Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/bio-kristi/13 |
|
Bio-Kristi edisi 13 (13-8-2007)
|
|
Buletin Elektronik ______________________________BIO-KRISTI______________________________ Biografi Kristiani ================== Edisi 013, Agustus 2007 Isi Edisi Ini: - Pengantar - Riwayat : Selayang Pandang Y.B. Mangunwijaya - Karya : Napas Kristen pada Angkatan Pujangga Baru - Tahukah Anda? - Sisipan : - Alamat Kontak yang Baru - Edisi Khusus Bio-Kristi + Pengantar __________________________________________________________ Salam sejahtera, Tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab yang mesti diemban. Ini fakta yang tidak dapat dihindarkan. Itulah sebabnya, setiap alam kemerdekaan harus diisi dengan berbagai pembenahan dalam berbagai tataran. Demikian pula dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen di tengah masyarakat majemuk di bumi Indonesia ini. Menapaki 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini, apakah sumbangsih kita bagi sesama? Sudahkah karya nyata kita menyentuh orang-orang yang notabene hidup dalam kekurangan? Dalam kemiskinan materi, lagi rohani? Sudahkah kita melayani mereka? Kali ini Bio-Kristi hendak berbagian dalam perayaan 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengangkat dua tokoh nasional. Keduanya sama-sama pendidik, sama-sama sastrawan, sama-sama menyatakan iman dalam cara yang berbeda, namun sama-sama mencintai negerinya. Buah karya mereka mewartakan hal itu. Kiranya sajian kali ini semakin mendorong kecintaan kita pada nusa dan bangsa, sekaligus membangkitkan semangat berkarya bagi sesama, terlebih lagi bagi kemuliaan Tuhan. Dirgahayu negeriku, dirgahayu bangsaku! Selamat membaca. Pengasuh Bio-Kristi R.S. Kurnia + Riwayat ____________________________________________________________ 1929 -- 1999, Sastrawan, Budayawan, Arsitek, Pendidik SELAYANG PANDANG Y.B. MANGUNWIJAYA Dirangkum oleh: R.S. Kurnia Ada banyak gelar yang bisa disandangkan pada sosok yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun ini. Ia adalah seorang arsitek, seorang humanis, seorang sastrawan, juga budayawan. Sebagai pendidik, ia juga berperan menghadirkan suatu pendidikan alternatif. SIAPAKAH ROMO MANGUN? Yusuf Bilyarta Mangunwijaya adalah nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah, sebagai anak sulung dari dua belas bersaudara. Ayahnya bernama Yulianus Sumadi, sedangkan ibunya Serafin Kamdaniyah. Romo Mangun mengawali pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang (1936 -- 1943). Lalu berturut-turut di STM Jetis, Yogyakarta (1943 -- 1947), dan SMU-B Santo Albertus, Malang (1948 -- 1951). Selanjutnya ia menempuh pendidikan seminari pada Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, yang dilanjutkan ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang. Pada masa-masa sekolahnya, Romo Mangun sudah ikut dalam gerakan kemerdekaan. Ia, misalnya, ikut dalam aksi pencurian mobil-mobil tentara Jepang. Ia pun bergabung dalam Batalyon X Divisi III sebagai prajurit TKR. Ia turut pula dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Selain menjadi prajurit Tentara Pelajar, ia pernah pula bertugas sebagai sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Pernah pula ia menjabat sebagai komandan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I pada Kompi Kedu. IMAM YANG MENEKUNI ARSITEKTUR Pada tahun 1951, ia masuk ke Seminar Menengah di Kotabaru. Setahun kemudian, ia pindah ke Seminari Menengah Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Ia melanjut ke Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Di sinilah ia bertemu mentornya, Uskup Soegijapranata, SJ., sosok yang juga menjadi tokoh Nasional. Uskup Soegijapranata, SJ. merupakan uskup agung pribumi pertama di Indonesia. Tidak hanya mengajar, Soegijapranata pulalah yang menahbiskan Romo Mangun sebagai imam pada tahun 1959. Meski telah menjabat sebagai imam, cita-cita Romo Mangun sejak lama untuk menjadi insinyur tidaklah hilang. Itulah sebabnya, setelah ditahbiskan, ia justru melanjutkan pendidikannya di Teknik Arsitektur ITB, juga pada tahun 1959. Dari ITB, ia melanjutkan studinya di universitas yang sama dengan B.J. Habibie, yaitu di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada 1960, yang diselesaikannya pada tahun 1966. Pendidikan arsitektur inilah yang kemudian memberinya landasan yang kuat untuk menghasilkan beragam karya arsitektural yang justru menghadirkan nuansa baru dalam arsitektur Indonesia. Tidak heran pula bila ia kemudian dikenal sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Sebagai arsitek, ia merancang membangun banyak gedung. Sebut saja kompleks peziarahan Sendangsono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, Bentara Budaya Jakarta, pelbagai bangunan lain, termasuk beberapa gereja. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pun menganugerahinya IAI Awards 1991 dan 1993 sebagai penghargaan atas beberapa karyanya. Adapun karya arsitekturalnya di Kali Code menjadi salah satu "monumen" Romo Mangun. Ia membangun kawasan pemukiman warga pinggiran itu tidak sebatas pembangunan fisik, tapi sampai pada fase memanusiakan manusia. "Penataan lebih pada segi sosio-politis dan pengelolaan kemasyarakatan," demikian tutur Romo Mangun, yang dikenal juga sebagai bapak dari masyarakat "Girli" (pinggir kali) mengenai "monumen"-nya tersebut. Penataan lingkungan di Kali Code itu pun membuahkan The Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1992. Tiga tahun kemudian, karya yang sama ini membuahkan penghargaan dari Stockholm, Swedia, The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award untuk kategori arsitektur demi rakyat yang tak diperhatikan. MEMIHAK RAKYAT KECIL Sisi humanisme Romo Mangun memang begitu kental. Pada tahun 1986, ia mendampingi warga Kedungombo yang kala itu memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk. Pembelaannya kepada nasib penduduk Kedungombo menyebabkan presiden, yang saat itu masih dijabat oleh Soeharto, menuduhnya sebagai komunis yang mengaku sebagai rohaniawan. Berbagai teror dan intimidasi menghampirinya pula. "Kalau saya dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri, silakan tanyakan langsung kepada warga Kedungombo. Kalau saya dikatakan sebagai warga negara yang tidak taat kepada pemerintah, saya jawab, ketaatan itu harus pada hal yang baik. Orang tidak diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa yang saya kerjakan sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila," komentarnya tenang. Upaya yang tidak sia-sia mengingat pada tanggal 5 Juli 1994, akhirnya Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga Kedungombo tersebut. Malahan warga memperoleh ganti rugi yang nilainya lebih besar daripada tuntutan semula. SEBAGAI PENULIS SEKALIGUS PENDIDIK Karya tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah karya tulis sembarangan. Semua dihadirkan dengan alam pikir yang kompleks. Hal ini terwujud pula dari kalimatnya yang panjang-panjang, yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia berkata, "Tulisan saya realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga." Faruk H.T. berkomentar, "Karya-karya sastra Romo Mangun pada dasarnya berisi cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang tidak menutup kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan" (Gatra 20 Februari 1999). Kekayaan tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat bingkai sejarah yang dihadirkan, tetapi juga persoalan kultur turut dibahasnya. Dalam bukunya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein" (1999), masalah kultur dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas secara tajam. Dalam bidang kesusastraan, buah tangannya tidak dimungkiri pula. Sebut saja "Burung-Burung Manyar" (1981) yang menuai penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983. Ia juga menjadi orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat. Adapun karya sastra terakhirnya berjudul "Pohon-Pohon Sesawi", yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal. Tidak hanya dalam bidang arsitektur dan penulisan, Romo Mangun pun memiliki keprihatinan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Ia mewujudkannya dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Catherine Mills, yang menulis tesis mengenai Romo Mangun, mengutip perkataan Romo, "When I die, let me die as a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru sekolah dasar)." Bagi Romo Mangun, pendidikan dasar jauh lebih penting daripada pendidikan tinggi. Itulah sebabnya, ia pun pernah berujar, "Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar." Mengenai cara Romo Mangun mendidik anak-anak, budayawan Mudji Sutrisno memiliki kenangan tersendiri. Ketika bersama anak-anak didiknya sedang merayakan ulang tahun salah seorang anak, Romo melihat bahwa anak-anak kecil tersebut tidak sanggup menghabiskan makanannya. Akhirnya, Romo mengumpulkan sisa makanan tersebut menjadi satu dan memakannya agar tidak ada yang terbuang. "Dengan menghabiskannya serta menjelaskan bahwa makanan adalah rezeki Sang Pencipta, maka sebuah penghayatan keteladanan dalam menanamkan nilai syukur dan menghargai nasi tertanam amat menyentuh. Apalagi, santapan itu dihabiskan sang guru dengan rendah hati," kenang Mudji. ROMO BERPULANG Romo Mangun sebenarnya telah memasang alat pacu jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994, ia berniat mengurangi aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Meski demikian, pada tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang ia hindari itu. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri Simposiom "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian sebagai pembicara pada simposium tersebut, namun belum lama, badannya limbung, nyaris jatuh. Budayawan Mohamad Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang Puri. Dan tepat pukul 13:55 WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini menunjukkan betapa ia merupakan pribadi yang sangat dikagumi sekaligus dihormati masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya kalangan rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat Yogyakarta, berbagai lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri. Budayawan Mudji Sutrisno mengapresiasi sosok Romo sebagai seorang rohaniawan yang menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan tindakan nyata. Tidak hanya seorang pastor yang melayani misa, tetapi juga pastor yang terlibat dalam membahasakan cinta. Masih menurutnya, Romo Mangun benar-benar mempraktikkan karya Yesus yang menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum terpinggirkan, dan hidup bersama mereka. Cita-cita Romo Mangun memang banyak yang terlampaui. Sebagai arsitek, ia berhasil membangun beragam bangunan yang membuahkan penghargaan. Sebagai penulis, karyanya pun diakui di tingkat dunia. Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sejak tahun 1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan telantar. Ia juga merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang menurut Mudji Sutrisno merupakan karya intelektual yang nyata, yang melakukan penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki "laboratorium" tapi juga mewakili nurani bangsa. Sayang, perjuangannya harus terhenti oleh penyakit jantung, saat SD Mangunan tersebut baru berjalan lima tahun, kurang empat tahun untuk melihat hasil dari kurikulum pendidikan dasar sembilan tahun yang dirancang dan diaplikasikan oleh Romo Mangun sendiri. Mungkinkah ini menjadi tongkat estafet bagi semua orang, sebagaimana Yesus meninggalkan Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan karya mereka bersama. Ya, tongkat estafet itu harus disambut oleh setiap orang percaya. Andakah itu? Dirangkum dari Anonim. 1999. Sang Pastor Pejuang Romo Mangun telah Pergi, dalam SiaR News Service, Rabu 10 Februari 1999, http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg00416.html. Laksono, Mayong S. Romo Mangun: Merakyat untuk Balas Budi kepada Rakyat, dalam Intisari on the Net, Maret 2000, http://www.indomedia.com/intisari/2000/maret/mangun.htm. Prakosa, Ambara Muji. 2007. Man For Others: Sketsa Mangun (1), dalam http://orcafilms-inside.blogspot.com/2007/05/man-for-others-sketsa-mangun-1.html. Wikipedia Indonesia. 2007. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya. ______________________________________________________________________ Semoga mereka yang telah ditebus-Nya belajar untuk berjalan dan berbicara dengan Dia ... melalui segala sesuatu yang diciptakan-Nya. George Washington Carver -- Ahli Botani + Karya ______________________________________________________________ 1907 -- 1968, Pujangga Baru, Sastrawan NAPAS KRISTEN PADA ANGKATAN PUJANGGA BARU Oleh: R.S. Kurnia Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, aspek religi banyak dikumandangkan dalam bentuk sajak. Ada pula Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, dan banyak lagi. Apalagi ketika membicarakan Pujangga Baru, tentulah orang akan teringat akan nama Amir Hamzah, Sang Raja Pujangga Baru, yang tak kalah sering menulis sajak religi. Namun, warna Kristen di kesusastraan Indonesia tidaklah banyak[1]. Meski demikian, bukan berarti tidak ada sastrawan Kristen yang pernah menghias kesusastraan negeri ini[2]. Masih satu angkatan dengan Sang Raja Pujangga Baru, tercatat pula nama J.E. Tatengkeng. Bila yang satu berasal dari Indonesia bagian barat, yang lain berasal dari Indonesia bagian timur. Hanya saja, J.E. Tatengkeng merupakan satu-satunya sastrawan yang menghadirkan nuansa kekristenan pada zamannya. KEHIDUPAN SANG PUJANGGA Nama lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng. Ia dilahirkan di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907. Ayahnya seorang guru Injil sekaligus seorang kepala sekolah zending. Tidaklah mengherankan bila akhirnya ia terkesan memiliki latar kekristenan yang cukup kental, yang dihadirkannya dalam berbagai sajaknya. Ia biasa dipanggil Oom Jan oleh orang-orang dekatnya, panggilan yang lazim di kalangan masyarakat. Ia mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Lalu melanjut ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen. Ketika bersekolah itulah, Tatengkeng mulai mengenal "Tachtigers"[3], sebuah aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran kesusastraan inilah yang kemudian banyak memengaruhinya. Meski demikian, ia menentang pandangan Jacques Perk[4]. Bagi Tatengkeng, seni adalah seni. Seni tidak dapat dilihat sebagai Tuhan dan tidak sebaiknya dijadikan semata-mata sebagai alat. Pandangannya ini tertuang dalam tulisannya. "Penyelidikan dan Pengakuan". TATENGKENG DAN KEBENARAN Kedatangan Belanda ke Indonesia, selain membawa kekristenan, tentu juga membawa arus pemikiran yang berkembang di Barat pada masa itu. Demikianlah, kegetolannya pada aliran