Kelihatannya, kisah kenaikan Yesus Kristus tidak dilihat begitu penting sebagaimana kisah kematian dan kebangkitan-Nya. Hal itu bisa dilihat dari sikap umat untuk menyikapinya. Kelihatannya, sepi saja. Syukur di berbagai negara, seperti Indonesia, hal itu masih diperingati dan dijadikan hari libur nasional. Lain halnya di Singapura. Hari kenaikan tersebut bukan hari libur. Itulah sebabnya, kantor-kantor dibuka seperti biasanya.
Sebagian teolog memang melihat hari kenaikan tersebut tidak begitu penting. Bahkan, ada yang meragukan dan menolak peristiwa tersebut dan menganggapnya hanya sebagai karangan dan dongeng dari gereja mula-mula. Apa alasan mereka? Tentu ada, dan mungkin banyak, antara lain mereka mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan secara jelas tertulis dalam keempat Injil.
Lalu, apa dasarnya menerima dan memercayai hari kenaikan tersebut? Sebenarnya, jika mau memercayainya, ada satu bagian Alkitab yang sangat jelas menuliskan kisah tersebut. Dokter Lukas dengan sangat jelas dan cukup detail menuliskan kisah tersebut pada volume kedua dari tulisannya, yaitu pada Kisah Para Rasul 1:6-11.
Berdasarkan kisah tersebut di atas, kita dapat belajar beberapa hal penting.
Pertama, kenaikan Yesus tersebut menegaskan akan fakta kebangkitan-Nya.
Dengan sangat jelas, Dokter Lukas menuliskan bahwa kenaikan Tuhan Yesus tersebut merupakan satu kesatuan dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Hal itulah yang ditulisnya, menjadi latar belakang dari kisah kenaikan tersebut. Menarik sekali bagaimana Dokter Lukas memulai kitab Kisah Para Rasul tersebut. Dia menulis: "Hai Teofilus, dalam bukuku yang pertama aku menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, sampai pada hari Ia terangkat" (Kisah Para Rasul 1:1-2). Jadi, Dokter Lukas tidak hanya menulis penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus, tetapi sampai pada hari Dia terangkat. Dalam ayat berikutnya, kita membaca bagaimana kisah kebangkitan Yesus merupakan satu fakta sejarah, dan bukan ilusi semata. Hal itu dengan jelas dinyatakan dengan pembuktian Yesus sendiri bahwa Dia hidup. Hal itu juga menjadi sorotan Dokter Lukas, seolah-olah dia sedang mengantisipasi adanya orang-orang yang meragukan dan menolak kebangkitan tersebut. "Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. Sebab selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah" (Kisah Para Rasul 1:3). Penampakan diri dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama 40 hari, dan kepada orang yang berbeda-beda, tentu jauh dari tuduhan sementara orang, bahwa itu adalah halusinasi. Dengan demikian, kita melihat bahwa kenaikan Yesus tersebut menjadi pembuktian selanjutnya bahwa Yesus yang mati itu benar-benar telah bangkit, sebab hanya orang yang sudah bangkitlah yang dapat naik ke surga. Tanpa kebangkitan, tidak akan pernah ada kenaikan. Jadi, Yesus bukan saja bangkit dari kubur, sesuatu yang belum dimiliki oleh pendiri-pendiri agama lain. Namun, lebih dari itu, Dia juga telah naik ke surga. Dia naik melampaui segala sesuatu. Dengan demikian, apa yang diberitakan-Nya selama 40 hari secara terus-menerus, yaitu tentang Kerajaan Allah, bukanlah sebuah ilusi atau impian semata. Dalam kenyataannya, apa yang Dia khotbahkan tersebut, sebentar lagi, Dia akan dan sedang menuju ke sana.
Kedua, kisah kenaikan tersebut menunjukkan betapa pentingnya tugas memberitakan Injil.
Hal itu terlihat dengan sangat jelas dalam cara dan metode penulisan Lukas tersebut. Dalam ayat 9, kita membaca: "Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka." Jadi, kita membaca bahwa Tuhan Yesus terangkat "sesudah Ia mengatakan demikian". Mengatakan apa? Jawabnya ada pada ayat 8: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Dengan perkataan lain, pesan atau perintah terakhir yang diberikan oleh Tuhan Yesus sebelum kenaikan-Nya ke surga adalah agar menjadi saksi-Nya. Hal itu dimulai dari tempat di mana mereka berada (Yerusalem), meluas ke seluruh provinsi (Yudea) hingga seluruh bumi. Penting untuk diamati bahwa kota Samaria, yang biasanya dihindari oleh orang-orang Yahudi, juga disebut. Dengan demikian, tidak ada daerah atau kota tempat Injil tidak diberitakan. Jadi, dari hal di atas, kita melihat bahwa penginjilan bukan sesuatu yang boleh ada atau tidak. Tugas memberitakan Injil diberikan oleh Yesus sebagai sebuah keharusan. Hal itu juga yang pernah ditegaskan oleh salah seorang rasul besar bernama Paulus. "Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil." (1 Korintus 9:16b)
Kiranya kenyataan tersebut cukup bagi kita untuk menyingkirkan segala teori dan usaha untuk mengurangi semangat kita untuk memberitakan Injil. Kiranya perintah Tuhan Yesus tersebut yang diberikan persis sebelum kenaikan-Nya ke surga kita nilai dan sikapi dengan semakin serius. Dengan demikian, dengan segala doa, dana, dan daya, kita kerahkan untuk merespons perintah tersebut. Jika kita amati pasal-pasal berikutnya, memang kita melihat bagaimana rasul-rasul dan orang percaya sangat serius melakukan tugas penginjilan tersebut. Karena itulah, kita dapat membaca statistik Lukas mengenai pertumbuhan gereja yang sedemikian pesat. Lukas memulai dengan 120 orang (Kisah Para Rasul 1:15), selanjutnya sebagai hasil KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) yang dipimpin Rasul Petrus, jemaat menjadi 3000 (tiga ribu) jiwa (Kisah Para Rasul 2:41). Jumlah tersebut meningkat lagi secara tajam menjadi "kira-kira 5000 (lima ribu) orang laki-laki" (Kisah Para Rasul 4:4). Jadi, jumlah besar tersebut, belum termasuk perempuan. Pertumbuhan jemaat terus terjadi. Karena itu, rupanya, Dokter Lukas kewalahan untuk memberikan statistik detail. Itulah sebabnya, jumlah angka yang jelas, terakhir kita temukan pada Kisah Para Rasul 4 tersebut, ketika selanjutnya Dokter Lukas menggunakan istilah "jumlah murid makin bertambah" (Kisah Para Rasul 6:1).
Selanjutnya, dari kisah tersebut di atas, kita perlu mewaspadai dua hal.
Pertama, kita membaca satu pertanyaan aneh yang diberikan kepada Yesus. "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" (Kisah Para Rasul 1:6). Pertanyaan tersebut diberikan bukan pada awal pelayanan Yesus, melainkan pada akhir, yaitu pada saat-saat terakhir kenaikan Yesus tinggal dalam hitungan detik. Apakah yang ada dalam pikiran orang banyak ketika itu? Soal pemulihan Kerajaan Israel! Bukan soal Kerajaan Allah, sebagaimana hal itu terus-menerus ditegaskan dan ditekankan Yesus selama sisa 40 hari Dia tinggal di dunia. Sungguh menyedihkan. Dengan perkataan lain, orang yang berkumpul di situ hingga detik terakhir mereka bersama Yesus masih terus-menerus berpusat kepada hal-hal duniawi, bukan kepada hal-hal surgawi. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menegur mereka dan untuk saat terakhir kembali mengarahkan hati dan pikiran mereka kepada Kerajaan Allah, yaitu untuk memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 1:8).
Hal tersebut juga menjadi pelajaran dan koreksi bagi kita agar kita memeriksa diri kita masing-masing. Setelah kita mengenal Tuhan Yesus dan mendengar segala pengajaran-Nya, sejauh mana hati dan pikiran kita semakin menyatu dengan visi dan ambisi ilahi. Sejauh mana hati kita bersemangat serta berkobar-kobar dalam hal penggenapan Kerajaan Allah tersebut. Apakah doa, dana, dan diri kita sudah semakin terpusat untuk hal tersebut? Jika ternyata kita masih memiliki ambisi-ambisi duniawi, bahkan semakin dikuasai oleh ambisi-ambisi demikian, biarlah kita dengan segera membuang dan meninggalkan itu dan dengan segala kerendahan hati memohon rahmat-Nya agar Roh-Nya bekerja menguasai diri kita untuk hidup menjadi saksi-Nya (Kisah Para Rasul 1:8).
Hal kedua yang perlu kita waspadai adalah sikap aneh yang ditunjukkan oleh umat di ayat 10. "Ketika mereka sedang menatap ke langit pada waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka." Apa maksud ayat tersebut? Di sana, firman Tuhan mencatat bahwa mereka yang berkumpul ketika itu "sedang menatap ke langit" (kai hos atenizontes esan eis ton ouranon).
Barangkali ada yang bertanya: "Apa salahnya menatap ke langit? Bukankah itu mencerminkan kekaguman mereka kepada Yesus, Tuhan mereka? Bukankah itu juga mencerminkan kerinduan mereka kepada Yesus, tempat mereka ingin terus bersama-sama dengan Tuhan mereka? Jika itu yang menjadi pertanyaan kita, ternyata hal itu adalah salah. Salah bukan menurut saya, tetapi menurut Tuhan. Setidaknya, hal itu kita lihat dengan jelas dari kisah tersebut. Kita melihat di sana bahwa Tuhan "terpaksa" harus mengutus "dua orang yang berpakaian putih" untuk menegur mereka dan berkata: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga" (Kisah Para Rasul 1:11).
Sebenarnya, saya sependapat bahwa tidak salah mengagumi dan merindukan kebersamaan dengan Yesus. Saya justru melihat bahwa hal itu harus kita lakukan dan tumbuh kembangkan. Kita jangan menjadi orang yang cuek dan tidak peduli kepada Yesus yang telah sedemikian baik dan berbuat segalanya bagi kita. Jangan juga kita biarkan hati kita dingin dan membeku sehingga tidak bergairah dan tidak merindukan Yesus. Saya melihat bahwa yang menjadi masalah adalah ketika mereka terus-menerus mengagumi dan merindukan Yesus dengan "menatap ke langit" sedemikian rupa sehingga mereka melupakan tugas yang telah diberikan kepada mereka, yaitu untuk pergi segera. Pergi bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk bersaksi bagi Dia, yang mereka kagumi tersebut. Bersaksi untuk memberitakan Kerajaan Allah di Yerusalem, seluruh Yudea dan Samaria ... sampai ke ujung bumi. Itulah sebabnya, kedua orang utusan tersebut harus turun dan "mengusir" mereka dari bukit kemuliaan, yaitu tempat Yesus naik ke surga tersebut.
Jadi, ada dua hal yang harus kita waspadai. Pertama, agar kita jangan hidup "terlalu" duniawi sehingga kita hanya memikirkan kerajaan duniawi, yaitu pemulihan "kerajaan-kerajaan" kita. Terus berpikir dan bertanya tentang pekerjaan kita atau bisnis kita sehingga kita lupa akan Kerajaan Allah. Kedua, kita jangan hidup "terlalu" rohani, dengan terus-menerus memandang ke langit, terus-menerus beribadah, dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain, sehingga kita melupakan tugas kita untuk bersaksi bagi dunia dan untuk terlibat di dunia, melakukan segala sesuatu secara konkret, demi pemulihan dunia ini.
Audio Kenaikan Yesus Kristus
|