Senyumlah Pada Tuhan

Banyak orang tak mau banyak-banyak tersenyum karena hidup di kota besar bukan perlu senyum, tapi punya banyak uang baru bisa tersenyum. Walau uang bisa tersenyum pada orang, senyum perlu uang agar orang tetap bisa tersenyum pada kemiskinan. Maka di kota, orang tersenyum untuk dapat uang agar orang bisa punya uang dan kemiskinan tak lagi tersenyum padanya.

[block:views=similarterms-block_1]

"Tersenyumlah, Bu," begitu kata seorang ibu setengah baya pada seorang ibu yang lebih muda di sebelahnya, yang senyumnya belum datang seperti juga ibu di depannya, di belakangnya; seperti juga bapak-bapak di samping kiri, kanan bahkan seperti yang tua-tua yang duduk bersila, bersandar pada dinding joroknya; juga yang di sudut-sudut ruangan sempit dan pengap malam itu. Senyum semua orang seolah sembunyi pada gelapnya malam. Hanya beberapa anak kecil yang duduk dan tidur-tiduran di bagian depan, tertawa-tawa seolah tertawa pada miskinnya tempat itu, miskinnya mereka sendiri. Hujan sudah reda. Gerimis masih ada dari sisa deras hujan sebelumnya, tapi banyak air membasahi lantai yang terbawa dari baju lusuh basah orang-orang yang datang, duduk bersila di basahnya lantai di sesaknya ruangan itu.

"Tersenyumlah, Bu," kata ibu setengah baya itu lagi. Ibu yang disapa belum juga tersenyum. Bau tak sedap bercampur pada lusuh wajah selusuh basah bajunya. Ibu muda itu, seperti orang lain di tempat itu adalah para pemulung. Kebaktian belum dimulai, namun sebagian dari mereka bukan datang untuk kebaktian, tapi untuk makan; kadang untuk uang walau sering tak ada makan dan tak ada uang di tempat sempit dan pengap itu. "Saya sudah sering senyum, pada pagi, pada kehidupan, pada kemiskinan, juga pada malam hujan seperti ini," katanya. Hujan memang selalu membuat, bukan saja diri dan bajunya menjadi basah selusuh-lusuhnya, tetapi juga rumah kardusnya di pinggir rel kereta di seberang sana itu, pastilah sudah menjadi rusak sebasah-basahnya; dan pastilah juga ia harus menatap langit tanpa bulan di atas sana pada tidur malamnya sehabis hujan malam itu.

Dan siapakah yang berani berkata padanya, "Sudah, hujan sudah kehabisan airnya, jadi tidurlah saja dengan tenang di pinggir jalan sambil berharap-harap pada hujan, agar hujan tak lagi mendatangkan basah air hujannya." Biasanya hujan memang datang lagi tengah malamnya atau pagi-paginya. Sebelumnya atau sesudahnya, sama saja, basahlah pasti tidurnya.

"Oh, kapan aku bisa berlindung dari basahnya hujan, atau berharap pada hujan agar tak hujan?" lanjutnya. "Tenang, Bu. Tuhan pasti mendengar kesusahan ibu karena Tuhan itu baik," kata ibu setengah baya yang penuh senyum tadi dengan sabar. "Yesus telah memberikan keselamatan kekal itu pada kita dengan rela mati di atas kayu salib. Pastilah Ia sangat mengasihi kita semua. Maka, tersenyumlah pada Tuhan," lanjutnya. "Bagaimana bisa? Aku hidup dalam lusuh basah bajuku, sementara banyak orang hanya senyum untuk uang. Dan sementara aku senyum untuk baju basah lusuhku, aku juga harus senyum bukan untuk uang tapi untuk Tuhan?" sergah ibu muda itu.

Kebaktian hampir dimulai, percakapan masih jauh dari sepakat. Ibu muda itu semakin membatu sementara ibu setengah baya itu dengan sabar menjatuhkan setetes demi setetes air kerinduan akan Tuhan dalam bait-bait senyumnya. Ada kesedihan dalam getir gentar jiwanya melihat keras membatu hati di hadapan matanya, tetapi senyum itu tetap di jiwanya, mengalir dan mengalir tak habis-habis seolah-olah di sanalah tempatnya Sumber Kehidupan.

Malam makin jauh malamnya. Gerimis belum berhenti gerimisnya. Masih basah baju mereka, hujan kecil-kecil menyanyikan pujian bagi Tuhan dalam rintik-rintiknya. Tuhan para pemulung di ruang sempit dan pengap. Tuhan atas ´senyum yang belum juga datang´.

Kebaktian selesai. Percakapan dimulai lagi. Percakapan semakin jauh dari sepakat. Ibu muda itu kini benar-benar sudah membatu, meski baru saja ia menyanyi Haleluya. Ibu setengah baya itu akhirnya menghentikan kata-katanya demi kesabarannya dalam tetap senyumnya, "Andai suatu saat nanti ibu muda ini mau tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk malam, untuk hujan dan untuk uang...," pikirnya. Tetapi ibu muda itu tetap menggerutu pada basah lusuh bajunya, pada malam hujan basah rumah kardusnya, pada Tuhan atas hujan malam itu.

Ibu setengah baya itu diam seperti malam, namun senyum masih ada di jiwanya dan mengalir di hatinya, terlihat di bibirnya dan terpancar di matanya. Namun angin malam itu telah membawa senyumnya pergi menjauh dari seorang ibu muda
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.

Sebelum ia tahu bahwa kanker tengah merongrong kesehatannya, sebelum semua tahu bahwa kanker itu bertahun-tahun telah ia bawa pergi sampai ke tempat sempit dan pengap, ibu setengah baya itu dulu pernah bilang, "Bukan aku yang tersenyum padamu, tapi Tuhan memang tersenyum padaku, padamu; maka tersenyumlah juga pada Tuhan."

Dan ketika tahu bahwa kehidupan tak lagi berpihak padanya, ia tetap berkata, "Tersenyumlah selalu pada Tuhan, maka engkau akan tersenyum pada kematian."

Ibu setengah baya itu, Ibu Mien, kukenal memang dengan senyumnya. Senyum yang datang dari Sumber Kehidupan. Senyum yang telah memberi terang pada malam. Ia baru saja pergi, meninggalkan sedih yang dalam di hatiku dan basah
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.

"Karena Tuhan itu baik," katanya.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.