Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/7

Doa 40 Hari 2014 edisi 7 (24-6-2014)

Suku Kutai

40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- SELASA, 24 JUNI 2014

SUKU KUTAI

Suku Kutai hidup tersebar di sepanjang pantai timur Kalimantan Timur, yang sebagian disebabkan karena gaya hidup mereka yang sering berpindah. Tenggarong merupakan pusat pemukiman mereka saat ini, sama seperti ketika Mulawarman memerintah di ibu kota kerajaan Kutai. Kota ini terletak di tepi sungai Mahakam, sekitar 45 km sebelah barat laut Samarinda. Kerajaan Kutai sendiri merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh orang Kutai adalah bahasa Kutai, yang merupakan salah satu cabang dari kelompok bahasa Melayu.

Orang Kutai tinggal di berbagai kecamatan di kabupaten Kutai Tenggara, kabupaten kota Tenggarong, dan kabupaten Kutai Barat. Umumnya, orang Kutai memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan pemburu. Karena Kalimantan Timur merupakan provinsi terkaya dan Kutai Tenggara adalah kabupaten terkaya di Indonesia, motif ekonomi jarang membuat orang Kutai meninggalkan daerah asal mereka untuk merantau. Walaupun demikian, terdapat tingkat kesejahteraan yang tidak merata di antara orang Kutai karena adanya kesenjangan dalam tingkat pendapatan.

Beberapa orang Kutai di pedalaman masih mengikuti sistem hukum tradisional. Hukum Kutai tradisional memiliki beberapa pemimpin penting dalam adat mereka: pemimpin desa yang melakukan upacara adat, kepala keamanan, dan pelindung warisan kekayaan. Pemerintah mengakui peran dari para pemimpin tersebut, dan menyebut mereka petinggi ("yang berjabatan tinggi"). Pada masa lalu, Kutai memiliki sistem kelas sosial yang mencakup bangsawan, orang-orang biasa, dan budak. Pada saat ini, penghormatan diberikan kepada seseorang berdasarkan pendidikan dan kekayaannya, dan bukan gelar mereka. Orang Kutai memiliki beragam upacara adat. Pesta Erau merupakan salah satu upacara terbesar, yang diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati berdirinya kota Tenggarong. Pesta ini berlangsung selama lima hari dan lima malam. Kumpulan orang Dayak datang, bahkan dari desa-desa yang sangat terpencil, dan melakukan berbagai jenis tarian yang menarik, seperti tari Kancet Pepati (tarian prajurit), Kancet Ledo (tari gong), Datun, Leleng, Gantar, dan Pilin Tali. Sebuah boneka naga dilemparkan ke sungai Mahakam pada puncak upacara tersebut. Hal itu merupakan simbol orang Kutai dalam meminta berkah untuk kekayaan dan kemakmuran dari nenek moyang mereka.

Umumnya, orang Kutai beragama Islam. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih menyembah roh-roh. Pusaka kerajaan tertentu dianggap sakral, seperti mahkota emas yang dihiasi dengan permata, kalung uncal, kalung bergambar Wisnu (Dewa Hindu), dan kalung dengan dua burung mitos. Keyakinan orang Kutai berfokus pada upaya mencari perlindungan dari Sanghyang (kata Hindu untuk roh) melalui kekuatan gaib, dengan memenuhi tuntutan dan mengendalikan kedua roh, baik roh jahat maupun roh baik.

Sebelumnya, orang-orang Kutai beragama Hindu dan mereka disebut "Kaharingan". Namun kemudian, kebanyakan orang di wilayah Kutai telah berpaling ke Islam. Hal ini mengakibatkan banyak pencampuran paham antara agama Islam dan Hindu. Perubahan suku Kutai secara drastis setelah masuk Islam hampir menghapus jejak asal muasalnya, yaitu suku Lawangan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada suku Kutai dengan cepat. Istilah "haloq" yang melekat pada suku Kutai yang berarti "meninggalkan adat lawas" digunakan sebagai kebanggaan bagi yang ber"haloq". Akan tetapi, bagi suku Tunjung-Benuaq, istilah itu sebagai stigma karena tidak menghargai warisan leluhur sehingga Kutai kehilangan jejak Kaharingan/Lawangan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa. Akibatnya, orang lebih yakin Kutai adalah Melayu, padahal tidak demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama), jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.

Dalam kehidupan orang Kutai, masalah terbesar yang mereka hadapi adalah ketiadaan infrastruktur dalam sarana transportasi, khususnya bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil. Sarana transportasi ini mereka perlukan untuk mengangkut hasil panen dan komoditas desa ke pasar. Saat ini, modal utama transportasi adalah melalui jalur laut dan sungai karena jalur transportasi darat sangat sulit untuk dilewati.

Populasi : 368.000 jiwa
Bahasa : Kutai, Melayu, Banjar
Anggota Gereja : 0,03 persen (data 2001)
Alkitab : Tidak Ada
Film Yesus : Tidak Ada
Radio : Tidak Ada
Rekaman Penginjilan : Tidak Ada

Untuk menjangkau suku Kutai, bahan-bahan berikut ini kiranya dapat kita gunakan sebagai referensi:

  1. Katalog online etnologi untuk bahasa Kutai: http://www.language-archives.org/language/vkt
  2. Profil suku Kutai di situs SABDA: http://misi.sabda.org/suku-tenggarong-kutai-kalimantan-timur
  3. Profil suku Kutai di situs wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kutai

POKOK DOA

  1. Mari berdoa kepada Yesus Kristus bagi peningkatan kesejahteraan, pendidikan, dan wawasan lingkungan bagi orang Kutai, agar mereka dapat menikmati dan mengelola sumber daya alam berlimpah yang ada di tempat mereka dengan baik dan bijaksana.
  2. Doakan agar semakin banyak misionaris atau orang Kristen yang tergerak untuk memberitakan Injil di tengah-tengah orang Kutai, agar mereka juga turut mendapatkan jalan untuk menerima anugerah keselamatan yang kekal.
  3. Berdoalah kepada Tuhan Allah supaya Roh Kudus bekerja dalam setiap usaha penginjilan yang sedang berlangsung di tengah masyarakat Kutai, serta menyiapkan hati mereka untuk mendengar dan menerima Injil.

Dirangkum dari:

  1. _____. "Kutai". Dalam http://joshuaproject.net/people_groups/13445/ID#
  2. _____. "Suku Kutai". Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kutai
  3. _____. "Suku Tenggarong Kutai (Kalimantan Timur)". Dalam http://misi.sabda.org/suku-tenggarong-kutai-kalimantan-timur

Kontak: doa(at)sabda.org
Berlangganan: subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/40hari
(c) 2014 oleh e-DOA dan "MENGASIHI BANGSA DALAM DOA"

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org