Hakikat Kekristenan: Kemuridan

Konsep Kemuridan

Konsep kemuridan memang umum dalam dunia Alkitab. Dari sekitar 260 istilah murid dalam Perjanjian Baru, 230 di antaranya terdapat dalam Injil. Istilah-istilah itu umumnya berbicara tentang murid-murid Yesus, walaupun ada juga yang berbicara tentang murid-murid Musa, Farisi, Yohanes Pembaptis, dan Paulus. Kita mungkin akan lebih mengerti tentang konsep kemuridan ini bila kita mengingat kisah-kisah hubungan guru-murid antara Musa dan Yosua, Eli dan Samuel, Elia dan Elisa, para nabi, seperti Yesaya dan Yeremia, dengan para murid mereka, dll..

Dalam peradaban purba, konsep kemuridan memang sesuatu yang lazim. Bukan hanya para rabi Yahudi mengembangkan sekolah-sekolah dan kelompok murid yang mereka didik dan gembleng, dalam peradaban Yunani pun, para filsuf menggunakan konsep yang sama dalam cara mereka mendidik.

Prinsip dasar kemuridan berbeda dari prinsip dasar pendidikan dunia modern. Yang disebut murid bukan mereka yang memilih sebuah sekolah, mendaftarkan diri, dan belajar berbagai informasi ilmu untuk membekali pengetahuannya dalam tempo relatif terbatas. Seorang murid ketika itu dipilih untuk magang bersama gurunya, sehingga melalui hidup bersama, terjadilah proses belajar bersama, terdidik, tertempa, dan terbentuk dalam pengetahuan, karakter, keterampilan, dan seluruh kepribadian secara utuh. Jelasnya, kata kunci kemuridan adalah peniruan dan ketaatan.

Kristen adalah Murid Kristus

Sebutan "Kristen" sebenarnya tidak umum digunakan Alkitab. Hanya tiga kali sebutan itu muncul, dalam Kisah Para Rasul 11:26; 26:28, dan 1 Petrus 4:16. Sebutan lebih umum ialah murid (Kisah Para Rasul 6:1,7; 9:36; 11:26; 19:1-4). Menurut Kisah Para Rasul 11:26, para murid itulah yang kemudian disebut Kristen. Selain itu, digunakan juga sebutan "sekte orang Nasrani" (Kisah Para Rasul 24:5), "orang-orang percaya" (Kisah Para Rasul 5:14), "orang-orang kudus" (Kisah Para Rasul 9:13; Roma 1:9), "saudara-saudara" (Kisah Para Rasul 10:23), "orang-orang pilihan Allah" (Kolose 3:12), "jemaat Allah" (Kisah Para Rasul 20:28), dan "hamba Allah" atau "hamba Kristus Yesus" (1 Petrus 2:16).

Penggunaan sebutan ini dapat dimengerti sebab faktanya memang Yesus memakai tradisi kemuridan tadi, namun secara lebih bermutu dan unik, memanggil para murid-Nya untuk hidup, belajar, dan melayani bersama Dia. Selama 3 tahun yang singkat, namun sangat mendalam itu, para murid diubah-Nya dari orang tak berarti (para nelayan), bahkan sebagian dianggap sampah dan benalu masyarakat (pemungut cukai), menjadi para rasul yang mengguncangkan dunia dan menghasilkan para murid baru yang memiliki pola dan gaya hidup alternatif yang mencengangkan orang sezamannya dan menerbitkan harapan dalam dunia yang gelap dan mencemaskan.

Jika pengamatan ini benar, tepatkah menyimpulkan bahwa hakikat kekristenan itu adalah kemuridan? Tepatkah mengatakan bahwa intisari kehidupan Kristen itu adalah meniru dan meneladani Yesus?

Sementara teolog menolak kesimpulan ini berdasarkan alasan dogmatis. Mengatakan intisari kekristenan adalah imitasi Yesus Kristus mengundang berbagai bahaya. Pertama, fondasi kekristenan digeser dari pemahaman iman kepada penerapan etika. Atau lebih tegasnya, fondasi kekristenan bukan lagi atas kebenaran, tapi atas kelakuan. Bahaya kedua, sebagai akibat dari bahaya pertama tadi, doktrin keselamatan dihayati dari sudut pendekatan usaha manusia. Kesalahan ini telah dilakukan oleh para penganut Pelagianisme atau semi-Pelagianisme yang membuat manusia memiliki andil dalam keselamatan. Ketiga, bahaya lebih parah ialah pribadi Kristus sendiri tidak lagi dipahami dalam pendekatan ontologis, tetapi dalam pendekatan relasional fungsional. Artinya, bukan lagi hakikat diri dan karya-Nya sebagai Allah sejati dan Manusia sejati yang dipentingkan, tapi keteladanan manusiawinya.

