Menyadarkan Tanpa Mempermalukan

Penulis : Eka Darmaputera

"The ever-present Toni". Masih ingat dia? Tidak? Itu lho si Toni yang (mengaku) selalu ada "di sana", di tempat yang sedang jadi bahan pembicaraan. "Kebetulan aku persis ada di situ melihat sendiri". Toni, si "Saya-Juga-Tahu". Disebut begitu karena senantiasa mengklaim "tahu" nyaris mengenai segala sesuatu. Mengetahui semua peristiwa, obat untuk segala penyakit, jawab untuk segala pertanyaan, dan ... mengenal hampir semua orang terkenal. "Saya dengan dia dulu "kan sering main bola sama-sama". Orangnya berpembawaan ramah dan senang bergaul. Karena itu ia disukai banyak orang. Tapi biasanya tak lama. Cuma sampai orang tahu "belang"nya. Tahu siapa Toni yang sebenarnya. Dan serta-merta berubahlah ia menjadi Toni, si "Mulut Ember". "Orang seperti Toni itu memang tidak jahat, tapi "nyebelin", begitu kata mereka. Maka sungguh malanglah nasib si "Saya-Juga-Tahu" ini. Ia berbuat begitu, dengan tujuan diterima menjadi kawan sebanyak mungkin orang. Kini, orang justru satu demi satu menghindarinya.

[block:views=similarterms-block_1]

APAKAH Anda termasuk orang yang tak terlalu sabar menghadapi orang- orang tipe "Saya-Juga-Tahu"? Kalau "ya", maka memang tak ada yang lebih bisa memberi kepuasan batin dari pada menelanjangi dan mempermalukan mereka di depan umum. Biar nyaho dia! Biar kapok! Namun sebelum ini Anda lakukan, tolong Anda pertimbangkan baik-baik dan kemudian jawab dulu dua pertanyaan berikut. Pertama, yakinkah Anda bahwa mempermalukan orang ini benar-benar akan memuaskan batin Anda? Perkiraan saya, Anda memang berhasil membuat mereka malu besar. Hingga ia tak punya muka dan nyali lagi untuk muncul. Mengurung sambil meratapi diri. Atau pergi mencari sasaran lain. Dengan demikian, Anda memang terbebas. Tapi, pertanyaan saya, puaskah Anda? Saya mempersoalkan ini karena saya yakin, bahwa bukan ini yang menjadi tujuan akhir Anda. Yakni, membuang mereka. Malah sebaliknya, Anda ingin membuatnya menjadi oang yang lebih baik, bukan? Tentu! Sebab bila diibaratkan mesin, orang-orang itu "benar" perlu perbaikan. Tapi tak perlulah mereka sampai dibuang. Sayang.

PERTANYAAN yang kedua adalah: apakah Anda sendiri, bahkan kita semua "dengan satu dan lain cara" tak pernah melakukan hal-hal yang mirip dengan yang mereka lakukan? Misalnya, ngotot mempertahankan suatu pendapat, yang kita sendiri sebenarnya belum yakin benar akan benar- salahnya? Atau, setelah membaca atau mendengar suatu desas-desus, segera meyakininya sebagai kebenaran, dan menyebar-luaskannya ke mana-mana, walau kemudian Anda tahu bahwa faktanya tidak begitu? Atau merasa rendah diri melihat orang lain lebih tahu ketimbang kita? Bila kita mengakui bahwa kita pun tak luput dari perbuatan-perbuatan semacam itu, lalu apa dasarnya sehingga kita merasa lebih baik, serta punya missi untuk "memperbaiki"? Saya tidak menyarankan agar kita diam saja, membiarkan orang-orang seperti Toni tanpa sadar "menggali kubur mereka sendiri". Tapi sebaliknya, kita juga tidak berhak untuk menganggap mereka kurang dari manusia, hingga boleh kita caci maki sekehendak hati. Saran saya adalah, apa pun yang kita lakukan, lakukanlah dengan tidak terburu-buru menghakimi mereka! Pahami dulu mereka lebih saksama!

SALAH SATU cara agar kita sendiri terhindar dari godaan bersikap "reaktif" yang berlebih-lebihan, dan menjadi "over-acting", adalah menganggap apa yang mereka lakukan itu "betapa pun menyebalkan, memang";adalah sekadar "gangguan kecil" yang tak terlalu berarti. Analoginya adalah, sama seperti bila suatu ketika Anda sedang mengemudikan mobil di jalan yang ramai. Tapi, astaga, pada saat Anda membutuhkan konsentrasi penuh, eee, ada lalat yang tak tahu diri terbang, dan hinggap ke sana kemari di dalam mobil Anda. Apa reaksi Anda? Terganggu oleh tingkah si lalat itu, tentu saja. Namun Anda mesti memilih satu antara dua. Apakah Anda tetap berkonsentrasi pada kemudi Anda, dan menganggap lalat itu sebagai "gangguan kecil", yang akan Anda atasi nanti pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat? Atau Anda menganggapnya sebagai "gangguan yang tak dapat ditorerir"? Lalu sibuk mencari apa saja yang dapat Anda pakai untuk menggebuk dan melenyapkan lalat itu, dengan akibat ... Anda tahu sendiri-lah? Dengan perkataan lain, yang ingin saya katakan adalah, "gangguan" memang adalah "gangguan". Ia mengganggu. Karena itu tidak kita biarkan begitu saja. Tapi kita harus menghilangkan gangguan itu secara proporsional. Jangan membakar seluruh rumah hanya untuk mengusir nyamuk! Agar kita dapat menghadapi orang-orang bertipe "Saya-Juga-Tahu" secara proporsional, ada tiga sikap batin yang perlu kita miliki.. Pertama, memahami benar siapa mereka. Kedua, memiliki compassion. Yaitu perpaduan antara kepedulian, iba , serta dorongan untuk menolong. Dan akhirnya, ketiga, adalah kesabaran. Tanpa pemahaman yang benar, kita pasti akan salah tindak. Sebab yang kita hadapi bukanlah "mereka" yang sebenarnya, melainkan "stereotip" bikinan kita sendiri. Dengan perkataan lain, kita telah menekan nomor telepon orang lain. Lalu, kedua, compassion kita perlukan, karena motivasi inilah satu- satunya motivasi yang benar dalam menghadapi mereka. Tindakan kita tidak didasarii oleh sikap jengkel, atau ingin mempermalukan, atau agar "tau rasa lu!". Tapi oleh keinginan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkannya. Kerinduan memberi obat kepada orang sakit yang memerlukannya. Sedang, ketiga, sikap ekstra sabar sungguh diperlukan menghadapi mereka. Atau kita akan terjebak oleh sikap reaktif kita sendiri. Sebab tak mudah menolong orang-orang semacam mereka. Mereka adalah orang-orang yang ingin dianggap "hebat". Tidak mau diperlakukan sebagai "pasien".

AGAR tindakan kita tepat arah dan mengenai sasaran, kita mesti senantiasa sadar akan tujuan utama kita. Maksud saya, bila tujuan kita adalah Denpasar, ya ke Denpasar-lah pikiran kita pusatkan dan kaki kita langkahkan. Jangan mudah menyimpang ke obyek-obyek lain, betapa pun menariknya. Dalam menghadapi orang-orang tipe "Saya-Juga-Tahu", tujuan kita satu pula. Yakni membuat mereka jera, tanpa kehilangan muka. Menyingkap dusta mereka, tanpa membuat mereka jadi defensif. Bagaimana caranya? Pertama, jangan beri mereka perhatian yang terlalu besar. Pada satu pihak, sama sekali tidak memberi perhatian, akan membuat jalur komunikasi dengan mereka terputus. Ini tidak sesuai dengan sikap batin kita. Sebab sesungguhnyalah kita justru sangat mempedulikan mereka. Namun demikian, memberi perhatian terlalu besar, akan mengirim sinyal yang salah. Mereka merasa berhasil, dan merangsang mereka tambah bersemangat "mengarang" kisah-kisah fiktif baru. Lalu kita pun akan bertambah kesal dan sebal. Dengan akibat, mudah terprovokasi.

KEDUA, bila Anda merasa mereka telah semakin keterlaluan, inilah saatnya Anda memberi komentar. Kejar dan desak mereka untuk melengkapi cerita-cerita mereka dengan fakta dan data yang diperlukan. "Belum berapa lama saya bertemu dan bercakap-cakap dengan Presiden SBY. Kami "kan kenalan lama". "O ya? Belum berapa lama itu kapan? Di mana? Dalam kesempatan apa?". "O, baru kemarin dulu, di Istana Merdeka. Saya diundang ke sana". "Lho, kemarin dulu "kan beliau tidak ada di Jakarta. Dan boleh saya lihat surat undangannya?" Terus lakukan demikian, sampai ia sendiri sadar akan apa yang ia lakukan, dan semakin berhati-hati dalam mengumbar cerita. Namun dalam melakukan ini, Anda sendiri hendaknya amat berhati-hati dengan "bahasa tubuh" Anda. Sorot mata Anda, nada suara Anda, gerak- gerik Anda, jangan sampai memberi kesan seolah-olah Anda adalah polisi yang sedang menyidik atau jaksa yang sedang menuntut. Kesan ini akan membuat ia semakin defensif. Baginya, Anda adalah ancaman. Ia akan menutup diri. Memutuskan jalur komunikasi. Dan kesempatan Anda untuk melakukan sesuatu yang positif pun akan lenyap. Yang terpenting adalah, Anda menyadarkan, tanpa mempermalukannya.