Pesan yang Tak Terucapkan

Oleh : Mundhi Sabda Hardi Lesminingtyas

Ketika Dika duduk di kelas 4 SD, saya harus mondar-mandir berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolahnya. Pasalnya, menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan itu tercatat sebagai anak yang bermasalah.

[block:views=similarterms-block_1]

Saat saya tanyakan apa masalahnya, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga Dika selalu murung dan suka melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lembut saya pun bertanya kepada Dika "Apa yang kamu inginkan, Nang?" Walaupun saya telah menggunakan panggilan kesayangan "Nang", tetapi Dika hanya menggeleng tak bersemangat. "Dika ingin ibu bersikap seperti apa?" tanya saya "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya dan wali kelas mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kami pun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog. Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu memberitahukan hasil test IQ Dika. Angka kecerdasan rata-rata Dika mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.

Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Dengan santun psikolog itu pun menyarankan kami untuk datang kembali seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya psikolog dapat menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam, membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...." Dikapun menulis jawaban : "Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, bermain puzzle, bermain basket, membaca buku cerita, main game di computer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Namun ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Sayapun menjadi ingat apa yang tertulis dalam I Kor 13 : 11 yang berbunyi "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu" Saya menjadi sadar bahwa anak-anak tidak bisa dituntut untuk berbicara, berperasaan dan berpikir sama dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki dunia tersendiri yang pada masanya (masa kanak-kanak) sangatlah indah namun tidak bisa diperpanjang waktunya, apa lagi diulang kembali. Sayapun berpikir, kalau sekarang tidak diberi kesempatan untuk bermain dengan bebas, mau kapan lagi Dika akan menikmati masa kanak-kanaknya? Saya sadar bahwa dalam waktu yang tidak lama, Dika akan akan tumbuh menjadi dewasa dan harus meninggalkan sifat kanak-kanaknya.

Ketika psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..." Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ...", Dika pun menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya, dan sikap hidup saya yang efisien, suka bekerja keras, disiplin, hemat, serta gigih untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.

Setelah membaca Matius 18 : 1-5, saya menyadari bahwa sikap saya justru bertolak belakang dengan Tuhan Yesus. Saya menginginkan Dika bersikap seperti orang tuanya, tetapi Tuhan Yesus justru menyatakan bahwa yang terbesar dalam kerajaan sorga adalah orang-orang merendahkan diri dan menjadi seperti anak-anak. Ayat-ayat itu mengingatkan bahwa siapapun; termasuk para orang tua, harus belajar supaya bisa rendah hati dan tulus seperti anak-anak. Kebanyakan seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .." Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang kubuat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anak pun akan memilih untuk berbohong atau tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Masalah baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, supaya ia bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang, anak tidak melakukan kesalahan yang serupa.

Memang dalam Alkitab dikatakan bahwa orang tua senantiasa perlu mendidik anak-anaknya dari waktu ke waktu. Teguran-teguran yang mendidik dan penuh hikmat dari orang tua memang akan menjadi karangan bunga yang menghias kepala anak-anak. Tetapi Alkitab pun mengajarkan tata cara untuk menasehati. Jadi teguran, ajaran dan didikan yang tepat, akan lebih efektif bila dilakukan dengan cara yang tepat dan pada waktu yang tepat pula.

Ketika psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....." Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk Dika.

Ketika saya tanyakan tentang hal-hal penting apa yang ingin selalu dibicarakan bersama saya, Dika menjelaskan bahwa ia ingin selalu menggunakan waktu yang sempit itu untuk mendengarkan kisah Sadrah, Mesakh dan Abednego yang disertai Tuhan selama dalam perapian, atau Kisah tentang orang Samaria yang baik hati, atau kisah Tuhan Yesus yang memberi makan 5.000 orang. Dika juga ingin saya bisa melucu, menirukan Zakeus yang pendek atau tertawa girang karena kemenangan Daud atas Goliat.

