Mata

Penulis : sonny ar Papaku sudah berumur 63 tahun dan papa berulang tahun juga setiap tgl. 25 desember 2005. Tapi, kami gak pernah secara khusus merayakan hari ultah papa, karena hari itu kami merayakan hari natal. Cuma, pas memberi salam selamat natal, kami memberi "bonus" selamat ulang tahun juga sama papa.

[block:views=similarterms-block_1]

Papa ini lahir, besar, menikah dan punya 6 anak dan membesarkan ke-6 anaknya di serang. Pendidikannya cuma sampai sma dan dulu isterinya - mama saya - juga cuma sekolah setingkat sd. Tapi, mereka bercita-cita tinggi. Anak2nya mesti sekolah yang tinggi, sampai tamat di perguruan tinggi. Jangan jadi seperti mereka, kata mereka pada suatu kesempatan. Mereka - papa & mama ku - mencari nafkah keluarganya dengan berjualan empek2 palembang di pinggir jalan - kaki5 - di jalan diponegoro di serang. Cukup laku, malah sempat terkenal, empek2 buatan keluarga kami - sekitar tahun 1975 s/d 1992 di se antero serang. Walau lumayan laku, karena masih sekelas kaki5, maka jualan kami kurang berkembang, dalam arti gak punya outlet sendiri yang permanen atawa ruko. Jadi tumbuh enggak, mati juga enggak. Jualannya segitu-gitu aja. Cukup buat makan sehari-hari aja, walau sering juga kalao lagi pas gak laku, makan nasi cuma sama bawang goreng atawa garam saja. Yang jelas, walau begitu, anak2nya tumbuh begitu sehat dan cerdas. Seingat saya, waktu kecil kami suka dicekokin minyak ikan. Papa doyan membaca. Papa suka membeli dan membaca koran kompas (dan lalu poskota, sejak anak2nya kuliah dan kerja di jakarta). Tahun 1977, keluarga kami punya tv hitam putih 14 inch.selain koran, beliau suka membelikan anak2nya komik, mulai hc andersen, serial bolong jilu, laba2 merah, godam, gundala dll. Beliau juga suka menyewa buku, terutama cersil karangan kho ping hoo. Dari ke-6 anak2nya, saya kayaknya yang banyak diturunin hobby nya, suka baca, suka nonton, suka es sirsak yang tidak di juice bahkan soto nya sama yaitu daging dan babat saja. Tapi, papa juga yang paling keras dengan saya. Saat kecil, ketika saya sakit mencret-mencret dan tidak bisa minum/nelan obat, saya lari dan dikejar papa. Lalu ditendang dan dipegangin mulutnya, lalu dicekokin kapsul obat mencret itu. Mendingan. Besoknya mau minum obat lagi, akhirnya mama membuka atao menggerus obat itu jadi puyer, agar saya bisa minum. Papa dan mama bekerja keras supaya anak2nya bisa sekolah lebih tinggi lagi dan keluar dari kota serang. Mama rajin nabung, sementara papa cenderung boros, jadi ketika pas lagi lumayan dagangan laku, mama (ternyata) nabung juga. Makanya tahun 1984, ketika cici saya mau kuliah ke jakarta, keluarga kami ada dana untuk membiayai nya. Seperti kata bu Indri, sudah satu mesti yang lain menyusul, maka kemudian satu persatu anak2 dari keluarga kami ini pindah ke jakarta untuk sekolah. Caranya bagaimana? Cici yang sudah kuliah sore, lalu kerja di pagi sampai siang. Dapat duit, cici membiayai saya sekolah dan kuliah, dan juga cici membiayai adik saya yang kuliah. Ketika saya dan adik saya sudah kerja, kami saling bantu untuk membiayai 3 orang adik kami yang kuliah. Begitu seterusnya, yang sudah kerja, boleh (harus) membantu adiknya yang masih kuliah. Terakhir, adik kami yang paling kecil wonny, di wisuda di ui bulan oktober 2004 dan tanggal 7 pebruari 2005 lalu mulai bekerja di salah satu perusahaan consumer goods. Tahun 1986 s/d 1992, jualan empek2 kami mengalami pasang surut, atau bisa juga penurunan. Dari jualan di kaki5 menjadi jualan asongan. Salah satu alasannya, karena mama saya meninggal tahun 1986, di mana selama ini empek2 itu dibuat langsung oleh mama. Ternyata empek2 buatan papa tidak begitu laku, maka nya tahun 1994an, kami berhenti total jualan empek2. Dulu, kami sekeluarga bergereja di gki serang. Papa dibaptis dan diteguhkan pernikahannya dengan mama saya di sana juga. Kami anak2nya pun di baptis anak di gki serang. Papa sempat bantu2 kegiatan di gereja, walao pun bukan majelis atau aktivis, tapi lalu surut tidak lagi ke gereja. Lalu, sekitar tahun 1992an sampai sekarang, papa "pindah" ke gereja kristus sidang jemaat allah dan dibaptis lagi. Ketika saya tanya kenapa pindah, kata papa, sekarang (maksudnya tahun 1992an itu) udah banyak orang baru, pendeta nya baru, majelis jemaat nya baru, orang2/ jemaat nya pun banyak yang baru. Kita2 mah udah gak diperhatiin sama pendetanya, mereka lebih merhatiin orang baru yang kaya, dibanding orang lama dan gak berpunya. Saya bilang, mungkin karena gak kenal aja sama pendeta nya ngkali. Mungkin aja pendeta nya sibuk. Ah, masa gak kenal sih, kata papa saya lagi. Mereka kan kenal saya. Mereka kan punya mata dan lihat saya jualan asongan di gerbang gereja. Masa di usir, ganggu lalu lintas, katanya. Di depan gereja jualan loh, bukan minta2 ke orang gereja! Lalu saya tanya lagi, kenapa dibaptis lagi, emang yang dulu gak sah atau gimana. Ya dibaptis aja, kata papa lagi. Tak ada penjelasan. Seiring waktu, anak2 sudah bekerja dan mandiri. Kami menyarankan papa, untuk banyak di rumah saja atau main ke rumah/ tempat kami. Papa dan isteri (baru, menikah tahun 1992) masih jualan asongan di depan gereja2 (gereja katholik, bethel atau gki) di serang di hari minggu. Mereka juga buka warung kecil2an di rumah di serang. Papa masih tiap hari membeli dan membaca kompas dan poskota. Selain itu, papa (dan tante, saya memanggilnya tante) kebanyakan nonton tv, mulai dari berita sampai sinetron nya. Mereka berdua kalao nonton sinetron, bisa tertawa terbahak-bahak duaan. Karena sudah berumur, papa cenderung demokratis, atau menurut saya malah terlalu permisif. Papa mau supaya kalian bahagia, katanya suatu saat. Makanya, ketika 2 anak nya kawin dengan pasangan yang berbeda agama, papa setuju saja, walau pun saya atau adik ngotot tidak setuju. Papa jalan terus, merestui. Papa ingin lihat kalian semua bahagia, katanya lagi. Saya dan papa berdebat lama, kebanyakan saya yang ngotot menyatakan ketidak setujuan. Tapi, lalu begitu saja. Saudara2 saya itu sudah menikah sekarang. Minggu lalu, papa nelpon dan minta duit buat berobat. Matanya sakit. Matanya berair terus. Gatel-gatel. Mau berobat ke dokter mata di RS Serang. Papa juga bilang, sejak 1 jan 2005 dia sudah berhenti beli koran kompas dan poskota. Senin nya saya telpon, bagaimana matanya, bagaimana konsultasi dengan dokter nya. Kata papa, dia gak jadi ke rs serang, jadinya ke dokter guntur spesialis mata. Kata dokter, ini katarak, pengobatannya (hingga tuntas)harus dioperasi. Papa nanya, apakah bisa diobatin dengan cara lain. Bisa - kata dokter- disalepin dan minum obat, tapi gak tuntas. Bakalan kambuhan. Ya udah dokter dikasih salep dan minum obat aja. Saya tanya papa, kenapa gak mau dioperasi. Takut buta, kata papa. Bukan soal uang, tanya saya lagi, kan anak2 papa bisa patungan buat biaya operasi. Papa berdengung saja, tidak menjawab... (hari ini, saya di sms in adik saya bernama donny, bahwa papa tidak mau mendengar sarannya untuk operasi mata, dan donny minta saya untuk "bicara" lagi membujuk papa)