Tachtigers itu membuatnya dekat pula dengan alam pikiran dunia Barat. Namun semakin lama, ia meyakini bahwa di sana pun ia tidak menemukan kebenaran. Hal inilah yang konon membawanya dekat dengan alam yang baginya tetap merupakan misteri. Meskipun menyampaikan makna yang melebihi dari sekadar gambaran alam, sejumlah sajaknya tidak terlepas dari nuansa alam. Lihat saja sajak "Di Pantai, Waktu Petang". Ia merangkaikan kata demi kata dengan indah, menggambarkan ombak (baris pertama), matahari (disebutkan "syamsu", bahasa Arab, pada baris kedua), pegunungan (baris keempat dan sembilan). Mercak-mercik ombak kecil memecah, Gerlap-gerlip sri syamsu mengerling, Tenang-menyenang terang cuaca, Biru kemerahan pegunungan keliling. Berkawan-kawan perahu nelayan, Tinggalkan teluk masuk harungan, Merawan-rawan lagunya nelayan, Bayangan cinta kenang-kenangan. Syamsu menghintai di balik gunung, Bulan naik tersenyum simpul. Hati pengarang renung termenung, Memuji rasa-sajak terkumpul. Makin alam lengang dan sunyi, Makin merindu Sukma menyanyi Meski demikian, ia tidak serta-merta menerima alam sebagai sumber kebenaran. Dalam perjalanan hidupnya, ia menyadari dan meyakini bahwa kebenaran itu hanya ada pada Allah semata. Ia mencari jawaban akan kebenaran yang dicarinya di berbagai tempat: di mata air, di dasar kolam, di kawanan awan, di indahnya bunga, gunung, dan bintang. Sampai ia berseru kepada Allah yang Mahatinggi. Itulah yang ia gambarkan dalam sajaknya, "Kucari Jawab" berikut ini. Di mata air, di dasar kolam, Kucari jawab teka-teki alam. Di kawan awan kian kemari, di situ juga jawabnya kucari. Di warna bunga yang kembang. Kubaca jawab, penghilang bimbang, Kepada gunung penjaga waktu. kutanya jawab kebenaran tentu, Pada bintang lahir semula, Kutangis jawab teka-teki Allah. Ke dalam hati, jiwa sendiri, Kuselam jawab! Tiada tercerai Ya, Allah yang Maha - dalam, Berikan jawab teka-teki alam. 0, Tuhan yang Maha - tinggi, Kunanti jawab petang dan pagi` Hatiku haus `kan kebenaran, Berikan jawab di hatiku sekarang ... Sebagian orang mungkin akan memandang karya-karyanya yang bernapaskan Kristen itu hanya didasari oleh latar belakang keluarga dan masyarakat Sulawesi yang notabene Kristen. Namun, kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa Roh Kudus memang berkarya dalam diri orang-orang pilihannya. Lihatlah dalam karyanya yang berjudul "O Kata" berikut ini. Sudah genap O kata Dua patah, Yang dikata dengan nyata, Oleh badan payah patah. Itu kata Ada berita, Terbesar dari sewarta, Karna oleh kata nyata Tuhan menang segala titah! Karna kata, Aku serta Oleh Allah diberi harta Selamat alam semesta Sajak di atas datang dengan pengenalan akan karya Allah dalam Yesus Kristus. Tatengkeng menggambarkan betapa Kristus mengerjakan karya keselamatan dan menyatakannya dengan jelas (baris keempat). Di tengah rasa sakit derita yang dirasakan-Nya (baris kelima). Lewat sajak tersebut, Tatengkeng berusaha menangkap makna penderitaan Kristus di salib, sekaligus hendak berkata bahwa Kristus Yesus adalah Anak Allah yang mengaruniakan keselamatan. Baris kedua belas menjadi pernyataan iman, betapa dirinya pun termasuk yang diberi belas kasihan oleh Allah. Selain itu, kita tidak bisa menghindarkan fakta bahwa semakin kuat nilai spiritual seseorang, semakin tergambar pula hal tersebut dalam karya-karya yang dituangkannya. Meski tidak selalu demikian, ini merupakan suatu kecenderungan yang selalu hadir di setiap zaman. Tentu kita mengenal C.S. Lewis, salah seorang apologet Kristen yang ternama. Semenjak berbalik menjadi seorang Kristen, berbagai karyanya mulai diarahkan untuk memberi pernyataan dan sikap imannya. Hal ini pulalah, yang menurut hemat saya, terjadi pada Tatengkeng. Dalam sajaknya yang lain, "Panggilan Pagi Minggu", Tatengkeng menyuarakan panggilan Ilahi bagi segenap umat. Sedang kududuk di ruang bilik, Bermain kembang di ujung jari, Yang tadi pagi telah kupetik, Akan teman sepanjang hari. Kudengar amat perlahan, Mendengung di ombak udara, Menerusi daun dan dahan, Bunyi lonceng di atas menara. Katanya: Kukui apang biahe, Lulungkang u apang nate Kupanggil yang hidup, Kutangisi yang mati, Pintu jiwa jangan ditutup, Luaskan Aku masuk ke hati Masuklah, ya, Tuhan dalam hatiku! Meskipun berpredikat sebagai salah seorang sastrawan Pujangga Baru[4], sesungguhnya Tatengkeng juga aktif dalam bidang politik. Ia sempat pula menjabat sebagai Perdana Menteri NTT pada tahun 1949. Ia juga berperan dalam dunia pendidikan -- Tatengkeng merupakan salah satu pendiri Universitas Hasanuddin. Semenjak 1953, Tatengkeng yang pernah dipenjara oleh Jepang ini[5] mulai jarang menulis. Namun, ini bukan berarti ia tidak menulis sama sekali. Kehidupan seorang sastrawan tidak pernah lepas dari kertas dan pena. Maka sangatlah riskan untuk menyebutkan aktivitas kepenulisannya terganggu dengan kegiatannya di dunia politik. Umumnya, para penulis akan menggunakan kertas-kertas untuk mencorat-coret. Bukan tidak mungkin bila Tatengkeng turut melakukan hal ini. Perkaranya, seberapa banyak yang tersisa? Bagaimanapun juga, sejumlah sajaknya yang terbit setelah 1953 menunjukkan bahwa ia masih melakukan aktivitas kepenulisan. Jan Engelbert Tatengkeng meninggal dunia pada 6 Maret 1968. Ia dimakamkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Kepergiannya 39 tahun yang lalu itu rasanya pantas direlakan dan dihargai. Ia menjadi satu-satunya sastrawan pada masanya yang menyatakan imannya kepada masyarakat Indonesia lewat jalur sastra. Suatu jejak yang patut disyukuri. Sentuhannya yang sangat khas, rasanya sulit dicari tandingannya pada masa kini. Kumpulan puisinya yang terkenal ialah "Rindu Dendam" yang berisi 32 sajak yang ia tulis. Karya ini aslinya diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1934 dan diterbitkan oleh Chr. Derkkerij "Jawi". Karya-karya lainnya dapat disebutkan di sini. Dalam majalah Pujangga Baru - "Hasrat Hati" - "Anak Kecil" - "Laut" - "Beethoven" - "Petang" - "Alice Nahon" - "O, Bintang" - "Gambaran" - "Sinar dan Bayang" - "Katamu Tuhan" - "Sinar di Balik" - "Willem Kloos" - "Tangis" Dalam majalah lain - "Anak Kecil" - "Penumpang kelas 1" - "Gadis Bali" - "Aku Berjasa" - "Gua Gaja" - "Cintaku" - "Ke Balai" - "Mengheningkan Cipta" - "Sekarang Ini" - "Aku dan Temanku" - "Sinar dan Bayang" - "Kepada Dewan Pertimbangan Kebudayaan" - "Aku Dilukis" - "Sang Pemimpin (Waktu) Kecil" - "Bertemu Setan" Prosa - "Datuk yang Ketularan" - "Kemeja Pancawarna" - "Prawira Pers Tukang Nyanyi" - "Saya Masuk Sekolah Belanda" - "Sepuluh Hari Aku Tak Mandi" Drama "Lena". Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 1958 Catatan akhir 1. Mungkin ini pula yang menyebabkan sastra Indonesia tidak dirasa dekat dengan kekristenan. Di satu sisi, tidak banyak universitas Kristen yang membuka program studi sastra Indonesia, khususnya di Indonesia bagian barat. 2. Salah satu yang sempat saya ingat sebagai sastrawan kontemporer ialah Saut Sitompul. Kumpulan puisinya berjudul "Kongres Kodok". Beberapa puisinya disajikan dalam bentuk yang cukup unik. Hampir seperti karya Sutardji Calzoum Bachri yang menyerupai mantra. Namun, di beberapa puisi ia menyertakan notasi angka untuk dilagukan. 3. "Tachtigers" ini tidak hanya diidentikkan dengan negara Belanda saja, tetapi juga negara-negara lain yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya, seperti Belgia, Suriname, Antila Belanda, termasuk mereka yang berada di Indonesia pada masa itu (Wikipedia 2007). 