Tiga bahaya yang diungkapkan oleh pihak yang berkeberatan terhadap kemuridan sebagai cara memandang hakikat kekristenan ini memang merupakan alasan-alasan yang sah dan benar. Namun, dengan meluruskan dan menjernihkan isu teologisnya, bahaya itu tak perlu terjadi dan kemuridan tetap dapat diartikan sebagai hakikat kekristenan.

Keselamatan: Iman atau Usaha?

Pernyataan ini sederhana saja jawabannya, sebab seluruh isi Alkitab seperti yang kemudian diakui oleh para Reformator menegaskan bahwa keselamatan semata adalah anugerah. Sola Scriptura, Sola Fide, Sola Gratia, mengintisarikan prinsip Alkitab itu. Berdasarkan kesaksian Alkitab semata, hanya karena iman dan oleh anugerah-Nya, kita beroleh keselamatan.

Tetapi apa yang dikemukakan Luther itu kemudian dikupas konsekuensinya lebih rinci oleh Calvin dan para pengikutnya. Keselamatan itu bukan hanya pembenaran, tetapi merupakan suatu kesatuan dari berbagai aspek kaya pengalaman keselamatan di antaranya pembaruan, pertobatan, pengampunan, pengudusan, dan puncaknya kelak, pemuliaan. Ordo salutis (urutan atau tata keselamatan) ini merupakan satu kesatuan yang walaupun masing-masing unsurnya dapat terjadi secara serentak atau berbeda secara kronologis, namun secara keseluruhan harus ada dan teralami dalam diri orang beriman.

Prinsip inilah yang menyebabkan adanya perbedaan penekanan pada teologi Paulus dan teologi Yakobus tentang keselamatan. Paulus seolah hanya menekankan iman, sedangkan Yakobus menekankan perbuatan. Tetapi keduanya sebenarnya mengupas satu kebenaran yang sama dari sisi kebutuhan pendengar yang berbeda sehingga seolah menghasilkan perspektif yang berbeda.

Keselamatan memang semata adalah anugerah yang memungkinkan orang yang dianugerahi kemampuan untuk mengimani, menerima, berbuah, dan menghasilkan buah sifat-sifat Allah. Iman pada akhirnya diukur ada tidaknya, benar salahnya, hidup matinya, dari ada tidaknya dan bagaimana mutu perbuatan konkret kita.

Pribadi Kristus

Pertanyaan terpenting yang pernah dilontarkan kepada manusia ialah pertanyaan Yesus kepada para murid, "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" untuk kemudian menukik tajam lebih pribadi, "... katamu, siapakah Aku ini?" (Matius 16:13-15). Ada beberapa hal penting tersirat dalam pertanyaan itu. Pertama, pertanyaan yang berintikan pemahaman dan pengenalan akan identitas Yesus itu ditujukan-Nya bukan kepada orang banyak, tetapi kepada para pengikut-Nya. Berarti kesempatan dan kemungkinan untuk mengenal Yesus lebih dalam ditujukan kepada murid, bukan kepada simpatisan. Tetapi begitu konteks pembicaraan beralih kepada pengenalan para murid sendiri, bukan lagi label-label teologis yang ditekankan, melainkan "Aku" ini, yaitu diri Yesus sebagaimana adanya Dia yang Ia ingin lebih diakrabi oleh para murid-Nya. Ketiga, pertanyaan ini sangat penting sebab jawaban Yesus seterusnya menjelaskan bahwa pengakuan dan pengenalan iman itu menjadi jiwa kehidupan gereja. Keempat, pertanyaan yang amat sarat dengan makna teologis ini disampaikan dalam konteks yang intensitas emosional manusiawinya sangat dalam. Dengan kata lain, untuk para murid tidak cukup mengetahui konsep-konsep Kristologis, lebih vital lagi adalah mengenal Dia secara pribadi melalui pengamatan, pergaulan, maupun persentuhan yang sehari-hari mereka alami dalam tahap hubungan antara manusia dengan Manusia.

Dilihat dari pendekatan bagian firman ini, nyatalah bahwa berbagai perumusan iman yang pernah dibuat gereja memiliki kekurangan dan kelemahan tertentu, walaupun tidak salah. Perumusan Kristologis yang dibuat dalam sidang-sidang konsili di Nicea, Konstantinopel, dan Chalcedon telah berusaha untuk setia merumuskan penyataan firman Allah tentang pribadi Kristus dan menghasilkan suatu perumusan yang menjawab kebutuhan pergumulan teologis filosofis saat itu. Namun, bila dibandingkan dengan bagaimana Yesus ditampilkan Alkitab, terasalah bahwa perumusan itu telah mengerdilkan dan memeras keberadaan Pribadi Kristus yang teramat megah, kaya, dan di luar kemampuan definisi untuk menampungnya. Pribadi Kristus dalam rumusan itu diperas ke dalam kategori-kategori esensi, substansi, dan sifat, tanpa keharusan untuk mengenal-Nya langsung, menjadi murid-Nya!

Bahaya ini tampak pada Petrus yang di satu pihak mampu memberikan jawaban yang tepat dan diakui Tuhan berasal dari Roh Kudus sendiri, namun beberapa saat kemudian ternyata bahwa jawaban yang tepat itu diisinya dengan konsep yang lain. Kuasa Kerajaan Allah bagi Yesus berarti melepas keluar kuasa untuk memberi diri dan melayani, bukan untuk mengontrol dan berusaha merebut kuasa seperti yang dimengerti Petrus. Tuhan menegur Petrus yang berhasil belajar konsep, namun belum masuk dan mengenal hidup dan kisah Yesus.

Para rasul dalam surat-surat kirimannya memberikan kepada kita cukup gambaran tentang keindahan dan keluarbiasaan Pribadi Yesus Kristus. Ia lemah lembut dan ramah (2 Korintus 10:1). Kristen dianjurkan untuk bersikap seperti Dia -- ramah, mengampuni, dan mengasihi (Efesus 4:32; 5:1-2). Perjalanan hidup-Nya dicirikan oleh ketaatan sampai mati (Filipi 2:5, 8), suatu ketaatan yang penuh (Ibrani 5:7-8).

Dalam pengisahan keempat Injil, kita bertemu dengan gambaran yang luar biasa menarik dan menakjubkan. Tak pernah dan tak akan mungkin ada pribadi lain seistimewa Dia. Seketika kita berusaha mengungkapkan ciri-ciri karakter-Nya, kita akan berhadapan dengan kesulitan. Bukan saja itu disebabkan oleh adanya sifat-sifat yang tak lazim ada pada manusia, tetapi juga karena adanya kepenuhan sifat-sifat yang pada manusia biasa merupakan ciri yang bertentangan, namun pada Yesus ada secara penuh dan serasi. Di satu pihak, Dia begitu hangat dan bermurah hati, di pihak lain, Dia bisa panas berkobar-kobar melawan orang tertentu. Dia adalah satu-satunya Manusia yang penuh damai, syukur, dan suka, namun Dia juga adalah Manusia yang penuh duka. Dia berkhotbah dan melayani dengan penyataan wibawa dan kuasa penuh, namun hangat, menghargai orang lain, dan rendah hati. Dia senang berada di tengah orang banyak, namun Dia senang pula menyendiri dalam persekutuan dengan Bapa-Nya. Dia seorang yang sangat praktis dan teologi-Nya berciri praktis, namun Dia seorang pendoa tanpa tanding dan pengajar yang memiliki kedalaman tak terselami. Dia sangat keras berpegang pada prinsip, tegas menegur dan menghakimi, namun lembut dalam persahabatan dan tenang dalam perilaku-Nya.

Kuasa-Nya yang mulia dan ajaib inilah, menurut Petrus, yang membuat Dia seperti magnet memanggil, menarik orang datang, beriman, kemudian menjadi murid-Nya. (Istilah asli yang digunakan di dalam 2 Petrus 1:3 adalah doxa dan arete, yang berarti kemuliaan dan keistimewaan kepribadian Yesus Kristus). Dialah Anak Allah, Mesias, Tuhan, Juru Selamat, Sahabat sejati, dan Guru kita. Dengan belajar dari Dia, bersama Dia, belajar dalam Dia, belajar Dia saja, menjadi murid-Nya, kita mengenal Dia, dan mengalami dampak mendalam dalam diri kita sendiri. Sebab belajar dan menjadi murid-Nya berarti berubah menjadi seperti Dia.

