihabiskan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak seperti membantu para fakir miskin. Pada tahun 1858, ia mendirikan sekolah minggu misi di North Market Hall di permukiman kumuh di Chicago. Sekolah itu segera berkembang menjadi sebuah gereja (yang dari sana, enam tahun kemudian, dibentuk Illinois Street Independent Church, cikal bakal dari Moody Memorial Church yang terkenal sekarang ini). Pada tahun 1861, ia meninggalkan bisnisnya untuk berkonsentrasi pada pekerjaan sosial dan penginjilan. Ia menarik anak-anak dari para imigran kelas bawah yang berasal dari Jerman dan Skandinavia kepada misinya dengan permen dan mengendarai kuda poni, dan ia menarik orang-orang dewasa melalui persekutuan doa malam dan kelas bahasa Inggris. Ia meyakini bahwa, "Jika Anda bisa membuat seseorang percaya bahwa Anda mengasihinya, Anda telah memenangkannya." Di sana, ia bertemu dengan dan nantinya menikahi salah satu dari guru- guru sekolah minggu, Emma C. Revell, yang dengannya ia mendapatkan tiga anak. Sebagai presiden dari Chicago YMCA selama empat tahun, ia memperjuangkan misi-misi penginjilan seperti membagikan traktat ke seluruh penjuru kota, serta mengadakan persekutuan doa siang. Selama Perang Saudara, ia menolak untuk ikut berseteru, ia berkata, "Dalam hal ini, aku adalah seorang Quaker," tetapi ia bekerja melalui YMCA dan Komisi Kristen United States untuk menginjili para prajurit sekutu. Dengan tidak kenal lelah, ia berusaha mencari dan mendapatkan dukungan dana untuk seluruh proyeknya dari pengusaha-pengusaha Kristen kaya seperti Cyrus McCormick dan John Wanamaker. Dalam semua usahanya tersebut, ia mencoba untuk menggabungkan pekerjaan sosial yang efektif dengan penginjilan. Kebakaran besar Chicago pada bulan Oktober 1871 menghancurkan gereja misi Moody, rumahnya, dan YMCA. Ia pergi ke New York untuk menggalang dana demi membangun ulang gerejanya dan YMCA, tetapi ketika berjalan menyusuri Wall Street, ia merasakan apa yang dideskripsikannya sebagai "sebuah hadirat dan kuasa" yang tidak pernah diketahuinya sebelumnya, begitu kuat sehingga ia berteriak dengan keras, "Tahan Tuhan, itu sudah cukup!" Ia kembali ke Chicago dengan visi yang baru: mengabarkan tentang Kerajaan Allah, bukan pekerjaan sosial, yang akan mengubah dunia. Kemudian, ia mendedikasikan energinya yang begitu besar semata- mata hanya untuk "penginjilan dunia di generasi ini". Penginjilan yang Inovatif Moody percaya bahwa musik bisa menjadi alat yang sangat bernilai dalam kampanye penginjilannya, maka ketika, pada tahun 1870, ia mendengarkan Ira Sankey menyanyi di sebuah konvensi YMCA, ia meyakinkan Sankey untuk meninggalkan kariernya dalam pemerintahan yang bergaji tinggi untuk bergabung dengannya dalam mengikuti jejak serbuk gergaji (mengikuti jejak Kristus - Red.). Di waktu musim panas pada tahun 1873, Moody dan Sankey diundang untuk datang ke British Isles oleh penginjil Anglikan William Pennefather dan Cuthbert Bainbridge, tetapi kedua sponsor mereka tersebut meninggal sebelum Moddy dan Sankey tiba. Tanpa persetujuan resmi, Moody dan Sankey menggelar kampanye di York, Sunderland, dan Jarrow kepada kerumunan yang minimal. Di Newcastle, usaha penginjilan mereka mulai menuai pertobatan, dan semenjak saat itu popularitas mereka semakin meningkat. Setelah berkhotbah selama dua tahun di Ingris, Skotlandia, dan Irlandia, Moody kembali ke Amerika sebagai seorang revivalis yang terkenal di kancah internasional. Tentang ketenarannya, Moody mengakui, "Saya tahu persis bahwa ke mana pun saya pergi dan berkhotbah, masih banyak pengkhotbah yang lebih baik ... daripada saya; yang bisa saya katakan tentang itu adalah bahwa Tuhan memakai saya." Dengan segera, panggilan untuk promosi-promosi yang gencar terus mengalir. Selama promosi-promosi ini, Moody memelopori banyak teknik penginjilan: penginjilan dari rumah ke rumah warga saat pertama kali sebelum promosi; pendekatan ekumenis dengan mencatat kerja sama dari seluruh gereja lokal dan para tokoh awam penginjilan terlepas dari afiliasi denominasi; dukungan amal oleh komunitas bisnis; penyewaan gedung yang besar dan berpusat; pertunjukan dari seorang penyanyi rohani solo; dan penggunaan ruang pengakuan bagi mereka yang ingin bertobat. Secara bergantian, antara Eropa dan Amerika, Moody dan Sankey menyelenggarakan sejumlah kampanye penginjilan di hadapan lebih dari 100 juta orang. Dalam pertemuan mereka di Cambridge, Inggris, tujuh mahasiswa yang terkemuka, "Cambridge Seven" yang terkenal menyatakan diri mereka untuk menjadi misionaris di China (di bawah Hudson Taylor). Ia menggunakan segala kesempatan untuk berkhotbah. Ketika para manajer Pameran Dunia 1893 di Chicago memutuskan untuk tetap membuka pameran tersebut pada hari Minggu, banyak pemimpin Kristen menyerukan aksi boikot. Tidak dengan Moody. Ia mengatakan, "Mari kita buka begitu banyak tempat khotbah dan menyampaikan Injil dengan begitu menarik sehingga orang-orang ingin datang dan mendengarkan." Pada satu hari, lebih dari 130.000 orang datang ke persekutuan Injili yang diselenggarakan oleh Moody. Melatih Tentara Allah Melalui pekerjaan kebangunan rohaninya, ia melihat adanya kebutuhan akan sebuah tentara yang terbentuk dari orang-orang awam yang dilatih dengan Alkitab untuk melanjutkan pekerjaan penginjilan di dalam kota. "Apabila dunia ini ingin dijangkau," ia berkata, "saya yakin bahwa hal itu harus dilakukan oleh para pria dan wanita dengan talenta rata- rata. Lagi pula, hanya ada relatif lebih sedikit orang di dunia ini yang memiliki talenta yang besar." Pada tahun 1879, dia mendirikan Seminari Northfield untuk perempuan, diikuti dua tahun kemudian dengan Mount Hermon School untuk laki-laki. Pada tahun 1880, Moody mengundang orang-orang dewasa dan pemuda usia kuliah ke konferensi Alkitab musim panas yang pertama dari sekian banyak yang akan ada di rumahnya di Northfield. Konferensi ini membantu mendidik dispensasionalisme dan fundamentalisme yang baru saja digagaskan. Pada satu konferensi, Pergerakan Siswa Sukarelawan didirikan oleh 100 mahasiswa yang bersumpah untuk mengerjakan pekerjaan misi ke luar negeri setelah menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Akhirnya, pada tahun 1886, Moody memulai Bible-Work Institute of the Chicago Evangelization Society (berganti nama menjadi Moody Bible Institute setelah kematiannya), satu dari pergerakan sekolah Alkitab yang pertama. Dari pekerjaan ini, dia meluncurkan pekerjaan yang lain lagi, yaitu Colportage Association (nantinya akan menjadi Moody Press), sebuah organisasi yang menggunakan kereta kuda "Gospel wagons" (Gerobak Injil - Red.) yang melaluinya murid-murid menjual buku-buku dan traktat rohani dengan harga yang murah ke seluruh negeri. Meskipun dengan jadwalnya yang tidak mengenal lelah (ia berkhotbah enam kali sehari selama satu bulan sebelum dia meninggal dunia), ia sangat senang menghabiskan waktunya dengan anak-anak dan cucu-cucunya di peternakan mereka di Northfield, Massachusetts, di mana ia meninggal dunia. (t/Odysius) Diterjemahkan dari: Nama situs: Christianity Today Alamat URL: http://www.christianitytoday.com/ch/131christians/evangelistsandapologists/moody.html Judul asli artikel: Dwight L. Moody Penulis artikel: Tidak dicantumkan Tanggal akses: 28 April 2015 STOP PRESS: PELAYANAN LITERATUR SANGAT PENTING! DAPATKAN BAHANNYA SECARA GRATIS! Pelayanan literatur sangat penting! Pelayanan literatur berperan penting untuk pemberitaan firman Tuhan dan menuliskan apa yang baik, bermanfaat, dan berguna bagi kehidupan umat Allah. Publikasi e-Penulis hadir untuk mendukung pelayanan literatur Kristen di Indonesia. Dapatkan artikel, tip, resensi buku, pojok bahasa, tokoh penulis, dll. melalui publikasi ini, yang dikirim secara gratis ke email Anda sebulan sekali setiap Kamis pertama. Ayo, kembangkan potensi Anda di bidang literatur dengan berlangganan publikasi ini, caranya kirim email kosong ke < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >. Kiranya gairah Anda untuk terlibat dalam pelayanan literatur Kristen semakin berkobar sehingga memberi dampak bagi gereja, persekutuan, dan masyarakat Kristen Indonesia pada umumnya. Jangan lupa, perluas wawasan Anda dan temukan relasi nyata dengan sesama penulis di komunitas e-Penulis! Facebook e-Penulis: http://facebook.com/sabdapenulis Twitter sabdapenulis: http://twitter.com/sabdapenulis Kontak: biografi(at)sabda.org Redaksi: N. Risanti, Margaretha I., Odysius, dan Santi T. Berlangganan: subscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/Bio-Kristi/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |