The Forgiven Unforgiven

Pengirim: Andy Lesmana

Namaku tidaklah penting. Sejarah tidak mencatatnya. Arkeolog tidak dapat menemukan apa pun tentang aku. Atau mungkin mereka tidak berniat mencarinya. Aku sama tidak pentingnya seperti namaku. Tapi aku mau menceritakan sebuah kisah. Sebuah cerita tentang hidupku. Sebuah kisah dari sudut pandangku. Sebuah cerita dari tangan pertama. Sebuah kisah yang aku percaya sangat penting untuk kamu ketahui. Sebuah cerita untuk hati yang patah. Sebuah kisah untuk kaum terbuang. Sebuah cerita untuk yang kesepian. Sebuah kisah tentang setiap kita. Sebuah cerita yang dapat mengubah hidupmu.

Dapat dikatakan hidupku berwarna. Sebagian besar gelap. Ya, aku pernah jatuh cinta. Aku pernah tertawa. Aku pernah bahagia. Tapi seringnya aku merasa disisihkan. Aku dilupakan. Aku ditinggalkan. Aku tidur dengan rasa takut sebagai bantal, dan penderitaan sebagai selimutnya. Aku tidak ingin seperti ini, tapi inilah aku. Aku terjebak menjadi pribadi yang aku benci. Mungkin aku dikutuk.


Aku pernah melakukan semua hal buruk yang terlintas di pikiranmu. Aku pernah berada di lembah gelap terdalam. Aku pernah melakukan hal yang paling nista yang dapat dilakukan seorang manusia. Aku jauh melebihi yang dapat kau bayangkan.

Aku bukanlah Robin Hood. Aku mengambil dari orang lain dan menggunakannya untuk diriku sendiri. Memuaskan kehausanku untuk menjadi penting, dikasihi, menjadi seseorang. Memang membantu untuk sesaat. Tapi saat pagi datang, aku sendiri lagi. Kembali aku menghadapi kenyataan… seorang diri.

Aku dapat mencium bau darah di tanganku setiap saat. Seakan-akan tanganku masih berlumuran dengan darah sekalipun aku sudah mencucinya berulang kali. Jangan tanyakan kenapa aku melakukannya. Mengapa aku membunuh… aku tidak tahu. Sekalipun aku tahu alasannya, kamu tidak akan mempercayainya. Mungkin aku ditakdirkan menjadi seperti ini. Menjadi  kaum terbuang.

Aku lelah melakukan semua ini. Tidak mudah hidup seperti aku. Terkadang dalam tidurku, aku mendengar jeritan orang-orang yang pernah aku bunuh. Suara-suara itu tidak mau keluar dari kepalaku. Aku ingin memiliki hidup normal yang dulu pernah aku miliki, tapi aku tidak tahu bagaimana untuk mencapainya. Melakukan kejahatan adalah keahlianku. Itu sebabnya aku terus melakukannya. Bagaimanapun dunia perlu peran antagonis. Hidup perlu keseimbangan. Diperlukan seorang penjahat sebagai lawan pahlawan. Dan aku yang terpilih.

Suatu hari aku ceroboh. Aku tertangkap. Sebagian diriku bersyukur. Sekarang aku dapat beristirahat. Aku dapat berhenti menjadi diriku yang sekarang. Mungkin ini akhir terbaik dari bajingan seperti aku. Ditangkap dan dihukum. Seperti yang memang seharusnya terjadi. Akhir yang bagus bagi orang lain dan akhir yang seharusnya terjadi bagi sampah seperti aku. 

Aku digantung di salib sebagai lambang kaum terbuang. Sebuah penghargaan atas kejahatan besar yang aku lakukan. Digantung bersama dua penjahat lainnya. Aku tersenyum getir. Inilah akhirnya pikirku. Mari kita selesaikan ini dan biarkan aku beristirahat dengan tenang. Aku muak dengan hidupku.

Orang di sebelahku sangat asing. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Aku kenal setiap pencuri, pembunuh, dan bajingan di jalan. Aku kenal setiap bandar obat terlarang dan germo di lingkunganku. Aku mabok bersama mereka di bar. Aku hidup bersama mereka. Aku tidur bersama mereka. Aku bernafas dengan udara kotor yang sama seperti mereka. Tapi orang ini, aku tidak pernah melihatya. Dia bukan dari sekitar sini. Bukan dari tempat aku berasal. Apa yang terjadi dengan-Nya? Siapa Dia?

Aku mendengar beberapa orang tertawa dan memperolok-Nya. Mereka bilang “Kalau kamu anak Allah, mengapa tidak kau minta Bapakmu untuk melepaskan engkau?!” “Kalau kamu juru selamat, mengapa tidak kau selamatkan dirimu sendiri?!”

Anak Allah… Juru Selamat… apa yang sedang mereka bicarakan?

Dia tidak marah. Dia tidak murka. Dia tidak berteriak balik. Dia tetap tenang. Dia tetap diam. Dia hanya berbisik, “Bapa maafkan mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…”

Reaksi yang sangat aneh. Mengapa dia melakukannya? Kalau aku adalah Dia, aku akan meludahi mereka. Meneriakkan setiap kata kotor yang aku tahu. Mengutuk mereka sampai mati. Mengapa dia tidak melakukannya? Mengapa dia tidak membela dirinya?

Mungkin dia tuli. Mungkin dia terlalu lemah. Mungkin dia sudah muak. Atau mungkin… (pemikiran ini datang seperti halilintar di kepalaku)… atau mungkin dia benar. Mungkin dia tidak perlu membuktikan apa pun karena dia benar. Dia tidak perlu membela dirinya karena apa yang dikatakannya semua benar… dia adalah apa yang dikatakannya… seorang Juru Selamat… Anak Allah.

Tiba-tiba aku teringat salah satu malamku di bar. Sebuah gossip soal apa yang sedang terjadi di kota. Siapa yang tertangkap. Siapa yang berhasil mendapatkan hasil rampokan besar. Aku mendengar gossip mengenai seseorang yang tidak biasa. Seseorang yang menyebut dirinya anak Allah. Seseorang yang mengubah air menjadi anggur. Menyembuhkan orang sakit. Seseorang yang membuat orang buta melihat. Membantu pelacur. Seseorang yang membuat pesta dengan si ular berkepala dua, Zakeus si pemungut pajak. Seseorang yang peduli terhadap sampah seperti aku dan teman-temanku.  

Aku menoleh ke arahnya. Dia berkeringat. Terluka. Babak belur sampai hampir mati. Bagaimana mungkin anak Allah, sang kebenaran, pencipta alam semesta berakhir seperti ini? Tergantung di kayu salib. Sekarat. Sama seperti aku. Tapi di dalam hati aku tahu ada yang berbeda dari orang ini. Sulit untuk diakui, tapi sepertinya benar. Orang ini bukanlah manusia biasa. Bisa jadi dia Tuhan. Dia pasti Allah.

Jadi aku  mengumpulkan semua keberanian yang aku miliki. Memohon untuk hal yang tidak layakku peroleh. Mengharapkan sesuatu yang aku tahu mustahil aku dapatkan. Sesuatu yang tidak pantas… Aku meminta pengampunan.

Aku tidak berani meminta belas kasihan. Tapi aku harus mencobanya. Ini kesempatan terakhirku. Setidaknya mengurangi kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku tahu aku akan masuk neraka. Tempat yang pantas untukku. Tempat di mana seharusnya aku berada. Itulah sebabnya aku tidak meminta Surga. Aku hanya meminta pengertiannya atas apa yang sudah aku lakukan. Kalau dia ingin melemparkanku ke neraka, itu tidak masalah. Aku pantas mendapatkannya. Aku layak.

“Yesus saat Engkau berada di KerajaanMu… bisakah Kau… tolong ingat aku…”

Sementara masih tergantung di salib. Air mata mengalir dari mata-Nya… Dia tersenyum dan berkata… “Hari ini juga kamu akan bersama-Ku di Firdaus…”

Aku meminta pengertian, aku mendapatkan pengampunan.

Aku pantas untuk neraka, aku mendapatkan Surga

Aku hilang, namun ditemukan.

Aku orang asing, namun sekarang bagian dari keluarga.

Aku mati, tapi sekarang aku hidup.

Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi ini yang terjadi padaku. Aku pun tidak dapat percaya pada awalnya. Tapi aku di sini sekarang. Mungkin itulah sebabnya disebut sebagai anugerah. Kita memperoleh apa yang seharusnya tidak layak kita dapatkan. Bukan dengan kekuatan. Bukan dengan kebesaran, hanya karena belas kasihan. Haleluya!

Omong-omong, aku ingin menceritakan cerita lainnya; kamu belum mendengar cerita seru yang pernah aku jalani, kan? Dan mungkin cerita yang tidak kamu ketahui soal Nabi Musa? Dia sempat bercerita sedikit tentang hidupnya saat kami main golf kemarin. Tapi sayang sekali aku tidak punya waktu sekarang. Aku ada janji makan malam dengan teman baikku, Yesus. Semoga harimu indah kawan!

Situs pengirim artikel:
www.redemistideus.blogspot.com