Orang Lain Adalah Sumber supaya Seorang Pemimpin Mencapai Hal yang Lebih Besar

Pada 22 April 2010, saya tiba di Pokhara, Nepal. Kepada teman saya, Hom Tamang, seorang Gurkha, saya telah menyampaikan keinginan untuk melakukan perjalanan mendaki salah satu kaki gunung di barisan Himalaya. Ia tersenyum, dan menawarkan suatu perjalanan menyusuri desa-desa di kaki Himalaya yang dapat dilakukan dalam tiga hari. Saya menyetujui hal itu, tetapi ia tiba-tiba menawarkan kemungkinan lain untuk mencoba mendaki lereng Himalaya, ke arah Poon Hill melalui Ghorepani dalam tim yang terdiri dari dua orang, yaitu saya dan keponakannya. Menurut banyak orang, tracking di sana terasa mudah pada hari pertama, tetapi jalur pada hari kedua terkenal sulit karena terus-menerus mendaki selama tujuh jam. Mengingat pengalaman menelusuri bukit-bukit di Puncak, Bromo, Sibayak, serta Semeru, saya memutuskan untuk memilih melakukan hal yang menantang itu karena mengira bahwa modal saya cukup kuat.

Gambar: Naik gunung

Dalam tiga jam pertama saja, saya sudah mulai mempertanyakan akal sehat saya untuk menjadi anggota tim dua orang ini. Bahkan, seorang yang masih berusia 23 tahun belum tentu sanggup berjalan cepat dan mendaki terus-menerus di bawah hujan. Apalagi, perut saya berkali-kali melilit akibat diisi kari dan Coca-Cola. Sementara itu, keponakan teman saya yang bernama Raju sebagai pemandu melangkah seakan berada di mal yang datar. Raju adalah ketua komisi pemuda di gerejanya.

Syukurlah ... pada pukul 18.00, saya tiba di penginapan, dan langsung tidur. Dalam benak saya, saya berkata lagi, bila jujur pada hari kedua disebut akan lebih sulit dibandingkan hari pertama, akan bagaimanakah beratnya tantangan itu?

Pada hari kedua, kesengsaraan yang ada jauh melebihi siksaan pada hari pertama. Dari pukul 06.30 pagi, kecuraman pendakian mendekati 60 derajat. Jalan tanah tertutup dengan lempengan batu yang indah seperti marmer dan batu jane. Namun, setiap kali mengangkat badan, otot perut harus bekerja keras. Lebih gila lagi, Raju, sang Ghurka berusia 20 tahun, sambil terus-menerus bernyanyi Silent Night maju dengan kecepatan seorang kepala kantor mengejar gajinya ... dan semakin lama ia semakin cepat. Himbauan agar ia memperlambat langkahnya hanya dijawab, "Kita hampir sampai, sedikit lagi." Dengan terengah-engah, sedikit pusing, perut hampir kejang, dan kaki pegal, saya maju mencoba mengejarnya. Akhirnya, setelah sejam terlambat dari jadwal, kami berhasil tiba di tempat tujuan.

Saya yakin bahwa bila saya berjalan sendiri, saya tidak sanggup dan termotivasi melanjutkan langkah saya, apalagi sewaktu menembus hutan yang gelap berjam-jam. Raju, rekan dalam tim pendakian saya itu membuat saya mencapai hal yang sewajarnya tidak akan mungkin saya lakukan. Ia menghibur saya dengan berbagai cerita, celoteh, teka-teki, nyanyian, dan penjelasannya mengenai budaya setempat untuk mengatasi kesengsaraan dan mencapai tempat setinggi Poon Hill. Yang terutama, ia berhasil membuat saya terinspirasi dengan cerita bahwa banyak orang yang sudah setua saya pun masih melakukan pendakian yang lebih spektakuler, dan berhasil.

Gambar: Menuju puncak

Dalam perjalanan pulang pada hari keempat, giliran saya banyak berbicara kepada dirinya. Ia bermimpi menjadi seorang pemandu gunung profesional. Namun, untuk mendapatkan sertifikat dan mengikuti kursus pemandu, ia tidak memiliki dana untuk membiayai kursus itu. Nilainya setara dengan uang satu juta rupiah, yang wajarnya bagi seorang Indonesia merupakan jumlah uang yang dapat dijangkau.

Sepanjang perjalanan, ia menanyakan banyak hal tentang anak-anak muda seusianya di Indonesia. Akhirnya, saya bertanya, bila ada seorang yang bersedia memberikan padanya seratus dolar Amerika, apakah ia akan mengambil kursus untuk mendapatkan sertifikat yang ia impikan. Wajahnya bersinar, dan ia menjawab, "Tentu saja!" Lima hari kemudian, ia mulai mencari kursus yang ia inginkan setelah dana yang dibutuhkan sudah tiba dari seorang donatur Indonesia. Ketika kemudian kami berpisah sesudah kami mendaki bersama selama empat hari, kami menyadari bahwa masing-masing dari kami mendapatkan berkat yang berharga.

Keempat aspek dari peran orang lain bagi diri kita membuat saya mengingat cerita Musa yang begitu mengesankan. Walaupun ia telah dipilih dan diutus Tuhan untuk membebaskan bangsanya dari perbudakan Mesir, Musa jugalah yang kemudian menjadi seorang yang memimpin bangsanya dengan amat lamban. Di bawah pimpinannya, mula-mula bangsa Israel, yang sudah berhasil meninggalkan Mesir, tidak dapat maju dengan kecepatan yang seharusnya. Mengapa? Karena Musa membuat dirinya menjadi pusat kehidupan bangsanya. Syukurlah, kehadiran dan kata-kata Yitro mengubah dirinya, dan melalui perubahan Musa, terjadi perubahan potensi bangsa Israel. Mereka dapat maju dengan kecepatan yang lebih tinggi menuju Kanaan.

Audio Orang Lain adalah Sumber

Diambil dari:
Judul buku : Kamu Juga Meraih! Cara Meraih Mitra dan Menghasilkan Kerjasama
Judul asli artikel : Orang Lain Adalah Sumber supaya Seorang Pemimpin Mencapai Hal yang Lebih Besar
Penulis : Robby I. Chandra
Penerbit : Young Leaders Indonesia, Jakarta 2011
Halaman : 92 -- 95

KUTIPAN

“Tak ada masalah yang tak dapat diatasi. Dengan sedikit keberanian, kerja sama, dan tekad, seseorang dapat mengatasi apa pun.”
— B. Dorge

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar