Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Gerbang Sorga

Manusia tidak pernah berhenti berkelahi. Adakalanya kita berkelahi untuk menang, namun kadang kita berkelahi untuk hidup. Salah satu perkelahian untuk hidup yang kerap menantang adalah perkelahian melawan penyakit. Misalnya, bag] para penderita kanker, radiasi dan chemotherapy menjadi perkakas perang melawan sel-sel ganas yang rnenggerogoti tubuh. Kadang kita menang dan bertahan hidup, namun kadang kita kalah.

Salah satu dampak perkelahian melawan penyakit yang menakutkan itu adalah depresi. Tidak jarang kita kalah, sebelum maju berperang. Acap kali meski tubuh masih bernyawa, jiwa tidak tag] bernapas. Kehidupan menjadi begitu jauh dan tawar; jiwa tertindih oleh onggokan rasa takut, sedih, bercampur frustrasi. Kita menyangkal, marah, mencoba tawarmenawar, namun akhirnya tenggelam dalam depresi tanpa dasar.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa depresi kerap mendera penderita sakit terminal seperti kanker dan lainnya. Suasana hati menjadi kelabu dan murung, sernangat hidup terbang meninggalkan kalbu, keinginan mengakhiri hidup pun mulai menggoda. Hari ini dan esok menjadi begitu sarna dan tidak menarik, membuat kita bertanya, "Untuk apakah saya hidup?" Napas menjadi satu-satunya aktivitas.

Tidak dapat disangkal, sekuat apa pun kita, bayang maut tetap mendebar sukma. Bak perjalanan, kita telah sampai ke titik akhir sebelum rnelangkah ke alam yang berbeda. Kita dipaksa untuk meninggalkan semua yang kita kenal dan genggarn, untuk mengatakan "selarnat tinggal" kepada kekasih dan pengasih. Kita sedih karena kali ini kata perpisahan benar-benar bermakna, pisah.

Acap kali penderita sakit terminal terpaku di persimpangan antara membagi kesedihan atau menyimpannya. Kerinduan hati adalah membagi kesedihan namun lidah berhenti berucap melihat mata sedih yang memandang. "Saya harus kuat dan menghibur mereka yang bersedih!" itulah kirakira yang kita katakan. Kita tidak nyarnan rnernperlihatkan kesedihan karena kita takut membuat para pengasih dan pengasuh makin redup dalam kegundahan. Itu sebabnya banyak yang akhirnya memutuskan untuk tidak berkatakata dan memilih hidup dalam kesunyian.

Ada pula yang tidak ingin mencetuskan kesedihannya karena baginya kesedihan berarti kelernahan. Kita yang terbiasa mengemban peran si kuat dan si penopang, tidak terbiasa melihat diri lemah dan butuh topangan. Kita tidak ingin rnenyusahkan orang namun sesungguhnya kita memerlukan perhatiannya. Pada akhirnya rnuncullah perilaku sating bertentangan yang membingungkan. Di satu pihak kita tidak ingin rnenyusahkan orang dan malah meyakinkan semua bahwa kita, "balk-balk saja," namun di pihak lain, kita kecewa dan marah tatkala sapaan makin berkurang. Masalahnya adalah, tatkala perhatian ditawarkan, dengan cepat kita menolaknya.

Pada dasamya kesedihan penderita sakit terminal berpangkal dari satu sumber yakni kehilangan diri. Ada tiga dimensi yang termaktub dalam kehilangan diri in] yaitu kehilangan diri masa lalu, kehilangan diri masa sekarang, dan kehilangan diri masa depan. Penyakit yang menggeroti tubuh telah mengubah diri yang kita kenal di masa lampau. Tiada lagi diri yang kokoh, yang tersisa adalah diri yang ringkih. Tidak ada lagi diri yang produktif, yang ada hanyalah diri yang menanti dengan pasif. Kita tidak lagi dapat menghubungkan diri di masa lampau dengan diri di masa sekarang. Kita tidak lagi mengenal diri yang sekarang sebab diri yang sekarang menjadi begitu berbeda dari yang sebelumnya. Ketidaksinarnbungan ini memutuskan tall ikatan antara diri di dua masa dan sebagai akibatnya, kita kehilangan diri. Kita tidak tahu lagi siapa diri kita ini.

Untuk membentuk jati diri yang biasanya dimulai di awal masa rernaja diperlukan perbandingan dan kesinambungan antara diri di masa larnpau dan diri di masa depan. Kita harus memiliki inventarisasi akan siapakah diri yang kita kenal di masa lampau sampai sekarang dan kita pun harus sanggup membayangkan siapakah diri kita di masa mendatang. Penderita sakit terminal kehilangan diri di masa sekarang akibat perubahan besar yang terjadi pada dirinya sekarang.

Masalahnya bertambah parah karena penderita sakit terminal tidak dapat membayangkan dirinya di masa mendatang. Bagairnanakah mungkin ia membayangkan diri di masa mendatang bila ia tidak tahu apakah ia rnasih akan ada seminggu setelah hari ini? Pada akhirnya, diri di masa sekarang terputus dari diri masa depan. Alhasil, din di masa sekarang termenung sendirian-terlepas dari masa lampau dan terputus dari masa depan. Inilah kehilangan diri. Dan sewaktu diri terhilang, sesuatu yang sangat hakiki dengan kehidupan pun turut lenyap.

Depresi menyergap tatkala mata menatap ke bawah-ke tubuh dan diri yang mulai senyap. Hanya ada satu cara untuk rnenangkalnya: melihat ke atas dan merengkuh kekekalan. Sakit terminal adalah jembatan kasatmata yang menghubungkan kekinian dan kekekalan. Ibarat tangga dalam mimpi Yakub di mana malaikat-malaikat Allah turun naik (Kejadian 28:12), sakit terminal menghubungkan kita dengan Juruselamat dan Pengasih jiwa kita secara lebih nyata dan dekat. Di bawah tangga itulah kita baru dapat mendengar jelas janji yang Tuhan ikrarkan kepada Yakub, "Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau ... sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu."

Yakub menyebut tempat itu, "pintu gerbang sorga" dan menamainya, Betel rumah Allah. Di dalam Kristus, sakit terminal merupakan pintu gerbang sorga dan tempat di mana kita berbaring sakit menjadi "rurnah Allah."

Sumber
Halaman: 
2 - 3
Judul Artikel: 
Parakaleo, Juli September 2006, Vol. XIII, No. 3
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII, Jakarta 2006
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2006

Komentar