Makna Kemuridan

Seseorang menjadi murid Yesus ketika Yesus memanggilnya untuk mengikut Dia, meninggalkan segala sesuatu, menyangkal diri, dan memikul salib-Nya. Bukan murid yang memilih Sang Guru, tetapi Dia yang memilih seseorang untuk menjadi murid-Nya.

Panggilan kemuridan ini saja sudah cukup untuk menyadarkan kita bahwa kemuridan adalah suatu anugerah yang mahal. Ketika Yesus memanggil Zakheus turun dari pohon, memanggil Lewi untuk mengikut-Nya, bukankah itu berarti anugerah bagi mereka? Sebab panggilan kepada orang berdosa tersebut dan kesediaan makan bersama mereka, adalah anugerah dalam peristiwa nyata, dalam kisah yang hidup. Diutarakan atau tidak, panggilan itu sudah mengandalkan pengampunan, pencerahan, dan bimbingan agar mengenal Dia lebih dalam, pelatihan untuk hidup dan melayani Dia, pengkhususan dan penugasan dan akhirnya perubahan hidup yang memengaruhi dan mengubah dunia luas dalam misi-Nya.

Dengan demikian, kemuridan dalam pengertian yang benar bukan sekadar usaha manusia meniru Kristus, tetapi bukti beroperasinya anugerah panggilan-Nya yang membuahkan ketaatan dan penaklukan diri kepada Ketuhanan-Nya. Di dalam kemuridanlah, gambar dan rupa Allah dalam diri kita yang seharusnya membuat kita menjadi replika Allah, namun telah rusak oleh dosa itu, diperbarui oleh Sang Gambar dan Rupa Allah sempurna yang memuridkan kita kembali. Di dalam kemuridan, pemberontakan yang membuat kita tak mampu lagi meniru teladan kemuliaan Allah, disangkal dan disalibkan agar kemuliaan Allah dalam Yesus Kristus itu terbit dan mekar dalam kehidupan kita para murid-Nya. Kita harus kudus karena Allah kudus adanya. Kita harus mengampuni sama seperti Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita. Kita diajar untuk mendahulukan kepentingan orang lain, sama seperti Yesus, Guru dan Tuhan, telah merendahkan diri, mencuci kaki para murid-Nya justru pada detik-detik terakhir menjelang akhir hidup-Nya. Schleiermacher memberikan komentar yang tepat ketika ia mengatakan bahwa buah Roh tidak lain adalah sifat-sifat mulia Kristus. Dan agar buah Roh itu tampak dalam hidup kita, kita harus memandang kepada Kristus sebab buah Roh tak lain adalah sifat-sifat kebajikan Kristus sendiri.

Jelasnya, kemuridan bukanlah peniruan subjektif dangkal yang bisa menciptakan kemunafikan, tetapi konsekuensi logis dari mengalami panggilan anugerah Allah dan campur tangan Kristus dalam kehidupan kita. Hanya orang Kristen yang sungguh menjadi murid Kristuslah yang mengenal siapa Yesus sesungguhnya. Hanya murid Yesuslah yang layak dan patut disebut Kristen. Dan hanya para murid Yesus pulalah yang mampu mencitrakan kekristenan yang hidup, menarik, dan menantang di hadapan dunia ini sebab kekristenan sedemikian adalah komunitas para kristus-kristus kecil, utusan-utusan-Nya yang mengubah dunia ini.

Orang Kristen dipanggil untuk mengiring Kristus. Tetapi masalahnya sering kali ialah, kita bukan mengiring, tetapi berusaha menggiring Dia mengikuti dan memenuhi keinginan kita. Itu sebabnya kehidupan Kristen kita tidak lagi unik, dan hidup kekristenan dalam dunia ini tidak lagi menjadi tenaga pembaru yang dahsyat.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Hidup dalam Ritme Allah
Judul arikel : Hakikat Kekristenan: Kemuridan
Penulis : Paul Hidayat
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta 2005
Halaman : 24 -- 32

e-JEMMi 09/2009