Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kiat Membesarkan Anak

Membesarkan anak bukanlah masalah sepele. Saya percaya bahwa para pembaca yang adalah orangtua (terutama ibu) akan membenarkan kalimat ini. Sebagaimana hubungan suami-istri akan mempengaruhi hubungan orangtua-anak, demikian pulalah hubungan orangtua-anak akan mempengaruhi hubungan suami-istri. Hubungan suami-istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan, cenderung membuahkan anak-anak yang lemah dan sakit-sakitan pula. Namun kebalikannya juga betul. Hubungan orangtua-anak yang lemah dan sakit-sakitan cenderung menghasilkan (atau merupakan tanda) hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan. Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen dari Amerika, sangat menyadari peranan penting dari cara membesarkan anak yang sehat dalam keharmonisan hubungan suami-istri. Dalam bukunya "The New 'Dare to Discipline'" yang kemudian diintisarikan dalam majalah "Focus on the Family" (March, 1994) ia menjabarkan lima kiat membesarkan anak.


Kiat Pertama: Menumbuhkan respek pada orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam membesarkan anak.

Ada tiga alasan yang membuat hal ini penting, antara lain:

  1. Karena sesunggguhnya anak belajar memberi respek kepada orang lain sewaktu ia belajar memberi respek kepada orangtuanya. Keluarga adalah unit sosial terkecil dan sering kali cara kita berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia luar merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi terhadap keluarga kita. Seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya cenderung mengalami kesukaran menghormati figur-figur lain di luar rumahnya. Saya memahami adanya kasus-kasus tertentu di mana orangtua bukan hanya menelantarkan melainkan juga menindas anak mereka. Dalam kasus-kasus khusus seperti itu saya menyadari kesukaran yang timbul bagi anak untuk menghormati orangtuanya. Namun saya percaya bahwa yang dimaksud oleh Dr. Dobson adalah kasus pada umumnya, dimana anak yang tidak dididik untuk hormat kepada orangtua cenderung menjadi anak yang sukar hormat kepada orang lain.

  2. Karena respek pada orangtua akan menolong orangtua menanamkan nilai-nilai rohani dalam diri anak tatkala anak mencapai usia remaja. Apabila kita baru mau menanamkan pentingnya respek sewaktu anak menginjak remaja, niscaya kita telah terlambat dan akan mengalami kesulitan mengajarkan nilai-nilai rohani dalam dirinya.

  3. Karena respek pada orangtua acap kali dikaitkan dengan respek pada Tuhan sendiri. Anak kecil yang belum berkemampuan berpikir secara abstrak sering kali mengasosiasikan figur orangtua, terutama ayah, dengan figur Tuhan. Jadi, anak yang kurang ajar terhadap orangtua sejak kecil akan cenderung tidak respek terhadap Tuhan pula.


Kiat Kedua: Kesempatan terbaik untuk berdialog dengan anak adalah pada waktu kita baru saja mendisiplinkannya.

Membesarkan anak tidak terlepas dari konfrontasi dan disiplin karena adakalanya anak dengan sengaja melawan otoritas orangtua. Pada saat- saat seperti inilah penting bagi orangtua akan bertumbuh. Biasanya dalam saat konfrontasi dan disiplin seperti ini, anak akan meluap-luap dengan emosi dan setelah itu mengakhiri perlawanannya dengan tangisan. Ini adalah momen yang penting bagi kita, orangtua, untuk memeluk anak, mengatakan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan memberi tahu anak akan kesalahannya. Dengan cara ini, anak akan memahami bahwa kita tidak menolaknya atau menghukum dirinya, melainkan menghukum perbuatannya. Jadi orangtua tidak seharusnya takut mendisiplin anak selama tidak berlebihan karena momen-momen seperti ini biasanya dapat mempererat hubungan orangtua-anak.


Kiat Ketiga: Kendalikan anak tanpa berteriak-teriak.

Menurut Dr.Dobson, berteriak-teriak memarahi anak tidak menyelesaikan masalah, malah akan membuat anak terbiasa dengan kemarahan orangtua. Menggunakan teriakan kemarahan untuk mengendalikan anak sama dengan mencoba menjalankan mobil dengan cara membunyikan klakson. Oleh karena itu cara yang lebih efektif adalah memanfaatkan sesuatu yang penting baginya. Saya setuju dengan pandangan Dr. Dobson ini karena saya pun menyaksikan betapa cepatnya anak-anak kami makan tatkala istri saya berkata, "Kalau tidak selesai makan, kalian tidak boleh ikut pergi." Bagaikan pelari yang mendekati garis final, demikian pula mereka berlari menuju meja makan dan makan dengan lahap -- tanpa kami harus berteriak-teriak marah.

