Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/6 |
|
Doa 40 Hari 2014 edisi 6 (23-6-2014)
|
|
40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- SENIN, 23 JUNI 2014 SUKU BALANTAK Suku Balantak hidup di kabupaten Banggai, provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia, dan tersebar di empat kecamatan, yaitu Balantak, Balantak Selatan, Lamala, Masama, dan sedikit di kecamatan Bualemo. Asal nenek moyang mereka berawal di suatu tempat bernama Tompotika Pokokbondolong. Wilayah tersebut pertama kali dihuni oleh suku Gombe di Tononda yang tinggal di sekitar kaki gunung Tompotika. Suku Gombe diperkirakan ada di wilayah itu sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Suku Gombe saat ini tidak diketahui keberadaannya secara pasti. Namun, jejak keturunannya hadir pada suku Balantak saat ini. Bahasa Gombe tetap terpelihara hingga saat ini dan digunakan oleh suku Balantak. Karena itu, sekarang bahasa ini lebih dikenal sebagai bahasa Balantak. Dahulu, di wilayah ini terdapat tujuh kelompok masyarakat yang bersatu dalam rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong. Mereka berbicara dalam bahasa yang sama dengan keturunan bahasa Gombe, yaitu bahasa Gombe yang adalah bahasa nenek moyang mereka. Menurut dugaan, pada masa penjajahan Belanda, ketujuh kelompok ini, bersatu melawan pasukan kolonial Belanda. Setelah sekian lama mereka berbaur, terjadi proses kawin campur di antara kelompok ini sehingga terbentuklah suatu komunitas suku yang disebut sebagai suku Balantak. Sebagian besar warga suku Balantak memiliki kepercayaan etnis (ethnic religion), sementara 20 persen warganya sudah memeluk agama Kristen (sebagian besar Protestan), dan 10 persen beragama Muslim. Adat istiadat di tengah masyarakat suku Balantak masih sangat dipelihara oleh para tokoh adat sebagai warisan budaya. Sumawi adalah salah satunya. Sumawi adalah bagian dari ritual Mimbolion yang dilaksanakan oleh lima subsuku Balantak, yakni Lo’on, Bula, Ruurna, Batu Biring, dan Nggoube. Ritual tersebut dilakukan di dalam rumah dalam bentuk nyanyian dan tarian semalaman untuk melepaskan diri dari segala bencana yang mungkin terjadi akibat dosa, bertanya kepada para dewa dan arwah leluhur, serta meramal masa depan. Kehidupan suku Balantak ditopang oleh lingkungan wilayah yang masih alami dengan kekayaan alam yang subur sehingga tidak pernah ada bencana kelaparan di daerah itu. Menangkap ikan, bertani, dan beternak merupakan mata pencaharian orang-orang suku Balantak. Namun, yang paling pokok dan terbesar adalah bercocok tanam atau bertani. Hal ini disebabkan orang Balantak sudah mengenal dan menggarap tanah untuk diolah, baik di lahan basah maupun kering. Bertani merupakan warisan nenek moyang turun-temurun. Tanaman utama mereka adalah padi, dan beberapa jenis tanaman lain seperti jagung, ubi, dll.. Di samping itu, orang Balantak sudah mengenal kerajinan tangan berupa anyaman (anaman). Mereka membuat peralatan rumah tangga sendiri dengan memanfaatkan alam (kayu, dll.) untuk berbagai macam keperluan hidup. Akan tetapi, kerajinan-kerajinan tersebut hanya dapat dilakukan musiman atau sejauh diperlukan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika rasa cipta akan kerajinan ini sudah mulai berkurang. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengembangan dan perhatian dari pemerintah setempat untuk melestarikan keterampilan mereka. Mengingat masih banyak anggota masyarakat suku Balantak yang belum mendengar Injil dan mengenal Kristus, berikut bahan-bahan berbahasa Balantak yang dapat Anda gunakan untuk melayani suku Balantak:
POKOK DOA
Dirangkum dari:
Kontak: doa(at)sabda.org
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |