"Di Jalanku 'ku Diiring"

Tahukah Anda bahwa perasaan kesepian dapat menjadi musuh yang paling hebat, yang menghalangi damai sejahtera dan sukacita dari Allah? Saya tahu itu dan saya pernah mengalaminya.

Setelah lulus kuliah dari FMIPA UI tahun 2001, saya meninggalkan Jakarta untuk bekerja di sebuah LSM kecil di kota Solo. Sempat bekerja selama dua tahun di kota itu, sebelum akhirnya saya kembali ke Jakarta dan menganggur selama setahun. Setelah itu, saya kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah lembaga kemanusiaan internasional, yang menempatkan saya di kabupaten Rembang, dan kemudian di kabupaten Grobogan. Di lembaga itulah, saya kemudian bertemu dan mengenal calon suami saya. Setelah berpacaran selama lebih kurang satu setengah tahun, akhirnya kami memutuskan untuk menikah dan saya pun mengundurkan diri dari pekerjaan saya dari lembaga yang notabene sama dengan lembaga tempat suami bekerja. Memang ada kebijakan yang tidak memperbolehkan suami dan istri bekerja bersama dalam lembaga kami saat itu, tetapi alasan utama saya meninggalkan pekerjaan saat itu lebih dikarenakan ketidaknyamanan dengan pekerjaan saya sebagai staf lapangan. Kami menikah di akhir tahun 2005 dan memutuskan tinggal di kota Solo, sementara suami tetap bertugas di kabupaten Grobogan.

Setelah menikah, saya berniat untuk kembali mencari pekerjaan, tetapi ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Sebulan setelah menikah, saya langsung hamil dan terpaksa mengurungkan niat untuk kembali mencari pekerjaan karena selama trimester pertama kehamilan, saya mengalami "morning sickness" yang amat parah. Selama tiga bulan, saya diserang rasa mual dan muntah yang hebat, yang membuat saya tidak bisa beraktivitas dengan nyaman dan normal. Berat badan saya sempat turun drastis di masa awal kehamilan karena hanya sedikit makanan yang dapat masuk dengan kondisi yang saya alami itu. Puji Tuhan, kondisi kehamilan saya membaik ketika memasuki bulan keempat, hingga akhirnya saya melahirkan seorang putri yang sehat dengan proses kelahiran normal pada bulan September 2006.

Setelah putri kami lahir, kami membeli sebuah rumah di kawasan pinggiran kota Solo, yaitu di daerah Sukoharjo, yang berjarak tempuh sekitar 20 menit dari kota Solo. Niat untuk bekerja pun saya simpan dalam-dalam karena mustahil bagi saya untuk bekerja meninggalkan bayi saya, dengan kondisi suami yang bekerja di luar kota serta keberadaan orang tua kami masing-masing yang jauh. Saya pun kemudian memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga demi mengasuh anak.

Hari-hari saya lalui di perumahan kami yang kental dengan nuansa pedesaan dan persawahan tersebut. Walaupun bersyukur karena kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik dan Tuhan mengaruniakan berkat yang cukup melalui pekerjaan suami, tetapi saya menghadapi tantangan lain yang tidak mengenakkan, yaitu kesepian. Jauh dari keluarga dan komunitas asal di Jakarta, suami yang bekerja di luar kota yang tidak memungkinkannya untuk bisa setiap hari pulang, serta suasana pedesaan yang sepi dan tenang, membuat saya kesepian dan mengalami kejenuhan dengan rutinitas sehari-hari. Ketidakmampuan saya mengendarai motor ternyata juga menjadi hambatan sehingga saya tidak bisa sering-sering ke Solo untuk sekadar refreshing, bertemu teman, atau melakukan banyak kegiatan lainnya. Saya menikmati tinggal di lingkungan pedesaan yang nyaman dan tenang, tetapi saya juga menjadi teralienasi di dalamnya. Ruang lingkup saya menjadi begitu kecil dan sempit, dan energi saya habis tersita dari hari ke hari untuk sesuatu yang selalu sama dari pagi hingga malam. Perasaan kesepian itu ternyata juga memunculkan perasaan-perasaan negatif, kepahitan, serta perasaan tidak berharga dalam diri saya. Rasa itu memunculkan semua bagian terburuk dari saya sehingga di hari-hari itu, saya sungguh sulit untuk bersyukur. Hampir setiap hari, saya mengeluh dan tidak merasakan damai sejahtera serta sukacita di dalam hati, suatu kehidupan yang sungguh jauh dari kehendak Tuhan.

Namun, Tuhan tidak pernah membiarkan saya sendiri. Di tengah-tengah situasi tersebut, saya memiliki asisten rumah tangga yang baik, serta beberapa tetangga yang baik, yang bisa menjadi teman dalam kehidupan sehari-hari. Kepada mereka, saya bisa bertukar cerita dan obrolan sehingga keadaan tidak selalu menjemukan bagi saya. Kemudian, keadaan semakin membaik ketika putri kami mulai bersekolah "play group" dan taman kanak-kanak di kota Solo. Kejenuhan saya mulai teratasi karena setiap hari, saya harus mengantar anak saya dan menungguinya di sekolah. Di situ, saya dapat berinteraksi dengan ibu-ibu lainnya. Melalui kegiatan yang berlangsung selama hampir dua tahun ini, rasa jenuh dan kesepian saya dapat teratasi walaupun kami harus menempuh perjalanan selama satu sampai satu setengah jam setiap hari dengan menggunakan kendaraan umum. Puji syukur, saya juga mengalami pertemanan yang menyenangkan dengan ibu-ibu yang lain sehingga saya juga bisa belajar dan mendapat cerita-cerita menarik dari mereka. Hal-hal sederhana, tetapi dipakai oleh-Nya untuk menghibur dan mendidik saya. Namun, jarak yang jauh serta kendala transportasi bagi putri kami untuk bersekolah di Solo tetap menjadi keprihatinan kami berdua karena sulit juga membayangkan selama bertahun-tahun, saya harus mengantarnya setiap hari ke sekolah dengan kendaraan umum.

Tetapi, Tuhan sungguh baik. Ia memberi kami jalan keluar dari situasi yang sulit tersebut. Melalui pertolongan-Nya, kami akhirnya mendapat kesempatan untuk memiliki rumah di tengah-tengah kota Solo. Suatu kesempatan yang sangat menguntungkan bagi kami, yang tidak akan dapat kami peroleh jika bukan karena Dia yang memberikannya. Dengan memiliki rumah di kota, kami tidak perlu lagi khawatir tentang masalah pendidikan putri kami ke depan, dan hidup kami juga akan mengalami kemudahan dalam banyak hal. Hari-hari saya pun menjadi lebih berwarna dibanding sebelumnya.

Kebaikan Tuhan ternyata tidak berhenti sampai di situ. Kerinduan saya untuk dapat bekerja pun akhirnya terbuka ketika Ia memberikan sebuah pekerjaan kepada saya, yang sesuai dengan "passion" saya, yaitu menulis. Melalui tuntunan dan pertolongan-Nya, saya diterima di Yayasan Lembaga SABDA, sebuah lembaga pelayanan Kristen yang ada di kota Solo. Di tempat ini, selain dapat mengembangkan diri saya dalam bidang penerjemahan dan penulisan, saya juga memiliki kesempatan untuk bertumbuh dalam pengenalan yang semakin baik tentang-Nya serta suatu kesempatan untuk ikut melayani Dia bersama dengan rekan-rekan seiman yang lain. Suatu pemeliharaan yang indah, yang hanya dapat saya peroleh di dalam dan melalui Dia.

Mengingat perjalanan hidup saya ke belakang, dengan semua suka duka, perasaan kesepian, kejenuhan, kekhawatiran, dan kemudian semua hal luar biasa yang Ia berikan kepada kami, saya hanya dapat merenung dan memikirkan kebaikan Tuhan. Kini, saya dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Tuhan Yesus selalu dekat di saat-saat saya merasa kesepian. Tangan-Nya selalu menopang dan menguatkan, serta memberi saya pengharapan di saat-saat tersulit sekalipun. Seperti potongan-potongan "puzzle" yang kini telah membentuk sebuah gambar yang indah dan jelas, seperti itulah saya memandang setiap momen kehidupan saya dibentuk oleh kemurahan-Nya. Lagu Kidung Jemaat 408 yang menjadi lagu penutup pada kebaktian pemberkatan pernikahan kami 8 tahun yang lalu, sungguh nyata untuk menyatakan peranan-Nya dalam kehidupan kami.

"Di jalanku 'ku diiring oleh Yesus Tuhanku.
Apakah yang kurang lagi, jika Dia Panduku?
Diberi damai sorgawi, asal imanku teguh.
Suka-duka dipakaiNya untuk kebaikanku;
Suka-duka dipakaiNya untuk kebaikanku."

Sumber Kesaksian: Okti


"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa."
(Mazmur 16:11)

Kata Bijak: 

Tinggalkan Komentar