Dika juga ingin saya mempunyai waktu untuk menjawab tebakan-tebakan lucu yang diajukannya. Dika merasa bosan kalau setiap hari saya mengajarinya mengerjakan PR atau menerangkan ulang topik-topik pelajaran dengan bahasa dan gaya yang sama menyebalkannya dengan guru-guru di kelasnya. Dika merasa tidak nyaman karena sejak jam 07.00 - 13.00 harus berhadapan dengan guru-guru yang otoriter, sorenya harus berhadapan dengan guru lesnya yang dianggap cerewet, kemudian malamnya selama 2 jam ia harus berhadapan dengan muka ibunya namun dalam wujud seperti guru yang bawel. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa hikmat dan pengenalan akan Tuhan tidak kalah pentingnya dengan kemampuan intelektual. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan. Kasih kepada Allah justru harus diajarkan dan dibicarakan kepada anak-anak pada waktu duduk di rumah, di perjalanan serta pada saat berbaring dan pada saat bangun (Ulangan 6 : 4-7)

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar. Namun sebagai manusia, orang tua pun tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya, sama seperti apa yang dituntut orang tua kepadanya.

Ketika psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ........" Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adik-adikku" Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang bandannya hampir setinggi saya, sudah tidak pantas dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah.

Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih. Saya jadi merinding setelah mengingat kisah Yusuf yang mendapat perlakuan istimewa dari ayahnya. Tindakan Yakup yang menganakemaskan Yusuf telah membuat iri anak-anaknya yang lain, yang kemudian bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap Yusuf (Kej 37 : 1-36).

Pada secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ....." Dika menulis kata "tersenyum". Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya. Senyuman hangat seorang ayah justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak untuk meneladani ayahnya. Tuhan Yesus yang mengemban tugas berat dari BapaNya saja tidak pernah menolak anak-anak yang datang kepadaNya. Ia justru memeluk dan memberkati anak-anak (Mark 10:13-16)

Ketika psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku...." Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole", kependekan dari kata "Kontole" yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.

Ketika psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .." Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli". Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Sunda namun dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak, tetapi hak-hak anak sendiri terabaikan. Kepada banyak orang, saya berkampanye tentang pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" yang menyerukan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak sendiri, dengan memanggilnya secara tidak hormat dan tidak bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyumnya yang polos, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Saya bersyukur karena saya sempat mengetahui pesan-pesan tersebut. Sayapun menyadari betapa pentingnya saya belajar seperti Hana. Dengan doa dan bermandikan air mata, Hana memohon kepada Tuhan untuk diberikan anak. Kepada Tuhan juga ia menyerahkan anaknya untuk dibentuk oleh imam Eli sesuai dengan kehendak Allah. Kalau saja saya bersikap seperti Hana, saya yakin Tuhanpun akan menyertai anak-anak saya seperti Tuhan menyertai Samuel (I Samuel 3 : 1-21 dan 4 :1a).

Sungguh disayangkan memang, ayah Dika tidak sempat tahu bahwa ada banyak pesan yang mengisyaratkan betapa dalamnya luka hati Dika. Ayah Dika yang tidak mau mengganti pola didik yang diturunkan orang tuanya di masa lalu, dengan pola didik Tuhan Yesus yang penuh kasih, merupakan penyebab utama ketidakharmonisan hubungannya dengan Dika. Seandainya ayah Dika bersedia meneladani Tuhan Yesus, maka tidak akan ada kemarahan di hati anaknya. Efesus 6 :1-4 telah mengajarkan kepada kita bagaimana mendidik anak. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat Tuhan, dan bukan berdasarkan pengalaman masa lalu dan ambisi-ambisinya.

Pesan : Allah menenun sejak anak-anak berada dalam kandungan (Mzm 139 :13). Sebagai pihak yang dipercaya menjaga tenunan Allah, orang tua wajib terus menenun sebagai pertanggungjawaban dan bukti cinta kita terhadap Tuhan. Supaya anak-anak layak dipersembahkan kepada Tuhan, orang tua hanya boleh menenun sesuai hikmat dan kebijaksanaan yang berasal dari-Nya, bukan berdasarkan ambisi pribadinya. Orang tua tidak boleh asal menenun, tetapi harus berusaha supaya hasil tenunan itu semotif dengan tenunan yang telah direncanakan Allah.

Tulisan ini diambil dari buku "Tangan Yang Menenun" yang diterbitkan KAIROS BOOKS. Posting ulang tulisan ini didedikasikan untuk anak-anak Indonesia yang memperingati Hari Anak Nasional pada tanggal 24 Juli 2006.

Penulis buku "Tangan Yang Menenun" yang mengisahkan perjuangan orang tua tunggal dalam mengajar anak tentang kasih dan takut akan Tuhan. Juga menulis buku "Melewati Lembah Air Mata" yang merupakan kesaksian hidup bagaimana menyikapi kegagalan dan berdiri tegak di atas puing-puing kehancuran.