Kiat Keempat: Jangan melimpahi anak dengan materi.

Pada waktu kita hidup dalam kekurangan, tidaklah sukar bagi kita untuk menolak permintaan anak dengan alasan bahwa kita tidak memiliki uang untuk membeli barang yang ia minta itu. Namun tatkala kita mempunyai uang, menolak permintaan anak menjadi cukup sulit. Kita seakan-akan tidak lagi memiliki alasan untuk menolak permintaannya. Setiap kali kami sekeluarga mengunjungi pasar swalayan, anak-anak selalu mengajak kami (sudah tentu dengan rayuan) untuk melihat-lihat di tempat penjualan mainan anak-anak dan setiap kali pula mereka meminta kami untuk membelikan sesuatu. Biasanya saya menolak permintaan mereka dengan alasan harganya, bagi kami terlalu tinggi. Dasar anak-anak, sekarang mereka mengubah taktik mereka. Setelah mangumandangkan permintaan mereka, pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah, apakah harganya mahal atau tidak. Masalah mulai timbul (bagi kami), karena adakalanya barang yang mereka inginkan harganya memang tidak terlalu tinggi. Sedangkan alasan utama kenapa kami tidak bersedia membelikan barang itu adalah karena kami ingin membatasi barang mainan mereka agar tidak melimpah-ruah dan hilang nilainya. Akhirnya saya terpaksa mengatakan bahwa kami tidak dapat membelikan mainan itu karena mereka sudah memiliki mainan sejenis itu atau kami menjanjikan untuk membelikan mainan itu pada hari ulang tahun mereka.

Dr. Dobson menekankan bahwa anak yang dilimpahi dengan materi niscaya mengalami kesukaran menghargai milik kepunyaannya. Saya menambahkan, anak yang tidak pernah menghargai milik kepunyaannya cenderung berkembang menjadi seseorang yang tidak berterima kasih dan mementingkan diri sendiri. Anak ini cenderung menjadi seseorang yang egois dan mementingkan haknya belaka, tanpa memikirkan kewajibannya dan kepentingan orang lain. Ia tidak mungkin menghargai pengorbanan orang lain dan tidak mengenal nilai pengorbanan diri. Segala sesuatu menjadi terlalu mudah baginya dan ia pun akhirnya cenderung memudahkan atau meremehkan segala sesuatu. Ingatlah, membatasi kepunyaan mereka tidaklah sama dengan menyengsarakan mereka. Membatasi keinginan anak penting untuk kita lakukan pada abad kemakmuran materi ini demi kebaikannya sendiri.

Kiat Kelima: Menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin.

Terakhir, Dr. Dobson menjelaskan kita membesarkan anak adalah menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Ia menuturkan sebuah cerita yang pernah terjadi pada abad ke-13 di mana Raja Frederick II mengadakan sebuah percobaan dengan 50 bayi. Tujuan eksperimen ini ialah untuk mengetahui bahasa apa yang akan digunakan oleh anak-anak ini apabila mereka dibesarkan tanpa pernah mendengar perkataan apapun. Raja tersebut meminta ibu pengasuh ini untuk membersihkan dan memberi mereka makan namun melarang para pengasuh ini untuk membelai ataupun berbicara kepada bayi-bayi ini. Percobaan ini ternyata gagal total karena akhirnya kelima puluh bayi ini akhirnya meninggal dunia.

Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan penerimaan orangtuanya sama seperti ia memerlukan makanan dan minuman. Tanpa kasih sayang dan penerimaan, ia akan bertumbuh besar menjadi seorang manusia yang haus dan lapar akan kasih serta penerimaan orang lain. Namun ia pun memerlukan disiplin yang akan menolongnya menguasai diri dan patuh kepada otoritas di atasnya. Disiplin membantunya hidup dalam kerangka atau struktur sehingga ia tidak berkembang menjadi liar tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Disiplin diperlukan sebagai sarana orangtua mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran bermakna yang ia perlukan.

Dr. Dobson menyimpulkan, "Tatkala anak menantang dan memberontak, menangkanlah tantangan itu dengan meyakinkan. Ketika anak bertanya, 'Siapakah yang berkuasa (di rumah ini)?' -- beri tahu dia bahwa andalah, sebagai orangtua, yang berkuasa (di rumah ini). Saat ia bergumam, 'Siapakah yang mengasihi saya?' -- dekaplah ia dalam pelukan Anda dan penuhi dia dengan kasih sayang. Perlakukan dia dengan respek dan penuh penghargaan dan tuntutlah perlakuan yang sama darinya."

Sumber:

Buletin PARAKALEO, Departemen Konseling Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia, Vol. 1/No.3/Edisi Juli - September 1994

Komentar