Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/bio-kristi/146 |
|
Bio-Kristi edisi 146 (8-4-2015)
|
|
Buletin Elektronik BIO-KRISTI (Biografi Kristiani) _________________________Edisi 146/April 2015__________________________ Bio-Kristi -- Yap Thiam Hien Edisi 146/April 2015 Salam damai dalam Kristus, Ketika Kristus mati di kayu salib, ia melepaskan seluruh hak dan keistimewaan-Nya sebagai anak Allah demi menebus manusia, yang sesungguhnya tidak berhak dan tidak layak untuk menerima anugerah yang demikian mahal itu. Ia yang seharusnya berhak untuk menolak cawan pahit itu, mengambilnya supaya kita beroleh hidup. Jika demikian, apakah yang dapat kita lakukan untuk memaknai keselamatan yang sudah Ia berikan? Tokoh HAM, Yap Thiam Hien, yang akan kita bahas dalam edisi kali ini adalah salah satu contoh inspirasi untuk memaknai hidup yang berarti demi Kristus. Selamat Paskah kami ucapkan kepada pembaca Bio-Kristi semua. Kasih Kristus kiranya menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menjalani hidup yang sejati dan bermakna. -- Tetapi bukan aku lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalamku -- Pemimpin Redaksi Bio-Kristi, N. Risanti < okti(at)in-christ.net > < http://biokristi.sabda.org/ > RENUNGAN: SIMON DARI KIRENE "Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus." (Markus 15:21) Simon menggerutu di sela-sela napasnya. Kesabarannya selangka kelegaan di jalanan Yerusalem. Ia mengharapkan Paskah yang damai. Kota itu sangat ramai, dan Simon lebih menyukai ladangnya yang terbuka. Dan sekarang, sebagai puncaknya, tentara Romawi membuka jalan untuk seseorang yang siapa tahu sangat berwibawa, yang akan memimpin pasukannya dan menunggang kuda untuk melewati orang-orang. "Itu Dia!" Kepala Simon dan orang-orang lainnya menoleh. Dalam sekejap, mereka tahu. Ini bukan pembesar. "Itu adalah sebuah penyaliban," ia mendengar seseorang berbisik. Empat orang prajurit, seorang penjahat, empat tombak, dan sebuah salib. Di sudut bagian dalam salib terletak bahu terpidana. Bagian bawahnya menyeret debu. Bagian atasnya mengimbangi di udara. Orang yang dihukum itu menahan salib sekuat mungkin, tetapi tersandung karena salib itu begitu berat. Ia mendorong diri-Nya untuk berdiri dan terhuyung-huyung ke depan sebelum terjatuh kembali. Simon tidak dapat melihat wajah orang tersebut, hanya sebuah kepala yang dimahkotai dengan semak berduri. Perwira Romawi yang berwajah masam itu semakin mengancam dalam setiap kegagalan langkah. Ia mengutuk penjahat itu dan orang banyak. "Cepat!" "Kecil sekali kemungkinannya," kata Simon kepada dirinya sendiri. Pembawa salib itu berhenti di depan Simon dan berusaha untuk bernapas. Simon mengernyit pada apa yang dilihatnya. Balok itu bergesekan dengan punggung yang sudah terkelupas. Aliran berwarna merah mengalir di wajah pria itu. Mulutnya menganga karena kesakitan dan kesulitan untuk bernapas. "Nama-Nya Yesus," seseorang berbisik lembut. "Jalan!" perintah sang algojo. Namun, Yesus tidak dapat bergerak. Tubuh dan kaki-Nya mencoba untuk bergerak, tetapi Ia tidak dapat bergerak. Balok itu mulai limbung. Yesus mencoba untuk menyeimbangkannya, tetapi tidak bisa. Seperti pohon yang baru saja ditebang, salib itu mulai jatuh ke arah orang- orang. Semua orang menyingkir, kecuali si petani itu. Simon secara spontan membentangkan tangannya yang kuat dan meraih salib itu. Yesus jatuh ke tanah dengan wajah terlebih dahulu dan Ia tetap berada di sana. Simon mendorong salib itu kembali ke sisinya. Perwira itu melihat ke arah Kristus yang kelelahan dan pada kerumunan penonton, dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Ia menekan telapak tombaknya ke bahu Simon. "Kau, ambil salibnya!" Simon menyampaikan keberatannya, "Tuan, aku bahkan tidak mengenal Orang itu!" "Aku tidak peduli. Angkat salib itu." Simon menggerutu, menyeimbangkan balok itu di bahunya, dan melangkah keluar dari keramaian ke jalan, keluar dari ketidakpopuleran dalam sejarah, dan menjadi orang pertama dari jutaan orang yang antre untuk memikul salib dan mengikut Kristus. Ia melakukan secara harfiah atas apa yang Allah panggil untuk kita lakukan dalam perumpamaan: "memikul salib dan mengikut Yesus". "... Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." (Lukas 9:23) (t/N. Risanti) Diterjemahkan dari: Nama situs: Thoughts About God Alamat URL: http://www.thoughts-about-god.com/easter/max_easter2.html Judul asli artikel: Simon from Cyrene Carries Jesus` Cross Penulis artikel: Max Lucado Tanggal akses: 14 Maret 2014 KARYA: YAP THIAM HIEN Ditulis oleh: N. Risanti "Mengabaikan ketidakadilan dalam bentuk apa pun sesungguhnya adalah perbuatan melanggar dan penuh dosa." (Yap Thiam Hien, 1913 -- 1989) Latar Belakang Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada tanggal 25 Mei 1913, sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia adalah cucu dari Kapitan Yap Hun Han, yang berimigrasi dari provinsi Guangdong, China, ke Bangka, sebelum akhirnya pindah ke Aceh. Dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang kental dengan nuansa feodal, Yap Thiam Hien pun terbentuk menjadi pribadi pemberontak yang membenci segala bentuk penindasan atau kesewenang-wenangan. Ketika Yap berusia 9 tahun, ibunya meninggal. Kemudian, ia dan kedua adiknya dibesarkan oleh gundik kakeknya, seorang perempuan Jepang bernama Sato Nakashima. Ketika Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa, anak-anaknya pun memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan Eropa. Thiam Hiem pun bersekolah di Europesche Lagere School (Sekolah Eropa untuk pendidikan dasar - Red.), Banda Aceh. Kemudian, berlanjut ke MULO (Sekolah Eropa tingkat pendidikan menengah atau setara SMP - Red.) di Banda Aceh. Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya, Thiam Bong, pindah ke Batavia sehingga ia pun bersekolah di MULO Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta, dan akhirnya lulus pada tahun 1933. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia tinggal pada sebuah keluarga keturunan Jerman. Di sanalah awal mula ia mengenal gaya hidup Kristus dalam mewujudkan kasih, yang kemudian mendasari banyak prinsip hidupnya di kemudian hari. Pada masa itu pula, ia sangat tertarik akan sejarah dan banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin hingga menjadi fasih. Keinginan Yap untuk mengenal iman Kristen berlanjut saat ia memasuki Sekolah Guru di Batavia, tempat ia menjadi aktivis pemuda dan guru sekolah minggu. Setelah mengikuti katekisasi dan dibaptis di GKI Perniagaan, Yap Thiam Hien pun menjadi seorang Kristen pada usia 25 tahun. Yap kemudian menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon, serta guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan di Christelijke School di Batavia. Pada tahun 1938, ia bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada tahun 1943. Seusai kemerdekaan, Yap melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, dan akhirnya meraih gelar Meester de Rechten (Master dalam bidang hukum - Red.) Bekerja sebagai Advokat Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian bekerja sebagai advokat yang banyak membela warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Pada tahun 1950, ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar, sebelum akhirnya membuka kantor pengacaranya sendiri pada tahun 1970. Sebagai seorang advokat, Yap banyak membela hak-hak kaum minoritas dan orang tertindas, dalam hal ini etnis Tionghoa, yang banyak mengalami tindakan diskriminatif. Selain memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Yap juga mendirikan BAPERKI, suatu organisasi massa yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang Tionghoa, yang mengantarnya menjadi anggota Konstituante (DPR pada era 1955 - Red.) dalam Pemilihan Umum 1955. Nama Yap menjadi populer setelah menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia menjadi satu-satunya anggota konstituante yang menentang keberadaan pasal 6 UUD 1945 karena dianggapnya diskriminatif dengan konsep kepresidenan yang terlalu kuat. Sebagai seorang pengacara, uang tidak pernah menjadi tujuannya dalam membela perkara atau kasus seseorang. Motivasinya yang terbesar dalam membela seseorang adalah untuk melayani dan melindungi hak mereka di mata hukum. Hampir semua perkara yang ditanganinya selalu kental dengan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, serta prinsip- prinsip negara hukum dan keadilan. Meski hidup pada masa di mana belum ada kewajiban bagi para pengacara untuk melakukan pendampingan pro bono (membela klien yang berpenghasilan rendah dengan cuma-cuma - Red.), Yap Thiam Hien hampir selalu menangani kasus tanpa memungut bayaran dari kliennya. Menurut Yap Thiam Hien, "uang adalah tujuan yang tak dikedepankan dan karenanya tak kunjung datang, tetapi pendirian membuatnya bertahan". Yap menganjurkan agar setiap gereja mendirikan biro bantuan hukum untuk menolong mereka yang tidak memahami hukum dan tidak berdaya dalam membela haknya. Ide tersebut memang kemudian tidak dilakukannya di dalam gereja, tetapi bersama dengan Adnan Buyung Nasution, Albert Hasibuan, dan beberapa orang lainnya, Yap menjadi pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebuah lembaga bagi mereka yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan dilanggar hak-hak asasinya. Selain itu, ia juga turut merintis pembentukan Dewan HAM di Asia. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang duduk di Komisi Internasional Advokat yang berkedudukan di Jenewa, serta konsultan HAM Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa. Yap Thiam Hien juga merupakan orang yang berjasa dalam mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Kiprah sebagai Pengacara Pembela Hak Asasi Kepeduliannya yang besar terhadap penegakan hukum dan kebenaran, berkali-kali ditunjukkannya pada pilihannya untuk menangani kasus- kasus pelanggaran HAM dan kepada mereka yang tertindas. Ia pernah menulis artikel yang menganjurkan kepada Presiden Soekarno untuk membebaskan para tahanan politik yang menjadi musuh pemerintah berkuasa saat itu, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen. Mewakili Amnesty Internasional, Yap meminta supaya para Tapol PKI dibebaskan. Kasusnya yang paling fenomenal adalah ketika membela Soebandrio, mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Dwikora I, Kepala Badan Pusat Intelijen, dan Menteri Luar Negeri Kabinet Djuanda, yang dituduh terlibat penculikan sejumlah jenderal pada peristiwa 30 September 1965. Dalam pembelaannya di sidang, Yap menyatakan bahwa memang benar Soebandrio bersalah menjadi pendukung Soekarno. Namun, pada waktu itu, semua orang pun menjadi pendukung Soekarno. Yap kemudian mengambil cerita Injil tentang seorang perempuan yang hendak dirajam oleh para pemuka agama dengan tuduhan berzina, dan mengutip ucapan Yesus kepada para pemuka agama itu, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yohanes 8:7). Karena pembelaannya itu, Yap dikagumi di dunia internasional. Kiprahnya tidak berhenti ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Dalam peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap memosisikan diri membela para aktivis sehingga ia ditahan tanpa proses peradilan karena dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi secara besar- besaran. Kemudian, pada peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap juga maju di dalam sidang peradilan untuk membela para tersangka. Ia juga menjadi seorang tokoh yang sangat antikorupsi, dan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 karena kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah. Yap Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, setelah dirawat selama 2 hari karena mengalami pendarahan usus dalam perjalanan tugasnya untuk menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia. Berdasarkan sepak terjang dan kegigihannya dalam membela hak asasi manusia, namanya pun kemudian diabadikan sebagai penghargaan bagi mereka yang berjuang untuk menegakkan HAM. Sumber bacaan: 1. _____ "Obor Pejuang Keadilan dan HAM Yap Thiam Hien". Dalam http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1787-obor-pejuang-keadilan-dan-ham 2. Dior, Christian. "Yap Thiam Hien, Sang Pendekar Keadilan". Dalam http://vicaraveritas.com/?p=55 3. Ismael, Andar. 2014. "Yap Thiam Hien" Dalam "Selamat Berpadu". Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 127 -- 131. 4. _____ "Yap Thiam Hien". Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien Kontak: biografi(at)sabda.org Redaksi: N. Risanti, Tika, dan Ayub. Berlangganan: subscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/Bio-Kristi/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |