Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Boleh Hutang, Asal ...?

Edisi C3I: e-Konsel 095 - Perlukah Berhutang?

Dahulu, jika tidak benar-benar sedang butuh uang -- entah karena tertimpa musibah atau peristiwa darurat lainnya -- orang sebisa mungkin tidak akan berutang. Tetapi sekarang, orang yang memiliki uang justru lebih suka berutang. Malah, kepercayaan untuk mendapat kredit (utang) bisa menunjukkan status sosial tertentu. Bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena itu?

Orang sering kali tidak sadar bahwa utang itu adalah pendapatan yang akan kita peroleh di masa depan namun kita pakai saat ini. "Artinya, pengeluaran yang tidak bisa ditutup oleh pendapatan kita yang sekarang ditutup oleh pendapatan kita pada masa datang. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari hal ini. Mereka menganggap utang itu sebagai uang lebih. Padahal tidak seperti itu," kata Benny Santosa, S.T.,M.Com., penulis buku "All About Money 1 & 2" (PBMR ANDI).

Utang

Jika orang sadar hakikat utang yang sebenarnya, ia akan menggunakan hasil utang itu untuk hal-hal produktif yang dapat menambah penghasilan sehingga uang yang dipinjam tidak habis sia-sia. Sebaliknya, kalau digunakan untuk keperluan konsumtif tidak akan memberi nilai tambah, tetapi justru akan menjebak orang ke jerat utang yang lebih dalam.

1. Utang produktif

Menurut dosen Universitas Surabaya itu, setidaknya ada dua alasan orang berutang, yaitu ingin mempercepat proses dan ingin memenuhi keinginan. Untuk mengembangkan bisnis, orang membutuhkan modal besar. Berutang akan mempercepat proses untuk mendapatkan modal besar. Utang model ini, mungkin bisa disebut sebagai utang yang produktif. Karena uang yang dipinjam tidak hilang sia-sia tetapi justru dapat menambah penghasilan. Dengan catatan, jika usaha yang dikembangkannya berhasil. Meski begitu, jika tidak dilakukan dengan perhitungan yang matang, utang yang tujuannya produktif ini pun dapat mencekik. Seperti yang terjadi pada 1998, kekacauan di negeri ini membuat suku bunga kredit tinggi. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengandalkan utang jadi hancur.

2. Karena kepepet

Ada pula orang yang berutang dengan alasan ingin segera keluar dari masalah keuangan. Tetapi pada kenyataannya, orang yang berutang dengan alasan ini justru akan terjerat lebih dalam ke jebakan utang. Hidupnya tidak lagi tenang. Gali lubang, tutup lubang, begitu seterusnya tiada henti. Namun, ada juga orang yang terpaksa utang karena terkena musibah, seperti membiayai keluarga yang sakit. Fenomena itulah yang dipotret di salah satu tayangan TV yang berjudul "Lunas". Menurut Eko Nugroho, penggagasnya, acara itu memang sengaja dibuat untuk membantu orang terlepas dari jerat utang yang bukan karena kesalahannya sendiri melainkan karena musibah. Dan, kasus seperti itu banyak ditemui di masyarakat kita.

3. Memenuhi keinginan

Yang paling sering terjadi dan dilakukan banyak orang adalah berutang untuk memenuhi berbagai keinginan. Nah, ini yang paling sulit karena sifat alami manusia adalah punya banyak keinginan. Parahnya, banyak manusia tidak dapat membatasi keinginan mereka. Padahal keinginan itu biasanya lebih besar daripada kemampuan ekonomi. Akibatnya, orang pun "terpaksa" berutang demi memenuhi keinginan yang tidak terjangkau oleh penghasilan itu. Edo, misalnya. Penghasilannya sebagai salah satu manajer di perusahaan telekomunikasi sebenarnya cukup untuk membeli mobil sekelas Kijang. Namun, karena ia hidup di lingkungan yang bergaya hidup elite, mobil itu dipandang kurang berkelas. Kini, ia memilih membeli mobil Nissan X-Trail yang lebih mahal dengan cara kredit.

4. Untuk gaya hidup?

Sering kali, utang memang disebabkan oleh masalah gaya hidup. Menurut Benny, paling tidak ada tiga gaya hidup yang berkaitan dengan uang. Pertama, orang yang pengeluarannya selalu lebih besar daripada penghasilan. Biasanya mereka melakukan itu demi memenuhi tuntutan lingkungan. Mereka tak segan berutang, untuk membiayai gaya hidup ini hingga tanpa sadar suatu kali mereka dapat terjebak masalah.

Kedua, orang yang selalu menghabiskan pendapatannya tanpa menyisakan sedikit pun untuk menabung. Bagi orang seperti ini, berapa pun jumlah uang yang didapat tak berpengaruh. Jika yang masuk lebih banyak, biasanya yang keluar pun lebih banyak. Akibatnya, jika terjadi hal-hal yang mendadak dan darurat, mereka kebingungan karena tidak memiliki simpanan.

Ketiga, orang yang memiliki tujuan dalam keuangan. Artinya, mereka tahu dengan pasti berapa jumlah uang mereka dan untuk tujuan apa uang itu dikeluarkan. Dengan begitu, pengeluaran tidak akan melebihi pendapatan mereka.

Dari ketiga gaya hidup itu, yang paling banyak tampak adalah yang pertama dan kedua. Mengapa itu bisa terjadi? Selain karena tidak bisa mengelola anggaran dengan baik, pada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa puas. Ia selalu dicobai dan dibelenggu oleh satu keinginan kepada keinginan yang lain. Tak ada habisnya. "Karena itu, kita harus dengan sangat tegas berkata, gaya hidup konsumtif adalah lawan yang harus kita perangi!" tandas Benny.

5. Tidak menikmati berkat

Menurut Benny yang memilih gaya hidup sederhana, orang sebenarnya tidak perlu berutang seandainya ia bisa mengelola anggaran dengan baik. Artinya, ia bisa menyesuaikan antara pendapatan dan pengeluaran.

Penghasilan yang kita peroleh adalah berkat dari Tuhan yang harus kita kelola dengan baik. Sayangnya, manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Dan, ketidakpuasan adalah penyakit utama semua manusia. Kita hanya memfokuskan diri pada apa yang tidak kita miliki sehingga selalu hanya melihat kekurangan yang ada dalam diri kita. Ada saja kebutuhan yang belum dipenuhi.

Ketidakpuasan itu juga ada karena kita memiliki iri hati, selalu membandingkan apa yang sudah kita miliki dengan apa yang dimiliki orang lain. Karena selalu merasa "rumput tetangga lebih hijau", kita menjadi tak bisa melihat berkat Tuhan yang telah dicurahkan dalam hidup kita. Sebaliknya, kita justru akan dikejar-kejar oleh kebutuhan untuk memenuhi keinginan kita yang tidak ada habisnya. Itulah yang sering kali membuat kita menjadi tertekan hingga harus berutang. Bukan karena tidak cukup, tetapi karena kita sendiri yang tidak pernah bisa berkata cukup! "Sebetulnya ketidakpuasan itu timbul gara-gara terlalu banyak menggunakan uang bukan untuk sesuatu yang sudah direncanakan Tuhan," kata Benny.

Apa Kata Alkitab?

Begitu dekatnya kita dengan aktivitas ini hingga kita merasa bahwa utang adalah sesuatu yang wajar. Benarkah demikian? Lalu apa maksud Alkitab yang melarang kita berutang seperti yang tertulis di kitab Roma 13:8, "Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat."

"Kalau membaca itu, orang Kristen langsung berkata bahwa kita tidak boleh berutang apa pun. Tetapi kalau dilihat dari ayat di atasnya, sebenarnya Paulus tidak langsung berbicara seperti itu," kata Benny yang meraih gelar Master of Commerce dari University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia itu.

Jika dilihat dari konteksnya, ayat itu tidak menunjuk soal larangan untuk meminjam uang pada orang lain. Tema besar dari perikop itu adalah tentang kewajiban yang harus dipenuhi orang Kristen terhadap pemerintah, salah satunya adalah membayar pajak. Selain itu, Paulus juga menegaskan tentang pentingnya menghormati hak seseorang. Salah satunya adalah memberi hormat kepada orang yang berhak mendapatkannya. "Dengan demikian, ketika mengatakan bahwa 'Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapapun juga', Paulus dalam konteks ini tidak menyinggung soal larangan meminjam uang kepada orang lain," jelas pria kelahiran Magetan, 7 Juni 1971.

Siapa yang berutang menjual kebebasannya. Begitu kata pepatah Jerman. Amsal pun mengatakan, "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi." (Amsal 22:7)

Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Jadi, kendati Firman Tuhan tidak pernah melarang kita untuk meminjam uang, Alkitab menunjukkan bahwa melakukannya juga mendatangkan pengaruh negatif. Oleh karena itu, menurut Benny, utang bisa membawa kebaikan tetapi bisa juga keburukan. "Sekali lagi, kalau bisa jangan berutang, tetapi jangan juga merasa berdosa kalau berutang untuk hal yang baik. Meski begitu, itu pun harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang," terang pria yang aktif terlibat sebagai tim edukasi GBIS River of Live Surabaya ini.

Dengan begitu, utang yang dimaksudkan untuk membantu kita keluar dari masalah keuangan akhirnya tidak akan menjadi jerat baru yang membuat kita makin terpuruk. Namun, hal yang lebih mendasar dari semua itu adalah bagaimana kita mampu mencukupkan diri pada semua yang ada. "Karena apa pun yang kita miliki sekarang suatu saat akan kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Kita ini hanyalah pengelola sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita," tutur Benny bijak.

Toh, kesuksesan hidup seseorang tidaklah tergantung pada seberapa banyak barang yang ia miliki, melainkan dari seberapa banyak yang bisa ia berikan pada orang lain. Dan, itu tidak sekadar materi, tetapi juga nilai-nilai hidup dan kebaikan. (Sari)

Sumber diambil dari:
Situs Bahana Magazine : http://www.bahana-magazine.com/mei2005/jentera2.htm

Komentar