4. Pujangga Baru mulanya hanya merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang dikelola oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane. Sempat terbit antara 1933 sampai Jepang melarangnya, majalah ini terbit kembali pada 1945. 5. Pada masa pendudukan Jepang, Tatengkeng pernah dipenjara oleh Jepang tanpa alasan yang jelas (Wasono 1997). Kemungkinan karena aktivitasnya yang dinilai memberi efek negatif terhadap pendudukan Jepang kala itu. Saat itu, aktivitas kesusastraan harus dilakukan secara bawah tanah karena Jepang melarang kegiatan tersebut. Daftar Bacaan: Dunia Sastra. Tanpa Tahun. Sejarah Singkat tentang Pujangga Baru, dalam http://www.duniasastra.com/historypujanggabaru.htm. Esten, Mursal. Tanpa Tahun. J.E. Tatengkeng, dalam Sajak-Sajak Tanah Air, http://www.geocities.com/paris/parc/2713/jet.html. Mizamunir. Biodata Sastrawan 1900--1949, dalam http://mizamunir.multiply.com/journal/item/7. Puitika. 2007. J. E. Tatengkeng, dalam http://puitika.net/item/329. Wasono, Sunu. 1997. Guru Sejati yang Pernah Digebuk Jepang, dalam Sisipan Kakilangit Majalah Horison, Oktober 1997. Hal. 11. Wikipedia. 2007. Tachtigers, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Tachtigers. + Tahukah Anda? ______________________________________________________ J.E. Tatengkeng termasuk sastrawan yang sering berkorespondensi. Rekan korespondennya yang juga sastrawan ialah Sutan Takdir Alisjahbana, salah satu dedengkot Pujangga Baru. Sumber: Majalah Horison, Oktober 1997 + Sisipan ____________________________________________________________ Alamat Kontak yang Baru Berkenaan dengan penataan ulang sistem e-mail, dengan ini kami memberitahukan perihal penggantian alamat kontak Redaksi Bio-Kristi kepada para pelanggan sekalian. Bila sebelumnya kami menggunakan alamat < staf-bio-kristi(at)sabda.org >, sekarang kami menggunakan alamat biokristi(at)sabda.org sehingga berbagai jenis korespondensi dapat ditujukan kepada kami melalui alamat baru tersebut. Kami nantikan masukan maupun kritik Anda perihal pengembangan Bio-Kristi ini di alamat tersebut. Edisi Khusus Ulang Tahun Hampir bersamaan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, bulan Agustus ini, Buletin Elektronik Biografi Kristiani genap berusia satu tahun sejak diluncurkan pertama kali pada 24 Agustus 2006. Oleh karena itu, redaksi mengundang para pelanggan sekalian untuk menuliskan kesaksian seputar Bio-Kristi. Silakan ceritakan berkat yang telah Anda peroleh dari 24 tokoh yang telah disajikan redaksi selama setahun kemarin. Kesaksian Anda akan dirangkum dalam edisi khusus yang akan diterbitkan 27 Agustus 2007. Bagikanlah kesaksian Anda selama ini kepada para pelanggan lainnya ke: biokristi(at)sabda.org ______________________________________________________________________ Pengasuh: R.S. Kurnia Isi dan bahan menjadi tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) Didistribusikan melalui sistem network I-KAN Copyright(c) BIO-KRISTI 2007 YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo _________________No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati_________________ Anda terdaftar dengan alamat email: $subst(`Recip.EmailAddr`) Alamat berlangganan: < subscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org > Alamat berhenti : < unsubscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org > Kontak redaksi : < biokristi(at)sabda.org > Alamat situs : http://biokristi.sabda.org/ Alamat forum : http://biokristi.sabda.org/forum/ Arsip Bio-Kristi : http://www.sabda.org/publikasi/Bio-Kristi ____________________BULETIN ELEKTRONIK BIO-KRISTI_____________________
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |