Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/2 |
|
Doa 40 Hari 2015 edisi 2 (9-6-2015)
|
|
40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- SELASA, 9 JUNI 2014 SUKU SAMIN Dirangkum oleh: N. Risanti Orang Samin adalah warga asli yang berdiam di pulau Jawa, tepatnya di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Permukiman komunitas orang Samin ini berada di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati di Jawa Tengah sampai Tuban di Jawa Timur. Selain disebut Samin, ada beberapa sebutan lain yang digunakan untuk merujuk pada komunitas ini, seperti wong Samin (orang Samin), wong Sikep (orang Sikep), sedulur Sikep, dan orang Kalang. Mereka sendiri lebih suka dipanggil dengan sebutan "wong Sikep" karena bagi mereka, kata Samin dan Kalang memiliki makna negatif, yang mengandung hinaan dan bermakna sebagai orang rimba atau orang hutan yang tak tahu sopan santun. Komunitas suku Samin umumnya berada di tengah hutan. Mereka menjauhi keramaian agar dapat menjalankan tradisi mereka yang berbeda dari masyarakat umum. Mereka tidak dapat berbahasa Indonesia sehingga mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi yang dikombinasikan dengan dialek setempat, yaitu bahasa Kawi kasar yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Cara berpakaian suku Samin juga berbeda dari masyarakat kebanyakan. Mereka sering terlihat berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala, tidak pernah memakai peci, celana jeans, apalagi kaos oblong. Budaya dan sikap hidup dari suku Samin berawal dari seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda pada zaman penjajahan. Kyai Samin dan pengikutnya menentang segala aturan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Belanda terhadap rakyat dengan aksi yang tidak bersifat kekerasan, salah satunya berupa sikap tidak mau membayar pajak. Terbawa oleh sikap yang menentang itulah, mereka kemudian membuat tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri, yang akhirnya membentuk komunitas masyarakat Samin dengan budaya dan sikap hidup mereka yang unik sampai saat ini. Suku Samin terdiri atas orang-orang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran, welas asih, persaudaraan, dan mencintai lingkungan hidup serta alam semesta. Mereka memperlakukan alam dengan baik, tidak mengeksploitasinya secara berlebihan, dan lebih suka berjalan kaki sejauh apa pun jarak yang mereka tempuh. Mereka tidak mengenal profesi pedagang dan aktivitas perdagangan dalam komunitasnya karena mereka menganggap mengambil laba adalah cerminan ketidakjujuran, sesuatu yang sangat ditentang dalam ajaran Saminisme. Semua nilai yang dijunjung oleh suku Samin tersebut merupakan cerminan dari agama yang mereka anut, yang disebut sebagai agama Adam. Agama Adam adalah ajaran yang dikembangkan oleh Kyai Samin, yang juga memiliki kitab suci sendiri, yakni Kitab Jamus Kalimasada. Kitab ini kebanyakan berisi berbagai ajaran dan falsafah hidup yang tertulis dalam bentuk syair atau guritan (karangan berbentuk puisi yg berirama, tembang -- KBBI). Dengan kitab itulah, orang Samin senantiasa menjaga semangatnya untuk terus patuh pada tradisi Saminisme yang menjunjung tinggi kejujuran. Beberapa pokok pengajaran Samin Surosentiko di antaranya adalah:
Bagi suku Samin, semua agama adalah agama Adam. Agama Adam sendiri mengajarkan untuk tidak membenci penganut agama lain sehingga orang Samin tidak pernah bermusuhan dengan penganut agama lain. Beberapa orang dalam generasi Samin kini mulai memeluk agama Islam dan Buddha, meski aliran kepercayaan mereka kini telah resmi diakui oleh negara. Untuk menjangkau suku Samin bagi Tuhan, kiranya referensi dari beberapa bahan berikut ini dapat membantu Anda:
POKOK DOA
Dirangkum dari:
Kontak: doa(at)sabda.org
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |